Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Jumat, 16 Mei 2008

Ispirasi - 4 (Rachmita M. Harahap)

Kisah Ibu Dosen Mitha, Tuna Rungu Pembina UKM (1)

Danto

Tak mudah terlahir sebagai tuna rungu. RachMitha Maun Harahap, 38 tahun, merasakan itu. Hinaan dan cercaan menjadi menu pergaulan sehari-hari. Namun itu sudah menjadi masa lalu. Kini, Mitha sudah menjadi dosen.

Dia juga membina 220 orang cacat tuna rungu dan memberi bekal aneka pelatihan agar mereka mampu bersaing di dunia usaha. Sebagian besar bekas muridnya kini berbisnis sendiri, dan sisanya bekerja di sektor swasta. Berikut kisahnya.
****
****
SETIAP orang punya kenangan buruk. Dan tak mudah melupakan kenangan itu. Tak percaya, tanyalah pada Rachmita Maun Harahap. Apa yang ada di memorinya hingga kini? Jawaban Mitha singkat namun penuh keperihan. “Idih, Mitha budek”. Itulah jawabannya.

Entah sudah berapa kali ejekan semacam itu dia catat dalam ingatannya. “Meski terkadang ada perasaan sedih dan mengganggu. Tapi saya tak mau larut. Saya harus terus maju,” kisah Mitha, kepada KONTAN. Yang pasti, sindiran atau ejekan itu di kemudian hari justru menjadi bekal berarti. Hati perempuan kelahiran Padangsidempuan, Tapanuli, itu menjadi sekeras batu. Dia tak mau memikirkan perlakuan buruk orang lain terhadap dirinya.

Sikapnya yang keras hati itu membuatnya bangkit penuh percaya diri. Apa yang tidak mungkin dilakukan penyandang tuna rungu, mampu dia kerjakan. Kalau ada psikolog bilang bahwa orang cacat cenderung rendah diri dan tertutup alias introvert, mungkin dia belum pernah bertemu Mitha.

Buktinya, sudah sejak kecil Mitha berprestasi. Ketika menginjak empat tahun dan baru duduk di Taman Kanak-Kanak, Mitha kecil sudah pandai menggambar, juga bermain puzzle. Mitha mengawali sekolahnya di Bukittinggi, Sumatera Barat. Di kota nan dingin ini pula, Mitha duduk di bangku sekolah dasar (SD) hingga kelas empat.

Tentu saja, karena terbilang cacat, nama Mitha ada di deretan daftar sebuah sekolah luar biasa (SLB) Bagian B yang khusus untuk tuna rungu. Karena tugas orangtuanya, Mitha harus pindah sekolah ke Medan dan Surabaya. Namun, baru tiga bulan sekolah di Surabaya, Mitha sudah tak betah bersekolah di SLB. Kepada orangtuanya dia merengek minta pindah ke SD umum.

“Akhirnya saya berhasil masuk ke SDN X Kertajaya, Surabaya,” katanya. “Syaratnya asal saya bisa bicara,” ungkapnya. Maklum saja, penyandang tuna rungu memang biasanya kesulitan untuk berbicara. Ternyata Mitha tak sekadar keras hati. Di SD umum itu, dia membuktikan diri sebagai anak normal.

Di kelas lima dan enam, dia berada di ranking 25 besar. Bahkan di bangku SMP, Mitha tembus di 20 besar. Menginjak SMU, Mitha hijrah lagi ke Serang, Jawa Barat. Di sini, prestasi Mitha makin berkembang. Dia bahkan mampu duduk di ranking 10.

Bahkan, Mitha juga terpilih sebagai mayoret marching band sekolahnya. Tak tanggung-tanggung, dalam lomba Marching Band antar SMU se Kabupaten Serang, Mitha berhasil terpilih sebagai mayoret terbaik. Makin percaya diri, menjelang kelulusan SMU, Mitha mendaftar ujian tanpa tes.

Waktu itu namanya Program Penelusuran Minat Dan Kemampuan (PMDK). Dia memilih jurusan Teknik Arsitektur Lingkungan di Institut Pertanian Bogor (IPB). “Tapi gagal,” kenangnya. Tak putus asa, Mitha memilih pendidikan sarjananya di jurusan teknik arsitektur sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta Barat. Pada 1995 dia lulus.

Mitha menyelesaikan kuliahnya dalam waktu 4,5 tahun dan meraih cumlaude. Karena predikatnya ini, Mitha berhak meraih beasiswa di Fakultas Paska Sarjana ITB jurusan Magister Desain (Interior). ”Saya juga berhasil lulus dengan IPK 3,1,” katanya sumringah. (Bersambung)

Kisah Ibu Dosen Mitha, Tuna Rungu Pembina UKM (2)

Pada 1995 Mitha sukses menggaet gelar sarjana teknik arsitektur dari Universitas Mercu Buana, Jakarta Barat. Mitha juga dapat penghargaan Wisudawan Lulusan Terbaik (cum laude) sekaligus mendapat beasiswa S2 di ITB. Namun Mitha gundah dengan orang yang senasib dengannya. Dia pun berusaha membantu mereka agar mampu mandiri.

Mitha bukan orang yang suka memanfaatkan aji mumpung, termasuk ketika mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan Paska Sarjana di ITB setelah jadi lulusan terbaik saat meraih gelar sarjananya. Saat itu dia justru memilih jadi arsitek di sebuah perusahaan yang berkantor di Jakarta Barat.

****
****

Setelah berpengalaman selama dua tahun, Mitha baru mengambil beasiswa di ITB tadi. Kuliah di ITB pun diselesaikannya dengan mudah. Begitu menggondol gelar Magister Desain (Interior) pada 2000, Mitha langsung mengabdikan ilmunya dengan menjadi dosen di almamaternya, Universitas Mercu Buana Jakarta Barat, hingga sekarang.

Tak sulit bagi Mitha untuk mengajar. Penginderaan Mitha juga "normal". Dia sudah terbiasa mengenakan alat bantu dengar (ABD) sejak berusia sembilan tahun. “Saat mengajar pun saya pakai ABD, juga fasilitas multimedia infocus, agar mahasiswa lebih memahami pelajaran,” katanya.

Namun kekerasan hati Mitha tak cukup puas dengan statusnya sebagai dosen. Dia mulai berpikir, masih banyak kaum tuna rungu yang tak seberuntung dirinya. Inilah yang kemudian membawanya mendirikan sebuah yayasan. Namanya Sehjira, kependekan dari kata Sehat Jiwa Raga.

“Sehjira adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) khusus tuna rungu. Kenyataan bahwa tuna rungu sering membentuk komunitas eksklusif bukan hanya oleh masyarakat umum, namun juga di antara penyandang tuna rungu sendiri,” papar Mitha. Bermodal Rp 5 juta dari kumpulan gajinya selama mengajar, berdirilah Sehjira pada 5 Desember 2001 silam. Modal sekecil itu, ternyata cukup untuk mengurus Akte Notaris, surat terdaftar organisasi sosial, unit komputer, dan kebutuhan lain.

“Saya tidak pernah pinjam uang di bank, kecuali bantuan dari para donatur,” katanya. Lokasi Sehjira yang berada di Cilandak Barat, Jakarta Selatan, memang agak jauh dari rumahnya di kawasan Ciledug, Tangerang. Namun itu tak menyurutkan semangatnya. Satu hal yang membuat Mitha membentuk Sehjira: kendala komunikasi.

Mitha menyebutnya communication barrier. Menurut dia, faktor inilah yang telah membawa tuna rungu kepada kehidupan yang sepi dari informasi. “Sekian lama mereka hidup menyendiri di tengah keramaian dan gejolak perubahan zaman yang semakin cepat, secara tidak sadar membuat tuna rungu cenderung memiliki konsep diri rendah.

Secara pribadi mereka menganggap dirinya tidak laik untuk bergaul secara luas, apalagi berkompetisi dengan masyarakat umum,” papar Mitha, bak psikolog. Mitha kemudian memfokuskan Sehjira untuk membina kaum tuna rungu agar bisa mandiri.

Tujuan utamanya agar mereka bisa bekerja di sektor formal, seperti dirinya tentu saja. Lebih bagus lagi kalau mereka terjun ke dunia bisnis. Ada beberapa kategori umur yang dia bina. Mulai dari SD Luar Biasa (SDLB), SMPLB, dan SMULB, juga alumni. Total binaan Mitha kini ada sekitar 220 orang tuna rungu.

Mitha dibantu beberapa rekan untuk menjalankan Sehrija. Banyak program dia jalankan. Untuk yang masih sekolah, misalnya, Mitha memberi pengajaran luar ruangan alias outdoor hingga materi pendidikan indoor. Salah satu program indoor adalah pengajaran pengenalan diri. "Seperti pengajaran Who am I? dan Menggapai Impian,” kata Mitha.

“Jika murid sudah bisa mengaktulisasikan diri secara positif, mereka bisa dipindahkan ke sekolah-sekolah umum.” Sementara untuk usia luar sekolah, Mitha dan timnya memberi pengajaran berbagai keterampilan. Seperti menjahit dekorasi interior, menjahit baju pria dan wanita, memberi kursus komputer, kursus bahasa Inggris, juga mengaji. “Saya sendiri yang mengajari mereka. Biasanya itu terjadi setiap Sabtu dan Minggu,” papar Mitha. (Bersambung)

Kisah Ibu Dosen Mitha, Tuna Rungu Pembina UKM (3)

Tak gampang membina sesama tuna rungu. Apalagi dengan modal cekak dan fasilitas pelatihan yang sangat terbatas. Tapi Mitha tak mau menyerah. Soal modal, dia tak mau pinjam bank. Dia memilih jalan mengajukan proposal bantuan kepada pemerintah. Donasi ala kadarnya datang.

Kemauan keras membuat semua hambatan berhasil dia lalui. Dari puluhan alumni didikannya, kini sejumlah tuna rungu di antaranya sukses bekerja di beberapa perusahaan swasta. Tak sedikit pula yang membuka usaha sendiri.

****
****

BERDIKARI alias berdiri di kaki sendiri. Itulah yang dilakoni Mitha, dalam membina 220 tuna rungu jadi mandiri. Bantuan donatur minim. Pemasukan rutin juga tak ada. Alhasil, Mitha terpaksa memungut biaya kepada anak didiknya.

Namun biaya itu kembali untuk keperluan si anak didik. Untuk kursus komputer, misalnya, Mitha memungut iuran Rp 50.000 per bulan kepada tiap siswa. Mitha juga membebankan jumlah dana yang sama bagi peserta kursus bahasa inggris.

“Dana sejumlah itu untuk keperluan bahan modul materi komputer, CD (compact disk), dan honor instruktur tuna rungu profesional,” katanya. Selain minimnya biaya pembinaan, soal tempat pun masih jadi masalah. Hingga kini, Mitha dan rekannya masih bermarkas di sebuah rumah kontrakan di bilangan Cilandak Barat, Jakarta Selatan. Ukurannya sempit, hanya 4 x 8 meter, diluar kamar mandi yang luasnya 2 x 1 meter.

Meski sejak berdiri pada 2001 sudah minim duit dan fasilitas, namun Mitha tetap keras bertahan. “Saya tidak pernah pinjam uang di bank untuk modal,” katanya.

Mitha memilih cara lain. Pada 2003 silam, Mitha mencoba mengajukan surat permohonan bantuan Kelompok Usaha Bersama alias KUBE ke Kantor Pemberdayaan Masyarakat (KPM) Kota Tangerang. Mitha memerinci segala kegiatan dan kebutuhan yayasan, termasuk kendala. Proposalnya manjur. Pihak KPM menyetujui.

Bantuan pun datang berupa lima unit mesin jahit. “Mesin jahit itu untuk lima orang keluarga tuna rungu kurang mampu yang belum bekerja,” kata Mitha. Pada 2004, bantuan yang sama kembali datang. Berupa lima unit mesin jahit plus satu paket pembuatan kue. Kali ini untuk membantu relawan tuna rungu yang mengabdi di Sehjira.

Bantuan kemudian beberapa kali datang lagi. Meski banyak yang sebatas derma ala kadarnya. Tak ada kata menyerah di kamus hidup Mitha. Minim santunan tak akan membuatnya kendur. Senin sampai Jumat mengajar di almamater, Sabtu dan Minggu mengisi pengajaran di yayasan. Nyaris tak ada waktu untuk suami, Irwan Ibrahim.

Bahkan saat mengandung seperti sekarang ini, jadwal Mitha tetap padat. Namun pengorbanannya membawa hasil. Dari puluhan alumni Sehjira, sebagian di antaranya mampu bersaing di dunia usaha. Catatan Mitha, saat ini delapan bekas anak didiknya bekerja di perusahaan pelayaran. Ada juga yang bekerja di sebuah perusahaan teh celup dan perusahaan konveksi. Ada pula yang mampu membangun usaha sendiri. Bangga.

Itulah yang ada di perasaan Mitha. Apalagi dengan kekurangan fisiknya itu, kini Mitha termasuk dalam hitungan orang yang berprestasi. Pekan pertama Desember 2007 lalu, nama Mitha tercatat sebagai salah satu dari lima peraih Danamon Award 2007.

Penghargaan ini merupakan salah satu penghargaan pelaku usaha mandiri di negeri ini. "Alhamdulillah saya bersyukur kepada Allah yang memberi sesuatu yang terbaik bagi saya. Allah punya rencana dengan menciptakan kekurangan sekaligus kelebihan,” pungkas Mitha. (Selesai)

Harian Bisnis dan Investasi Kontan, 8-10 Januari 2008

0 komentar:

Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger