Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Selasa, 20 Mei 2008

Tapal Batas

Tapal Batas

Danto

Siang bolong itu mendadak redup. Gelap. Matahari tak lagi tampak. Angin bergemuruh. Awan-awan bergumpal-gumpal. Berdesak-desakan. Bak sepasukan serdadu, menggeruduk langit atap rumahku. Maaf, langit kampungku di tapal batas kota Bekasi.

Dalam hitungan belasan menit, mendung menggayut-gayut itu akhirnya pecah juga. Byar!! Hujan mengguyur deras nian. Listrik di rumahku tiba-tiba saja mati. Cilaka!!

Aku baru saja merapikan pakaian. Istriku ikut mengancingkan kemeja coklat yang beberapa saat sebelumnya aku pakai. Si kecil Aulia, kini sudah dua tahun, ikut merengek. Bingung. Haruskah kubatalkan janji wawancara dengan seorang direktur utama investor tol Trans Jawa di sebuah hotel di bilangan Kuningan, Jakarta.

Jam sudah menunjukkan pukul 13.05 WIB. Sementara waktu janji adalah pukul 15.00. Butuh waktu satu setengah hingga dua jam dari rumahku untuk sampai di tempat perjanjian. Sejenak ragu memburu. Gamang menyerang. Jika tak segera berangkat, maka bisa jadi aku telat. Malu nian jika aku terlambat datang.

“Aa, sebaiknya tunggu hujan reda. Sangat ngeri jika berangkat sekarang,” istriku merajuk. Aku terpaku sejenak. “Kita lihat beberapa saat lagi, siapa tahu hujan cepat reda,” jawabku.

Si kecil Aulia mendekat. Merengek minta digendong. “Ayah, tatu Ayah,” lidah cadelnya tak jelas mengatakan apa. Barangkali takut. Di luar, petir sesekali menggelegar. Kilatan cahayanya sejenak-sejenak menerangi ruang tamu depan rumah. Kugendong. Kuusap rambut si kecil.

Setengah jam berlalu. Listrik masih juga mati. Petir masih menyambar-nyambar. Hujan tetap deras. Angin di luar masih bergemuruh. Waktu terus bergerak. Hatiku masih gundah. Berharap hujan segera menjadi sahabat. Ternyata harapan tak juga mampir. Hujan tetap deras. Listrik tetap mati. Petir masih menyambar-nyambar.

Ku tengok sejenak jalanan di depan rumah. Air sudah menggenang. Kira-kira 10 sentimeter tingginya. Selain kegaduhan hujan, tak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Di luar sepi. Pintu rumah tetangga-tetanggaku terkunci rapat-rapat. Barangkali lebih baik bergelung sarung, ketimbang menunggu sang pangeran banyu, maksudku hujan, berhenti mengencingi rumah. Berada dalam gendonganku, agaknya membuat si kecil merasa nyaman. Tertidur.

Aha!! Syukurlah, beberapa saat kemudian listrik hidup. Cahaya lampu kembali menyeruak. Ruangan gelap, kendati masih tengah hari, jadi lebih terang. Cuma, itu tak membantu khawatirku. Hujan di luar masih deras. Jarum jam detik serasa menusuk-nusuk. Jam kini sudah menunjukkan pukul 13.30. Artinya sudah setengah jam berlalu. Tanda-tanda hujan berhenti belum juga muncul. Tenggat waktu untuk wawancara makin mepet.

“Sayang, Aa harus berangkat sekarang, biar pakai jas hujan saja,” kataku. Istriku terdiam. Aku tahu, ada nada tak setuju dari sorot matanya. “Insya Allah nggak ada apa-apa,” tambahku. Terdengar klise, memang. Tapi begitulah aku, istriku, dan si kecil.

“Ya, udah, tapi hati-hati di jalan,” katanya. Kukecup kening, pipi kanan dan kiri, dan bibirnya yang mungil. “Assalamu’alaikum,” kataku. “Wa’alaikum salam,” jawabnya.

Kusambar jas hujan yang tercantel di jok motorku. Kugaet sepatu boot. Rada pengap berpakaian ala astronot seperti itu. Hujan masih mengguyur, meski mulai menipis.

Gruuungggg…gruunggggg…ku tancap gas sepeda motorku. Menerjang hujan dan genangan air. Kacamataku sedikit gelap tersapu air hujan. Pikiranku sudah ada di hotel tempat aku wawancara dengan pejabat investor lokal tersebut.

Air sudah mengalir deras melalui jalanan pesawahan di depan komplek rumahku. Tempat tinggalku memang sangat ndeso. Ada di tengah-tengah sawah. Di ujung tapal batas wilayah Tambun, Bekasi. Kanan kiri pesawahan. Jika hujan seperti ini, jalan bakal tak terlihat. Harus bertempur dengan genangan air. Hujan petir begini, jalanan sungguh lengang nian. tak ada satupun orang lewat di jalanan.

Apa yang harus terjadi terjadilah. Datang tak dijemput, pulang tak diantar. Begitulah. Tepat di tengah sawah, dua ratus meter dari gerbang perumahanku, tiba-tiba kilat datang menyambar. Sangat putih dan menyilaukan mata. Berbentuk cambuk, atau sebangsa cemeti kuda. Atau mungkin seperti lambang PT PLN. Sangat putih. Sangat dekat. Tepat di depan mata.

Gelegarrrr…..Gelegarrr…. Aku mendadak berhenti. Terkejut bukan kepalang. “Masya Allah, Astaghfirullahall ‘adzim,” gumamku, seketika.

Apa yang aku lihat di depan mata kepala sendiri sungguh membuat bulu kuduk berdiri. Kabel listrik di tiang PLN yang membentang sepanjang sawah, tiba-tiba menjuntai tepat di kepalaku. Putus tersengat petir itu.

Prepeeettttttt…prepeeettttt… Sambaran api menjalar mengikuti aliran listrik di kabel sepanjang sawah. Tepat melalui di atas kepalaku. “Astaghfirullahal’adzim,” kulafadzkan kembali kata itu. Begitu cepat. Aku merasakan: sangat dekat dengan kematian.

Setelah itu diam. Listrik mati. Jantungku dag-dig-dug. Tanganku gemetar. Kubalikkan kembali sepeda motorku. Tergesa-gesa. Aku kembali. Cuma, aku berhenti di warung tepat di pintu gerbang perumahanku. Kutenangkan batin dan hati yang sangat berdebar-debar ini. Untuk sementara terpaku. Belum juga bisa ngomong. Sampai akhirnya tukang warung menyapaku. “Ada apa, Pak,” tanyanya. Kujelaskan runut sejak sang petir menyambar kabel listrik itu. Tentu, sambil sesekali mengurut dada.

Aku masih percaya, Tuhan masih melindungi. “Alhamdulillah, Ya, Allah. Engkau masih memberi kesempatan kepadaku untuk menghirup udara dan memperpanjang detak jantung,” gerentes hatiku.

Andai saja…andai saja…kalau saja…jika saja…seumpama saja….Tak putus-putus aku mengucap kata itu. Andai saja tak ada tiang listrik dan kabel itu, barangkali aku sudah gosong. Terbujur kaku. Cuma tangisan istriku tercinta dan rengekan si kecil. “Alhamdulillah, Ya, Allah, Engkau masih memberi kesempatan hamba untuk mengingat-Mu,” terus mulutku bergumam.

Setengah jam kemudian, hujan makin menipis. Kilat hampir sudah tak ada. Petir pun sudah tiada. Aku pikir, gelegar tadi itulah puncak dari kemarahan sang petir.

Kunyalakan kembali motorku. Bukan kembali ke rumah. Kugenjot gas motorku menuju hotel tempat aku wawancara. Telat setengah jam memang. Untung saja, si direktur utama tadi juga rada telat. Jadi aku tak terlalu malu.

****
****

“Syukurlah, sayang. Semuanya kita serahkan pada Yang di Atas. Alhamdulillah, Ya, Allah,” begitulah istriku. Tepat jam 23.00 WIB, Rabu 19 Maret 2008, istriku memeluk erat aku yang pulang masih dengan jasad utuh dan masih bernyawa. “Alhamdulillah, Ya, Allah,” berkali-kali kuucapkan kembali. Kupeluk si kecil. Kucium keningnya. Dia hanya diam. Barangkali tak mengerti apa yang sudah terjadi. Kami bertiga berpelukan. Menangis haru. Semua perasaan bercampur aduk. Haru, sedih, senang. Tak karuan.

Malam sudah larut. Perumahaanku sudah sangat senyap menjelang tengah malam itu. Semua kembali ke peraduan. Siap kembali menjalani hidup, esok hari. Aku serasa terlahir kembali. Lahir di tapal batas kota Bekasi. Juga tapal batas antara kehidupan dan kematian.



Jakarta, 20 Mei 2008
Pukul 19.40 WIB

Untuk mengenang Rabu, 19 Maret 2008

2 komentar:

Unknown mengatakan...

halah Dan .. untung aja Tuhan melindungimu ya .. aku juga pernah tuh nyaris kesambar petir. persis di depan motorku pas di jogja. aku juga sampe deleg-deleg, diem aja di pinggir jalan.

Bunga Padang Ilalang mengatakan...

Tuhan kadang punya rencana sendiri...Amiin...

Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger