Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Senin, 22 Februari 2010

Badai Pasti (Belum) Berlalu

0 komentar


Share

Menjelang Depressi Besar (The Great Depression) Jilid II

***
***
“Krisis subprime mortgage 2007 hanya sebuah permulaan. Banyak ramalan masih ada lagi kondisi krisis global yang lebih buruk mulai 2011: krisis global yang mirip, bahkan melebihi, The Great Depression 1929-an. Siapkah kita?”
***
***
Jaman malaise adalah periode kelam dalam sejarah. Ini adalah masa ketika depresi besar alias The Great Depression melanda seluruh dunia. Periode itu terjadi mulai 1929 hingga 10 tahun kemudian.

Ketika itu, saham-saham raksasa dunia di Dow Jones Industrial Average (DJIA) bertumbangan. Ini berimbas pada jatuhnya harga-harga produk dan pangan di seluruh dunia. Di Jawa, banyak penduduk kelaparan akibat keengganan bercocok tanam lantaran jatuhnya harga pangan.

Secara singkat, penyebab depresi kala itu akibat gelembung ekonomi. Awal mulanya berasal dari gairah bursa Dow Jones yang terdorong oleh kebijakan The Federal Reserves (The Fed), bank sentral Amerika Serikat. Periode masa itu, The Fed menurunkan suku bunga untuk mendukung Bank Sentral Inggris, Bank of England dalam menerapkan standar emas. Penurunan suku bunga berlangsung antara 1925 hingga 1927.

Akibatnya, jutaan warga Amerika Serikat meminjam uang di bank dan kemudian menginvestasikannya di bursa saham. Saat itulah terjadi ledakan spekulatif yang menggiring terciptanya gelembung ekonomi (economic bubble).

Rasanya kita sudah tahu ending dari cerita ini selanjutnya. Pada pekan terakhir Oktober 1929, bencana tsunami datang. Pasar saham ambruk, harga-harga saham di bursa DJIA terjun bebas.

Awalnya, pada 29 September 1929, DJIA mencatatkan pertumbuhan spekatakuler dengan angka indeks di level 381,17. Ini adalah angka indeks tertinggi sejak DJIA berdiri pada 1896. Namun, sebulan kemudian, bursa mulai merah. Pada Kamis, 24 Oktober 1929, harga saham terjun bebas. Peristiwa itu dikenal dengan sebutan “Kamis Hitam” (Black Thursday).

Beberapa langkah coba ditempuh oleh pimpinan bank-bank terkemuka di dunia, di antaranya dengan membeli saham-saham unggulan untuk mengangkat sentimen positif. Namun sayangnya, hal itu tetap tidak mampu mendongkrak pasar. Kepercayaan investor pudar.

Indeks terus melorot. Pada 28 Oktober 1929, indeks kembali terjun bebas dan terpangkas 38,33 point alias anjlok sebesar 12,8%. Saat itu indeks ditutup pada level 260,64. Esoknya, pada Selasa, 29 Oktober 1929, bursa Dow Jones kembali terkoreksi kembali sebesar 30,57 poin menjadi 230,07. Angka ini terpangkas 11,7%. Dalam dua hari itu, indeks sudah jatuh sebesar 24,5%. Sehari itu, kerugian di bursa mencapai US$ 14 miliar. Hari itu dikenang sebagai “Selasa Hitam” (Black Tuesday).

Total kerugian dalam minggu itu mencapai US$ 30 miliar, atau 10 kali lipat dari anggaran belanja tahunan pemerintah federal Amerika Serikat dan lebih besar dari seluruh biaya yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat guna membiayai Perang Dunia II. Dahsyat!

Bagi broker-broker saham di dalam gedung bursa Dow Jones, peristiwa itu ibarat air bah datang menghantam. Sebab, para pemain saham bergelombang-gelombang menjual sahamnya.

Harap maklum jika para makelar-makelar itu kemudian histeris dan menangis sejadi-jadinya. Mereka tak segan merobek-robek semua dokumen jual beli saham yang tak ada harganya lagi. Kekayaan mereka tiba-tiba menguap tak berbekas. Suara mereka sampai serak parau mencari seorang pembeli saham saja.

Lelucon pada saat itu sungguh melekat hingga kini. Konon, setiap pembeli saham perusahaan Goldman Sachs menerima dengan cuma-cuma sebuah revolver (untuk bunuh diri), dan bila orang-orang memesan sebuah kamar hotel, oleh resepsionis ia disambut dengan pertanyaan: “Untuk tidur atau untuk loncat dari jendelanya?”

Runtuhnya lantai bursa menyebabkan banyak bank gulung tikar. Awal tahun 1930, ada 60 bank gulung tikar, disusul 254 bank di bulan November, dan 344 bank di bulan Desember. Salah satu bank yang gulung tikar adalah Bank of the United States, bank keempat terbesar di New York, dengan 450.000 depositor.

Akibat besarnya kerugian inilah, krisis ini disebut sebagai krisis besar (The Great Depression). Krisis dahsyat yang disebut juga sebagai jaman Malaise ini turut berdampak ke Indonesia yang kala itu masih dalam pemerintahan kolonial Belanda.

Di Indonesia, terutama di Jawa, terjadi kemerosotan ekonomi yang cukup parah. Jutaan orang meninggal akibat kelaparan dan lahan-lahan pertanian tidak tergarap dengan baik akibat jatuhnya harga pangan. Krisis ekonomi ini terus berlangsung hingga datangnya Perang Dunia II.

***
***
Dua tahun lalu, kita merasakan gejala serupa. Munculnya krisis kredit perumahan kelas rendah alias subprime mortgage berimbas kepada skala global. Subprime merupakan kredit pemilikan rumah (KPR) berisiko tinggi yang ditawarkan dengan opsi menarik. Dalam setahun pertama, debitur Subprime tidak dikenakan bunga. Bunga baru dikenakan setelah setahun pertama. Kredit ini diperuntukan bagi kalangan masyarakat bawah yang belakangan macet dan berimbas ke lembaga-lembaga keuangan raksasa. Jumlah total dana yang macet sejatinya cuma US$ 1,5 triliun atau sekitar Rp 14.037 triliun (empat belas ribu tiga puluh tujuh triliun rupiah). Namun, belakangan jumlah kerugian membengkak lantaran menimbulkan efek domino.

Bagaimana krisis ini meruntuhkan perusahaan-perusahaan raksasa Amerika Serikat macam Citigroup Inc. dan Merrill Lynch & Co, hingga Lehman Brothers. Dampaknya luar biasa besar. Ekonomi dunia lesu darah. Ekspor impor internasional juga menyusut.

Akibat kejatuhan ini, Uni Eropa sampai harus mengabulkan paket dana talangan (bailout) otomotif Prancis, Spanyol, dan Italia. Jumlahnya miliaran Euro. Prancis, misalnya, mengucurkan pinjaman darurat 6,4 miliar Euro atau sekitar Rp 80,8 triliun bagi produsen otomotif, asalkan para produsen berjanji pabrik mereka di Prancis tetap buka.

Di pusat krisis: Amerika Serikat, Presiden Barrack Obama menyerukan pembelian produk dalam negeri, yang kemudian dikenal dengan sebutan Buy American. Obama juga menggelontorkan paket stimulus ekonomi senilai US$ 827 miliar, atau sekitar Rp 9.924 triliun alias hampir 10 kali lipat total belanja Indonesia di APBN 2009. Dana super jumbo itu antara lain untuk penyelamatan paket otomotif dan mengambil alih Fannie Mae dan Freddie, dua bisnis raksasa dalam bidang pendanaan hipotek yang tak mampu lagi membayar kewajibannya US$ 5,2 triliun.

Di Amerika Serikat,sebanyak 123 bank mendaftarkan kebangkrutan. Indeks-indeks bursa saham di seluruh dunia pun mengalami koreksi tajam di atas 50% hanya dalam setahun.

Laporan terakhir Bank of America, seperti dikutip dari Channel News Asia, menyatakan, krisis sub prime Amerika Serikat ini telah mengakibatkan kerugian di bursa saham total sebesar US$ 7,7 triliun atau sekitar Rp 72.056,6 triliun. Jumlah ini setara dengan 72 kali total belanja Indonesia di APBN 2009.

Pada sektor riil, krisis ini menyebabnya banyaknya pengangguran di berbagai negara. Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani, pada rapat kerja dengan panitia anggaran DPR RI, 12 Februari 2009, mengungkapkan, akibat krisis ini, pengangguran di Inggris mencapai 1,92 juta, pengangguran di Spanyol naik dari 13% ke 16%. Penggangguran di Perancis meningkat dari 7,9% menjadi 10%.

Beberapa perusahaan mengurangi pegawai: Citigroup mengurangi 52.000 pegawai, Bank of America mengurangi 35.000 pegawai, Nissan Motor Inggris mengurangi 1.200 pegawai, Microsoft mengurangi 5.000 pegawai, Motorola mengurangi 4.000 pegawai, Sony mengurangi sebesar 18.000 pegawai, dan Honda mengurangi 3.000 pegawai.

Di Indonesia, krisis ini juga memicu pemerintah melakukan penyelamatan Bank Century. Belakangan, kebijakan ini menimbulkan kisruh.

Sepanjang tahun lalu, sebagian besar dari kita beranggapan krisis sudah berakhir dan menuju pada pemulihan. Namun, benarkah demikian? Jika sesekali meluangkan waktu menelusuri kondisi Amerika Serikat dan Eropa di dunia maya saat ini, ada sejumlah hal yang membuat asumsi krisis sudah lewat salah besar.

Misalnya, situs internet yang membahas soal mortgage http://www.mortgagenewsdaily.com. Beberapa waktu terakhir, rajin menyiarkan ancaman krisis tahap II yang bias menjadi pertanda The Great Depression Jilid II.

Kita memang berhasil melalui krisis subprime mortgage. Namun, sesungguhnya ada lagi kredit yang rada-rada mirip dengan subprime yang berpotensi besar menggulung lembaga-lembaga raksasa keuangan dunia.

Di Amerika Serikat, subprime Mortgage bukanlah satu-satunya produk Kredit Kepemilikan Perumahan (KPR) berisiko tinggi. Ada dua jenis lainnya, yakni Alt-A dan Option ARM. Dua kategori kredit ini diperuntukan bagi masyarakat pengangguran yang tidak mempunya pekerjaan juga tanpa agunan. Sangat berisiko!

Ada perbedaan dua jenis kredit ini dengan subprime. Jika subprime bebas bunga selama setahun pertama, Alt-A dan Option ARM memberikan keleluasaan pada nasabahnya dalam membayar cicilan selama lima tahun pertama. Setelah itu, baru dikenakan penyesuaian bunga secara berkala. Gawatnya, setelah lima tahun itu, rata-rata kenaikan suku bunganya mencapai 80%. Edan!

Alt-A dan Option ARM diperuntukan bagi kalangan yang relatif lebih mampu ketimbang subprime, namun tidak benar-benar aman. Dua jenis kredit ini mulai mengucur sejak 2005-an. Nah, pada tahun ini dan pada tahun depan, adalah masa lima tahun kedua dimana konsumen akan dikenakan bungan mencekik tadi: 80% per tahun. Padahal, konsumen dua jenis kredit ini sangat berpotensi gagal bayar lantaran tak punya sokongan dan faktor fundamental kuat untuk membayar. Catatn saja, jumlah total kredit yang beredar masing-masing US$ 2,5 triliun untuk Alt-A, dan US$ 500 miliar untuk Option ARM. Totalnya US$ 3 triliun. Bandingkan dengan subprime mortgage yang cuma US$ 1,5 triliun.

VP Research & Analys PT Valbury Asia Securities Nico Omer Jonckheere punya catatan menarik soal ini. Nico melihat kredit properti komersial sudah menunjukkan tanda-tanda ambruk. Catatan saja, nilai kredit real estate komersial di AS mencapai US$ 3,5 triliun.

"Harga properti komersial turun lebih dari 34% sepanjang 2009. Nasabah yang gagal membayar cicilannya meningkat dari 1% menjadi 9%. Nilai gagal bayar meningkat 423% menjadi US$ 52,7 miliar dari tahun 2008 sebesar US$ 12,5 miliar," papar Nico (www.detikfinance.com).

Volume transaksi properti komersial, mengalami penurunan tajam dari sebesar US$ 133,2 miliar di 2007 menjadi US$ 4,8 miliar di triwulan I-2009. Sekitar 90.000 properti komersial di Amerika Serikat saat ini tidak dihuni, kosong. Selain itu, lebih dari 2.600 bank di Amerika Serikat memiliki portofolio pinjaman properti komersial di atas 300% dari batasan risiko yang ditetapkan (risk based capital).

Walhasil, potensi gagal bayar sangat besar. Sepanjang tahun 2009 saja, bank-bank di seluruh dunia telah melakukan pemutihan utang senilai US$ 1 triliun, lantaran meningkatnya gagal bayar. Tak berhenti di situ, pemutihan utang yang akan dilakukan bank-bank di dunia selama tahun 2010 akan mencapai US$ 1,5 triliun. Nico meramal, mulai pertengahan 2010, kerugian bank-bank di Amerika Serikat akan melebihi depresi besar 1929.

Lembaga keuangan Credit Suisse Februari ini bahkan menyatakan akan menjadwal ulang utang kredit Alt-A dan Option ARM senilai U$$ 1 triliun. Penjadwalan kembali ini yang berpotensi menimbulkan kredit macet lebih besar (lihat http://www.mortgagenewsdaily.com/02112009_Alt_A_Resets.asp).

Survei kuartalan terbaru Standard & Poor's Fixed Income Risk Management Services yang dirilis 18 februari 2010 lalu kian menegaskan, hingga saat ini potensi gagal bayar akibat kredit Alt-A dan Option ARM di Amerika Serikat melonjak tajam, dari 1,4% menjadi 34,36% dibanding kuartal sebelumnya.

Kini, nyata-nyata gejala dan tanda-tanda depresi besar (The Great Dpression) Tahap II setelah periode 1929 bakal kembali terjadi. Jika dengan subprime mortgage senilai US$ 1,5 triliun saja dunia sudah sedemikian gempar, bagaimana jika kredit Alt-A dan Option ARM dengan nilai total US$ 3 triliun juga macet. Siapkah kita? Ealah dalahh…!!! Badai pasti (Belum) Berlalu...

Jakarta, 21 Februari 2010



http://www.facebook.com/notes/danto-tea/badai-pasti-belum-berlalu/346807454611#!/profile.php?ref=profile&id=1023372280

Read More......
Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger