Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Selasa, 21 Februari 2012

"Sopir"

0 komentar


Share

Posisi selalu berbanding lurus dengan fasilitas. Demikianlah saya. Menempati posisi penting di perusahaan, turut mendorong pemberian fasilitas juga meningkat. Salah satu fasilitas yang saya dapatkan adalah sopir pribadi.

Perusahaan kami bergerak di industri Public Relation. Meskipun perusahan kami bukanlah perusahaan besar, setidaknya kami optimistis ini akan menjadi besar dan bersaing, bahkan bermimpi menjadi perusahaan go global (Amin...). Meski baru seumur jagung, saat ini setidaknya kami sudah mendapat kepercayaan menjadi partner dua perusahaan skala multinasional. Di samping, perusahaan-perusahaan nasional yang kerap menghiasai media-media nasional.

Saya sendiri tak pernah berkeinginan memiliki sejumlah fasilitas, termasuk sopir pribadi ini. Sebetulnya, secara pribadi saya lebih suka menyetir sendiri. Bahkan lebih enjoy naik Vespa tua. Bisa lebih bebas, berpakaian sederhana, dan tidak menjadi perhatian banyak orang. Tapi, tuntutan dan kebutuhan memaksa saya harus memiliki sopir pribadi.

Berada di top manajemen, pekerjaan selalu datang kapan saja. Tak mengenal waktu dan tempat. Ketika sedang libur pun, juga tak peduli. It’s okay, no problem. Yang penting enjoy. Bahkan ketika di perjalanan, harus bekerja layaknya di kantor berjalan. Itu sebabnya, butuh orang yang bisa membantu saya bekerja di dalam kendaraan. Kebutuhan sopir pribadi pun datang.

Empat bulan lalu, saya coba membuka lowongan sopir. Tentu, cukup dengan cara gethok thular alias dari mulut ke mulut saja. Termasuk ke orang tua dan mertua saya. Tapi tak juga dapat. Ternyata lumayan susah mencari pekerja yang sudah mahir di bidangnya. Bukan hanya yang berpendidikan tinggi, tapi yang bisa mengendarai kendaraan juga idem dito.

Didapatlah tetangga perumahan. Dia tinggal di kampung sebelah perumahaan saya. Umurnya menjelang kepala empat, tiga tahun di atas saya, cuma belum nikah. “Insya Allah kalau sudah dapat pekerjaan tetap Pak,” katanya, kepada saya. Tempat tinggalnya yang tidak jauh dari rumah saya, menyebabkan dia siap kapan saja mengemudikan mobil.

Jujur saja, latar belakang saya yang wartawan, dengan karakter khas yang biasanya berpenampilan acak-acakan dan seadanya, dengan memiliki sopr pribadi terkadang membuat saya tak nyaman sendiri. Saya biasa melakukan hal apapun sendiri. Maka, setelah dia menjadi sopir pribadi saya pun, pernah saya liburkan. Alasannya sederhana, saya ingin menyetir mobil sendiri. What? Tentu saja dia bingung. Kenapa tidak ada apa-apa diliburkan? Cuma akhirnya dia mengerti, bahwa saya ingin mengendarai mobil sendiri.

Di awal bekerja di kantor sekarang, saya tetap mempertahankan ciri khas saya: penampilan sederhana, tidak suka gaya glamour, dan tetap pendiam. Bagi yang belum kenal, tentu akan menyangka saya hanyalah orang operasional yang tidak mengerti apa-apa. It’s okay. Itu memang khas saya: tidak pernah mau dan tidak pernah ingin menonjolkan diri. Saya lebih suka silent, tapi hasil kerja ok.

Namun, belakangan saya mulai menyesuaikan diri. Saya boleh saja menonjolkan ego saya berpenampilan apa adanya, tapi teman-teman saya yang necis, tentu kemungkinan akan merasa risih jika partner mereka berpenampilan “dekil” (hehe..). Maka, perlahan-lahan, saya sedikit menyesuaikan penampilan. Mulai merawat wajah dan kulit, yang sebenarnya sangat risih bagi saya pribadi. Tapi tak apa.

Kepada sopir saya, suatu saat, saya tanyakan, apa saya kepribadian, gaya pakaian, dan gaya hidup saya sudah berubah? “Biasa-biasa saja, Pak,” katanya. Syukurlah. Berarti saya belum berubah. Sejujurnya, saya sangat khawatir, posisi dan aneka fasilitas saat ini akan mengubah gaya hidup saya. Saya mash ingin tetap seperti saya yang dulu: tetap sederhana, silent, tidak banyak bicara, dan tidak jumawa. Sebab, itu yang selalu saya tekankan kepada adik-adik dan keluarga saya.

Roda kehidupan pastilah berputar. Dulu, ketika menjalani proses mencapai seperti saat ini, untuk makanpun saya sangat susah. Biaya pendidikan sangat minim. Untuk membiayai sekolah dan kuliah saja, saya harus bekerja apa saja: menyabit rumput buat kambing-kambing waktu di desa, kuli nyangkul di sawah tetangga, menjadi kuli bangunan, mengajar privat, hingga menjajakan koran di bis-bis kota. Bahkan, karena ketiadaan makanan, saya dulu selalu puasa Senin dan Kamis. Dan, setelah semuanya tersedia, saya tidak ingin menggunakan aji mumpung. Saya selalu mengingat: roda kehidupan selalu berputar.

Maka, ketika hingga saat ini saya selalu (Insya Allah) menjalankan puasa sunah Senin dan Kamis, sopir pribadi saya tampak tidak enak jika di hari itu dia ngemil makanan ringan di mobil. Saya bilang, “nyantai aja, Mas”. Awalnya dia tidak mengetahui rutinitas Senin-Kamis itu. Sampai akhirnya, saya baru mengambil minuman dan makanan di mobil saat adzan maghrib tiba, setiap hari itu.

Saya selalu berharap, saya tidak berubah. Saya ingin tetap seperti yang dulu, tidak adigung adiguna, menghargai waktu, dan menghargai setiap orang tanpa memandang jabatan dan usia. Termasuk kepada sopir saya. Ketika di mobil, bukan tanpa alasan hingga saat ini saya selalu duduk di kursi depan di samping dia. Umumnya, bos dan bawahan di mobil pribadi bisa ditebak: bos selalu duduk di kursi belakang, dan sopir duduk sendiri memegang kemudi. Tapi tidak bagi saya. Saya ingin selalu menghargai dia. Langkah kecil ini mudah-mudahan tetap membawa saya pada prinsip yang selalu saya pegang.

Ada beberapa teman dan kolega yang mempertanyakan, apakah yang mengemudikan mobil adalah teman dan bukan sopir saya? Setiap kali saya ditanya hal ini, hampir selalu pasti saya jawab, dia teman saya. Bukan lagi sok humanis, tapi entahlah. Mudah-mudahan dengan begini, saya tetap selalu memuliakan siapapun, termasuk sopir pribadi saya. Saya selalu berfikir, jika suatu saat saya tidak seperti ini dan posisi di bawah kembali, saya akan selalu siap: kapanpun. ***

Read More......
Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger