Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Selasa, 07 Februari 2012

"Doa Ibu"

Sepekan ini, hampir tiap hari saya telepon Abah dan Ibu. Entahlah, kerinduan ini begitu membuncah. Liburan di akhir tahun lalu, saya, istri, dan si kecil menyempatkan mampir ke rumah di sela-sela liburan ke Yogyakarta.

Abah tampak kian renta. Gerakannya mulai lamban. Gigi mulai permisi satu persatu, rambut memutih, dan kulit mengeriput. Ibu yang masih tampak kuat. Garis wajahnya tetap memancarkan ketegaran.

Ibu adalah anak satu-satunya dari kakek nenek kami. Tidak berkakak, dan nihil adik. Sejak kecil, penderitaan dan keprihatinn adalah bagian akrab dalam hidupnya. Ditinggal indung – nenek saya -- ke alam baqa pada usia lima tahun, kasih sayang adalah barang mahal bagi ibu. Piatu di usia kanak-kanak, menjadikan ibu pribadi yang gelisah, tapi tegar. Sejak kepergian nenek, kakek (kini almarhum, semoga dilapangkan kuburnya, diampuni segala dosa-dosanya) beberapa kali ganti istri. Dan, itu berarti, beberapa kali pula Ibu punya Ibu tiri.

Di sinilah awal petaka ibu. Pitak kecil di dekat ubun-ubunnya, menyimpan sejarah kelam di jiwanya. Setidaknya, itu yang pernah dia ungkapkan kepada saya. Suatu hari, ketika Indonesia dirundung duka akibat gonjang-ganjing penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI) media 1960-an, petaka itu datang. Ibu, ketika itu memasuki usia 10 tahun, memelas kepada kakek meminta jajan. Keluarga petani pinggiran dengan harta yang pas-pasan, harus berpikir ulang untuk memberikan sekedar uang jajan anak satu-satunya. Plus ada status ibu tiri di sampingnya, membuat kakek tampaknya harus berpikir dua kali memberikan permintaan anaknya.

Bukan uang didapat, lemparan sendok nasi alumunium yang melayang. Tepat di dekat ubun-ubunnya hingga berdarah. Ibu tak berani menangis keras. Yang keluar cuma sesenggukan. Semakin dia akan menangis keras, semakin Ibu akan tersakiti. Kakek lebih memilih berpihak ke ibu tiri ketimbang anak sendiri.

Hendak kemana ibu mengadu? Pada sisi ini, tidak punya saudara kandung sungguhlah terasa menyakitkan. Tidak ada tempat mengadu, juga berbagi rasa. Ibu memilih memendamnya sendiri. Begitulah. Sisa sendok nasi alumunium itu kini menjejakkan pitak di kepala ibu. Peristiwa ini yang tampaknya begitu berbekas di hati ibu.

Kelak, ketika kakek mulai sakit-sakitan di usia senja bersama ibu tiri yang lain, ibu terkesan lebih memilih dan lebih peduli kepada suami dan anak-anaknya. Hingga kini, tampaknya bekas tersakiti sejak dini terasa begitu membekas.

Dulu, ketika saya masih kecil, ibu tampak sering terbangun di tengah malam. Kehilangan indung sejak kecil, kadang membuat ibu sering menangis di pergantian hari itu. Dari sanalah, Ibu mengucap doa: biarlah sahaya begini ya Tuhan, tapi anak-anakku tidak. Ini yang membuatnya tegar, sekaligus rapuh. Dia tegas, tapi mudah tersentuh.

Suatu hari, ketika Abah dan Ibu mencoba mengubah rumah joglo menjadi sedikit modern pada awal 1990-an, ada beberapa tukang kayu mengerjakan kusen-kusen pintu dan jendela. Pagi-pagi, ibu membuat cemilan semacam goreng bakwan dan goreng tempe untuk para tukang. Karena dana cekak dan sangat terbatas, maka Ibu cuma membuat beberapa buah bakwan, hanya cukup untuk dua orang tukang kayu itu. Biarlah kami makan dengan ikan asin seperti biasa.

Tiba-tiba, karena rasa ingin tak tertahankan, saya mengambil satu bakwan dan memakannya. Betapa rasa ingin makan bakwan ketika itu begitu kuat. Bakwan adalah makanan mewah bagi kami. Tidak setahun sekali saya bisa memakannya, ketika itu. Begitu tahu bakwan hilang satu dimakan saya, Ibu naik darah. Hilang satu, berarti jatah bakwan buat tukang juga berkurang. Akan sangat tidak enak Ibu kepada dua orang tukang. Dia ambil sepotong ranting di belakang rumah, dan dia pukulkan ke kaki saya. Saya tertegun, tidak melawan. Sakit, memang. Tapi saya bersalah. Tapi pukulan ranting itu cukup kuat, hingga sedikit membekas tanda merah di betis. Di usia kelas empat Sekolah Dasar (SD) itu, tak cukup kuat menahan sakit. Saya sesenggukan, dan menangis pelan.

Beberapa saat ibu terdiam. Saya tahu, dia sudah kelepasan. Selama ini, hampir tidak pernah ibu memukul, meski terkadang mulutnya agak cerewet. Mungkin kali ini saya sudah keterlaluan. Ibu hilang masuk ke kamar. Kemudian saya tahu, ibu juga sesenggukan. Mungkin merasa sangat menyesal sudah memukulkan sebatang ranting ke kaki saya hanya karena sebuah bakwan.

Begitulah, ibu keras, tapi rapuh dan muda tersentuh. Belakangan, karena ketegarannya, Ibu mampu mengantarkan kami, empat anaknya, menapaki jenjang pendidikan tinggi. Kecuali si bungsu yang baru akan kuliah, tiga orang kakaknya berhasil menyelesaikan sarjana. Meski tidak gampang untuk mencapainya, tapi kekuatan, ketegaran, dan doa Abah dan Ibu, mampu membuat kami yang menjalani mengenyam pendidikan, terasa enteng.

Ketika kami menjalani proses itu, saya tahu, Ibu masih sering terbangun tengah malam. Kemudian melakukan sholat malam, dan memohon Yang Di Atas memberikan jalan kepada kami semua. Sementara Abah, melakukan dengan caranya sendiri. Berdoa dengan bahasa sendiri. Abah bukanlah seorang yang pandai sholat. Kehidupan jauh dari didikan pesantren, menyebabkan Abah harus belajar sholat dan mengaji menapaki usia tua. Tapi tidak masalah, tidak ada kata terlambat.

Dilihat dari ukuran warga sedesa, hampir mustahil kami mencapai seperti saat ini. Harta sangat minim, pekerjaan Abah dan Ibu hanya buruh tani, sangat wajar mendapat banyak cibiran di masa-masa awal ketika Abah dan Ibu mengamini Kakak pertama melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi. Nyatanya tidak ada yang tidak mungkin. Ikhtiar dan doa yang mustajab, plus keprihatinan yang dipupuk Ibu dan Abah sejak kecil, mampu mengantarkan kami seperti saat ini.

Saya, kini Direktur di sebuah perusahaan Public Relation dengan klien-klien yang kerap menjadi bahan pemberitaan media-media besar di Jakarta, setelah sebelumnya menjadi juru warta di dua buah perusahaan media cetak ternama di Indonesia. Kakak pertama, menjadi wakil kepala sekolah di SMP kecamatan di kampung saya. Adik pertama saya, kini sudah menjalani dan menikmati status Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Si bungsu, sedang menjalani bimbingan belajar menjelang kuliah dan tinggal bersama saya di Bekasi.

Tuhan Maha Mengetahui apa yang menjadi doa-doa Ibu di tengah malam, ketika yang lain terlelap dan terbuai dalam mimpi. Semoga Allah senantiasa memberikan kebahagiaan Ibu dan Abah di masa tua, kebahagiaan di dunia dan akhirat. Amin Ya Robbal Alamin.

0 komentar:

Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger