Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Rabu, 10 November 2010

PKI, dan Mengapa Obama ke Universitas Indonesia

0 komentar


Share

by Danto

Pada sejarah, kita belajar betapa bertali-temalinya peristiwa. Pada sejarah pula, kita bisa mengetahui betapa masa kini adalah hasil dari masa lalu. Kedatangan Obama ke Indonesia, 9-10 November 2010, salah satunya ke Universitas Indonesia, juga menampakkan gejala ini. Kunjungan Obama ke Universitas Indonesia, bisa dilihat dari serentetan panjang sejarah pergulatan Indonesia-Amerika. Tentu, ada tafsir lain soal Obama ke Universitas Indonesia ini.


Sejarah ini bermula pada masa Perang Dunia II. Pada Februari 1945, Konferensi Yalta memutuskan Eropa menjadi dua blok besar: Eropa Barat dan Eropa Timur. Eropa Barat ada di bawah komando Amerika Serikat, pemenang perang Dunia II. Eropa Timur di gerbong Uni Soviet.

Setelah Perang Dunia II, Uni Soviet berhasil mengembangkan pengaruh ke negara-negara di sekitar, terutama Eropa Timur, hingga pelosok bumi, juga pedalaman Jawa di kemudian hari. Ini terbukti dengan berkuasanya partai komunis di negara-negara tetangganya. Antara lain Hongaria, Polandia, Rumania, Bulgaria, dan terakhir Cekoslovakia (kini pecah menjadi Republik Ceko dan Republik Slovakia). Kokoh sudah pagar negara yang dibangun Uni Soviet di Eropa membendung pengaruh kapitalisme ala Amerika Serikat.

Di Asia, pengaruh komunis juga menyebar: China (Tiongkok) jatuh ke kubu komunis. Masuknya Yunani dan Turki pada 1947 dalam daftar infiltrasi komunis kian membuka gerbang ke Asia. Dari sini, kita tahu muncul teori domino effect ala Presiden Harry S. Truman: komunis bisa menyebar ke seluruh jagat jika tidak diantisipasi. Teori ini kita kenal sebagai Truman Doctrin.

Doktrin ini kemudian menjadi pedoman politik luar negeri AS selama 40 tahun berikutnya. Inti doktrin ini adalah policy of containment (kebijakan pembendungan) atau mengisolasi Uni Soviet secara politik dan ideologi, dan AS akan menghadang komunisme di manapun di seluruh dunia.

Pada 12 Maret 1947, Presiden Truman meminta persetujuan Kongres AS untuk memberikan dana kepada Yunani dan Turki sebesar US$ 400 juta. Dana untuk membantu program pencegahan komunis.

Pada Juni 1947, AS juga menyusun Marshall Plan: otaknya Menteri Luar Negeri AS, George Marshall. Rencana ini melengkapi Doktrin Truman untuk membendung upaya Uni Soviet mempengaruhi negara-negara Eropa yang kesulitan finansial pasca Perang Dunia II. Di luar proposal Truman, Kongres AS menyetujui dana US$ 12 miliar untuk program Mashall Plan.

Betapa digdayanya tentakel adi kuasa. Pengaruh Truman Doctrin dan Marshall Plan, juga sampai ke Indonesia. Menguatnya golongan kiri di masa kemerdekaan, semacam Musso, Amir Syarifuddin Harahap, hingga petinggi tentara, membuat Amerika Serikat benar-benar khawatir. Pada 21 Juli 1948, berlangsung pertemuan rahasia di hotel "Huisje Hansje" Sarangan, dekat Madiun. Juha hadir Sukarno, Mohammad Hatta, Sukiman, Menteri Dalam Negeri Mohamad Rum dan Kepala Polisi Sukanto.

Wakil Amerika hadir Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), dan Merle Cochran (wakil Amerika dalam Komisi Jasa Baik PBB). Di awal 1950-an kemudian, Merle Cochran menjadi Duta Besar Amerika Serikat di Indonesia.

Dari sini muncul kesepakatan Indonesia menerima proposal "Red Drive Proposal" (proposal pembasmian kelompok merah) yang disampaikan Amerika. Sebagai “imbalan” kesediaan Indonesia membasmi komunisme di Indonesia, pemerintah kita mendapat kucuran dana sebesar US$ 60 juta. Dana ini untuk membantu kepolisian RI. Dan, kita tahu, pada September 1948, meletus peristiwa Madiun Affairs. Politik golongan kiri Indonesia menjadi kambing hitam. Orde Baru menyebut peristiwa sebagai Pemberontakan PKI Madiun.

Kuatnya nuansa revolusi, tak membuat gerakan politik memberangus kelompok kiri di Indonesia padam. Cara lain ditempuh: melalui pengkaderan di jalur pendidikan. “Sudah sejak lama pendidikan adalah perpanjangan tangan alat negara”.

Dean Rusk mengatakan hal itu pada 1952. Rusk menyatakan itu beberapa bulan sebelum dia mengundurkan diri dari Asisten Menteri Dalam Luar Negeri AS untuk Seksi Timur Jauh, untuk kemudian memimpin Rockefeller Foundation. Institusi terakhir adalah lembaga filantropis. Bersama Ford Foundation, di kemudian hari, lembaga ini banyak memberi beasiswa untuk mahasiswa-mahasiswa Indonesia.

“Agresi Komunis” mengharuskan tidak hanya agar orang-orang Amerika dilatih menghadapinya di sana (di Timur Jauh), “Tetapi kita juga harus membuka fasilitas-fasilitas pelatihan untuk menambah jumlah kawan-kawan kita di seberang lautan Pasifik”.

Maka, mengutip penulis David Ransom, lewat Ford Foundation dan Rockefeller Foundation, Amerika menggandeng Soemitro Djojohadikusumo, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia generasi awal. Melalui tangan dingin Soemitro, lahir profesor-profesor ekonomi Indonesia yang kelak berjaya di masa Orde Baru. Bersama Soemitro, dua lembaga filantropis itu menggaet sejumlah universitas Amerika Serikat: Massachusetts Institute of Technology (MIT), Cornell University, Berkeley University, dan Harvard University.

Tujuannya, untuk mencetak pemerintahan Indonesia menjadi para administrator modern yang secara tidak langsung bekerjasama dengan Amerika. Dalam istilah Ford, “para elit pembaharu” (modernizing elit). Soemitro mengirimkan sejumlah mahasiswa ke sejumlah universitas itu, bertahap sejak awal medio 1950-an hingga awal 1960-an.

Kita tahu, ada sejumlah lulusan universitas ini yang kemudian memegang peranan penting dalam ekonomi Indonesia. Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, J.B. Soemarlin, Saleh Afif, Subroto, hingga Mohammad Sadli. Geng ini yang kemudian terkenal dengan sebutan sinis: Mafia Berkeley.

Pada Majalah Tempo, edisi pekan pertama Oktober 2001, Suzanne E. Siskel, perwakilan Ford Foundation di Indonesia, tak menampik adanya kasus organisasi yang menerima dana dari Ford dan CIA sekaligus pada periode 1950-an dan 1960-an. Menurut Siskel, alumni program Ford memang memegang peran penting dalam pemerintahan Soeharto. (Majalah Tempo, “Sang Dermawan Berwajah Ganda?”, edisi 01 Oktober 2001).

Masih dalam artikel yang sama di Majalah Tempo, Mohammad Sadli, salah satu penerima beasiswa dari Ford, mengaku tak punya beban dengan tudingan semacam itu. "Kalaupun guru saya seperti Paul Samuelson adalah CIA, saya tidak peduli dan malah bangga. Soalnya, Samuelson itu pemenang Nobel," kata Sadli.

Melalui gerakan politik yang menggemparkan pada medio 1960-an, Soeharto naik ke tampuk kekuasaan menggeser Sukarno: penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI). Hasil disertasi Bradley R. Simpson, saat membuat disertasi doktoralnya di Universitas George Washington University, menunjukkan, peristiwa ini bersinggungan dengan kebijakan Amerika ketika itu, lewat Central Intelligence Agency (CIA) (Simpson, Bradley, “CIA Stalling State Department Histories: Archieve Posts one of two disputed volumes on web, State Historians conommunists to Indonesian Army, Which killed at least 105,000 in 1965-66”).

Banyak dokumen lain yang menyebut keterlibatan AS di Indonesia pada periode itu. Silakan telusuri tulisan-tulisan Peter Dale Scott, profesor di University of California, Berkeley, tentang The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967. Karya Dale Scoot ini pernah dipublikasikan dalam artikel Pacific Affairs, 58, pada Musim Panas 1985. (Scott, Peter Dale, “The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967”, Pacific Affairs, 58, Summer 1985, pages 239-264).

Sebagai perbandingan, ada pula ulasan dari Kathy Kadane soal peran CIA di Indonesia pada periode tersebut. Kadane yang mewawancarai tokoh-tokoh Amerika Serikat pada periode medio 1960-an, seperti mantan Direktur CIA pada masa tersebut: William Colby, mengungkapkan bagaimana peran pentingnya AS dan CIA dalam politik Indonesia. (Kadane, Kathy, “Ex-agents say CIA complied death lists for Indonesians: After 25 years, Americans speak of their role in exterminating Communist Party”. States News Service, 1990).

Ada pula tulisan wartawan The New York Times, Tim Weiner, yang menulis tentang keterlibatan Adam Malik yang disebut sebagai agen CIA di Indonesia (Weiner, Tim, “Legacy of Ashes: the History of the CIA”, New York: Doubleday, 2007. Versi Bahasa Indonesia: Weiner, Tim, “Membongkar Kegagalan CIA: Spionase Amatiran Sebuah Negara Adidaya”, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008). Jika ingin memperkaya bacaan, silakan baca Buku Dalih Pembunuhan Massal karya John Rossa, yang menyingkap misteri Gerakan 30 September 1965, siapa-siapa saja yang terlibat, mulai dari tokoh-tokoh central Partai Komunis Indonesia (PKI), operasi tentara, Amerka, hingga CIA (Rossa, John, “Dalih Pembunuhan Massal”, Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008).


Di Indonesia, hampir semua tulisan-tulisan mereka menjadi kontroversi. Saya tak bermaksud mengangkat kembali kontroversi itu. Tulisan ini hanya untuk menyajikan sudut pandang dan perspektif sejarah yang berbeda.

Dari peristiwa yang menggemparkan medio 1960-an itu, Soeharto dan gerbong ekonom Universitas Indonesia membawa gerbong ekonomi dan politik Indonesia berhaluan “kanan”, berputar 180 derajat dari kebijakan Sukarno yang cenderung berhaluan kiri. Sejak saat itu, pemerintah Orde Baru mengeluarkan berbagai paket kebijakan deregulasi yang pro pasar.

Pada 3 Juli 1968, Soeharto yang sudah naik tahta ke kursi Presiden meneken Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Undang-Undang ini sekaligus melengkapi peranan modal asing yang sudah mulai diatur dalam UU No 1 Tahun 1967.

Salah satu perusahaan Amerika Serikat yang menikmati kekayaan Indonesia imbas liberalisasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 adalah masuknya Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc sejak akhir 1967. Salah satu Board di Freeport ketika itu adalah Henry Alfred Kissinger. Pada masa itu, Kissinger juga menjadi Menteri Luar Negeri pada masa Presiden Richard Nixon, kemudian berlanjut di masa Presiden Henry Ford.

Di kemudian hari, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 mengalami perubahan dengan terbitnya UU Nomor 11 Tahun 1970 yang lebih meliberalkan modal asing di dalam negeri. Dan yang terpenting, Soeharto begitu dekat kepada Amerika.

Salah satu contohnya, terekam dalam dokumen Gedung Putih tertanggal 26 Mei 1970. Itu terjadi ketika Soeharto mengunjungi Gedung Putih di Washington. Dalam dokumen Gedung Putih berkategori TOP SECRET/SENSITIVE tentang MEMORANDUM OF CONVERSATION, tertanggal 26 Mei 1970, itu terungkap, pembicaraan tiga orang penting (tripartit): Presiden AS Richard Nixon, Menteri Luar Negeri Henry Kissinger, dan Presiden Soeharto. Intinya, Soeharto minta arahan Amerika dan melaporkan program penumpasan PKI di Indonesia (http://www.gwu.edu/~nsarchiv/NSAEBB/NSAEBB242/index.htm).

Hingga kini, kebijakan Indonesia berhaluan pasar. Juga, geng ekonom Universitas Indonesia tetap menguasai posisi-posisi kunci ekonomi strategis di pemerintahan Indonesia. Dan, Obama tahu, menyambangi Universitas Indonesia, sama dengan meneruskan kaderisasi apa yang sudah dilakukan sejak masa Perang Dunia Kedua.

Read More......

Minggu, 07 November 2010

Cerita Dalam Sepotong Nama

0 komentar


Share

Nama, bagi saya adalah persoalan sederhana, sekaligus ruwet. Pada nama, tersimpan sebuah identitas kultural, kelas, dan ego. Di negeri ini, nama juga adalah sebuah improvisasi dan harapan.

Pak Sukemi, menyematkan bayi Sukarno kecil dengan nama Kusno. Jika saja si bayi kecil ini tak sakit-sakitan, barangkali kita tidak pernah tahu ada manusia pemberani dengan nama besar: SUKARNO.

Pada suatu hari di tahun 1912 yang sendu, Kusno kecil terserang thypus hebat. Hampir 75 hari, bocah 11 tahun ini tidak bangun dari tidurnya, terbaring di bilah-bilah bambu yang reyot. Seluruh kerabat menyangka Kusno berada dalam tubir kematian. Di atas lantai semen yang lembab, bertikar alas pandan nan kusut, Sukemi menunggui Kusno di bawah bilah-bilah bambu itu.

Dan kita tahu, Sukemi kemudian menyematkan nama Soekarno mengganti Kusno, pada usia 14. Sukemi adalah pengagum legenda Mahabharata. Karna adalah tokoh pemberani di epik ini. Su, dalam bahasa Jawa, berarti baik. Dalam bahasa Jawa, “A” akan menjadi “O”. Dan Sukarno adalah nama improvisasi dari Kusno.

Pada nama, juga terkandung impian. Sukemi berharap, perubahan nama Kusno menjadi Sukarno menjadikan si bocah kecil ini tidak sakit-sakitan, dan bisa menjadi pemimpin bangsanya sebagaimana Karna dalam epos Mahabharata.

Di negeri ini, nama juga adalah sikap politik. Kita tahu, ada nama Njoto, Njono, dan juga Rewang dalam jajaran elit Politbiro Partai Komunis Indonesia (PKI). Njoto dan Njono memilih nama ini karena erat berhubungan dengan kelas rendah, kasta proletar di Jawa. Mereka tak mau memakai sebutan “Su”, misalnya. Alasannya sederhana saja: kata “Su”, kerap dipakai oleh priyayi Jawa.

Di negeri ini, terutama di Jawa, nama juga adalah sebuah kelas. Bangsawan Jawa tak segan menyebut sederet nama gelar di depan namanya. Ini untuk menambah wibawa, juga sebagai hiasan untuk menonjolkan pangkatnya. Dengan demikian, akan bertambah juga wibawanya.

Juru tulis sebuah kantor karesidenan, ujar Pramoedya Ananta Toer, akan menamakan dirinya dengan kata Sastra. Bisa Sastra Diwirya, yang berarti juru tulis yang tegas. Atau Sastra Disastra, yang berarti kepala juru tulis dari juru tulis. Priyayi pengairan suka memberi namanya dengan awalan Tirta. Maka Tirtanata akan berarti pejabat yang mengatur perairan.

Di negeri ini, teori kelas dalam nama memang begitu kental. Pada 5 November 2010 lalu, Kepala Adat Suku Talimba di Saumlaki, Maluku, tergopoh-gopoh menyematkan gelar tertinggi suku mereka kepada Wakil Presiden Boediono. Gelar yang sungguh capek bila diucapkan: Mel Ratan Ken Tnebar Barataman. Artinya: bangsawan tertinggi dan luhur serta orang dituakan yang datang dari barat.

Di Suku Bugis, ada nama Andi sebagai identitas kelas bangsawan. Di suku Makassar, ada gelar Daeng untuk menunjuk pribadi keturunan darah biru. Pada bangsawan Melayu, ada gelar Maharaja untuk gelar pemimpin laki-laki. Ada nama Maharani untuk gelar pemimpin putri.

Pada Rubrik Catatan Pinggir Majalah Tempo, edisi 5 September 2010, sastrawan Goenawan Mohammad menulis hikayat nama. Pelukis Djoko Pekik - seorang perupa Lekra yang datang dari sebuah desa Jawa Tengah yang miskin, tulis GM, sebutan Goenawan Mohammad, memberi nama anak dan cucunya dengan sebutan sehari-hari yang tak dipedulikan orang, mungkin bahkan disisihkan: Pakuril ("paku rel kereta api"), Lugut ("miang pada bambu"), Drejeg Lalang ("umbi alang-alang").

Sastrawan Bur Rasuanto lain lagi. Sadar posisinya sebagai sastrawan, untuk anaknya ia memodulasi nama dari bentuk-bentuk sastra: Legendariya dan Mitologenta.

Nama juga adalah sebuah penanda. Tetangga saya di kampung, menamakan anaknya dengan sebutan Dina Meilana. Panggilannya Mei. Arti sederhananya: Dina dalam bahasa jawa adalah hari. Mei adalah nama bulan, dan Lana adalah kependekan dari kelana, berkelana. Ketika Mei lahir, bapaknya sedang berkelana menjadi pendatang di Jakarta untuk sekedar menjadi buruh bangunan.

Teman saya yang lain, menamakan bayinya dengan sebutan Kliwon. Lahir hari Ahad Kliwon. Huruf K pada awal namanya adalah penanda dia lahir hari Ahad. Di kampung saya, hari lahir bayi bisa dicirikan dari huruf awal namanya. Kasdi, ia lahir hari minggu Legi. Huruf K menandakan hari Minggu, hari Legi dalam perhitungan Jawa bisa diwakili dengan total nama yang dia sandang. Legi, sama dengan Manis, terwakili dengan lima huruf. Jadi, hampir seluruh nama kelas rendah di Jawa yang feodal, akan punya nama singkat dan pendek.

Termasuk saya. Itu kenapa, saya hingga kini enggan masuk dalam kelompok Jawa. Bagi saya, suku Jawa adalah bangsa yang melanggengkan feodalisme. Secara geografis, tanah kelahiran saya masuk dalam area Jawa Tengah, salah satu sentra suku Jawa. Tapi, secara budaya, saya lebih memilih Jawa Barat: Pasundan. Pada bangsa Sunda, saya melihat ada egaliter, tak menonjolkan ke-Aku-an feodalisme.

Itu sebabnya, ketika membuat akun Facebook, saya memilih nama dengan nama belakang Tea. Ini berasal dari Bahasa Sunda. Ia adalah sebuah kata penunjuk seperti kata the dalam bahasa Inggirs. Tidak berarti apa-apa, dan tidak bermakna feodal. Juga tetap mencirikan nama saya yang berlatar feodal. Ini semata untuk menampung aspirasi sejumlah teman yang meminta saya membubuhkan nama belakang.

Belakangan, muncul niat melanggengkan nama ini, termasuk ke pengadilan negeri untuk di akta-kan. Satu alasannya, ada beberapa tulisan saya yang dikutip dengan nama plus Tea. Saya ingin berusaha konsisten. Dan, saya sudah tes untuk mempopulerkan nama itu di tempat kerja saya. Reaksinya macam-macam. Ada yang menganggap biasa, ada pula yang bertanya. Ada pula yang menganggap saya main-main. Dasarnya, karena terkadang saya becanda, lain waktu sangat serius.

Kalau sudah begini, rasanya kita layak menggugat ungkapan William Shakespeare dalam lakon Romeo and Juliet: What is the name? Apalah arti sebuah nama.

Sejak lakon romantis ini dipentaskan pada 1597, kata-kata itu terus direproduksi dalam berjuta-juta percakapan, juga pentas. Tiap kali orang kerepotan karena soal nama, maka meluncurlah kata sakti itu: nama bukan soal penting. Juliet Capulet dan Romeo Montague bisa saling mencintai, meskipun Capulet dan Montague lain bermusuhan.

What’s Montague? It is nor hand, nor foot,
Nor arm, nor face, nor any other part
Belonging to a man.

Lalu, apa pendapat sodara?

Read More......
Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger