Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Jumat, 16 Mei 2008

Inspirasi - 4 (Adelia Zahedi)

Dengan Bordir, Hobi pun Menjadi Duit (1)

Danto

Semua bermula dari hobi. Ketika mengawali bisnis bordir sembilan tahun silam, Adelia Zahedi, 35 tahun, hanyalah iseng dan menyalurkan kegemarannya berapi-rapi ria di area kamar tidur. Semua perkakas tempat tidurnya, mulai dari bedcover, seprai, hingga pernak-pernik, ditata sedemikian rupa. Hasilnya sebuah tempat istirahat yang nyaman.

Jika dia saja menyukai kenyamanan tempat tidur, kenapa orang lain tidak? Begitulah dia berfikir. Mulailah menekuni bisnis bordiran. Merintis usaha dengan modal Rp 200 ribu, kini Adelia sudah bisa menghasilkan Rp 30 juta hingga Rp 40 juta per bulan. Mengawali promosi dari mulut ke mulut, Adelia kian sukses setelah jadi langganan berbagai pameran. Bagaimana Adelia bisa meraup sukses? Ikuti kisahnya.

*****
*****
Bagi wanita aktif seperti Adelia, tak mudah menghilangkan jenuh akibat nganggur. Pernikahannya dengan Ahmad Zahedi, kini 40 tahun, 11 tahun silam, menjadikan Adelia terpaksa ngandang. Berdiam diri di rumah. Dua tahun bekerja di sebuah perusahaan kontraktor pun dia lepas. Soalnya, tak lama setelah nikah, badan sudah berbadan dua.

Jenuh melanda. Adelia kemudian berfikir bagaimana cara menghilangkan bosan. Jalanlah dia bersama suami ke salah satu pusat perbelanjaan. Hobinya yang suka beres-beres kamar, membuat tujuannya tak jauh dari urusan kamar tidur.

Larak-lirik pada tetek bengek perlengkapan kamar tidur, matanya tertambat pada sebuah bahan sprei. Warnanya yang kalem, dengan motif bunga, terasa pas dengan seleranya. Alangkah indahnya jika ditambah motif yang rada beda, tapi unik. Begitulah Adelia berfikir saat itu. Maka, ide merajut sendiri bordir di bahan sprei itupun timbul. Bordir dipilih lantaran saat itu masih sangat sedikit yang menekuni usaha itu.Uang sebesar Rp 200.000 pun dibelanjakannya.

“Pada 1996 waktu itu, bahan dasar sprei masih murah sekali, masih Rp 6 ribu semester,” kata Adelia.

Tapi otak mesti diputar. Semua perlengkapan bordir tak ada. Mesin jahit pun tak punya. “Saya modal nekad saja, saya jahit bahan itu pada orang lain, tapi motif saya yang menentukan,” kata Adelia.

Selesailah bordiran pertama kala itu. Jumlahnya masih terbatas, hanya 10 set sprei bordiran. Adelia mengontak kenalannya semasa kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta ternama di Jakarta Barat. “Alhamdulillah mereka merespon,” kenangnya.

Semangat timbul. Adelia mencoba menawarkan ke bekas rekan-rekan kantornya di perusahaan kontraktor. “Waktu itu karena bordiran saya rada beda dengan motif yang ada, jadi rekan-rekan saya tertarik,” katanya.

Dengan modal Rp 27 ribu per set, sprei dengan bordiran sendiri itu dijual dua kali lipat seharga Rp 45 ribu. “Ada yang kontan, ada juga yang bayar dua kali,” ujar Adelia.

Agar pelanggan tak lupa, maka Adelia memberi ciri khas sprei jualannya. Adelia menempelkan tulisan border dengan nama AZ Collection, asal kata dari Adelia Zahedi Collection. Belakangan nama ini berubah jadi AZ Sweet Room.

Sukses di usaha pertama, Adelia jadi ketagihan. Pesanan sedikit ditambah. Kenalan lainnya disamperin. Sedikit-sedikit lama menjadi bukit. Begitulah. Jumlah bordiran ditambah. Langganan pun demikian.

Di pengujung 1996, usahanya sempat mati suri. Kandungan anak pertama kian menua. Gerakannya tak lagi lincah. Jadilah untuk sementara Adelia membengkalaikan bisnisnya.

Setahun berselang. Adelia kembali terjun menekuni usahanya. Agar pemasaran kian efektif, Adelia mulai menggunakan strategi baru: ikut pameran. Lantaran modal masih minim, peragaan yang diikutipun masih pilah-pilah. Terjangkau, tapi tak kalah kelas.

Pameran yang pertama kali diikutinya di Gedung World Trade Center (WTC) di bilangan Jalan Sudirman, Jakarta. Pameran yang berlangsung setiap minggu, memungkinkan pengusaha seperti Adelia bisa masuk menjadi peserta kapan saja.

“Di WTC, selama tiga hari itu kala itu cuma bayar Rp 400.000 hingga Rp 600.000,” kata Adelia, beralasan. Dibanding berpameran di tempat lain yang lebih elit, misalnya di Jakarta Hilton Convention Center (JHCC), harga ini masih sangat miring. Di JHCC, tarif membuka stan pameran mencapai Rp 1 juta per hari.

Satu hal yang dilakukan Adelia ketika pameran. Rajin-rajinlah menyebar kartu nama. “Alhamdulillah, mungkin dari 100 kartu nama yang disebar itu, satu dua diantaranya ada yang mau nelepon kemudian memesan,” katanya.

Hanya, pada tahap awal memang semuanya tak mulus. Soalnya, produk yang ditawarkan Adelia bukanlah jenis kebutuhan primer laiknya makanan, juga pakaian. “Tapi kalau sprei ini bisa tiga bulan atau 4 bulan sekali baru telpon memesan minta ganti,” kata Adelia.

Nah, di sinilah kreatifitas dilakukan. Agar pelanggan tak bosan, motif bordiran pun harus digonta-ganti.



Mulailah Adelia mengembangkan sayap. Pameran inacraft di JHCC-pun dicobanya. Tak apa sedikit mahal, toh pemesan juga pasti bakal bertambah. Inacraft adalah pameran kerajinan yang skupnya nasional. Begitulah, pada 2002 Adelia mulai mengikuti pameran di JHCC dnegan tarif Rp 1 juta per hari. “Karena yang datang juga dari seluruh Indonesia, pasarnya juga lebih besar. Biaya buat stand bisa tertutup dan bisa mendapat keuntungan, sejak itulah saya ketagihan untuk ikut pameran terus,” papar Adelia.


Dengan Bordir, Hobi pun Menjadi Duit (2)


Memutar haluan strategi, ikut mengubah pula kebutuhan modal. Semula, Adelia, 35 tahun, menyasar semua kalangan. Pameran yang diikuti, yang awalnya masih kelas biasa, kini mulai berpindah ke kelas yang lebih tinggi. Pada 2002, Adelia mulai naik kelas mengikuti pameran Inacraft, ajang peragaan kerajinan tingkat nasional di Jakarta Hilton Convention Center.

Agar pasar bordir taplak kasur alias sprei kian berkelas, Adelia kian menajamkan pasar. Segmentasi makin dipersempit. Kini dia menyasar kelas elit. Adelia bangga bukan kepalang ketika istri Wakli Presiden Jusuf Kalla ikut memesan sprei dengan bordiran hasil jerih payahnya.

***
***
Pameran Inacraft ternyata sangat membantu Adelia mengembangkan usahanya. Bisnis sulam-menyulam taplak kasurnya kian berkembang. Showroom-nya yang semula berada di kediamannya di Villa Graha Hijau I kawasan Kampung Utan, Ciputat, Tangerang, makin lama kian menyempit. Penuh dengan barang-barang.

Sedikit-sedikit, Adelia menambah peralatan bordiran. Satu dua dia beli perkakas bordir, seperti mesin jahit, mesin bordir, dan merekrut pegawai sekaligus. Rumahnya yang relatif kecil, jadi sesak. “Akhirnya showroom saya pindahkan ke rumah orang tua saya di Bintaro,” katanya. Kini, Adelia sudah memiliki lima orang karyawan untuk menggarap seluruh pesanan pelanggan.

Makin berkembang usaha, kebutuhan modal juga kian bertambah. Untuk mengembangkan bisnis, dana lebih besar haruslah ada. Apa boleh buat. Tabungan tak ada. Simpanan pun tiada. Adelia terpaksa meminjam dana ke sebuah bank sebesar Rp 40 juta. “Tapi bunganya sangat mencekik,” katanya.

“Cash flow saya untuk membayar pinjaman bank agak sulit dan itu sangat memberatkan. Sejak itu saya kapok untuk pinjam ke bank dengan sistem bunga yang menjerat,” papar Adelia.

Kian berat, lantaran Ahmad Zahedi, 40 tahun, juga tak berpenghasilan tetap. Profesinya sebagai agen properti, tak menjamin pemasukan bakal tetap setiap waktu. Anaknya juga kini sudah menjadi empat.

Untuk tidak kembali terjebak, Adelia kembali ke strategi tradisional. Dengan modal yang dipunya, Adelia mengandalkan perkenalan. Modal tak perlu banyak, tapi pesanan jalan terus. Setiap pesanan bordiran datang, Adelia tak perlu mengeluarkan modal awal. Cukup datang ke langganannya mengambil sprei pesanan pelanggan, bayar belakangan. “Kalau sudah kenal dengan yang punya toko bahan sprei, itu yang bisa dilakukan,” katanya.

Cara ini ternyata cukup efektif. Langganan bisa tetap terpenuhi pesanannya, modal pun tak perlu terlalu banyak. Usaha tetap jalan. Laris manis tanjung kimpul. Dagangan laris, duit kumpul. Begitulah.

Pengembangan usaha kian digencarkan. Bosan berpameran di dalam negeri, Adelia menjajal peragaan bordiran spreinya di negeri tetangga, Singapura. Gayung bersambut. “Ternyata pembeli di sana banyak juga,” kata Adelia. Kendala modal, lagi-lagi, yang membuatnya hanya baru sekali melakukan pameran di Singapura.

Adelia tengah mengumpulkan modal untuk berpameran di Belanda. “Di sana ada tempat pameran khusus yang menjual kerajinan-kerajinan Indonesia, saya ingin mencobanya,” kata Adelia.

Untuk sementara, Adelia masih roadshow berpameran di dalam negeri. Dari hasil itupun, pemasukannya sudah cukup lumayan. Omzet sekali pameran berkisar antara Rp 30 juta hingga Rp 50 juta. Dalam sebulan, bisa sekali dua Adelia mengikuti pameran kerajinan.

Tak percuma Adelia membuat bordiran berkelas. Dengan modal Rp 300.000 hingga Rp 400.000 untuk satu set taplak kasur beserta bordirannya, Adelia bisa menjualnya hingga dua kali lipat. Pelanggannya kini bukan hanya berasal dari kalangan biasa.

Hatinya sangat berbunga ketika seorang pejabat sangat elit di negeri ini ikut memesan hasil karyanya. Untuk yang satu ini, Adelia tak mau nama pelanggannya disebut.

Yang namanya usaha, hampir pasti selalu ada saja kerikil-kerikil yang menggangu. Adelia juga merasakan. Kendati kecil. Seorang pelanggan yang tak dikenal betul, memesan bordiran seprei senilai Rp 3 juta. Si pelanggan mengaku akan membawa barang-barang pesanan itu untuk promosi ke Kalimantan.

Kebetulan. Adelia sedang sepi order. Jadilah dia tergopoh-gopoh menyambut permintaan itu. Beberapa hari kemudian, si pemesan datang dengan membawa cek. Lantaran pas hari Jumat alias di akhir pekan, Adelia tak langsung mencairkan cek tersebut.

Tak ada curiga sedikitpun kala itu. “Waktu saya cairkan pada Senin berikutnya, ternyata ceknya kosong,” katanya. Apa boleh buat. Adelia pun terpaksa gigit jari.

Satu hal yang kini masih sebatas angan-angan bagi Adelia. Tapi Tak ingin usahanya masuk pusat perbelanjaan. Cita-citanya, selain bisa berpameran di Belanda, dia kini ingin menempatkan produknya di satu rumah besar yang berfungsi untuk memajangkan seluruh produk-produknya. “Nanti setiap pelanggan bisa melihat semia desain-desain saya di rumah tersebut,” katanya. “Itu rasanya saya sudah puas.” Danto (Selesai)

Harian Bisnis dan Investasi Kontan, 3-4 Oktober 2007

0 komentar:

Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger