Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Senin, 31 Januari 2011

"Layung Merah"

"Saya mendadak amnesia"

***
Suhu politik tiba-tiba memanas. Kota ini dicekam ketakutan. Berita dari daerah-daerah, begitu murung. Nyinyir, mungkin. Sulit membedakan lagi fakta dan isu. Semua bercampur baur. Dari radio pusat, setiap hari terdengar teriakan: “Berontak”! Atau “Ibu pertiwi hamil tua”. Radio pusat? Entahlah, sumber radio darimana, tak juga jelas benar.

Dokumen-dokumen penting tiba-tiba tersebar. “Bakal ada kudeta pasca Sang Presiden Lumpuh”. Darimana itu dokumen, juga tak terang benar. Kabar burung tak jelas turut membuncahkan kekhawatiran, menyebarkan phsycowar, kepada siapapun.

Dan, sepekan kemudian, kota ini pecah dalam pertempuran. Semua senyap dalam semalam. Lalu, tiba-tiba penguasa berganti. Aneh, sungguh! Betapa cepat, betapa kilat! Berita-berita Revolusi bergema lagi. Ketuban tua ibu pertiwi pun pecah sudah. Kota ini guncang. Jangan harap bisa dipercaya orang, mempercayai orang saja susah setengah mati.

Saya cuma juru warta. Hanya bisa merekam apa yang terjadi. Peristiwa yang sebenar-benarnya terjadi, saya cuma sedikit ngarit, maaf salah ketik, maksud saya sedikit ngarti, alias paham meski secuil saja. Beberapa bulan setelah itu, gonjang-ganjing kian rusuh.

Inflasi menggila. Sepanjang tahun, kenaikan harga barang-barang mencapai 650%, tertinggi di seluruh jagat. Antrian membeli bahan-bahan pokok mengular: di kota ini, juga di daerah-daerah. Delapan tahun sebelumnya, harga beras per gantang masih Rp 100 saja. Lalu, lima tahun kemudian, tarifnya Rp 36.000, dan semakin "menggila" pada akhir tahun menjadi Rp 150.000. Benar-benar edan!

Operasi militer memuncak. Sepucuk surat tugas mampir ke meja saya. “Segera berangkat ke Aceh, di sana tengah terjadi operasi. Jangan lupa mampir ke Lampung,” isi surat itu. Teman saya juga mendapat tugas serupa. “Segera berangkat ke Bali, via darat, jangan lupa mampir ke Surabaya”. Isi tugas sama: reportase gonjang-ganjing di daerah.
***

Keremangan senja perbatasan berubah jadi neraka. Kami berempat, juru warta dari beberapa media di Jakarta, ibarat segerembolan babi dikepung para pemegang senapan. Berseragam loreng, mereka siap mengokang peluru. Dalam hutan, nafas sungguh sangat berharga. “Ayo sembunyi di lubang itu, mereka segera datang,” teman saya cepat-cepat mengingatkan.

Berempat masuk dalam lubang gua kecil, di sebuah daerah terpencil di ujung Jawa Barat. Jawa Barat? Aku tak yakin benar. Mungkin Lampung? Dalam kondisi begini, ingatan tak benar-benar kuat.

Aneh, sungguh! Sudah berkali-kali saya acungkan kartu pers saya. Namun mereka tetap mengejar menembak. Sudah puluhan kilometer kami berlari. Jalan seperti tak ada ujung. Betapa jauh, betapa lelah.

“Sudah aman,” kata saya. “Ayo kita ke tubir pantai, mana tahu ada perahu yang membawa kita ke tempat aman,” kata teman saya.

Maka, tiba-tiba kami sudah berada di atas sekoci kecil. Bagaimana caranya kami menemukan perahu, darimana asalnya perahu? Entahlah. Sungguh saya pribadi tak mengerti. Yang ada dalam pikiran kami, segera selamat dari kejaran tentara. Tugas reportase dari kantor, urusan nanti. Akan segera kami kabari via handphone jika situasi sudah benar-benar aman. Untuk sekadar mengabari kantor, atau hanya sekadar mengirim pesan singkat ke rekan sejawat di kantor pusat, kami tak sempat. Seluruh waktu seperti terisi sebuah ancaman.

Berapa lama kami terapung-apung di laut, juga tak ingat benar. Yang tampak di luar dan dalam pikiran, adalah lembayung senja merah di garis batas laut. Dan, di ujung layung merah, bencana itu akhirnya datang lagi.

Di tubir sebuah pantai, empat kapal motor tentara akhirnya kembali menyergap kami. “Segera merapat ke pinggir pantai,” suara mikropon dari salah satu kapal menggema. Kami tak bisa berbuat banyak. Semua tangan kami diikat ke belakang.

Pada pinggir pantai, kami digiring ke sebuah bangunan. Interogasi mereka begitu menakutkan. “Siapa pemimpin kalian,” kata si komandan mereka. Kami diam. Tanpa basa-basi, popor senapan si komandan mendarat di salah satu teman. “Aduuuhhh,” dia meringis. Darah segar mengucur dari batok kepala. Begitu merah.

“Jawab,” kata komandan lagi. Kami tetap diam. Sekali lagi, popor senjata mendarat di teman satu lagi. Tepat mengenai hidungnya. Darah kembali mengucur deras dari lubang nafasnya yang bangir. Dia orang Aceh, bekerja pada salah satu media di kota ini. Dalam kondisi seperti ini, nyawa seperti di ujung jari.

Mereka berdua, yang sudah kena popor senjata, kemudian diangkut menggunakan mobil truk tentara. Lagi-lagi keanehan muncul. Dari mana mobil tentara tiba-tiba datang. Ajaib, sungguh! Sebab, pantai ini dikelilingi hutan. Tak ada akses jalan raya.

Dan, dari jarak, mungkin, lima ratus meter dari tempat popor senjata, suara ledakan senapan dua kali terdengar jelas. “Dor... Dor...”. Disusul suara jeritan erangan kesakitan, sepertinya teriakan sekarat. “Aduuhhhhhhh...”. Selanjutnya senyap ditelan senja merah. Saya bayangkan dua teman saya mandi darah: begitu merah.

Saya dan satu teman yang tersisa sungguh menggigil ketakutan. “Ayo, kalian ngaku, siapa pemimpin kalian,” kata sang komandan. Dia tak turut dalam truk tadi, dan masih asyik menginterogasi kami. Kami tetap diam.

“Baik, kalau begitu, sebaiknya kita ngopi-ngopi dulu di rumah warga sini,” kata sang komandan. Ngopi-ngopi? Ah, aneh betul komandan ini. “Kita menuju markas Kundur, lalu nanti ke Moro, dan Lingga,” kata sang komandan. Nama-nama daerah yang sungguh sangat asing bagi saya. Ada di mana saya? Kondisi begini sangat tak memungkinkan untuk saya dan teman-teman menanyakan apapun ke tentara.

Selanjutnya, kami berdua, dan lima orang tentara yang tersisa, menjelang malam menyusuri semak-semak hutan. Berjalan menyusuri hutan dengan nyawa tinggal seujung kuku, tusukan duri hutan sungguh tak terasa. Di ujung jalan setapak, sebuah gubuk menanti. “Sebelum sampai ke markas, kita istirahat dulu,” kata komandan.

“Di mana kita,” kata saya memberanikan diri bertanya ke mereka. “Natuna,” jawab seorang di antara mereka singkat. “Natuna?,” kata saya. “Diam, kau,” gertaknya, galak. Aku terdiam. Bagaimana bisa aku ada di Natuna? Terdampar di daerah yang tak pernah aku tahu sebelumnya. Bagaimana bisa sampai daerah terluar Indonesia ini? Bukankah tujuanku reportase di Aceh. Ada pembantaian besar-besaran para pengikut kiri di sana. Sungguh aneh!

“Segera sikat... Segera sikat,” dari handy talkie sang komandan, suara perintah datang. Wajah komandan memerah. Kerlingan matanya menusuk seorang anggota mereka. Tanpa basa-basi, kokangan senjata terdengar bergemuruh. Tepat di samping telinga. “Dor... Dor... Dor..” tiga kali tembakan. Dari jarak satu meter ia menembak. Teriakan keras menggema dari teman saya yang tinggal seorang. Dalam hitungan beberapa detik, dia kemudian meregang. Innalillahi wa’innailaihi roji’un.

Dan, kerlingan mata komandan selanjutnya menuju lagi ke satu anggota tentara lain. Telunjuk kanan anggota itu siap mengokang pelatuk. “Dor... Dor...”

Adzan subuh tiba-tiba menggema. “Allahu akbar... Allahu Akbar...”

“Ayah, bangun ayah,” si kecil tiba-tiba membangunkan saya. “Astaghfirullahal adzim, Masya Allah...” gumam saya. Apa yang sudah terjadi? “Alhamdulillah, ini cuma mimpi,” kata saya. Mimpi? Begitu dekat, begitu nyata. Apakah de javu kisah 45 tahun lalu? Saya mendadak amnesia.

Bekasi, akhir purnama pertama 2011

0 komentar:

Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger