Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Jumat, 09 Oktober 2009

KONTROL

0 komentar


Share

Dalam gelisah resah sangat, seorang kawan tergopoh-gopoh mengirim pesan singkat: “Bila semua sudah merapat menuju satu pusaran, satu per satu menuju pada yang berkuasa, sungguh nonsense bicara soal penyeimbang, apa arti sebuah oposisi?”

Dia pribadi yang gundah, trauma pada dosa politik silam: otoritarian. Ketika kekuasaan ada dalam satu genggaman, manakala semua tertumpu pada satu kepalan, hanya ada sebulat kata dalam pemerintahan: “sumuhun dawuh”. Ini adalah ungkapan dalam Bahasa Sunda yang berarti terserah pada Tuan, asal Tuan senang, maka sahaya akan jalan. Demikianlah kira-kira.

Pagi buta Kamis (8/10) lalu, sesaat setelah Partai Golkar memastikan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum yang baru, si kawan mengirim sinyal galau: inilah awal dari kekuasaan terpusat baru.

Pada pemilihan Ketua Umum Partai Golkar di Pekanbaru, Riau, Aburizal menang kuat dibanding pesaing kuatnya, Surya Paloh. Dari 536 suara DPD I, DPD II, dan organisasi massa pendiri Golkar, Aburizal meraup 296 suara, Surya Paloh 240 suara. Dua kandidat lain, Yuddy Chrisnandi dan Hutomo Mandala Putra, nihil suara.

Kemenangan Aburizal adalah “Kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono”. Siapapun tahu, Aburizal adalah “penyangga kuat pemerintah Yudhoyono”. Lihat, bagaimana perkawinan ini begitu kentara: Rizal Mallarangeng, “otak kemenangan” Yudhoyono di Pemilihan Presiden lalu, ditunjuk Aburizal sebagai salah satu Ketua Golkar di kepengurusan lima tahun ke depan.

Celi, sebutan Rizal, bukanlah siapa-siapa di Golkar. Pengurus pun bukan. Memang, Celi sudah lama akrab dengan Ical, sebutan Aburizal, melalui Freedom Institute, lembaga studi demokrasi milik Celi yang dibiayai Ical.

Maka, dengan nakhkoda dan gerbong kapal baru yang “ke-Yudhoyono-an”, otomatis Ical akan “sumuhun dawuh” ke Jenderal asal Pacitan, Jawa Timur, itu. Jangan heran, di bawah Ical, kendali Golkar di parlemen dan pemerintahan, dalam lima tahun ke depan, juga demikian.

Merapatnya Golkar ke Yudhoyono, bakal mengokohkan kekuatan dan kekuasaannya. Sebelum ini, Yudhoyono sudah punya mitra koalisi kuat partai-partai besar: Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan sejumlah partai lain. Terbaru, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) --yang di periode sebelumnya mengklaim sebagai oposisi-- ikut merapat. Dan, santer kabar, partai baru Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) di bawah komandan Prabowo Soebianto, juga bergabung.

Satu-satunya partai yang kemungkinan di luar “kontrol” Yudhoyono adalah Partai Hati Nurani (Hanura). Melenggang sendirian dengan kekuatan “lemah” di parlemen tanpa kawan, bagi Hanura jelas bukan kekuatan oposisi efektif. Bertepuk sebelah tangan di Senayan, adalah sebuah keniscayaan.

Maka, dalam pemerintahan Yudhoyono-Boediono lima tahun ke depan, akan berjalan monoton. Tanpa kekuatan penyeimbang. Sangat riskan timbul pemerintah otoriter. Menjadi negeri sumuhun dawuh. Demokrasi tanpa penyeimbang, tanpa oposisi, adalah demokrasi kuburan. Sendiri, sepi, tanpa kontrol, tiada kritik, sonder kebijakan dan program alternatif. Tentu saja, ini hanya sebuah kekhawatiran.

Indonesia punya pengalaman seabrek soal ini: ketika Soeharto berkuasa lebih dari tiga dasa warsa. Semua kekuasaan dan kekuatan terpusat di tangan Sang Jenderal Besar ini. Maka, tak ada kontrol, tak ada penyeimbang: otoritarian.

Sistem dan tatanan masyarakat tanpa kritik adalah masyarakat mati. Tanpa perubahan. Tatanan yang sonder dinamika akan menjadi stagnan, juga tak ada kemajuan. Tanpa orang-orang yang hidup mengambil jarak terhadap sistem, matilah demokrasi kita. Tak kurang dari Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman itu, meramalkan tatanan tanpa kontrol adalah masyarakat diambang “kehancuran”, tanpa pergerakan.

Mekanisme kontrol bertujuan untuk memastikan akuntabilitas sistem dan pelaku-pelakunya, bukankah? Siapapun yang berkuasa, siapapun yang duduk dalam sistem, seharusnya tidak “sa’ena’e udhel’e dewek” menggunakan otoritas mereka untuk kepentingan yang salah, melainkan dibawah sorotan kontrol pihak-pihak lainnya, sehingga kinerja mereka tetap berada di dalam rel, dan sistem sendiri tetap seimbang.

Bukankah demokrasi pada hakekatnya adalah perwujudan mekanisme kontrol secara masif? Dus, tak ada demokrasi, jika tidak ada kontrol kekuasaan. Kontrol kekuasaan adalah nyawa demokrasi.

Ketika kekuasaan tanpa kendali luar, maka pemimpin akan berjalan di jalurnya sendiri. Kelakukan para pejabat dan kelompok koalisi besar, di alam kekuasaan seperti ini, yang bakal timbul hanyalah mentalitas do ut des (aku memberi agar engkau memberi). Siapa dapat apa. Rakyat? Nanti dulu.

Lantas, kepada siapa bisa berharap lima tahun ke depan? “Satu-satunya harapan adalah pada pilar keempat demokrasi: pers,” tulis si kawan. Mampukah pers mengontrol kekuasaan di tengah mekanisme pasar yang terus mengancam juga menggoda, lima tahun ke depan? Mari kita sama-sama buktikan.

Jakarta, 9 Oktober 2009

Read More......
Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger