Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Selasa, 30 Desember 2008

INTIFADA

0 komentar


Share

Jalur Gaza, 27 Desember 2008…

Ini cerita tentang satu masa, suatu bangsa
Ini kisah tentang serakah, ambisi kuasa
Ketika raga tumpah curah
Saat darah tercucur tercecer

Ini mitos tentang petaka
Ini sejarah tentang kota tua penuh amarah
Sewaktu jantung berdetak bergetar
Ketika telinga berdengung berngiang
…..
Ketika rasa bergumpal berderai
Saat tak berdosa terkapar terkulai
Dalam sekejap menghempas nyawa, lunglai
Ada 308 nyawa, Bung!!! Jangan lalai

Pada masa serakah menguasai segala
Sewaktu ambisi menelur luluh lantak
Ketika tanah bergoyang berguncang

Jalur Gaza bersimbah…
Kita diam, miris, jengah
Kepada siapa pedih peri ini bersembah…

Buka topengmu, Njing!!!
Hapus standar gandamu, Njing!!!
Lipat-lipat kuasamu, Njing!!!
Kau yang di meja bundar
Segera bergerak berpacu berpendar

Kalian yang di sini berserak
Mari berbareng bergerak
…..
Intifada..Intifada...Khaibar..Khaibar
Hapus dan acuh holocaust, itu barbar
Dia distorsi, terbakar..terbakar…Allahu Akbar..Allahu Akbar


http://www.facebook.com/profile.php?id=1023372280&ref=profile#/note.php?note_id=52966164611

Read More......

Jumat, 26 September 2008

Menampik Mimpi Menggapai Harapan

0 komentar


Share

Danto (http://bungapadangilalang.blogspot.com)

“Dalam dua tahun ini, ada 50 wartawan kami yang dibajak.” Seorang kawan lama, redaktur pelaksana sebuah penerbitan paling terkemuka di Jakarta, mengucapkan kalimat gawat ini, dalam sebuah obrolan ringan di sebuah acara buka bersama, di Hotel Ritz Carlton Jakarta, sore menjelang malam itu.

Angka 50 adalah bilangan keramat. Dengan 50 wartawan di level menengah ke atas, sudah bisa mendirikan dua buah perusahaan pers.

“Kesalahan kami, kami tak bisa menggaji wartawan sesuai harapan,” katanya. Lagi-lagi terdengar getir. Saya tak akan merasa ikut miris jika tak ada dalam kelompok orang yang disebutnya itu, orang yang ikut dia sesali itu, juga orang yang ikut menyebabkan dia mengatakan kalimat serius itu. Saya ikut tersindir, juga ikut merasa berdosa. Bagaimana mungkin sebuah kawan kini menjadi pesaing dekat, jadi seolah-olah musuh yang akan dicerca jika membobolkan sebuah berita penting di negeri ini?

Saya termasuk rombongan pertama yang meninggalkan dia, si kawan lama itu, awal tahun lalu, eksodus ke negeri sebelah, mengikuti eksodusnya gerombolan-gerombolan wartawan di tahun sebelumnya. Wartawan di penerbitan yang kata sebagian orang merupakan tempat para pencari warta kesohor di negeri ini. Penerbitan yang sudah ada sejak lebih dari 30 tahun silam.

Saya masuk dalam golongan orang yang menyerah pada modal? Hmmm….jawabannya: bisa ya, bisa tidak. Ya, karena saya masuk dalam eksodus ke negeri sebelah ikut mencari hal baru, juga kesejahteraan, hal yang tidak saya peroleh di tempat si kawan lama tadi, juga tempat lama saya. Di tempat baru, saya juga kerja secara profesional. Jawabannya tidak!! Itu karena di tempat baru pun saya berusaha untuk tetap pegang prinsip seperti di tempat lama.

“Kini, kami harus berjibaku kembali mencetak tenaga-tenaga yang hilang. Kami berusaha melawan harapan sekaligus mempertahankan harapan, menolak mimpi sekaligus memperpanjang mimpi,” tuturnya, tetap dengan nada suara rada gemetar.

Ternyata, dengan membuat jarak dengan si kawan, saya menjadi makin bisa melihat dengan jernih. Sebagian kawan saya menolak sebuah mimpi, untuk melanjutkan mimpi-mimpi mereka. Sementara saya di sini merajut mimpi baru, bersama harapan baru. Maaf, bukan turut mencatut kalimat kampanye seorang narsis di televisi-televisi itu.

Seorang pemimpin redaksi sebuah stasiun televisi yang baru melejit setahun terakhir, malam itu ikut nimbrung dalam obrolan saya. “Ini memang mekanisme pasar, kami memang menciptakan sebuah media baru, tak akan mungkin mengambil level menengah ke atas dari yang sama sekali baru,” katanya, seraya minta maaf pada si kawan lama tadi. Sepertinya dia turut merasa berdosa juga, kiranya.

Di stasiun televisi yang dia garap, ada sekitar enam orang bajakan dari tempat si kawan lama, juga tempat lama saya. “Sekali lagi ini mekanisme pasar, untuk mencapai tujuan menciptakan sebuah media baru, maka level menengah terpaksa kami ambil di pasar, dan yang paling mungkin dan memenuhi syarat adalah tempat Anda,” tambah sang pemimpin redaksi tadi, menunjukan pada si kawan lama. Ada nada keterpaksaan, juga ada nada ketegasan. Si kawan terdiam.

Di ujung halusinasi, seorang tetua tempat bekerja lama membisikkan ke telinga saya: “Jangan sampai media yang kita bangun hilang ditelan sejarah.” Kalimatnya lebih mengarah ke krisis. Gawat.

Jakarta, 23 September 2008
Pukul 22.20 WIB

Read More......

Wartawan

0 komentar


Share

Danto (http://bungapadangilalang.blogspot.com)

Dahwa. Dia terbilang teman karib saya dari SMP hingga SMU, daerah yang terbentang di tengah-tengah kaki Gunung Ciremai dan Gunung Slamet. Usia kami tak terpaut jauh. Kalaupun ada perbedaan, dulu semasa SMU, dia bertubuh agak gempal, otot agak berisi, dan sorot mata rada tajam. Semasa SMU, hampir 15 tahun lalu, tubuh saya kecil, tak berotot, dan mata agak cekung: sayu. Tak seperti sekarang.

Sudah lebih dari satu dasa warsa kami tak bertemu. Hanya sedikit kabar setahun lalu, dia sudah menikah dengan teman satu SMP, teman saya juga. Katanya dia telah punya anak laki-laki, sekira umur dua tahunan. Tubuh bayinya rada bongsor, bermata bulat, dan berhidung bangir, katanya.

Meski satu sekolah, kami beda kampung, tepatnya bertetangga kampung. Desa dia tepat di tubir Cisanggarung, sungai yang membentang panjang membelah tanah Pasundan dan bekas kekuasan Majapahit, dari selatan Jawa menuju pantai utara Jawa atawa pantura. Ayahnya adalah tenaga pengairan di Cisanggarung. Maka, dia pun kerap mengikuti jejak sang bapak, tiap hari melaju di dua provinsi: Jawa Barat dan Jawa Tengah. He..he..he.. Betul. Itu karena untuk ke Jawa Barat hanya butuh sepelemparan batu sahaja. Alias…dia hidup di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Saya mungkin tak akan ingat lagi bagaimana aktivitas dia selepas SMU dulu, jika saja tak ada kabar dadakan tadi pagi. Kebetulan, karena tekad saya yang –maap—rada ndableg, saya bisa lulus Sarjana. Padahal, secara ekonomi kelihatannya dia lebih mapan ketimbang saya. Saya, saat SMU dulu, terpaksa nyambi harus jadi kuli di sawah tetangga untuk sekadar dapat uang jajan, syukur-sykur bisa nambah buat bayar SPP.

Dia? Dia tak melanjutkan kuliah, dan katanya hanya berkarir mengikuti jejak sang bapak menjadi tenaga pengairan di Cisanggarung. Kemudian beristri dan beranak pinak di desanya.
Subuh pagi tadi, ingatan saya kembali menerobos bersamanya. Selepas sholat Subuh, telepon saya menjerit-jerit. Duh, pengeng-nya pagi-pagi buta suara dering telepon berkoar-koar. Biasanya, selepas Subuh itu saya bergelung sarung lagi. Tapi tidak, pagi tadi itu. Jeritan telepon itu mengusir rasa kantuk.

Hampir saja tak saya angkat telepon kutu kupret itu. Nomor telepon pemanggil tak dikenal. Gengsi saya sepertinya makin ke sini kian meninggi saja. Malas nian menjawab telepon dari orang yang tidak dikenal. Mungkin sudah mulai merasa jadi orang rada penting. Dasar!! Rada ngedumel, saya angkat juga menjawab panggilan telepon.

“Halo,” kata saya.

“Hai, kawan, ini Dahwa, masih ingat?” kata suara di seberang telepon.

“Oh…ya, ya,..apa kabar,” sapa saya.

“Baik..baik..makin sukses wae saya denger, kumaha kerjaan? Hebat sekarang mah udah jadi wartawan euy…”

Ach, rasanya tak perlu saya bertele-tele membeberkan basa-basinya tanya kabar dengan logat Sunda pinggiran yang sesekali terceletuk itu. Rasanya juga tak bernafsu mengulas saling sapa yang rada kurang berbobot itu. Masih pagi pula. Rada terkantuk-kantuk pula. Mata ini masih rada lengket. Yang saya perlu kasih tahu, dia bilang tahu nomor hape saya dari seorang teman satu SMU yang beberapa waktu berjumpa. Maka, sebaiknya kusarikan saja apa-apa yang dia ceritakan. Tentu saja, dengan sedikit variasi dan versi bahasa saya.

****

Sudah enam bulan ini saya menjadi pemimpin proyek di tubir desa Cisanggarung. He..he..he..Jangan kau ledek. Proyek orang kota dengan wong ndeso sangat jauh beda, tentu saja. Pak Kepala Desa menunjuk saya sebagai ketua pembangunan balai desa. Ini bagian dari proyek bantuan pemerintah. Nilainya cukup besar untuk ukuran kampung bau lisung seperti desa saya: Rp 250 juta.

Bagi lulusan SMU yang tak punya pekerjaan tetap, kecuali menjadi tenaga pengarian Cisanggarung, seperti saya, proyek ini sangat membantu ekonomi keluarga. Lumayan. Proyek ini juga bisa menjadi semacam proyek padat karya bagi kawan sedesa saya. Kata Pak Kades, biar orang-orang getol membangun desanya sendiri. Tinimbang merantau ke Jakarta, berdagang asongan, kerja kuli di proyek-proyek gedung pencakar langit di ibu kota. “Lebih baik bekerja memajukan kampung halaman sendiri,” kata Pak Kades, menjelang pembangunan balai desa enam bulan lalu itu.

Maka, kini pembangunan balai desa sudah separuh jalan. Sudah berdiri pondasi dan tiang-tiang. Rencananya, balai desa akan berdiri dengan dua lantai. Mewah, tentu saja untuk ukuran desa. Targetnya selesai akhir 2009.

Tapi, sudah seminggu ini pembangunan balai desa tersendat. Tahukah kau apa penyebabnya? Warga desa kami sekarang sedang resah. Sebab, ada beberapa artikel di media Koran lokal di daerah kami yang menulis: pembangunan balai desa kami kekurangan dana. “Duit yang seharusnya berlebih itu tiba-tiba raib,” tulisan sebuah Koran diantaranya. “Proyek ini sarat korupsi,” timpal sebuah tulisan lagi.

Saya baru tahu media tersebut. Sebulan lalu, seorang yang megaku wartawan dari salah satu media tersebut, mengantarkan beberapa tulisan itu ke balai desa. Saya baca isi beritanya. Saya tilik-teliti satu per satu halaman koran berkertas buram itu. Saya ambil salah satunya.

Namanya saja asing: Harian Kebangsaan. Tebalnya 20 halaman. Tulisan cetaknya buram, ada beberapa bagian tulisan yang berbayang. Tak jelas. Isinya dibagi per lima halaman. Dari halaman satu sampai lima berita nasional, halaman enam sampai 10 berita daerah dan lokal, termasuk even-even di kampung-kampung, halaman 11 sampai 15 berita gado-gado, mulai dari berita luar negeri, berita olahraga, dan lima halaman terakhir berisi guyonan dan infotainment.

Berita tentang proyek desa saya itu terletak di halaman 9. Isinya, ya, itu tadi. Membuat sesak dada ini. Ini fitnah. Tapi rasanya diri ini jadi tak berdaya.

Maka, gegerlah seisi desa. Inilah pangkal soal itu. Saya dan orang-orang kampung kaget bukan kepalang. Dari mana si wartawan media tersebut tahu bahwa proyek ini mangkrak. Proyek ini tak jalan, atau proyek ini kekurangan dana, atawa terjadi kebocoran dana hingga ada dugaan korupsi?

Sudah seminggu ini proyek memang tak jalan. Tapi bukan karena kekurangan dana. Tapi karena terpicu tulisan itu. Warga desa kami tiarap. Menunggu ada tulisan yang membuat syok apalagi yang bakal muncul. Semua warga harap-harap cemas. Warga tak mengerti, dari mana wartawan media itu mendapat sumber berita seperti itu. Kami, warga desa di tubir Cisanggarung, setidaknya saya sebagai ketua proyek, tak pernah merasa ada satu wartawanpun yang mewawancarai. Tapi tiba-tiba muncul tulisan yang benar-benar meresahkan itu.

Kami tak berani melawan, karena memang tak tahu hukum sama sekali. Tak ada ahli hukum di desa kami. Yang kami tahu, semua orang di desa dan daerah lain jadi tahu bahwa proyek balai desa di tempat kami rawan korupsi. Dan itu seperti menuding ke saya, sebagai kepala proyek.

Saya juga kini lebih banyak diam di rumah, seperti sudah divonis bahwa saya ini adalah seorang korup, yang memakan uang bantuan pemerintah untuk kepentingan pribadi. Padahal, untuk urusan duit seperti ini, saya masih memegang apa yang dikatakan guru ngaji saya: Tidak akan mashlahat mengambil uang yang bukan haknya. Setidaknya itu yang masih saya pegang. Tapi, apa kini semua? Diri ini seperti sudah tak berharga lagi.

Semua warga tiarap. Semua mata seperti tertuju ke saya, sekali lagi, seperti menghujamkan tudingan bahwa saya adalah seorang korup. Dan, tiga hari lalu, Pak Kades memanggil saya, juga beberapa aparat desa. Katanya ada segerombolan wartawan yang hendak wawancara dengan saya dan Pak Kepala Desa soal proyek itu. Nyali saya sebetulnya rada ciut. Entahlah, saya tak punya salah apa-apa, tapi kenapa jadi gemetar begini rupa. Inilah barangkali karakter ndeso, biasa manut, biasa saur manuk terserah pimpinan.

Saya dan beberapa aparat desa kemudian menemui tamu-tamu tak diundang itu. Inikah wajah-wajah para wartawan itu? Ada enam orang. Tiga diantaranya berambut gondrong, perut tambun, badan gempal. Dua yang lain bercaping warna merah bertuliskan Persatuan Wartawan Reformasi. Saya gelap urusan jurnalistik dan pers. Siapa mereka, juga saya tak paham. Yang saya pasti akan ingat terus, keenam-enamnya memakai rompi warna coklat. Bercelana jeans yang rada belel di bagian lututnya. Mungkin pakaian seragam mereka, pikir saya.

Mereka mengaku mau wawancara mau follow up berita sebelumnya. Berita yang menyesakkan itu, berita yang menyudutkan saya itu. Katanya, bisa tidak ditulis seperti itu lagi, asal kami bayar mereka masing-masing Rp 500.000. Semprul!! Uang segitu bagi warga desa seperti kami, terbilang besar. Itu sama saja dengan memberi masing-masing dua kwintal padi. Berat!!

Tak ada banyak basa-basi, memang. Hati ini ngedumel, terus-terusan. Jadilah pertemuan tiga hari lalu itu rada tegang. Pak Kades, saya, dan beberapa pejabat desa, menolak memberi uang sebesar itu. Mereka juga ngotot, kalau tak diberi uang akan membuat berita lebih heboh. Beberapa warga kemudian datang ke balai desa. Penduduk yang mayoritas petani, hari itu seperti libur ke ladang atau sawah.

Ternyata kabar ada sekelompok wartawan ke balai desa tersebar cepat. Semua warga desa –total warga di desa kami sekira 3.000 orang--, sepertinya sudah mendengar kabar ini. Maka, sore itu balai desa penuh sesak oleh warga desa. Semua penasaran. Makin sore, pertemuan kian panas. Dari pojok balai desa yang belum jadi itu, seorang warga berteriak, “Usir saja, biarin kita berurusan dengan hukum saja,” teriaknya. Warga lain mulai terusik. Maka, agar tak terjadi keributan, Pak Kades menyarankan segermobolan wartawan itu untuk segera pergi.

Mereka akhirnya mengalah. Pergi. Tapi tetap dengan satu ancaman: Kami akan tulis lebih dahsyat dari yang sudah ditulis,” kata seorang diantara mereka. Pak Kades, mewakili kami, mendapat dukungan warga, sore tiga hari lalu itu, mendadak bangkit semangat. “Silakan, kami tak takut,” katanya, rada menggertak balik. Mereka ngacir.

****

Hampir dua jam Dahwa ngoceh di ujung telepon. Hape saya sampai panas dibuatnya. Baterenya juga hampir habis. Dari telepon jam 04.30 WIB usai Subuh itu, cerocosannya baru kelar sekitar jam 06.20 WIB. Karena kini jaman tarif murah, maka saya tahu pulsa telepon yang tersedot untuk pembicaraan Dahwa pastilah tak seberapa. Apalagi, saat ini operator-operator telepon sedang gencar perang tarif murah. Maka, telepon pada waktu jam segitu biaya telepon hingga dua jam paling tak nyampe Rp 1.000. Murah.

Begitulah. Di ujung teleponnya, Dahwa kemudian bertutur: “Kawan, apakah memang profesi wartawan seperti itu? Membuat resah masyarakat kecil seperti kami? Padahal, ketika kita sama-sama SMU, yang saya tahu wartawan adalah profesi hebat, mau mempertaruhkan nyawa di tengah medan perang, menjadi pahlawan dan penyambung informasi untuk wong cilik seperti kami,” paparnya, rada getir.

Jujur, saya juga bingung menjawab pertanyaan Dahwa. Wartawan. Saya juga seorang wartawan.
“Kalau memang tabiat wartawan seperti itu, saya malu punya kawan lama seperti ente,” pungkasnya, seraya minta maaf. Saya terpaku!!

Jakarta, 26 September 2008
14.14 WIB

Read More......

Jumat, 11 Juli 2008

Pemasaran iPhone Generasi Terbaru

0 komentar


Share

Operator Indonesia Seru Berebut Lisensi iPhone

Danto

JAKARTA. Diam-diam ada perang bisnis seru di antara para operator seluler di Indonesia. Mereka tengah mengincar hak untuk menjadi mitra Apple Inc. berjualan iPhone generasi kedua di Indonesia.

Jika tak ada aral melintang, hari ini (11/7) Apple Inc. akan merilis iPhone generasi kedua secara serentak di seluruh dunia. Namun, Apple Inc. rupanya tidak menilai Indonesia sebagai pasar penting, sehingga tak masuk ke rombongan pertama ini.

Ini adalah generasi terbaru dari iPhone generasi pertama yang diluncurkan Juni 2007 lalu. Fitur-fiturnya lebih canggih dibanding sang kakak. Sebagai perbandingan, iPhone generasi pertama memiliki fungsi kamera, multimedia player, SMS, visual voicemail, interface dengan pengguna layar multi-touch, dan kamera dengan resolusi 2 megapixel. Di generasi terbaru, nuansa teknologi akan lebih yahud, terutama karena memakai teknologi 3G.

IPhone generasi kedua juga unggul harga. Rencananya, Apple akan membanderol harga versi terbaru itu sebesar US$ 199 atau sekitar Rp 1,8 juta saja per unit. Harga itu separuh harga generasi pertama sebesar US$ 399 atau Rp 3,6 juta.

Dengan harga miring, bisa jadi penjualan iPhone seri kedua itu meledak. Sebagai catatan, hingga Mei lalu, Apple Inc. berhasil menjual 6 juta iPhone. Derasnya arus penjualan ini yang agaknya membuat Chief Executive Officer Apple Steve Jobs berniat menjadikan iPhone sebagai lini bisnis utama yang ketiga, bersama komputer Macintosh and iPod.

Cuma, konsumen bisa mendapat harga murah karena Apple menggaet 17 operator seluler di berbagai negara. Mereka menggandeng American Movil di Meksiko, Argentina, Brazil, Kolombia, dan Chili. Lantas, Apple menggandeng Bharti Airtel di India, Globe Telecom di Filipina, Hutchinson Telecommunications di Hong Kong dan Makau, O2 di Inggris dan Irlandia, Optus di Australia, serta Singapore Telecommunications (Singtel) di Singapura.

Operator seluler ini memberi subsidi sehingga harga iPhone murah. Dan itu tidak gratis. Sebab, operator akan mengikat pelanggan lewat fasilitas autodebet kartu kredit untuk pembayaran tetap, misalnya selama dua tahun.

Nah, sampai sekarang belum juga putus siapa operator seluler di Indonesia yang akan menjual paket iPhone. "Kami sangat tertarik untuk menggarapnya, karena peluangnya sangat besar," kata Adita Irawati, Division Head Public Relations Indosat, kemarin.

PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom), induk usaha PT Telkomsel, juga menyatakan hal serupa. "Kami siap menjajaki, meski tetap menghitung juga cost benefit-nya," kata Eddy Kurnia, juru bicara Telkom.

Bisa dimaklumi jika Indosat dan Telkom ngebet ingin memegang lisensi penjualan iPhone generasi kedua. Pasar telekomunikasi Indonesia memang gemuk. Sebagai catatan, pasar telekomunikasi Indonesia kini capai 120,6 juta pelanggan. Dari jumlah itu, layanan telepon seluler bergerak alias Global System for Mobile Communications (GSM) menguasai 79,8%. Layanan telepon tetap nirkabel alias Code Division Multiple Access (CDMA) berada di posisi kedua dengan penetrasi 13%, dan telepon kabel tetap alias Public Switched Telephone Network (PSTN) sebesar 7,2%.

Cuma, agaknya memang rada susah menebak penawaran Apple soal lisensi penjualan iPhone. "Kami pernah coba menjajakinya bersama grup kami, tapi belum cocok," kata Direktur Utama PT Excelcomindo Pratama Tbk (XL) Hasnul Suhaimi.

Siapa yang paling berpeluang? Hasnul punya pendapat. "Biasanya, operator yang telah memegang lisensi, akan menggandeng grupnya," katanya.

Apakah itu berarti Telkomsel yang akan memasarkan iPhone di Indonesia? Sebab, Singtel, mitra Apple memasarkan iPhone di Singapura, adalah pemilik 35% Telkomsel. "Kami ikut saja apa kata pemegang saham," kata Aziz Fuedi, juru bicara Telkomsel kepada KONTAN.
Sementara Singtel belum mau berkomentar. "Kami belum bisa menjawab saat ini," kata juru bicara Singtel Michele Sue-Ann Batchelor.

Dipublikasin di Harian Kontan, edisi Jumat (11/7/08)

Read More......

Minggu, 06 Juli 2008

Militer, Seniman, Pabrik Kata, dan Pasar

1 komentar


Share

Survival of The Fittest. Begitulah akhir dari sistem pasar. Siapa kuat, dia menang. Yang tak berdaya, maaf, lebih baik menyingkir. Mencari kehidupan di luar sono. Kami tak bisa menampungmu. Pasar menghendaki itu.

Demikianlah sistem pasar bekerja. Melahap segala-gala. Termasuk kemanusiaan. Juga kehidupannya. Sistem pasar yang membuat kompetisi sangat ketat. Di mana sistem ini bekerja? Di mana pun, kini, selama masih ada manusia. Di gedung pencakar langit nun jauh di Amerika sana, atau di tubir jurang di ujung kaki gunung sini.

Semua terpaut. Semua bertalian. Dunia sudah menjadi satu. Tak ada lagi batas-batas. Geografis kini sudah jadi bayangan semu. Semua saling terkait. Nasionalisme? Builshit!! Semua bermuara pada sistem pasar itu: Kapitalisme.

Sistem ini pula yang kini bersimaharajalela dan menjarah semua bidang pekerjaan. Termasuk media: bidang jurnalistik dan dunia wartawan. Idealismenya, jurnalistik adalah menyampaikan fakta dan peristiwa apa adanya. Sesuai kenyataan. Itu idealnya.

Cuma, sungguh bejibun nian perusahaan di industri media kini. Simak saja perusahaan media yang ada sekarang. Di Indonesia saja, hingga medio 2008 ini, jumlah media cetak mencapai 889 buah. Jumlah stasiun televisi mencapai 120 buah, dan stasiun radio ada 2.000 buah.

Agar bisa menguasai pasar, sebuah perusahaan media harus mengikuti keinginan pasar, maaf, maksudnya pembaca. Sebuah perusahaan media harus berlomba menyajikan berita dan peristiwa yang bisa membuat terperangah pasarnya. “Harus ada magnitude”. Begitulah kata kunci sebuah media bisa eksis di tengah persaingan yang ketat ini. Harus ada perubahan yang terjadi dengan sebuah pernyataan dari media. Demikianlah tujuan utamanya. Semakin besar magnitude yang terjadi, maka ketertarikan pasar juga membesar.

Caranya: kemasan di bentuk seapik dan semodis mungkin. Semua harus ekstra kerja keras. Jangan sampai sedikit pun ada cacat. Keseleo sedikit, siap-siap saja menerima hak jawab. Terlalu sering membuat kesalahan, maka siap-siap saja ditinggalkan pasar.

Bisnis media adalah bisnis kepercayaan. Sekali pembaca (baca: pasar) merasa dibohongi, maka selamanya media tersebut tak akan mendapat tempat. Atau sekali saja media itu bisa digunakan untuk kepentingan pihak tertentu, siap-siap saja kepentingan lain masuk. Pasar pun akan skeptis. Tak percaya lagi. Perusahaan media diambang kebangkrutan.

Agar kebangkrutan tak terjadi, diciptakanlah sistem kerja dan profesionalitas. Semua awak media harus profesional. Ikut sistem yang ada. Fokus pada bidang kerjanya. Sekali wartawan menerima titipan pihak luar, maka stigma itu akan melekat selamanya.

Supaya tujuan perusahaan media tercapai, maka semua lini dikerahkan. Mulai dari perekrutan calon wartawan, hingga penataan mekanisme kerja. Seseorang yang akan menapaki dunia jurnalistik, harus mengalami masa perkenalan. Dibuatlah jenjang bertingkat.

Maka tersebutlah ada calon reporter. Posisi ini biasanya banyak diisi oleh para lulusan sarjana yang fresh graduate. Harapannya: mereka mudah dibentuk sesuai tujuan semula media diciptakan. Kata kasarnya, sekali lagi, mudah dibentuk untuk memenuhi keinginan pasar.

Sistem kerja ketat kemudian diterapkan. Semua tidak boleh melewati waktu cetak. Untuk sebuah harian yang tebrbit pagi, seluruh hasil karya harus selesai tepat jam 12 malam. Melewati jam itu, maka semua akan terbuang percuma. Sia-sia. Karena kini industri percetakan masih sangat terbatas, terlambat sedikit semuanya tak berguna. Percetakan akan menolak jika bahan cetakan tulisan tak datang sesuai jadwal.

Kalaupun terpaksa dicetak, harus menunggu giliran setelah jam 06.00 pagi. Itu artinya terlambat. Media lain sudah muncul duluan. Hasil kerja akan sangat percuma. Sebab, pasar akan menganggap hasil produk kita adalah produk gagal dan produk basi. Sekali lagi, ini akan menimbulkan ketidakpercayaan pasar. Pembaca yang sudah berlangganan, akan mengalihkan langganannya ke media lain. Perusahaan media tersebut, sekali lagi, diambang kebangkrutan.

Lagi-lagi, agar itu tak terjadi, mekanisme harus sangat ketat. Seleksi calon reporter tak boleh sembarangan. Semua harus sesuai kriteria. Ulet, pintar menulis, pandai melobi sumber, dan bisa menyesuaikan isi tulisan sesuai dengan yang sedang hangat di pasar. Lagi-lagi muaranya pasar.

Maka, terciptalah sistem hierarki agar koordinasi menjadi jelas. Ada calon reporter, reporter, redaktur halaman, redaktur bidang, redaktur pelaksana, redaktur eksekutif, wakil pemimpin redaksi, dan pemimpin redaksi.

Jenjang hierarki ini sangat mirip dengan jaring koordinasi militer. Ada prajurit di tingkat bawah, ada tamtama di level menengah, dan ada perwira di tingkat atas. Atau dari mulai kopral hingga jenderal.

Calon reporter akan diasah selama periode tertentu untuk bisa berstatus reporter. Biasanya dalam rentang waktu sembilan bulan hingga satu tahun. Status kerjanya kontrak. Mulailah si calon reporter memasuki sistem kerja jurnalistik.

Pagi-pagi, calon reporter atau reporter harus ke lapangan mencari berita, sesuai pos-pos liputan, yang biasanya dibagi berdasarkan bidang dan topik bahasan. Bertemu dengan nara sumber untuk wawancara dan mengumpulkan bahan. Dia akan berkoordinasi dengan redaktur soal apa yang mau ditulis. Kriterianya sudah jelas: yang sedang hangat dan diminati pasar. Persis seperti seorang kopral berkoordinasi pada sang komandan. Calon reporter harus mematuhi semua apa yang diminta redaktur. Biasanya, apa yang sudah diorder merupakan hasil keputusan rapat redaksi, dari mulai jenjang redaktur hingga pemimpin redaksi. Tapi, tak selamanya seorang calon reporter menunggu perintah dari redaktur. Dia harus pandai berinisiatif mengembangkan isu untuk menjadi sebuah berita. Inilah pentingnya menjalin lobi dengan sumber berita.

Pemimpin redaksi akan memberi arahan agar bahan dan tulisan sesuai dengan keinginan pembaca (pasar). Meski sesekali menyelipkan pesan moral, agar sesuatu yang dianggap buruk untuk kemashlahatan umat segera berubah menjadi lebih baik. Semakin pesan moral ini sempurna, maka citra perusahan akan makin baik. Lagi-lagi pasar akan kian percaya dan simpatik.

Pemimpin redaksi biasanya akan memegang erat asas kepercayaan pasar ini. Itulah sebabnya, kerap kali seorang pemimpin redaksi meminta seluruh awak untuk tetap menjaga kredibilitas perusahaan. Karena, sekali lagi, sekali kredibilitas ternodai, tempat di hati pembaca (baca: pasar) akan makin menciut.

Maka mulailah pemimpin redaksi menerapkan kebijakan ke bawahannya, mulai dari wakil pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, hingga redaktur. Dan yang terakhir ini yang meneruskan ke reporter. Dalam rantai kerja ini, acap kali terjadi rantai makan memakan. Maksudnya saling tekan menekan.

Demi menjaga kredibilitas dan kepercayaan pasar, seorang pemimpin redaksi akan menekan redaktur pelaksana agar tulisan dan bahannya sempurna. Jangan sedikitpun ada kesalahan.

Dalam sistem kerja media harian, dari tangan seorang pemimpin redaksi, seluruh tulisan harus selesai tepat jam 24.00 teng. Maka, maksimal bahan tulisan harus sudah di tangan sang pemimpin redaksi jauh sebelum jam tersebut. Kalau bisa jam 21.00 sebagian tulisan sudah lewat editing pemimpin redaksi.

Sebelum jam 21.00, redaktur pelaksana, yang membawahi beberapa bidang kompartemen, harus sudah menyelesaikan editing tulisan sebelum masuk ke tangan pemimpin redaksi itu. Maka, redaktur pelaksana akan meminta bawahannya, atau beberapa redaktur bidang, untuk menyelesaikan editing jauh sebelum jam 21.00. Biasanya rentang waktunya mulai pukul 19.00.

Redaktur bidang kemudian akan meminta seorang redaktur halaman yang ada di bawahnya untuk lebih cepat menyelesaikan pekerjaan. Di tangan redaktur bidang, tulisan harus sudah selesai jam 19.00. Selanjutnya, redaktur halaman tersebut juga akan meminta reporter atau calon reporter untuk lebih cepat membuat tulisan. Di sinilah posisi paling krusial terjadi. Soalnya, awal tulisan ada di tangan reporter dan calon reporter.

Redaktur akan meminta reporter memenuhi kriteria tulisan yang layak muat, minimal memenuhi unsur 5W+1H. Yakni What (apa), Who (Siapa), When (kapan), Where (dimana), dan Why (kenapa), plus How (bagaimana).

Jika keenam unsur tersebut terpenuhi, biasanya redaktur akan langsung mengedit. Namun jika tak terpenuhi, maka beragam cara karakter masing-masing akan keluar. Dari mulai membentak reporter, hingga cara halus seperti mentraktir makan kemudian mengajak bicara si reporter. Harapannya, reporter akan bekerja lebih baik lagi.

Sampai di sini, bisa tergambar bahwa kerja jurnalistik mirip kerja militer. Ada hierarki, ada perintah, ada kerjasama tim, juga ada disiplin.

Jika orientasinya adalah hasil dan produk, maka sistem kerja jurnalistik tak jauh beda dengan system kerja sebuah pabrik. Bedanya, jika pabrik memproduksi barang-barang konsumsi, jurnalistik memproduksi informasi. Informasi sampai dari pemberi ke penerima melalui perantara kata dan tulisan. Tak heran jika kerja jurnalistik adalah sebuah pabrik kata.


Sistem kerja jurnalistik, sekali lagi, sangat mirip dengan sistem kerja pabrik barang-barang konsumsi, seperti pabrik konveksi. Seperti pabrik konveksi, pakaian yang jahitannya sobek, akan langsung masuk kotak sembari dicap dan ditandai sebagai “cacat produksi”. Kelak, pakaian-pakaian tak berguna ini akan dilego ke factory outlet (FO) dengan harga miring. Bila perlu ke kakilima.

Demikian juga cara kerja jurnalistik. Calon reporter atau wartawan senior sekalipun, sekali membuat cacat maka akan masuk kotak. Sekali seorang wartawan “bermain”, maka selamanya cap tersebut akan menempel.

Tapi sekali mereka berprestasi, maka akan dikenang juga namanya di dunia pabrik kata ini. Semakin bagus hasil produksinya, maka akan semakin elok pula citranya. Maka karir pun akan kian cemerlang.

Semakin elok hasil polesan sebuah tulisan, akan makin dekat dia dengan gelar seorang seniman. Seorang seniman, yang dengan liukan tulisannya, akan makin membuat selera pasar terpincut. Maka, akan makin pula mendapat kepercayaan pasar.

Cuma, untuk sampai pada tahap ini, prosesnya sangat panjang. Seperti piramida, semakin ke pucuk, akan kian sedikit yang menghuninya. Karena prosesnya yang rumit. Dunia jurnalistik adalah perpaduan antara Militer, Seniman, Pabrik Kata, dan Pasar. Untuk jadi seniman di tengah pasar yang ganas, seorang jurnalis harus lulus melewati ujian dengan proses yang “menyeramkan”: menyelami didikan separuh militer di pabrik kata yang sangat disiplin. Survival of The Fittest.

Danto

6 Juli 2008

14.00 WIB

Read More......

Jumat, 06 Juni 2008

Yang ini Iseng-Iseng Saja

0 komentar


Share

Subprime Mortgage dan Kontradiksi Kapitalisme

Danto

Betapa hebatnya sebuah kekuatan modal, kini. Sistem modal alias kapitalisme ini yang sekarang menjerat kita. Siapa pun, dimana pun, dan kapan pun. Tengok saja, betapa krisis kredit perumahan kelas coro atawa subprime mortgage di Amerika Serikat sono, ikut menjerat petani cilik yang bahkan tak mengerti arti kata saham dan bursa.

Cuma, sejatinya pembahasan soal kapitalisme secara teoritis tetap saja hangat. Pertentangan sistem kapitalisme hingga kini masih jadi bahasan menarik. Terutama karena kita berhubungan langsung dengan sistem modal itu. Tesis Francis Fukuyama soal berakhirnya sejarah manusia (The End of Hostory) masih jadi bahan referensi kajian kapitalisme sampai sekarang. Tak bisa dinafikan, inilah mainstream pemikiran jaman kiwari.

Pasca runtuhnya Uni Soviet, hampir semua pemimpin besar negara-negara di dunia berkiblat pada sistem kapitalisme ini. Semua.

Efek domino krisis kredit kepemilikan rumah (KPR) kelas coro atawa biasa disebut subprime mortgage di Amerika Serikat (AS) pertengahan tahun lalu, kian kentara kini. Peristiwa ini kian menjelaskan dengan gamblang, betapa kekuatan modal menjebak siapa saja. Kapan pun. Dimana pun.

Gonjang-ganjing jagat investasi dunia makin terasa akibat kredit macet kelas kambing itu. Harga obligasi anjlok, harga saham di lantai bursa pada ngesot. Satu per satu korban berjatuhan. Mulai dari perusahaan pembiayaan, hedge fund, hingga bank.

Di Amerika Serikat sendiri, krisis kredit kelas coro itu juga tak pelak menimpa bank-bank beraset terbesar di sana, yakni Citigroup Inc. dan Merrill Lynch & Co. Aset Citigroup, misalnya, diperkirakan menyusut hingga US$ 16 miliar pada kuartal keempat 2007. Harga saham Citigroup juga longsor hingga US$ 1,43 per saham pada kuartal keempat 2007.

Sejak krisis subprime merebak Agustus 2007 lalu, sejumlah institusi keuangan telah mengumumkan penyusutan dan kerugian yang nilainya sekitar US$ 100 miliar. Itu belum menghitung kerugian total dari seluruh lembaga keuangan.

Bandingkan dengan perhitungan International Monetary Fund (IMF). Menurut IMF, hingga akhir April 2008 lalu, kerugian akibat krisis perumahan kelas kambing tersebut, yang menimpa sejumlah institusi keuangan global, sungguh dahsyat: mencapai US$ 948 miliar. Atau Rp 8.816,400 triliun. Atau hampir sembilan kali lipat total belanja dalam APBN 2008 Indonesia. Hanya dalam setengah tahun, dana super jumbo itu menguap. Wuzzz!!! Wuzzz!!! Wuzzz!!!

Tak hanya perusahaan AS, virus subprime mortgage juga menyebar ke Australia dan Eropa. Beberapa korbannya, sudah jatuh. Sebut saja bank terbesar di Australia, Macquarie Bank, dan sebuah bank terbesar di Prancis, BNP Paribas.

Krisis global sudah membayang. AS diambang resesi. Juga dunia. Mulai dari Inggris, Spanyol, dan Singapura, yang menyumbang 12% bagi ekonomi dunia. Bahkan, China akan ikut menderita karena bergantung pada ekspor ke Amerika Serikat. Ujungnya, pertumbuhan ekonomi dunia melambat hingga mendekati 3%, dari 4,7% di tahun 2007 lalu.

Resesi dunia di depan mata. Jepang malah sudah terang-terangan mengalaminya kini. Laporan riset Goldman Sachs Group Inc. yang dirilis akhir Januari 2008 ini menyebut, resesi sudah mulai terasa di Negeri Matahari Terbit itu.

Dalam lima bulan sejak Juni 2007, angka pembangunan rumah baru di Jepang terus melorot. Bloomberg mencatat, pertumbuhan ekspor Jepang dalam tiga bulan hingga akhir Desember 2007, merupakan pertumbuhan terendah sejak 2005. Jelas, menurut Goldman, perlambatan ekonomi Jepang ini merupakan terburuk dalam 40 tahun terakhir.

Kondisi ini akan memaksa bank sentral Jepang menurunkan bunga patokannya yang kini tinggal 0,5% saja. Sebagai catatan, Jepang pernah mengalami resesi ekonomi tiga kali. Resesi pertama berlangsung 32 bulan, yaitu Maret 1991 hingga Oktober 1993. Resesi kedua terjadi 20 bulan, yaitu sejak Maret 1991 hingga Oktober 1993. Adapun resesi ketiga berlangsung 14 bulan sejak Desember 2000.

Ujungnya, ya, itu tadi, pertumbuhan ekonomi dunia melambat hingga mendekati 3%, dari 4,7% di tahun 2007 lalu. "Pada suatu titik, beberapa bentuk resesi ekonomi tak bisa dihindari lagi," kata Alan Greenspan, Mantan bos The Federal Reserve dalam sebuah pidato.

Para ekonom di International Monetary Fund (IMF) membuat patokan bahwa ekonomi dunia akan memasuki masa resesi jika pertumbuhannya melambat hingga tinggal 3% atau kurang. Nah sejak 1985, ada tiga periode yang memenuhi kriteria itu, yakni: 1990-1993, 1998, dan 2001-2002. "Masalahnya, pertumbuhan ekonomi di semester I 2008 akan mencapai titik terendah sejak 2002, atau bahkan 2001," imbuh Jim O' Neill, Chief Economist Goldman Sachs Group di London.

"Pertumbuhan ekonomi dunia akan mencapai titik terendah sejak 2002," tandas O'Neill. Cilaka!!

Sayang, untuk mereka yang anti kapitalisme, subprime mortgage masih jauh dari kejatuhan kapitalisme. Peristiwa kredit macet itu hanyalah riak kecil dari koreksi kapitalisme. Yang sedikit realistis bisa jadi akan mengangguk dengan pendapat dan prediksi dari Friedrich August von Hayek, tokoh neo liberal asal Vienna, Austria, itu.

Hayek menyatakan, kapitalisme akan terus maju bergerak. Di antara pergerakan itu, kapitalisme selalu mengoreksi dirinya sendiri. Secara terus menerus. Dan krisis subprime mortgage itu, kini salah satu cirinya.

Krisis kredit macet perumahan kelas kambing itu, masih belum masuk dalam kategori kontradiksi-kontradiksi dalam tubuh kapitalisme sendiri. Dan dengan pertentangan itu, kapitalisme belum akan menghancurkan dirinya sendiri, seperti ramalan Karl Marx, tokoh sosialis dan komunis itu. Jadi, bagi yang masih anti kapitalisme, barangkali harus memikirkan cara baru untuk mengganti sistem yang membuat dunia jadi timpang ini: kapitalisme.

Kapitalisme agaknya belum akan mati. Bisa jadi, kapitalisme adalah ranah terakhir sejarah manusia. “The End of History”, kata Francis Fukuyama.

Yang perlu diwaspadai di depan mata sekarang adalah, resesi dan riak dari sistem kapitalisme itu sendiri. Sekali lagi, "Pertumbuhan ekonomi dunia akan mencapai titik terendah sejak 2002," ujar Jim O'Neill. Waspadalah!! Waspadalah!!

Jakarta, 6 Juni 2008

Pukul 15.00 WIB

Silakan klik http://bungapadangilalang.blogspot.com

Read More......

Rabu, 04 Juni 2008

Tuhan dan Hermeneutik

0 komentar


Share

Tuhan dan Hermeneutik

Tuhan, lagi-lagi, dibungkam. Kemudian diteriakkan. Dari Lapangan Monumen Nasional (Monas), berlanjut ke Petamburan. Monas sudah berdiri sejak 1961. Tak mengganggu. Tapi Minggu, 1 Juni 2008, dia menjadi panas. Seperti hendak melelehkan emas pucuknya. Hawa menyengat oleh mereka yang yakin telah terpanggil oleh iman.

Saling hujat. Saling hantam. Yang Islam menghantam Islam lainnya. Juga umat lain. Siapa salah, siapa benar. Sudah jadi abu-abu.

Dalam sengatan, Tuhan diumbar. Dengan nama berbeda-beda, dalam parade dan gerudukan kebencian itu. Yang mereka anggap sebagai kebenaran.

Kasih sejatinya tulus. Tanpa prasangka. Tanpa nafsu. Juga tanpa kedengkian. Ia yang Maha Kasih dan Maha Sayang, Yang Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Tak langsung memvonis semua jadi hitam dan putih.

Cinta, bukanlah kekerasan. Cinta, bukanlah aturan. Cinta juga bukan laskar panglima yang siap menggeruduk dan membabi buta siapa saja. Kapan saja. Dimana saja. Cinta, seperti kasih, tak menghamburkan amarah.

Memang menakjubkan. Tuhan datang dari hati, kemudian mewujud menjadi beragam bentuk. Dengan aneka macam interpretasi. Juga sebagai pemberi legitimasi bagi kebencian dan pengrusakan.

Adakah cara tunggal untuk menafsirkan Dia? Yang Tunggal dan Yang Esa itu? Wallahu’alam bissawab. Dengan hanya bermain di altar, maka akan sungguh-sungguh banyak pohon-pohon tafsir. Dengan tanpa telanjang diri, akan sangat bejibun cabang dan ranting pengertian.

Di altar, semuanya sungguh abstrak. Sebabnya, “Sang Penafsir Tunggal” sudah tiada. Tak akan ada lagi nabi dan rasul terakhir. Padahal zaman bergerak. Banyak hal baru, juga berkembang pasca kepergian “Sang Penafsir Tunggal”.

Maka, tak selamanya yang ada kini bisa dijelaskan dengan konsep, model, kata, serta contoh yang sudah terjadi. Pemikiran dan teori lama usang sudah. Paradigma lama sudahlah renta. Ditinggalkan. Konsensus lama sudah tak lagi cocok. Maka, tafsir dan interpretasi baru adalah sebuah keniscayaan.

Sudah sepantasnya, para pemikir Sang Fana yang masuk dalam golongan kaum “pascastrukturalis” muncul dengan ide revolusioner: “Dekonstruksi teks”. Lahirlah apa yang disebut sebagai tafsir sejarah: hermeneutik.

Hermeneutik: ilmu yang berhubungan dengan penjelasan kebagaimanaan dan keharmonian pamahaman manusia. Bisa bertali temali dengan batas pemahaman terhadap teks tertulis, atau secara mutlak aktivitas-aktivitas kehendak dan pilihan manusia, atau mutlak realitas-realitas eksistensi.

Hermeneutik berakar pada kata Yunani "hermeneuein”. Maknanya: menakwilkan (menafsirkan). Dalam bentuk nomina "hermeneid" bermaka takwil (tafsir).

Hermeneutik jadi mengusik dengan gerudukan tanpa cinta itu. Tahukah Kau: Agar paham peristiwa yang ada dalam sebuah teks kitab suci, semua harus direkonstruksi. Sejak peristiwa besar yang melatarbelakangi turunnya teks, atau peristiwa historis, penggunaan dan pilihan kata-kata teks kitab suci, dan kondisi sosial budaya masyarakat pada zamannya.

Dalam Al-Quran, tersebutlah dengan sebutan tafsir kitab suci. Yang salah satunya adalah mengupas tuntas persoalan sebab dan musabab alias asbabun nuzzul turunnya ayat.

Tafsir ulama pada zaman pertengahan, akan sangat berbeda dengan tafsir ulama modern. Sebabnya, penafsir ulama pertengahan masih terkungkung dengan zamannya. Kata lainnya: dia hanya bisa menarik benang merah dari peristiwa turunnya ayat hingga pada masa dia hidup. Mentok.

Sementara penafsir modern, akan melihat runutan peristiwa dengan rentang waktu lebih panjang. Jadi, rekonstruksi akan lebih kumplit.

Untuk satu ayat saja, seorang penafsir, akan berbeda penafsiran dengan yang lainnya. Sebabnya, hasil penafsiran sangat tergantung dengan kondisi jaman si penafsir. Juga faktor budaya, asal daerah si penafsir, latar belakang pendidikan si penafsir, paradigma yang dipakai, termasuk kepentingan apa yang akan dicapai si penafsir. Selalu ada kepentingan dan hasrat yang menyelip untuk menggolkan cita-cita dan tujuannya. Lewat tafsirannya itu.

Tahukah Kau: Seluruh manusia, hasrat antopogenik –hasrat yang memunculkan kesadaran diri, hakikat manusia— pada akhirnya merupakan suatu fungsi dan hasrat untuk memperoleh satu kata ini: “Pengakuan”. Demikianlah Alexandre Kojeve, dalam : Introduction to The Reading of Hegel”.
Selama beribu-ribu tahun, tidak ada kata konsisten yang digunakan untuk menunjuk pada fenomena psikologis dari “hasrat untuk memperoleh pengakuan”. Plato, sang pemikir itu, sudah bicara tentang thymos, atau “kesemangatan” (spiritedness). Machiavelli, sang diktator itu, juga sudah omong tentang hasrat manusia memperoleh kemuliaan.

Thomas Hobbes, tokoh materialisme terbesar itu, juga bicara tentang kebanggaan atau kesombongan. J.J. Rosseau, tokoh Prancis itu, sudah omong tentang “amour prope”: keangkuhan dan kesombongan. Juga Hegel soal pengakuan. Dan Nietzshe, Sang Pembunuh Tuhan itu, sudah merilis soal manusia sebagai binatang yang berpipi merah. Yang ingin berkehendak untuk berkuasa. Ubermenzch. Manusia super.

Jadi, semua kekerasan bukan asal dari Cinta. Cinta, bukanlah aturan. Cinta juga bukan laskar panglima yang siap menggeruduk dan membabi buta siapa saja. Kapan saja. Dimana saja. Cinta, seperti kasih, tak menghamburkan amarah.

Cinta Tuhan tak akan sampai dengan kekerasan. Jangan sampai, dengan anarki, Tuhan lagi-lagi dibungkam.

Jakarta, 4 Juni 2008

Pukul 16.00 WIB

Danto (http:bungapadangilalang.blogspot.com)

Read More......

Minggu, 01 Juni 2008

Minyak dan Konflik Peradaban

0 komentar


Share

Minyak dan Konflik Peradaban
Danto (http://bungapadangilalang.blogspot.com)

Petaka itu datang bergelombang-gelombang ke seluruh jagat. Menelusup ke seluruh pelosok bumi. Dunia sudah jadi kampung global. Semua terjadi saling terpaut. Krisis subprime mortgage alias kredit macet perumahan kelas kambing medio 2007, nun jauh di Amerika sono, juga tampak di depan mata kini. Amerika di ambang resesi.

Yang pesimistis bilang, pusat sistem ekonomi dunia itu sebentar lagi menunggu kejatuhannya. Kapitalisme diambang kehancuran. Yang optimistis menyatakan, kapitalisme sekali lagi mengalami koreksi. Dan, semua pasti merembet ke sini. Ke hadapan kita. Duh, Gusti!!

International Monetary Fund (IMF) akhir April 2008 lalu menyebut, kerugian akibat krisis perumahan kelas kambing tersebut, yang menimpa sejumlah institusi keuangan global, sungguh membuat dahi mengkerut: mencapai US$ 948 miliar. Atau Rp 8.816,400 triliun. Hanya dalam setengah tahun, dana super jumbo itu menguap. Wuzzz!!!

Indonesia juga kena dampak. Krisis itu yang membuat bursa lokal ikut-ikutan terjun bebas. Dalam empat bulan pertama 2008, kapitalisasi pasar di Bursa Efek Indonesia anjlok Rp 344 triliun atau 17,89%. Dari Rp 1.923 triliun pada akhir 2007, menjadi Rp 1.579 triliun per April 2008.

Para pemain saham dan para spekulan, dugaan kuatnya, kemudian lebih memilih bermain aman. Salah satunya dengan membelanjakan segudang duitnya untuk berjudi dengan minyak. Petaka pun makin bergejolak-gejolak.

Harga minyak dunia akhir Mei 2008 ini sempat menyentuh level US$ 135 per barel. Tertinggi sepanjang sejarah. Padahal, pada 1970, mulainya internasionalisasi minyak, harganya masih US$ 1,8 per barel. Kini, harga sudah meroket 75 kali lipat. Atau melonjak 7.500%, hanya dalam tempo 38 tahun. Dan harga minyak tak akan berhenti di situ. Sebentar lagi tembus US$ 200 per barel. Bahkan, bisa jadi bakal jauh lebih tinggi. Duh!!

Dunia sungguh aneh. Manusia serakah. Siapa untung? Siapa buntung? Ya, perjalanan kehidupan dan keinginan manusia seperti meroketnya harga minyak. Semakin tinggi. Semakin memuncak.
Semua akibat keserakahan dan ulah umat manusia sendiri. Tengok saja, pada 1973, tiga tahun setelah patokan awal itu, harga minyak sudah US$ 10 per barel. Pemicunya: lagi-lagi ulah serakah peradaban manusia: perang Arab-Israel pada Oktober 1973.

Revolusi Iran, pada 1979 itu, menyebabkan harga minyak kembali melonjak US$ 20 per barel. Dan, minyak kembali terbakar. Harganya, pada 1981 menyentuh US$ 39 per barel. Pemicunya, lagi-lagi keserakahan peradaban manusia: perang Iran-Irak.

Memasuki era milenium, minyak masih saja berkobar-kobar. Pada Agustus 2005, harga minyak naik lagi menjadi lebih dari US$70. Karena manusia lagi? Aha… Kali ini terpicu oleh amukan alam. Barangkali sang penguasa dunia mulai murka. Itu barangkali, lo. Badai Katrina, yang kemudian terkenal dengan sebutan Katrinagate di Teluk Meksiko, menghancurkan sebagian besar instalasi minyak lepas pantai kawasan tersebut. Harga minyak pun terkerek.

Harga minyak mulai menggapai puncaknya di atas US$ 100 per barel memasuki 2008 ini. Tepatnya mulai 2 Januari lalu. Penyebabnya, lagi-lagi karena ulah manusia sendiri: kerusuhan di Nigeria, stabilitas di Pakistan, dan masalah pasokan di pasar utama Amerika Serikat, juga ulah para spekulan.

Di empat bulan pertama tahun tikus ini, harga minyak terus saja menanjak. Pekan lalu, harganya menyentuh US$ 135 per barel. Tertinggi sepanjang sejarah. Penyebab utamanya beragam. Mulai dari memanasnya –lagi-lagi-- ulah spekulasi akibat melemahnya nilai tukar dolar Amerika Serikat, cadangan minyak Amerika Serikat turun, hingga melonjaknya permintaan China. Negeri Tirai Bambu itu butuh minyak lebih lantaran mau hajatan besar: Olimpiade 2008.

Pertanyaannya kemudian: sampai kapan harga minyak akan berhenti mencapai puncak tertinggi? “How Can You Thrive When Oil Cost $200 a Barrel”. Demikian Stephen Leeb PhD. dan Glen Strathy dalam buku mereka pada 2006 lalu. Ketika mereka menulis buku itu, harga minyak sudah di atas US$ 70 per barel. Ya, mereka menyebut harga minyak bisa tembus US$ 200 per barel.

Tertawa. Bisa jadi itu yang keluar dari para pelaku minyak ketika keduanya menulis itu. Soalnya, tanda-tanda harga minyak bakal terus berkobar, masih samar-samar. Namun siapa sangka, hanya beberapa tahun saja, ramalan itu hampir mendekati kenyataan.

Di posisi mana harga minyak akan bertahta? Kalau perbandingannya adalah lonjakan minyak dari 1970 sampai saat ini sebesar 75 kali, kita bisa jadi bakal terbengong-bengong. Dengan patokan harga lonjakan sebesar itu, berarti dalam 38 tahun mendatang, atau pada 2046, harga minyak sudah menyentuh US$ 10.125 per barel. Duh, Gusti!!!

Angka ekstrem itu tentu saja jika faktor pengalinya berdasarkan patokan US$ 135 per barel, harga saat ini, dikali 75 kali. Tapi hitungan yang realistis akan tak sebesar itu. Jika patokannya harga minyak pada 1970 sebesar US$ 1,8 per barel dan kini, setelah 38 tahun, harganya sudah menjadi US$ 135 per barel, maka kenaikan rata-rata harganya US$ 4 per tahun.

Dus, dengan demikian, jika mengacu rata-rata kenaikan harga minyak US$ 4 per barel dikali 38 tahun mendatang atau pada 2046, artinya harganya akan bertambah US$ 152 per barel. Dengan patokan harga saat ini yang sebesar US$ 135 per barel, maka harga minyak pada 2046 sebesar US$ 287 per barel.

Tentu saja, itu angka khayalan. Hanya, jika konflik-konflik antar manusia --plus ulah jejingkrakan para spekulan-- tak juga selesai, bisa jadi hal itu menjadi kenyataan. Dan tanda-tanda konflik belum juga selesai. Amerika Serikat, sebagai poros ekonomi dunia, kini masih berseteru dengan “Poros Setan”, yang salah satu anggotanya adalah Iran, produsen andalan minyak dunia kini. Konflik Irak belum selesai. Juga di Nigeria.

Di luar sisi manusia, minyak adalah sumber daya yang tidak bisa diperbarui. Mari sedikit berargumentasi secara teoritis. Kajian M. King Hubbert, ahli geofisika yang memperkenalkan Hubbert Peak, meramal, persediaan minyak dunia akan habis beberapa puluh tahun lagi.

Pada tahun 1956, Hubbert memperkirakan, produksi minyak di Amerika Serikat akan mencapai puncaknya pada 1970. Dan, terbukti. Pada tahun 1971, menjadi waktu puncak produksi minyak Abang Sam. Hubbert memprediksi, cadangan minyak Amerika Serikat akan habis pada akhir abad ke-21.

Pada tahun 1971, Hubbert, yang kontroversial itu, kembali mencoba meramal puncak produksi minyak. Kali ini ramalan produksi minyak dunia. Puncak produksi dunia, kata dia, akan terjadi pada tahun 1995-2000. Hasil prediksi ini kemudian kontroversial. Yang tidak sepakat, menyebut bahwa cadangan dunia masih akan terus bertambah. Yang sepakat, bilang bahwa cadangan minyak dunia sudah melandai.

Boleh saja ada yang bilang prediksi Hubbert meleset. Tapi tengoklah hasil kajian Center for Global Energy Studies (CGES) yang dipublikasikan Agustus 2007 lalu. Mereka menyebut, cadangan minyak dunia pada tahun 2007 sudah merosot hingga 200 juta barel.

Association for the Study of Peak Oil and Gas (ASPO) adalah salah satu organisasi yang percaya Hubbert Peak terjadi dalam beberapa puluh tahun mendatang. Hubbert Peak, menurut ASPO, diprediksikan akan terjadi paling cepat tahun 2007, sesuai prediksi Colin Campbell dari ASPO, dan paling lama sekitar tahun 2050 (prediksi Exxonmobil, OPEC dan EIA).

Itu di tingkat dunia. Bagaimana dengan Indonesia? Produksi minyak dalam negeri ternyata sudah melandai dalam beberapa puluh tahun terakhir. Menurut BP, dalam publikasi berjudul “Statistical Review of World Energy 2005″, produksi minyak tertinggi Indonesia terjadi pada tahun 1977. Rata-rata produksinya sebesar 1,685 juta barrel/hari. Setelah itu, produksi minyak Indonesia tidak pernah lagi mencapai angka tersebut.

Pada tahun 2004, produksi minyak Indonesia hanya sebesar 1,126 juta barrel/hari. Angka ini sudah berada di bawah konsumsi BBM Indonesia yang jumlahnya sebesar 1,150 juta barrel/hari. Dan jumlahnya terus melorot. Untuk tahun 2008 ini, pemerintah menargetkan hanya mampu memproduksi 927.000 barel per hari.

Nah, jika patokannya stok minyak dunia yang terus melorot, sangat mungkin terjadi harga minyak akan terus melambung. Bagaimana dengan hitung-hitungan saya tadi yang sebesar US$ 287 per barel pada 2046? Bisa masuk akalkah? Atau mau yang sangat ekstrem dengan besaran US$ 10.125 per barel yang entah berapa puluh atau ratus tahun lagi? Mungkinkah?

Tak terbayangkan bagaimana kisruhnya dunia jika itu terjadi. Dengan harga US$ 135 per barel saja, Indonesia sudah kelabakan. Pemerintah menaikkan harga BBM subsidi sebesar 28,7% pada 25 Mei lalu. Banyak yang memperkirakan, dengan kenaikan harga BBM sebesar 28,7% itu, kemiskinan akan bertambah tiga juta orang dari saat ini.

Padahal, menurut survei terakhir Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2007 sebanyak 37,17 juta atau sebanyak 16,58% dari jumlah penduduk Indonesia. Dengan kenaikan harga BBM yang baru, berarti penduduk miskin Indonesia saat ini sejumlah 20,17 juta.

Dus, bagaimana jika harga BBM dunia melonjak di angka US$ 287 per barel, atau yang sangat ekstrem US$ 10.125 per barel? Tak terbayangkan bagaimana kondisi dunia ini. Kacau balau. Terlebih Indonesia. Ihhhh….ngeri… Mari, segeralah bertindak. Selamatkan bumi dan peradaban manusia!! Agar petaka tidak terus datang bergelombang-gelombang.

Jakarta, 1 Juni 2008
20.20 WIB

Read More......

Kamis, 22 Mei 2008

Sebening Embun Pagi: Tapal Batas

0 komentar


Share

Sebening Embun Pagi: Tapal Batas

Read More......

Selasa, 20 Mei 2008

Tapal Batas

2 komentar


Share

Tapal Batas

Danto

Siang bolong itu mendadak redup. Gelap. Matahari tak lagi tampak. Angin bergemuruh. Awan-awan bergumpal-gumpal. Berdesak-desakan. Bak sepasukan serdadu, menggeruduk langit atap rumahku. Maaf, langit kampungku di tapal batas kota Bekasi.

Dalam hitungan belasan menit, mendung menggayut-gayut itu akhirnya pecah juga. Byar!! Hujan mengguyur deras nian. Listrik di rumahku tiba-tiba saja mati. Cilaka!!

Aku baru saja merapikan pakaian. Istriku ikut mengancingkan kemeja coklat yang beberapa saat sebelumnya aku pakai. Si kecil Aulia, kini sudah dua tahun, ikut merengek. Bingung. Haruskah kubatalkan janji wawancara dengan seorang direktur utama investor tol Trans Jawa di sebuah hotel di bilangan Kuningan, Jakarta.

Jam sudah menunjukkan pukul 13.05 WIB. Sementara waktu janji adalah pukul 15.00. Butuh waktu satu setengah hingga dua jam dari rumahku untuk sampai di tempat perjanjian. Sejenak ragu memburu. Gamang menyerang. Jika tak segera berangkat, maka bisa jadi aku telat. Malu nian jika aku terlambat datang.

“Aa, sebaiknya tunggu hujan reda. Sangat ngeri jika berangkat sekarang,” istriku merajuk. Aku terpaku sejenak. “Kita lihat beberapa saat lagi, siapa tahu hujan cepat reda,” jawabku.

Si kecil Aulia mendekat. Merengek minta digendong. “Ayah, tatu Ayah,” lidah cadelnya tak jelas mengatakan apa. Barangkali takut. Di luar, petir sesekali menggelegar. Kilatan cahayanya sejenak-sejenak menerangi ruang tamu depan rumah. Kugendong. Kuusap rambut si kecil.

Setengah jam berlalu. Listrik masih juga mati. Petir masih menyambar-nyambar. Hujan tetap deras. Angin di luar masih bergemuruh. Waktu terus bergerak. Hatiku masih gundah. Berharap hujan segera menjadi sahabat. Ternyata harapan tak juga mampir. Hujan tetap deras. Listrik tetap mati. Petir masih menyambar-nyambar.

Ku tengok sejenak jalanan di depan rumah. Air sudah menggenang. Kira-kira 10 sentimeter tingginya. Selain kegaduhan hujan, tak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Di luar sepi. Pintu rumah tetangga-tetanggaku terkunci rapat-rapat. Barangkali lebih baik bergelung sarung, ketimbang menunggu sang pangeran banyu, maksudku hujan, berhenti mengencingi rumah. Berada dalam gendonganku, agaknya membuat si kecil merasa nyaman. Tertidur.

Aha!! Syukurlah, beberapa saat kemudian listrik hidup. Cahaya lampu kembali menyeruak. Ruangan gelap, kendati masih tengah hari, jadi lebih terang. Cuma, itu tak membantu khawatirku. Hujan di luar masih deras. Jarum jam detik serasa menusuk-nusuk. Jam kini sudah menunjukkan pukul 13.30. Artinya sudah setengah jam berlalu. Tanda-tanda hujan berhenti belum juga muncul. Tenggat waktu untuk wawancara makin mepet.

“Sayang, Aa harus berangkat sekarang, biar pakai jas hujan saja,” kataku. Istriku terdiam. Aku tahu, ada nada tak setuju dari sorot matanya. “Insya Allah nggak ada apa-apa,” tambahku. Terdengar klise, memang. Tapi begitulah aku, istriku, dan si kecil.

“Ya, udah, tapi hati-hati di jalan,” katanya. Kukecup kening, pipi kanan dan kiri, dan bibirnya yang mungil. “Assalamu’alaikum,” kataku. “Wa’alaikum salam,” jawabnya.

Kusambar jas hujan yang tercantel di jok motorku. Kugaet sepatu boot. Rada pengap berpakaian ala astronot seperti itu. Hujan masih mengguyur, meski mulai menipis.

Gruuungggg…gruunggggg…ku tancap gas sepeda motorku. Menerjang hujan dan genangan air. Kacamataku sedikit gelap tersapu air hujan. Pikiranku sudah ada di hotel tempat aku wawancara dengan pejabat investor lokal tersebut.

Air sudah mengalir deras melalui jalanan pesawahan di depan komplek rumahku. Tempat tinggalku memang sangat ndeso. Ada di tengah-tengah sawah. Di ujung tapal batas wilayah Tambun, Bekasi. Kanan kiri pesawahan. Jika hujan seperti ini, jalan bakal tak terlihat. Harus bertempur dengan genangan air. Hujan petir begini, jalanan sungguh lengang nian. tak ada satupun orang lewat di jalanan.

Apa yang harus terjadi terjadilah. Datang tak dijemput, pulang tak diantar. Begitulah. Tepat di tengah sawah, dua ratus meter dari gerbang perumahanku, tiba-tiba kilat datang menyambar. Sangat putih dan menyilaukan mata. Berbentuk cambuk, atau sebangsa cemeti kuda. Atau mungkin seperti lambang PT PLN. Sangat putih. Sangat dekat. Tepat di depan mata.

Gelegarrrr…..Gelegarrr…. Aku mendadak berhenti. Terkejut bukan kepalang. “Masya Allah, Astaghfirullahall ‘adzim,” gumamku, seketika.

Apa yang aku lihat di depan mata kepala sendiri sungguh membuat bulu kuduk berdiri. Kabel listrik di tiang PLN yang membentang sepanjang sawah, tiba-tiba menjuntai tepat di kepalaku. Putus tersengat petir itu.

Prepeeettttttt…prepeeettttt… Sambaran api menjalar mengikuti aliran listrik di kabel sepanjang sawah. Tepat melalui di atas kepalaku. “Astaghfirullahal’adzim,” kulafadzkan kembali kata itu. Begitu cepat. Aku merasakan: sangat dekat dengan kematian.

Setelah itu diam. Listrik mati. Jantungku dag-dig-dug. Tanganku gemetar. Kubalikkan kembali sepeda motorku. Tergesa-gesa. Aku kembali. Cuma, aku berhenti di warung tepat di pintu gerbang perumahanku. Kutenangkan batin dan hati yang sangat berdebar-debar ini. Untuk sementara terpaku. Belum juga bisa ngomong. Sampai akhirnya tukang warung menyapaku. “Ada apa, Pak,” tanyanya. Kujelaskan runut sejak sang petir menyambar kabel listrik itu. Tentu, sambil sesekali mengurut dada.

Aku masih percaya, Tuhan masih melindungi. “Alhamdulillah, Ya, Allah. Engkau masih memberi kesempatan kepadaku untuk menghirup udara dan memperpanjang detak jantung,” gerentes hatiku.

Andai saja…andai saja…kalau saja…jika saja…seumpama saja….Tak putus-putus aku mengucap kata itu. Andai saja tak ada tiang listrik dan kabel itu, barangkali aku sudah gosong. Terbujur kaku. Cuma tangisan istriku tercinta dan rengekan si kecil. “Alhamdulillah, Ya, Allah, Engkau masih memberi kesempatan hamba untuk mengingat-Mu,” terus mulutku bergumam.

Setengah jam kemudian, hujan makin menipis. Kilat hampir sudah tak ada. Petir pun sudah tiada. Aku pikir, gelegar tadi itulah puncak dari kemarahan sang petir.

Kunyalakan kembali motorku. Bukan kembali ke rumah. Kugenjot gas motorku menuju hotel tempat aku wawancara. Telat setengah jam memang. Untung saja, si direktur utama tadi juga rada telat. Jadi aku tak terlalu malu.

****
****

“Syukurlah, sayang. Semuanya kita serahkan pada Yang di Atas. Alhamdulillah, Ya, Allah,” begitulah istriku. Tepat jam 23.00 WIB, Rabu 19 Maret 2008, istriku memeluk erat aku yang pulang masih dengan jasad utuh dan masih bernyawa. “Alhamdulillah, Ya, Allah,” berkali-kali kuucapkan kembali. Kupeluk si kecil. Kucium keningnya. Dia hanya diam. Barangkali tak mengerti apa yang sudah terjadi. Kami bertiga berpelukan. Menangis haru. Semua perasaan bercampur aduk. Haru, sedih, senang. Tak karuan.

Malam sudah larut. Perumahaanku sudah sangat senyap menjelang tengah malam itu. Semua kembali ke peraduan. Siap kembali menjalani hidup, esok hari. Aku serasa terlahir kembali. Lahir di tapal batas kota Bekasi. Juga tapal batas antara kehidupan dan kematian.



Jakarta, 20 Mei 2008
Pukul 19.40 WIB

Untuk mengenang Rabu, 19 Maret 2008

Read More......

Kisah dari Tetangga

0 komentar


Share

Dari Sudut Yang Terlupakan

Sepulang dari pengajian rutin beberapa hari lalu, saya berdiri di tepi trotoar daerah Klender. Angkot yang ditunggu belum jua lewat, sedang matahari kian memancar terik. Entah mengapa, kedua mata saya tertarik utuk memperhatikan seorang bapak tua yang tengah termangu di tepi jalan dengan sebuah gerobak kecil yang kosong. Bapak itu duduk di trotoar. Matanya memandang kosong ke arah jalan.Saya mendekatinya. Kami pun terlibat obrolan ringan.

Pak Jumari, demikian namanya, adalah seorang penjual minyak tanah keliling yang biasa menjajakan barang dagangannya di daerah Pondok Kopi, Jakarta Timur. "Tapi kok gerobaknya kosong Pak, mana kaleng-kaleng minyaknya?" tanya saya.Pak Jumari tersenyum kecut. Sambil menghembuskan nafas panjang-panjang seakan hendak melepas semua beban yang ada di dadanya, lelaki berusia limapuluh dua tahun ini menggeleng.

"Gak ada minyaknya."Bapak empat anak ini bercerita jika dia tengah bingung. Mei depan, katanya, pemerintah akan mencabut subsidi harga minyak tanah. "Saya bingung. saya pasti gak bisa lagi jualan minyak. Saya gak tahu lagi harus jualan apa. modal gak ada. keterampilan gak punya.." Pak Jumaribercerita. Kedua matanya menatap kosong memandang jalanan. Tiba-tiba kedua matanya basah. Dua bulir air segera turun melewati pipinya yang cekung."Maaf dik saya menangis, saya benar-benar bingung. mau makan apa kami kelak.., " ujarnya lagi.

Kedua bahunya terguncang menahan tangis. Saya tidak mampu untuk menolongnya dan hanya bisa menghibur dengan kata-kata. Tangan saya mengusap punggungnya. Saya tahu ini tidak mampu mengurangi beban hidupnya.Pak Jumari bercerita jika anaknya yang paling besar kabur entah ke mana. "Dia kabur dari rumah ketika saya sudah tidak kuat lagi bayar sekolahnya di SMP. Dia mungkin malu. Sampai sekarang saya tidak pernah lagi melihat dia.. Adiknya juga putus sekolah dan sekarang ngamen di jalan. Sedangkan dua adiknya lagi ikut ibunya ngamen di kereta. Entah sampai kapan kami begini ."

Mendengar penuturannya, kedua mata saya ikut basah.Pak Jumari mengusap kedua matanya dengan handuk kecil lusuh yang melingkar di leher. "Dik, katanya adik wartawan.. tolong bilang kepada pemerintah kita, kepada bapak-bapak yang duduk di atas sana, keadaan saya dan banyak orang seperti saya ini sungguh-sungguh berat sekarangini. Saya dan orang-orang seperti saya ini cuma mau hidup sederhana, punya rumah kecil, bisa nyekolahin anak, bisa makan tiap hari, itu saja. "

Kedua mata Pak Jumari menatap saya dengan sungguh-sungguh."Dik, mungkin orang-orang seperti kami ini lebih baik mati... mungkin kehidupan di sana lebih baik daripada di sini yah..." Pak Jumari menerawang.Saya tercekat. Tak mampu berkata apa-apa. Saya tidak sampai hati menceritakan keadaan sesungguhnya yang dilakukan oleh para pejabat kita, oleh mereka-mereka yang duduk di atas singgasananya. Saya yakin Pak Jumari juga sudah tahu dan saya hanya mengangguk.

Mereka, orang-orang seperti Pak Jumari itu telah bekerja siang malam membanting tulang memeras keringat, bahkan mungkin jika perlu memeras darah pun mereka mau. Namun kemiskinan tetap melilit kehidupannya. Mereka sangat rajin bekerja, tetapi mereka tetap melarat.Kontras sekali dengan para pejabat kita yang seenaknya numpang hidup mewah dari hasil merampok uang rakyat.

Uang rakyat yang disebut 'anggaran negara' digunakan untuk membeli mobil dinas yang mewah, fasilitas alat komunikasi yang canggih, rumah dinas yang megah, gaji dan honor yang gede-gedean, uang rapat, uang transport, uang makan, akomodasi hotel berbintang nan gemerlap, dan segala macam fasilitas gila lainnya. Mumpung ada anggaran negara maka sikat sajalah!

Inilah para perampok berdasi dan bersedan mewah, yang seharusnya bekerja untuk mensejahterakan rakyatnya namun malah berkhianat mensejahterakan diri, keluarga, dan kelompoknya sendiri. Inilah para lintah darat yang menghisap dengan serakah keringat, darah, tulang hingga sum-sum rakyatnya sendiri. Mereka sama sekali tidak perduli betapa rakyatnyakian hari kian susah bernafas. Mereka tidak pernah perduli.

Betapa zalimnya pemerintahan kita ini!Subsidi untuk rakyat kecil mereka hilangkan. Tapi subsidi agar para pejabat bisa hidup mewah terus saja berlangsung. Ketika rakyat antri minyak berhari-hari, para pejabat kita enak-enakan keliling dalam mobil mewah yang dibeli dari uang rakyat, menginap berhari-hari di kasur empukhotel berbintang yang dibiayai dari uang rakyat, dan melancong ke luar negeri berkedok studi banding, juga dari uang rakyat.

Sepanjang jalan, di dalam angkot, hati saya menangis. Bocah-bocah kecil berbaju lusuh bergantian turun naik angkot mengamen. Di perempatan lampu merah, beberapa bocah perempuan berkerudung menengadahkan tangan. Di tepi jalan, poster-poster pilkadal ditempel dengan norak. Perut saya mual dibuatnya.Setibanya di rumah, saya peluk dan cium anak saya satu-satunya. "Nak, ini nasi bungkus yang engkau minta."

Dia makan dengan lahap. Saya tatap dirinya dengan penuh kebahagiaan. Alhamdulillah, saya masih mampu menghidupi keluarga dengan uang halal hasil keringat sendiri, bukan numpang hidup dari fasilitas negara, mengutak-atik anggaran negara yangsesungguhnya uang rakyat, atau bagai lintah yang mengisap kekayaan negara.

Saat malam tiba, wajah Pak Jumari kembali membayang. Saya tidak tahu apakah malam ini dia tidur dengan perut kenyang atau tidak. Saya berdoa agar Allah senantiasa menjaga dan menolong orang-orang seperti Pak Jumari, dan memberi hidayah kepada para pejabat kita yang korup.Mudah-mudahan mereka bisa kembali ke jalan yang benar.

Mudah-mudahan mereka bisa kembali paham bahwa jabatan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabk an di mahkamah akhir kelak. Mudah-mudahan mereka masih punya nurani dan mau melihat ke bawah.Mudah-mudahan mereka bisa lebih sering naik angkot untuk bisa mencium keringat anak-anak negeri ini yang harus bekerja hingga malam demi sesuap nasi, bukan berkeliling kota naik sedan mewah...

Mudah-mudahan mereka lebih sering menemui para dhuafa, bukan menemui konglomerat dan pejabat... Mudah-mudahan mereka lebih sering berkeliling ke wilayah-wilayah kumuh, bukan ke mal... Amien Ya Allah.

NN

Read More......

Hati-Hati Iklan Promosi Tarif Murah!!

0 komentar


Share

Danto

Cermat Dahulu, Baru Bicara

Operator telekomunikasi mengotak-atik tarif bicara“Obral” harga tarif percakapan

Jakarta. Persaingan bisnis percakapan telepon seluler naga-naganya bakal semakin ketat. Sejumlah operator telekomunikasi pasang kuda-kuda untuk mengotak-atik tarif pembicaraan. Beberapa operator berpromosi tarif barunya lebih murah dibandingkan tarif lama mereka.

“Obral” harga tarif percakapan

Saat ini, pasar telekomunikasi di Indonesia masih tergolong bayi. Peluang untuk meningkatkan omset pun menganga lebar. Kendati demikian, beberapa jawara lama masih tetap bercokol.

Di pasar telepon seluler, misalnya, Telkomsel masih tetap menduduki posisi pertama, dengan pelanggan sebanyak 30 juta konsumen. PT Indosat ada di tangga kedua dengan memiliki 13 juta pelanggan. Berikutnya adalah Exelcomindo (9,5 juta) dan Esia (1,5 juta).

Namun persaingan di pasar seluler masih jauh dari usai. Potensi pasar seluler masih gemuk, mengingat jumlah pelanggan seluler tak sampai separuh dari jumlah penduduk. Berdasar data Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia (BRTI), saat ini tercatat 62 juta pelanggan telepon seluler.

Di pasar telepon tetap, yang kadang disebut fixed line, situasi setali tiga uang dengan pasar seluler. Pemain lawas, yaitu PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), masih mengantongi pangsa pasar terbesar. Telkom saat ini memiliki pelanggan sebanyak 8,5 juta.

Karena potensi pasar masih besar, tak heran bila operator tancap gas berebut pelanggan. Di pasar seluler, misalnya, PT Exelcomindo meluncurkan program percakapan di udara dengan mengubah perhitungan berdasarkan durasi waktu untuk jenis kartu XL Bebas. Program ini berlangsung sejak 10 Februari lalu dan berakhir Juni mendatang.

Iming-iming yang ditawarkan XL Bebas lumayan menggiurkan. Percakapan tak lagi dihitung berdasarkan waktu tiap 30 detik dengan tarif Rp 750. Namun biaya percakapan dihitung per satu detik dengan tarif Rp 25.

Gambaran sederhananya begini, dengan sistem lama, jika Anda menelepon relasi dan berhenti pada detik pertama, maka beban biaya yang harus dibayar berdasarkan tarif waktu tiap 30 detik sebesar Rp 750. “Tapi dengan program ini, pada kasus itu tarifnya hanya Rp 25,” kata Manajer Produk XL Bebas, Riza Rachmadsyah, kepada Kontan.

Anak perusahaan Telkom, PT Telkomsel, langsung bereaksi terhadap langkah pesaingnya. Telkomsel bakal menurunkan tarif sebesar lima persen pada tahun ini.

Pemain seluler yang lain, Indosat, tak mau kalah jurus. Indosat bakal meluncurkan paket hemat untuk menggaet pelanggan di kelas bawah. “Setiap pemakaian pulsa sekian akan dapat bonus tertentu,” kata Auliana, juru bicara Indosat.

Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Heru Sutadi, mengingatkan, konsumen jangan serta merta terpesona dengan harga murah yang dipromosikan operator. Ambil contoh promosi harga versi XL. Jika ditelisik lebih jauh, sebetulnya kedua perhitungan tarif itu akan menghasilkan jumlah yang sama. Coba kalikan Rp 25 dengan 30 detik, hasilnya Rp 750 bukan? “Konsumen juga harus kritis,” kata Heru.

Basis perhitungan “hemat” ini tak hanya monopoli para pemain seluler. PT Telkom yang menguasai pasar fixed line domestik memakai jurus yang sama. Telkom mengubah sistem penghitungan tarif telepon lokal untuk layanan telepon tetap. Semula, Telkom bakal memberlakukan struktur tarif baru pada awal Februari ini.

Namun rencana itu tertunda karena BRTI meminta Telkom untuk mensosialisasikan tarif baru terlebih dahulu. Dalam struktur tarif yang baru, Telkom meniadakan pembagian lokasi dan waktu bicara untuk tarif percakapan lokal. Tarif percakapan langsung dihitung Rp 250 per dua menit pertama. Untuk menit selanjutnya, biaya percakapan adalah Rp 125 per menit. Sebelumnya, Telkom menghitung biaya percakapan lokal berdasarkan satuan pulsa, yang berkisar antara 1,5 menit-3 menit.

Dipublikasikan di Harian Bisnis dan Investasi KONTAN, Maret 2007

Read More......

Awas, SMS Sampah!!

0 komentar


Share

Danto

Mencekal SMS SpamBRTI menengarai, ada pesan sampah yang mematok tarif premiumMengenakan tarif SMS premium

JAKARTA. Anda kerap dirugikan akibat kehilangan pulsa dari pesan singkat atawa short message service (SMS) yang tidak diinginkan? Jangan khawatir, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) sudah menemukan akar penyebabnya.

Mengenakan tarif SMS premium

Ternyata, beberapa operator telekomunikasi dan content provider secara sengaja mengirimkan SMS sampah ini ke nomor pelanggan. Tanpa melalui proses pendaftaran dari konsumen pun, mereka bisa secara langsung mengirim pesan berbau promosi dan iklan. Kurang ajarnya, pesan singkat tak berguna ini seringkali mempergunakan tarif SMS premium. Besarannya cukup merogoh kocek pulsa, yaitu Rp 2.000 per SMS yang mampir ke telepon seluler pelanggan.

Anggota BRTI Heru Sutadi menyatakan, berdasarkan penyelidikan sementara lembaga regulator telekomunikasi itu, sejumlah pesan singkat sampah tersebut dikirim secara sengaja oleh operator telekomunikasi dan content provider. "Dari hasil investigasi awal, ada SMS yang dikirimkan oleh operator itu sendiri, ada juga oleh content provider, baik yang dilakukan langsung maupun menggunakan pihak ketiga," kata Heru, kepada KONTAN, di Jakarta, kemarin.

Sejumlah operator dan content provider, menurut Heru, hampir setiap hari mengirim sejumlah pesan ke nomor pelanggan. Tak peduli apakah nomor tersebut telah didaftarkan oleh konsumen yang bersangkutan atau tidak.

"SMS spam cukup merugikan, lantaran selain memasuki ruang privasi konsumen, juga dalam beberapa kasus konsumen dikenai bayaran setara dengan SMS premium," kata Heru.

Lantaran tak dikehendaki pengguna, kata Heru, BRTI menggolongkan pesan singkat itu sebagai SMS sampah. Secara materi, lanjut dia, isi pesan itu gampang ditebak. "Mudah saja, isinya berbau iklan dan promosi," katanya, "Termasuk di dalamnya adalah pesan singkat soal undian berhadiah."

Beberapa operator yang disebut Heru antara lain Indosat dan Telkomsel. "Mereka ikut mengirimkan SMS spam itu," katanya. "Dalam sebulan ke depan, BRTI bakal merampungkan aturan soal ini," lanjtunya.

Pihak Indosat mengakui kerap mengirimkan sejumlah pesan singkat tanpa pemberitahuan terlebih dulu kepada konsumen. Isinya memang berbau promosi dan iklan. "Tapi, itu bagian dari program perusahaan kami," kata Adita Irawati, juru bicara Indosat, "Itu sifatnya hanya up-date informasi."

Adita mengakui Indosat melakukan kerjasama dengan content provider dan pihak ketiga dalam mengirim pesan tersebut. Yang disebut pihak ketiga, misalnya, sebuah gerai makanan yang sedang menggelar promosi. Mereka melakukan kerjasama dengan Indosat agar produknya diminati masyarakat.

Menurut Adita, pesan promosi tersebut bisa dikirim secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan terlebih dulu. "Sekali kirim bisa mencapai 200.000 hingga 500.000 pelanggan," katanya.

Hanya, dia menandaskan, Indosat tidak memungut tarif dari pengiriman pesan itu. "Itu secara otomatis dari sistem kami," katanya. "Kalaupun mencatut tarif, itu dilakukan oleh content provider yang bekerjasama dengan kami. Dan, kami siap menghentikan kerjasama dengan mereka jika BRTI memintanya," ucapnya.

Pihak Telkomsel masih belum bisa dimintai konfirmasi. Telepon seluler Suryo Hadiyanto, juru bicaranya, masih belum menyahut saat dihubungi KONTAN.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Husna Zahir mempertanyakan operator dan terutama content provider yang mengirim pesan singkat sampah tanpa pemberitahuan terlebih dulu kepada konsumen. "Dari mana mereka tahu nomor pelanggan?" kata Husna menunjuk content provider. Dia menduga terdapat kongkalingkong antara operator dan content provider tersebut. "Harusnya mereka ditindak," katanya.

Dipublikasikan di Harian Bisnis dan Investasi KONTAN, 26 Maret 2007

Read More......

Duit di Sepakbola -2

0 komentar


Share

Danto, BBC.com

Gaji Selangit di Premiership

Gaji dan bonus pemain mencapai Rp 31,5 triliun Naik hampir dua kali lipat
LONDON. Rasanya tak salah jika ada anggapan bahwa Liga Premiership, Inggris, merupakan liga terbaik di dunia. Banyak pemain di liga ini yang mendapatkan gaji tinggi.

Jangan kaget bila dana yang berputar di Premiership mencapai puluhan triliun rupiah. Pada musim mendatang, nilai gaji dan bonus pemain saja mencapai 1,8 miliar pounsterling atau setara dengan Rp 31,5 triliun, pada kurs Rp 17.500 per poun.

Dana sebesar itu didapat dari berbagai saluran, mulai dari iklan, sponsor, hingga hak siar televisi. Dari kontrak televisi saja, musim depan disepakati sebesar 33 juta poun atau Rp 577,5 miliar dalam satu musim untuk jangka waktu tiga tahun.

Hitung-hitungan itu diambil dari publikasi tahunan kantor konsultan Deloitte & Touche LLP. Deloitte secara rutin memonitor bisnis olahraga, termasuk sepakbola.

Dalam laporan yang dirilis resmi Deloitte, Kamis (31/5) kemarin, jumlah 1,8 miliar poun itu adalah hitungan gaji dan bonus dari 20 klub yang berlaga di Premiership musim depan. Jumlah ini naik hampir dua kali lipat dibanding dengan gaji dan bonus musim lalu yang “hanya” sebesar 854 juta poun atau senilai Rp 14,945 triliun.

Chelsea menjadi klub terbesar yang membelanjakan gaji dan bonus. Total 114 juta poun (Rp 1,99 triliun). Sedang empat klub besar lainnya hanya mengucurkan sekitar dari 50 juta poun.

Musim depan, karena jumlahnya ada 20 klub, maka setiap tim rata-rata bakal mengalokasikan dana sekitar Rp 1,575 triliun untuk gaji dan bonus. Dengan asumsi satu klub memiliki 20 pemain, termasuk cadangan, maka setiap pemain rata-rata mengantongi Rp 78,75 miliar dalam satu tahun.

Alan Switzer, Direktur Kelompok Bisnis Olahraga Deloitte, menilai kenaikan gaji itu merupakan imbas dari masuknya pemilik baru ke sejumlah klub. Beberapa pemilik baru itu merupakan konglomerat Amerika Serikat dan Rusia. "Banyak pemilik baru di beberapa klub (Liga Premiership) yang meraih sukses bukan hanya di atas lapangan, tapi juga secara finansial," kata Alan Switzer seperti dikutip BBC. "Uang dalam jumlah besar akan terus mengalir ke saku pemain, dan jumlahnya akan lebih besar dari yang sudah-sudah," ujarnya.

Dengan dana bejibun itu, tak heran bila Liga Premiership Inggris dinyatakan sebagai liga termewah di seluruh dunia. Harap maklum. Itu lantaran pendapatan yang beredar di persepakbolaan Inggris jumlahnya selangit. Jika seluruh kompetisi lokal di Inggris digabung, termasuk Divisi Championship dan liga lainnya, total pemasukannya bertambah menggelembung.

Jumlahnya, jangan melotot, sebesar 8,7 miliar poun (Rp 152,25 triliun) di 2006. Hasil itu membuat mereka menjadi penyumbang dana terbanyak penerimaan pasar sepakbola Eropa, tahun lalu.

Khusus untuk Liga Premiership saja, total pendapatan tahun 2006, mencapai 1,4 miliar poun (Rp 24,5 triliun). Masih terpaut jauh dengan Liga Utama Italia Seri A yang berada di urutan kedua dengan total pendapatan 1 miliar poun (Rp 17,5 triliun), disusul Liga Utama Jerman dan Liga Spanyol, yang masing-masing 0,8 miliar poun (Rp 14 triliun). Berikutnya, Liga Prancis dengan 0,6 miliar poun (Rp 10,5 triliun).

Nah, mari menanti aksi para bintang bergaji selangit itu.

Dipublikasikan di Harian Bisnis dan Investasi KONTAN, 2 Juni 2007

Read More......

Serba-Serbi Olahraga - 3

0 komentar


Share

Danto, Yahoo.sport.com, Reuters

Dilarang Menghukum Pemain Tertawa

NEW YORK. Soal skorsing atau hukuman sementara tak melulu menjadi urusan pemain. Di liga basket NBA, wasit -- bahkan yang berpredikat terbaik pun -- tak luput dari skorsing. Joey Crawford, misalnya. Joey yang pernah mendapat anugerah wasit terbaik itu dilarang memimpin pertandingan hingga akhir musim ini.

Presiden Liga NBA, David Stern, menjatuhkan sanksi ke Crawford Selasa (17/4) kemarin waktu setempat. Wasit papan atas NBA itu dianggap melakukan tindakan tak patut saat memimpin pertandingan San Antonio Spurs lawan Dallas Mavericks, Senin (16/4/2007) lalu.

"Meskipun Joey merupakan salah satu wasit terbaik kami, tapi ia harus mempertanggungjawabkan aksinya di lapangan," kata Stern, "Joey Crawford gagal memenuhi standar profesionalisme dan manajemen pertandingan seperti yang kami harapkan dari wasit-wasit NBA," lanjutnya.

Dalam pertandingan yang berakhir dengan kemenangan Mavericks itu, Crawford dua kali menyatakan kesalahan atau technical foul kepada pemain bintang San Antonio Tim Duncan. Yang membuat Crawford mendapat sanksi adalah ia menjatuhkan technical foul kedua kepada Duncan, saat sang pemain sedang terbahak di bangku cadangan. Duncan masih bingung mencari tahu kesalahannya, saat diusir keluar lapangan. Pemain yang telah sembilan kali ikut NBA All Star itu menilai dirinya telah diperlakukan tidak adil oleh Crawford.

"Joey punya masalah pribadi dengan saya dan saya tak bisa berbuat apa-apa dalam hal ini. Dia melihat ke arah saya dan bilang, 'Kamu menantang berkelahi? Kamu menantang berkelahi?'," kata Duncan, "Saya tak mengatakan apa pun. Saya tak punya masalah dengannya."

Atas sanksi skorsing tersebut, Crawford dipastikan tak akan memimpin pertandingan Liga NBA sepanjang musim ini. Termasuk babak play-off dan putaran final NBA. Padahal, Crawford saat ini tercatat sebagai wasit yang paling banyak memimpin pertandingan.

Selama 29 tahun berkarier di NBA, Crawford telah memimpin lebih dari 2.000 pertandingan reguler, 252 laga play-off, termasuk di antaranya 36 pertandingan final. Selama ini, Crawford memang dikenal sebagai pribadi yang cepat naik darah. Crawford pernah dipanggil menemui Stern, menyusul aksi serupa selama memimpin pertandingan final Wilayah Barat 2003. Saat itu Crawford kehilangan kendali diri pada kuarter pembuka. Ia mengganjar tim Mavericks dengan empat technical foul, termasuk dua pelanggaran untuk Don Nelson, yang kini menjadi pelatih.

Dipublikasikan di Harian Bisnis dan Investasi KONTAN, 19 April 2007

Read More......

Jumat, 16 Mei 2008

Serba-Serbi Olahraga - 2

0 komentar


Share

Danto, AFP, BBC

Yang Aneh dari Wimbledon

Hadiah besar, teknologi oke, penerangan kurangPetenis unggulan belum terbendung

LONDON. Turnamen Grand Slam Wimbledon mencetak rekor dalam jumlah hadiah. Tahun 2007, kejuaraan legendaris ini memperebutkan hadiah total US$ 22,572 juta atau sekitar Rp 203,14 miliar, terbesar dalam sejarah tenis profesional.

Hadiah utama tunggal putra dan putri kini sama, yakni sebesar US$ 1,4 juta (Rp 12,6 miliar). Tahun lalu, hadiah utama antara keduanya dibedakan sebesar US$ 1,17 juta (Rp 10,53 miliar) untuk putra dan US$ 1,11 juta (Rp 9,9 miliar) untuk putri.

Sangat jauh jika dibandingkan dengan hadiah turnamen Grand Slam lainnya. Australia Terbuka, misalnya, hanya menyediakan hadiah masing-masing US$ 1,05 juta (Rp 9,45 miliar) untuk pemenang tunggal putra dan putri. Sedang Grand Slam Amerika Serikat Terbuka menyediakan masing-masing US$ 1,2 juta (Rp 10,909 miliar) untuk juara nomor yang sama.

Kemegahan Wimbledon tak hanya itu. Di lapangan utama (center court), penanda garis menggunakan teknologi hawk eye (mata elang) yang akan memetakan jatuhnya bola dengan lebih akurat. Teknologi ini baru digunakan di Wimbledon sekarang, setelah diujicoba di Amerika Serikat Terbuka 2006 dan Australia Terbuka 2007.

Teknologi ini direspons baik oleh juara bertahan Wimbledon putri Amelie Mauresmo, menjelang partai perdananya lawan non unggulan asal Amerika Serikat Jamea Jackson .

“Saya kira adanya hawk eye itu sebuah kemajuan. Bagi pemain dan penonton yang melihat televisi, hawk eye sangat berperan,” kata Mauresmo.

Semaraknya Wimbledon bakal bertambah dengan rencana pemasangan atap baru di atas lapangan utama (center court), mulai tahun depan, yang memungkinkan bisa dikeluarkan atau ditarik dalam waktu hanya 10 menit. Tujuannya untuk mengantisipasi cuaca di Wimbledon yang mudah berubah.

Menilik itu semua, rasanya lengkap sudah Wimbledon menjadi turnamen yang sangat berkelas. Hanya, panitia agaknya lupa satu hal: penerangan lapangan. Persoalan lampu ini mencuat setelah dihentikannya partai pembuka antara Tim Henman – peringkat 74 dunia --dan Carlos Moya, peringkat 22, Selasa (26/6) pagi kemarin waktu Jakarta.

Partai keduanya dihentikan alias ditunda akibat lampu yang ada di lapangan tak mampu menerangi gelapnya malam.

Kedua petenis, sebenarnya sudah menjalani partai yang sangat ketat dengan masing-masing merebut dua set, 6-3, 1-6, 5-7, 6-2. Nah, pada set penentuan dan kedudukan 5-5, wasit memutuskan untuk menunda partai krusial itu. Padahal, hanya butuh dua match point saja untuk mengetahui siapa yang lolos ke babak kedua.

Laga yang tertunda akibat kurangnya penerangan juga menimpa 11 pertandingan di laga pertama lainnya. Total ada 12 laga yang ditunda karena alasan sama. Bahkan, dalam laporan pertandingan hari pertama kemarin, ternyata ada 11 laga lain yang dipindahkan jadwalnya.

Serangkaian kejadian nyeleneh itu tak mempengaruhi sejumlah unggulan untuk melaju ke babak kedua. Di bagian putra antara lain Roger Federer, Andy Roddick, Fernando Gonzalez, dan Tommy Haas. Di bagian putri diantaranya Martina Hingis, Justone Henin, Serena Williams, Patty Schnyder, Shahar Peer, dan Lucie Safarova.

Dipublikasikan di Harian Bisnis dan Investasi KONTAN, 27 Juni 2007

Read More......

Serba-Serbi Olahraga - 1

0 komentar


Share

Danto, DPA, Reuters

Awas, Pencuri Marak di Ruang Ganti Pemain

LONDON. Glamornya Turnamen Grand Slam ternyata menjadi daya tarik sendiri bagi pencuri. Sudah bukan rahasia jika turnamen ini berkelas. Hadiah totalnya saja mencapai US$ 22,572 juta atau sekitar Rp 203,14 miliar. Seluruh petenis putra dan putri terbaik di dunia tumplek blek di sana.

Satu kebiasaan petenis top dunia adalah rada acuh pada properti pribadi yang berharga, seperti dompet, telepon genggam, dan lain-lain. Di Wimbledon, kebiasaan itu terbawa dan sangat dimanfaatkan oleh si tangan panjang yang jahil itu.

Panitia turnamen Wimbledon terpaksa melipatgandakan tenaga pengamanan di sekitar turnamen, terutama di ruang ganti pemain, menyusul terjadinya serangkaian pencurian atas properti mereka. Media setempat melaporkan hal tersebut.

Petenis asal Denmark Kenneth Carlsen harus gigit jari lantaran kehilangan jam tangan kesayangannya. Carlsen menyimpan arloji Rolex-nya di ruang ganti pemain, saat melakoni partai kualifikasi.

Nasib serupa juga dialami Nicolas Mahut. Petenis Prancis itu kehilangan perangkat pemutar musik digital atau iPod. Petenis Inggris Jamie Murray juga mengalami nasib tercengang saat kembali ke ruang ganti sejumlah uang tunai dan telepon genggam miliknya sudah hilang.

Maraknya pencurian itu sempat dibicarakan dalam pertemuan tahunan pemain akhir pekan lalu bersamaan dengan partai kualifikasi Wimbledon. Peristiwa seperti ini bukan kali ini saja terjadi. Di pertandingan tahun-tahun sebelumnya juga insiden itu terjadi. Yang paling parah memang turnamen tahun ini.

Lantaran itu, "ATP kini tengah mempertimbangkan apakah perlu untuk menempatkan kamera di ruang ganti pemain. Tahun ini, masalah pencurian bertambah parah," kata Jonas Bjorkman, peringkat 35 dunia, yang sudah dua kali menjadi korban pencurian di Wimbledon, termasuk yang terakhir, kemarin.

Akibat pencurian itu, Bjorkman mengklaim kini hanya memegang uang tunai sebesar 20 euro atau sekitar Rp 244.000 di kantongnya. Bjorkman mengaku akan lebih awas terhadap barang-barang miliknya. Agaknya, berkaca dari kejadian ini, petenis top dunia harus membiasakan diri peduli pada properti, agar si tangan panjang tak lagi jahil, terutama turnamen sekelas Wimbledon.

Dipublikasikan di Harian Bisnis dan Investasi KONTAN, 29 Juni 2007

Read More......

Serab-Serbi Olahraga

0 komentar


Share

Danto, Reuters
Serangan Unik di Wimbledon

Sekelompok binatang kerap menggangu jalannya lombaGangguan binatang sejak tahun 1949

LONDON. Jangan geli jika mendengar cerita ini. Stadion tempat turnamen Grand Slam Wimbledon, yang katanya berkelas itu, ternyata dipenuhi banyak binatang menjijikkan.

Di beberapa sudut, sekelompok bajing tiba-tiba keluar menuju lapangan utama. Di pojok-pojok stadion lain, segerombolan tikus mencicit melewati atap stadion bersirobok dengan sekawanan burung merpati.

Petenis asal Jerman Boris Becker dan Nikolas Kiefer mengalaminya. Ketika asyik bertanding, tiba-tiba sekelompok merpati “mengebom” keduanya. Tapi, itu terjadi tahun 1999 lalu.

Kini, ancaman serangan serupa memang belum sirna. Panitia turnamen terpaksa melakukan langkah aneh untuk mengusir kawanan itu. Mereka menggunakan “jasa” Finnegan, seekor burung elang yang bertugas mengusir pasukan burung dara itu.

Setiap pagi, menjelang turnamen dimulai, pihak penyelenggara selalu melepas seekor elang di kompleks Stadion Wimbledon. Tujuannya, untuk menakut-nakuti burung-burung dara yang bisa sewaktu-waktu "mengebom" pemain seperti yang terjadi pada laga sesama petenis Jerman, Becker melawan Kiefer.

Beberapa hari lalu, Maria Sharapova sempat bercanda soal burung elang penjaga turnamen itu. Ketika akan menjalani laga perdananya, petenis cantik asal Rusia itu berpakaian mini dan ketat, berwarna putih mirip angsa.

Seorang penonton berseloroh, tidakkah takut diserbu elang yang perkasa itu? Sharapova kontan menjawab, "Memangnya elang biasa menggigit angsa? Ya Tuhan, mungkin sebaiknya saya memotong lipatan pakaian ini," katanya.

Menurut, Alan Little, seorang pustakawan Wimbledon, sejarah gangguan terhadap pertandingan tenis Wimbledon telah terjadi sejak lama. Pada tahun 1949, ball boy Wimbledon dibuat kerepotan untuk menangkap seekor tupai yang “bermain” di lapangan. Akibatnya para pemain harus duduk manis menunggu perburuan tupai tersebut berakhir.

Pam Shriver, juara lima kali Wimbledon nomor ganda, juga pernah merasakan terkena sengatan lebah ketika sedang bertanding. Sedangkan petenis legendaris, John Mcenroe dan Stephen Edberg harus bertanding dengan konsentrasi terpecah dalam pertandingan semifinal tahun 1989. Sebab, dua ekor burung gagak mondar mandir terbang rendah di atas lapangan Wimbledon.

“Serangan” yang paling heboh adalah serbuan para penonton ke lapangan Wimbledon. Pada laga final tunggal putra tahun 1957, Helen Jarwis merangsek ke dalam lapangan ketika pertandingan berlangsung untuk menyuarakan sistem perbankan baru.

Yang paling anyar adalah aksi seorang pria berbugil ria pada partai perempat final tahun lalu antara Maria Sharapova dan Elena Dementieva. Pria tersebut akhirnya diseret petugas keamanan keluar lapangan.

Mengomentari insiden tersebut, Maria Sharapova menjawab pendek. “Saya tidak memperhatikan dengan jelas,” katanya. Seorang jurnalis wanita iseng menanyakan apakah Sharapova terkesan oleh tubuh atletis sang penyerang? Sarapova menjawab, “Mungkin akan saya perhatikan di lain waktu,” katanya. Oalah….

Dipublikasikan di Harian Bisnis dan Investasi KONTAN, 30 Juni 2007

Read More......

Serba-Serbi Olahraga

0 komentar


Share

Danto, Reuters

Wanita Buta Sukses Cetak Hole in One

LOS ANGELES. Tak ada yang tak mungkin dalam sebuah permainan, termasuk golf. Buktinya, Sheila Drummond, pegolf amatir yang tidak bisa melihat alias buta sukses mencetak hole in one dari jarak sekitar 114 yard atau setara 157,6 meter.

Sekadar mengingatkan, hole in one adalah memasukkan bola dari teeing ground (tempat pertama kali bola dipukul) ke lubang dalam satu kali pukulan yang biasanya terjadi di par tiga (jaraknya antara 100-250 yard).

Drummond, pegolf wanita asal Amerika Serikat, membukukan hole in one di padang golf Mahoning Valley Country Club di Lehighton, Pennsylvania Minggu (19/8) waktu setempat. Bersama sang suami Keith dan dua teman akrabnya, wanita berusia 53 tahun itu bermain di lapangan yang sudah cukup dikenalnya.

Seperti biasa, dengan panduan suaminya Keith, Drummond melepas pukulan drive ke arah tiang dari jarak 114 yard tersebut. Di luar dugaan, bola hasil pukulannya itu langsung masuk ke lubang setelah sebelumnya menyentuh tiang bendera.

"Saya memukul bola dan salah satu kawan saya berkata: Oh, pukulan yang hebat," kata Drummond. “Kemudian dia berkata lagi: 'pukulan bola saya itu mampu melewati green, dan tunggu, ternyata malah langsung masuk ke lubang'. Kami semua mendengar bola mengenai tiang dan kemudian saya bertanya: ‘Benarkah pukulan bola saya masuk ke lubang?'”

Bersama suami dan dua kawannya tersebut Drummond langsung menuju hole tersebut untuk memastikan cetakan bola hole in one itu. "Akhirnya, saya mengetahui bahwa saya baru saja melakukan pukulan hole in one pertama saya," kata Drummond, sumringah.

Drummond, seorang anggota pengurus di Persatuan Pemain golf tunanetra Amerika Serikat, dinyatakan sebagai pegolf tuna-netra wanita pertama yang mencetak rekor hole in one. “Ya, benar, sayalah wanita pertama yang melakukannya. Tapi kalau di putra ada beberapa pegolf buta yang mampu membuat pukulan yang sama," katanya.

Drummond telah bermain golf selama 15 tahun dan memiliki handicap 44. Dia mengalami kebutaan sejak 1982 karena penyakit diabetes. Drummond dilatih bermain golf oleh suaminya yang supervisor di sebuah perusahaan laminating lokal.

Rekor Drummond menjadi yang pertama dalam sejarah golf. Soalnya, selama ini memang belum pernah ada pegolf wanita buta yang berhasil membukukan pukulan hole in one.

Selama ini, kehebohan jagat golf baru terjadi dengan adanya hole in one di par lima -- jaraknya antara 476 yard sampai 600 yard. Dalam sejarah golf, hole in one di par 5 baru sekali dicetak oleh Shaun Lynch pada 1995. Ia melakukannya saat bermain di Teign Valley Golf Club, Christow, Inggris. Hole par 5 yang ditaklukkannya memiliki panjang 450 meter.

Dipublikasikan di Harian Bisnis dan Investasi KONTAN, 22 Agustus 2007

Read More......

Duit di Sepakbola - 1

0 komentar


Share

Danto, BBC.Com

Hak Siar Naik, Belanja Melejit

Liga Premiership mencetak rekor belanja tertinggi

LONDON. Tak perlu mengernyitkan kening jika membaca hasil survei belanja pemain yang dilakukan 20 klub Premiership Inggris musim 2007-2008. Deloitte Sports Group, lembaga survei olahraga di Inggris, menyatakan klub-klub liga utama Inggris itu telah menghabiskan 530 juta pounsterling atau setara Rp 10,017 triliun untuk belanja pemain pada masa transfer musim panas ini. Angka itu sama dengan separuh dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta 2007 yang Rp 20,95 triliun.

Jumlah belanja musim ini naik duapertiga kali lebih tinggi dibanding belanja musim panas tahun lalu, yaitu 330 juta poun (Rp 6,237 triliun). Dari total belanja 530 juta poun itu, 265 juta poun (Rp 5 triliun) dibelanjakan untuk pemain dari luar Inggris. Sedang 110 juta poun (Rp 2,07 triliun) digunakan untuk membeli pemain dari sesama klub Premiership dan klub di divisi lainnya.

Dalam catatan KONTAN, dari 20 klub yang berlaga di Premiership, hingga bursa ditutup pada 31 Agustus lalu, tercatat ada 218 transaksi pemain yang lalu lalang di bursa transfer. Terdiri dari 111 pemain baru masuk klub, dan 107 pemain yang hengkang dari 20 klub itu.

Lalu, apa pemicu royalnya klub-klub dalam belanja pemain musim ini? Menurut Deloitte, penyebab utamanya adalah kehadiran pemilik baru beberapa klub dan melesatnya nilai jual hak siar Liga Premiership. Setidaknya ada tiga klub yang mendapat gelontoran dana berlimpah dari pemilik barunya. Yakni, Liverpool, Manchester City, dan West Ham United.

Dari hak siar, selama tiga musim ke depan Premiership memiliki angka penjualan hak siar televisi 1,7 miliar poun (Rp 32,13 triliun), lebih dari satu setengah kali APBD Jakarta 2007.

"Musim panas ini klub Premiership Inggris memecahkan rekor belanja pemain. Tapi sebenarnya itu tidak mengejutkan karena mereka akan menerima tambahan keuntungan dari hak siar 2007-2008 sebesar 300 juta poun," kata akuntan Deloitte, Paul Rawnsley, di London, Senin (3/9) waktu setempat.

Dalam hitung-hitungan Deloitte, dari 20 klub Premiership, 12 klub besar di antaranya menghabiskan lebih dari 20 juta poun (Rp 378 miliar) untuk memborong pemain. Sebagai gambaran, Manchester United menghabiskan 51 juta poun (Rp 963,9 miliar) belum termasuk transfer Carlos Tevez dari West Ham yang tidak diumumkan ke publik, Liverpool 50 juta poun (Rp 945 miliar), Tottenham Hotspur 40 juta poun (Rp 756 miliar), dan tim promosi Sunderland mengeluarkan hingga 35 juta poun (Rp 661,5 miliar).

Real Madrid paling royal

Deloitte juga melakukan survei terhadap klub-klub di luar Inggris. Real Madrid ternyata tercatat sebagai klub paling royal sejagat dalam belanja pemain. Musim panas lalu El Real menghabiskan 80 juta poun (Rp 1,52 triliun). Anggaran belanja mereka tersedot untuk menggaet Gabriel Heinze dari Manchester United dan Arjen Robben dari Chelsea. Bandingkan dengan rivalnya Barcelona yang hanya belanja 50 juta poun (Rp 945 miliar).

Deloitte menghitung pula, secara total belanja pemain di lima liga terbaik Eropa, yakni Inggris, Spanyol, Italia, Prancis, dan Jerman, mencapai 1 miliar poun atau setara Rp 18,9 triliun.

Dipublikasikan di Hariab Bisnis dan Investasi KONTAN, 5 September 2007

Read More......

Sebening Embun Pagi: Inspirasi Elly Susilowati

0 komentar


Share

Sebening Embun Pagi: Inspirasi Elly Susilowati

Read More......

Inspirasi Elly Susilowati

0 komentar


Share

Danto

Merajut Mimpi Sebelah Kaki (1)

Ketika memulai bisnis sepatu buatan tangan sendiri enam tahu silam, Elly Susilowati bisa dibilang bondo nekat alias bonek. Tak ada modal, juga kemampuan. Satu-satunya aset yang dimiliki hanyalah sebuah mesin jahit buatan 1970-an. Reyot di sana-sini. Meninggalnya suami karena stroke pada 2003 sempat membuat ia syok. Maklumlah, ketiga anaknya masih sekolah. Namun, itu membentuk tekadnya bak baja.

Kini, perlahan, mimpi menggapai bintang dengan sebelah kaki itu mulai tercapai. Tahun lalu, Elly meraih Entrepreneur Award UKM 2006 dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dari hasil usaha kerasnya itu. Berikut kisahnya untuk Anda.

*****
*****
TAK sekali pun Elly Susilowati, 40 tahun, membungkukkan badan selama satu jam itu. Duduk tegap di kursi tanpa sandaran. Berpakaian kasual warna hijau, sikapnya terkesan cuek. Sungguh lepas tanpa beban. Dengan menumpangkan kaki kanan di paha kiri, tak sejenak pun Elly membuka sepatu yang menempel di kaki kanan itu selama hampir 45 menit awal dari satu jam lebih pertemuannya dengan KONTAN, di rumah sekaligus workshop, Jalan Siaga II No. 42, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Selasa (11/9).

Kaki kiri dia biarkan terbuka tanpa alas sebagai penopang. Belakangan ketahuan kenapa Elly agak menutup telapak kaki kanannya itu. “Kaki kanan saya memang agak sedikit bermasalah, dalam ukuran normal sebetulnya bernomor sepatu 39, tapi lebih gemuk dari itu. Namun, dari sinilah saya memulai bisnis sepatu hand made ini,” kata Elly.

Begitulah. Telapak kaki kanan Elly sebetulnya tak memiliki cacat khusus. Bentuknya pun tampak wajar, seperti kaki orang pada umumnya.

Namun, Elly berkisah, sungguh manja kaki kanannya tersebut. Setiap kali membeli sepatu buatan pabrik yang beredar, entah di supermarket atau di mana pun, hampir pasti tak ada ukuran yang pas buat kakinya. Kalaupun ada yang seukuran dengan kakinya, kerap ia merasa tak nyaman. Bentuk telapaknya yang sedikit gemuk, membuat dia harus sedikit menahan sakit jika memakai sepatu buatan pabrik.

Hobinya yang selalu ingin gonta-ganti sepatu, membuat mantan liaison officer alias pekerja perusahaan konsultan public relations itu berfikir membuat sepatu buatan tangan sendiri. Ibarat moto pegadaian: mengatasi kaki masalah dengan tanpa masalah. Begitulah dia berfikir.

Pada 2001, Elly "pensiun" dari pekerjaannya sebagai liaison officer. Memutar otak untuk membuka bisnis, mulailah Elly merealisasikan idenya. Membuat sepatu sesuai dengan anatomi kaki. Bermodal awal Rp 1 juta, dia membeli bahan sepatu dari kulit hewan, seperti kulit kambing, kulit sapi, kulit ular, dan berbagai jenis kulit binatang lainnya. Dari sisanya, Elly membeli cetakan sepatu dan sebuah mesin jahit tua buatan tahun 1970-an. Reyot di sana-sini. Untuk mendukung usahanya, Elly merekrut dua orang karyawan yang bisa membuat dan menjahit sepatu.

Modal awal yang minim tersebut diberi dari sang suami, Kuncoro -- kini sudah almarhum -- yang kala itu masih mengajar di balai latihan pramugari maskapai Garuda. Saat itu sang suami mulai terserang stroke.

Dengan modal kecil itu, jadilah satu per satu sepatu yang sesuai dengan anatomi kaki. Sepatu yang kemudian Elly pakai sendiri itu dia coba tawarkan ke kolega-koleganya. Wanita asal Garut, Jawa Barat, ini menjual keunikan produknya. Berbahan kulit asli, dan sesuai selera pemesan. Harganya dibanderol mulai Rp 300.000 hingga lebih dari Rp 1 juta. Jika ditilik-tilik, produknya memang tak kalah berkelas dengan sepatu impor kelas menengah ke atas.

Pengalaman bekerja sebagai pekerja public relations sangat mendukungnya berkenalan dengan banyak orang, termasuk pejabat-pejabat tinggi negara. “Saya khusus membidik pasar kalangan menengah ke atas,” katanya.

Pemasaran langsung dan dari mulut ke mulut itu membuahkan hasil. Kerabat dan kolega mulai mengorder sepatu buatannya. Pesanan mulai membanjir. Lantaran kewalahan, perlahan Elly mulai menambah karyawan. Kini Elly telah mempunyai 13 orang karyawan. Bersama karyawannya, Elly saat ini mampu meraih omzet hingga Rp 15 juta per bulan atau Rp 180 juta setahun. Untuk kelas industri rumahan dan kategori usaha kecil dan menengah, pendapatan sebesar itu sudah termasuk lumayan.

Elly sempat terpukul ketika sang suami meninggal pada 2003. Bisnisnya sedikit goyah. Ketiga anaknya, yang kala itu masih sekolah mulai dari SMP hingga SMA, membuat Elly sedikit kelimpungan. “Tapi di situlah saya mendapat dorongan, bahwa saya mampu mengembangkan bisnis ini dan melanjutkan studi anak-anak saya,” kata Elly.

Tekad bajanya kembali timbul. Elly serius membangun bisnisnya. Tak lama setelah sang suami meninggal, dia mendirikan sebuah perusahaan keluarga pembuat kerajinan tangan sepatu dari kulit buatan tangan dengan nama PT Ethree Abadi. Nama perusahaannya ini juga memiliki asal-usul sendiri.
(Bersambung)

******
******

Merajut Mimpi Sebelah Kaki (2)

Budaya bajak-membajak gagasan yang masih marak di Indonesia sempat juga membuat Elly khawatir. Tak ingin idenya ditiru orang, Elly langsung mematenkan hasil pemikirannya tersebut. Ketika dia membentuk PT Ethree Abadi, empat tahun silam, Elly langsung mendaftarkan merek sepatunya yang juga bernama Ethree ke Departemen Hukum dan HAM.

Ethree adalah kependekan dari kata Elly dan Three. Selain terkesan berasal dari merek impor, Ethree juga bisa diartikan sebagai Elly yang berputera tiga. Dia kini memajang produknya di workshop sekaligus rumah pribadi di Jalan Siaga II No. 42, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

*****
*****
SUNGGUH sibuk kini Elly menjalani hari-harinya. Dalam seminggu, wanita asal Garut, Jawa Barat, ini hanya sesekali menikmati libur akhir pekan. Sisanya habis untuk bertemu dengan klien. “Hari ini saya harus bertandang ke Departemen Perindustrian, antara lain bertemu dengan Fahmi Idris,” kata Elly, Selasa (11/9) lalu.

Ya, nama yang disebut Elly adalah Fahmi Idris, Menteri Perindustrian era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini. Fahmi termasuk salah satu pemesan yang kini menjadi pelanggan sepatu buatan tangan made in Elly. Selain Fahmi, Elly mengaku memiliki klien lain, antara lain Menteri Usaha Kecil dan Menengah Surya Dharma Ali dan istri, mantan Menteri Perhubungan Agum Gumelar, Menteri Agama Maftuh Basyuni, pejabat di Sucofindo, dan sejumlah pejabat lainnya.

Elly agaknya memang tak bohong. Nama Fahmi Idris, misalnya, berada di urutan ke-11 daftar antrean pemesan pada papan berukuran 1 m x 0,5 m yang digantung di depan workshop-nya. Tepat di bawah nama Fahmi, tertera nama Diana Pungky, artis Indonesia. Selain kedua nama tenar itu, ada juga nama-nama lain yang masuk dalam antrean pemesan.

“Kini saya memiliki sekitar 1.000 pelanggan tetap, dua sampai tiga bulan sekali mereka pasti memesan sepatu baru,” kata Elly. Total pelanggan tetapnya itu merupakan 80% dari seluruh pasar yang kini dipegangnya.

Seluruh pelanggan setia itu terhimpun berkat kerja keras Elly. Semua memang tidak tercipta tiba-tiba. Lulusan SMA yang sempat mengecap pendidikan akademi itu semula melamar menjadi mitra binaan usaha kecil dan menengah (UKM) di Sucofindo, perusahaan BUMN yang bergerak di bidang inspeksi. Gayung bersambut. Pinangannya diterima. "Jangan lupa, setiap BUMN memiliki kewajiban untuk ikut serta membangun usaha kecil dan menengah, mereka juga mencari mitra," kata Elly.

Dia memang tak salah. Departemen Keuangan melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 316/MK.016/1994 mewajibkan BUMN untuk menyisihkan 1%-5% dari laba perusahaan untuk pembinaan usaha kecil dan koperasi (PUKK).

Nah, dengan menjadi mitra binaan Sucofindo, Elly sibuk mengikuti berbagai pameran. Antara lain yang diselenggarakan oleh Kementerian UKM, Bank BNI, Dinas Perindustrian, Dinas Perdagangan, Sucofindo, dan Badan Pengembangan Ekspor nasional (BPEN).

Aktifnya berpameran ria makin menambah pembelinya. Pesanan pun kian bertambah. Karyawan pun ditambah dari semula hanya dua orang kini menjadi 13 orang. “Layaknya perusahaan pada umumnya, kami tetap menggaji pekerja sesuai dengan UMR (upah minimum regional). Kami sadar, karyawan adalah sumber daya dan aset kami yang tak ternilai,” kata Elly.

Dari merekalah sepatu bermerek Ethree dihasilkan. Elly dan karyawannya tak akan tiba-tiba memproduksi sebuah sepatu jika belum ada pesanan. "Di luar pelanggan, ada sekitar 50 pesanan yang datang dalam sepekan," kata Elly. Inilah yang menjadi jaminan karyawannya tak akan menganggur.

Lantas, bagaimana cara seorang pemesan memperoleh sepatu yang diordernya? Sebelum Elly berburu bahan sepatu kulit sesuai pesanan, si pemesan terlebih dulu akan diukur ukuran kakinya. Klien juga akan ditanya selera pesanannya. Setelah deal, maka Elly berburu bahan sepatu ke daerah-daerah.

Dengan puluhan pesanan itu, Elly mengorder bahan baku kulit asli dari kawasan Surabaya dan beberapa daerah lain di Jawa Timur. Kok jauh? Ya, karena yang dipesan adalah bahan sepatu asal kulit hewan yang tidak mudah dijumpai di sembarang tempat. Elly harus hunting ke pelosok untuk memburu bahan sepatu sesuai pesanan. Antara lain berasal dari kulit sapi, kulit ular, kulit kambing dan domba, dan pelbagai kulit lainnya.

Setelah bahan datang, barulah karyawannya menggarap sepatu itu. Tak ada seminggu, pesanan sudah bisa diambil. Pekerjaan bisa diselesaikan dengan cepat mengingat karyawan Elly sudah terbiasa membuat sepatu. Mereka sebagian besar kaum pria yang bekerja laiknya jam kantor di workshop.

Oh, ya, yang disebut workshop milik Elly adalah ruangan khusus tempat memproduksi sepatu-sepatu kulit tersebut. Tak luas memang. Besarnya sekitar 6 meter x 5 meter.
(Bersambung)

*****
*****

Merajut Mimpi Sebelah Kaki (Selesai)

Membutuhkan sedikit usaha untuk menemui workshop Elly di Jalan Siaga II No. 42, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Maklumlah, tempat itu sedikit tersembunyi. Letaknya tak jauh dari stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Pejaten. Jika sudah ketemu, tengoklah, bagian utama workshop milik Elly. Tak besar memang. Luasnya hanya berukuran sekitar 6 meter x 5 meter.

Namun jika digabung dengan arena pajang sepatu yang sudah jadi dan ruang finishing produk, luas workshop milik Elly sekitar 325 meter persegi. Itu merupakan separuh dari total luas lahan tempat tinggal Elly yang jembar dengan ukuran total 600 meter persegi.

*****
*****
DARI luar, tak ada tanda-tanda rumah yang didiami Elly juga merupakan lokasi pabriknya. Di pintu keluar rumah, hanya ada sedikit penanda berupa neon box berukuran sebesar 80 cm x 40 cm bertuliskan Ethree Shoes, merek yang sudah dipatenkan Elly di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dari pekarangan rumah, bakal tak terlihat ciri ada tempat workshop. Soalnya, arena pajang itu ada di balik gerbang yang dibuat terpisah dengan pintu masuk rumah pribadi. Namun, tetap dalam satu pekarangan.

Gerbang penutup menuju workshop, yang letaknya di samping tempat kediaman, itu terbuat dari besi bercat cokelat dengan tinggi sekitar dua meter, menutup seluruh bagian workshop. Tak ada tanda-tanda di balik gerbang itu adalah tempat pabrik sepatu buatan tangan alias handmade.

Namun, jika sudah melewati gerbang, akan tampak pekerja-pekerja Elly yang berjumlah total 13 orang sibuk menggenjot mesin jahit sepatu dan merangkai pesanan klien. Asal Anda tahu, mereka bekerja seperti orang kantoran. Mulai kegiatan sekitar jam 08.00 pagi dan selesai pukul 17.00.

Dari lokasi inilah Elly mengendalikan seluruh bisnisnya. Selain melakukan roadshow menemui klien, Elly mengawali hari dari rumah tersebut ke tempat lokasi penjualan sepatunya.

Tekad mengembangkan usaha membuat ia tak terpaku pada workshop. Otak pun diputar. Maka, sejak setahun lalu, wanita kelahiran Garut, Jawa Barat, 27 Agustus 1967, ini mulai berfikir membuka tempat usaha di pusat-pusat perbelanjaan.

Sebagai langkah awal, tahun lalu Elly mencoba membuka gerai produknya di Cilandak Town Square atawa biasa disebut Citos, Jakarta Selatan. Gerainya bisa ditemui di Galeri Usaha Kecil dan menengah (UKM) lantai dasar pusat perbelanjaan tersebut. "Tapi, dibanding hasil roadshow saya, pendapatan di gerai itu masih kalah jauh," kata Elly.

Elly semakin giat melebarkan pasarnya. Awal Agustus 2007 lalu, dia kembali membuka gerai serupa di lantai satu UKM Center Waduk Melati, Jakarta Pusat. Selain roadshow dan membuka dua gerai, Elly tetap aktif berpameran ria. Dari sanalah produknya mulai terkenal. Elly mulai menuai hasil.

Kini, berbagai piagam penghargaan menghiasi dinding workshop-nya. Mulai dari penghargaan produsen sepatu hand made dari Suku Dinas Perindustrian Jakarta, penghargaan Asean Women Executive Golden Award 2006, dan yang paling membuat Elly sumringah adalah penghargaan dari Kementerian Koperasi dan usaha Kecil dan Menengah berupa Entrepreneur Award UKM 2006.

Melalui penjualan langsung, keaktifan mengikuti pameran, dan membuka dua gerai Elly kini bisa membukukan penghasilan bersih antara Rp 10 juta hingga Rp 15 juta per bulan. “Tapi, pendapatan paling besar berasal dari hasil penjualan langsung ke kolega saya,” kata Elly.

Dari pendapatan itu, kini tiga anak laki-lakinya lancar mengenyam pendidikan. Anak pertama tengah menyelesaikan ujian skripsi di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta Selatan. Anak kedua telah lulus dari sebuah akademi perhotelan. Dan, anak terakhir masih duduk di bangku sekolah sebuah pondok pesantren di bilangan Jakarta Selatan.

Sampai di sini Elly masih tetap memegang teguh falsafah seorang wirausaha: tak cepat puas dengan hasil yang dicapai.

Lantas, apalagi yang ingin digapai lulusan sebuah sekolah menengah atas (SMA) di Jakarta itu? Tak lain dan tak bukan persoalan permodalan. Minimnya modal membuat langkahnya menembus pasar ekspor masih sebatas mimpi.

Ada, sih, pembeli dari mancanegara yang sudah merasakan produknya. Namun, selama ini hal tersebut baru sebatas perseorangan. Itu pun yang mengikuti pameran produknya. Elly masih berharap pemodal mau bekerja sama dengan sektor UKM seperti yang dijalaninya.

“Tapi doakan saja, akhir tahun ini akan ada investor yang berniat membantu usaha saya, mudah-mudahan usaha yang telah saya rintis bisa semakin berkembang,” Elly berharap.

Jalan kesuksesan memang sudah terbentang. Ternyata, dengan sebelah kaki, merajut mimpi menggapai bintang di langit bisa juga digapai. Kuncinya mau berusaha. Kendati awalnya hanya bermodal nekat. Elly buktinya.
(Tamat)

Dipublikasikan di Harian Bisnis dan Investasi KONTAN, 20-22 September 2007

Read More......
Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger