Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Senin, 15 Maret 2010

Fatwa Beraroma Dolar

0 komentar


Share

Senin (8/3) lalu, Pengurus Pusat Muhammadiyah mengeluarkan Fatwa Haram Rokok, menyusul fatwa Haram Rokok MUI pada 25 Januari 2009.

Fakta menunjukkan, aliran dana dari Boomberg Initiative, salah satu lembaga internasional, mengalir ke sejumlah instansi yang mendukung Kampanye Bebas Rokok di Indonesia, mulai parlemen, pemerintah, lembaga keagamaan, hingga LSM. Sejak 2007, nilai total bantuan yang sudah dicairkan mencapai US$ 4,19 juta atau sekitar Rp 38,5 miliar. Muhammadiyah mendapat US$ 393.234 atau sekitar Rp 3,6 miliar, dikucurkan sejak November 2009. Ada pertarungan dua raksasa besar di balik itu.


***
***

Petunjuk penting itu datang tak terduga. Jumat (12/3) siang lalu, pesan singkat tidak diundang dari sumber saya mampir tiba-tiba. “Kasihan, ternyata fatwa haram rokok Muhammadiyah cuma Rp 3,5 miliar, buka laporan tobacco control, dan siapa saja yang menerima dana anti rokok selain Muhammadiyah: http://www.tobaccocontrolgrants.org/Pages/40/What-we-fund”.

Senin (8/3) lalu, Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah memang mengeluarkan fatwa haram rokok Nomor 6//SM/MTT/III/2010. Kalau saja tak ada pesan singkat itu, fatwa PP Muhammadiyah yang sebelumnya menyatakan rokok adalah mubah (boleh), menjadi hal biasa. Yang tidak menjadi biasa, adalah nama Muhammadiyah disebut dalam laporan situs milik Bloomberg Initiative tersebut.

Penelusuran kecil-kecilan saya menemukan hal yang membuat dahi berkerut. Dalam situs itu, ada sejumlah lembaga dan instansi lain yang menerima dana dari Bloomberg melalui program Bloomberg Initiative To Reduce Tobacco Use, termasuk Muhammadiyah. Program ini bertujuan untuk Kampanye Anti Rokok di Indonesia.

Bloomberg Initiative adalah lembaga donor internasional milik Michael R. Bloomberg, bekas Walikota New York, pemilik situs berita tersebut. Michael Bloomberg juga adalah si empunya situs berita ekonomi Bloomberg.

Bloomberg aktif mengkampanyekan pengendalian tembakau dan rokok di seluruh dunia sejak beberapa tahun lalu. Indonesia menjadi salah satu target mereka, yang kebanyakan negara-negara berkembang. Di luar Indonesia, target lainnya adalah negara China, India, Bangladesh, Rusia, Brazil, Meksiko, Turki, Pakistan, Mesir, Ukraina, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Polandia.

Pada 2006, Bloomberg total mengucurkan US$ 125 juta untuk peluncuran program tersebut. Dan pada 2008, Bloomberg mengucurkan tambahan US$ 250 juta.

Nah, kucuran-kucuran dana dari Bloomberg mengalir ke sejumlah instansi dan lembaga di Indonesia sejak 2007 hingga kini. Totalnya US$ 4,19 juta atau sekitar Rp 38,5 miliar.

Dana mengucur ke sejumlah lembaga, mulai dari forum parlemen, pemerintah pusat, pemerintah daerah seperti DKI Jakarta dan Kota Bogor, lembaga keagamaan, hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) (baca: Dana Mengalir Sampai Jauh).

Bebeberapa tahun terakhir, lembaga-lembaga yang disebut dalam laporan Bloomberg Initiative itu memang getol mengkampanyekan kawasan bebas rokok dan tembakau.

Muhammadiyah, disebut menerima dana US$ US$ 393.234 atau sekitar Rp 3,6 miliar, dikucurkan sejak November 2009. Untuk Muhammadiyah, dalam laporannya Bloomberg menyebut, kucuran dana itu bertujuan agar salah satu organisasi massa islam itu bisa memobilisasi dukungan publik. Caranya, dengan mengeluarkan kebijakan dari sisi tinjauan agama untuk pelarangan rokok. Bentuknya, berupa keputusan Ijma Ulama (semacam fatwa) pelarangan rokok di seluruh Indonesia.

Puncaknya, pada rapat Majelis Tarjih dan Tajdid di Yogyakarta, pada Senin (8/3) lalu, PP Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram untuk rokok. Sebelum ini, PP Muhammadiyah telah mengeluarkan fatwa mubah (boleh) bagi perokok.

Belum ada tanggapan resmi dari PP Muhamdiyah. Berkali-kali saya mencoba menghubungi dua nomor telepon seluler Ketua Umum PP Muhammadiyah Dien Syamsuddin sejak Jumat (12/3), masih tak berhasil meminta konfirmasi. Dua nomor telepon seluler milik Dien yang ada pada saya semuanya tidak aktif.

Tentu saja, tulisan ini tak bermaksud menelanjangi kelompok tertentu, termasuk Muhammadiyah. Saya punya sejumlah teman yang beraliran Muhammadiyah. Yang harus tetap dikontrol adalah, peran lembaga agama besar sekaliber Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang harus tetap netral dalam memimpin umat: tak terbawa kepentingan kelompok manapun.

Nah, selain Muhammadiyah, ada sejumlah nama lembaga lain yang disebut menerima dana. Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan (IFPPD), misalnya, disebut menerima dua kali pengucuran dana. Pertama, dana sebesar US$ 28.753 pada periode Januari 2007 hingga Juni 2007. Duit itu antara lain digunakan untuk memperoleh dukungan politik dan menyampaikan rencana mitigasi dampak kesehatan produk rokok dan tembakau.

Kedua, IFPPD menerima dana sebesar US$ 164.717 pada periode Oktober 2007 hingga Desember 2009. Dana itu digunakan untuk membantu mengembangkan kontrol tembakau, kampanye media, serta melobi pemimpin agama dan pejabat publik.

Sri Utari Setiawati, Sekretaris Eksekutif IFPPD mengakui menerima dana dari Bloomberg Initiative. Soal jumlah dana yang diterima, dia enggan menyebutkannya. Yang pasti, langkah mengajukan dana ke lembaga internasional seperti Bloomberg, karena lembaga resmi dunia semacam Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tak memiliki cukup dana untuk kampanye bebas rokok dan tembakau. “Makanya kami mengajukan ke Bloomberg,” katanya, kepada saya, Sabtu (13/3).

Untuk LSM, salah satu yang menerima adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Kepada YLKI, dana mengucur bersama paket dana untuk Pusat Studi untuk Agama dan Komunitas. Totalnya US$ 454.480. Dana ini untuk program kampanye periode Mei 2008-Mei 2010. Kegiatannya berbentuk advokasi dan kampanye bebas rokok di kawasan Jawa, mengadvokasi Gubernur DKI Jakarta, dan kampaye media.

Tulus Abadi, Pengurus Harian YLKI membenarkan bantuan dana dari Bloomberg Initiative tersebut. “Kami menerima sejak April 2008,” kata Tulus, kepada saya, Jumat (12/3).

Menurut Tulus, YLKI mengajukan dana ke Bloomberg untuk kampanye dan advokasi bebas rokok di tiga kota di Jawa, yakni Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Berapa besaranya dana yang diterima, Tulus enggan berbagi.

Blomberg sendiri, hingga laporan ini ditulis belum berhasil dikontak.

****
****


Ahad, 25 Januari 2009. Di Padang Panjang, Sumatera Barat, Rapat Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa haram mengonsumsi rokok. Tabloid Kontan edisi pekan terakhir Januari 2009 melaporkan, suasana pengambilan keputusan fatwa begitu kental dengan nuansa politik.

Lobi-lobi dilakukan antara pihak yang mendukung fatwa haram dan yang menolak pengharaman rokok.
Caranya macam-macam, mulai dari menghadirkan massa tandingan hingga membagi-bagi selebaran. Dua kelompok yang berkepentingan berusaha mempengaruhi peserta Ijtima (Rapat) MUI yang membahas fatwa haram merokok.

Rupanya, “adu kekuatan” itu turut mempengaruhi hasil akhir fatwa. Belakangan, hasil keputusan fatwa MUI soal pelarangan rokok melunak, tak menohok kepada semua perokok: fatwa haram hanya berlaku untuk pengurus MUI, merokok di tempat umum, serta untuk ibu hamil dan anak-anak yang merokok.

Dari pertemuan ke-14 World Health Organization (WHO), 7 Maret – 12 Maret 2009, di Mumbai, India, terungkap bahwa tarik ulur keputusan fatwa haram MUI di Padang Panjang tersebut tidak lepas dari lobi organisasi internasional.

Forum di Mumbai ini bertaburan dana sponsor. Dua perusahaan di bidang kesehatan tingkat dunia, Pfizer dan GlaxoSmithKline (GSK), ikut membiayai acara ini.

Namun sponsor utama acara Mumbai adalah Bill & Melinda Gates Foundation, yayasan nirlaba pemilik Microsoft Group, Bill Gates. Di luar itu, ada tiga belas lembaga lain yang ikut menjadi sponsor, termasuk Bloomberg.

Pada pertemuan yang dihadiri 1.500 aktivis antirokok sedunia, kontingen Indonesia mengirimkan 25 orang. Mereka berasal dari beragam latar belakang, seperti organisasi masyarakat, Departemen Kesehatan (Depkes), hingga akademisi dan peneliti. Nama-nama lembaga mereka inilah yang disebut dalam laporan penerima dana Bloomberg Initiative.

Menurut Rohani Budi Prihatin, peneliti Sekretariat Jenderal DPR RI, yang juga aktif di IFPPD yang ikut ke Mumbai, di Mumbai itu para delegasi dari Indonesia melaporkan keberhasilan mereka melobi Majelis Ulama Indonesia (MUI) sehingga mengeluarkan fatwa haram terhadap rokok pada akhir Januari 2009 lalu.

Selain itu, para delegasi juga melaporkan leletnya kerja para anggota DPR di Badan Legislasi dalam memproses pengesahan Rancangan Undang-Undang Pengendalian Produk Tembakau (lihat Tabloid Kontan, edisi pekan kedua Maret 2009).

Meski sudah mempresentasikan sejumlah keberhasilan, aktivis antirokok dunia di forum tersebut masih mengecap Indonesia sebagai negara yang tidak melindungi rakyatnya. Sebab, selain tetap menolak menekan Konvensi Kerangka Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), Indonesia juga belum memiliki Undang-Undang Pengendalian Tembakau. “Indonesia tetap ditempatkan ke dalam kelompok negara terjelek dalam pengendalian rokok, bersama China dan India,” kata Rohani Budi.

Tak ayal, forum itu kembali mendesak Indonesia mengubah sikapnya yang terlalu membela kepentingan industri rokok ketimbang kesehatan masyarakat. Caranya, meratifikasi FCTC dan mengesahkan UU Pengendalian Tembakau.

Maklum, Indonesia menjadi satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang belum meratifikasi FCTC. Padahal, hingga kini sudah ada 192 negara yang meratifikasinya.

Lobi panjang itu akhirnya sedikit membuahkan hasil. Pada 14 September 2009, Rapat Paripurna DPR RI menyetujui pengesahan Undang-Undang Kesehatan yang di dalamnya melarang penggunaan zat adiktif, termasuk dalam tembakau. Dua hari kemudian, DPR menyerahkan draft Undang-Undang tersebut ke Sekretariat Negara. Saat itulah diketahui ada bagian draft yang raib, yakni Pasal 113 Ayat 2 tentang zat adiktif.

Pasal ini berbunyi: “Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya”.

Padahal, bagian inilah yang paling penting dan paling sensitif. Sebab, dengan hilangnya ayat ini, maka para produsen rokok bisa bebas dari jerat undang-undang ini. Hilangnya ayat ini diduga kuat hasil lobi para produsen rokok besar di Indonesia kepada sejumlah anggota parlemen.

Protes pun merebak, terutama para aktivis antirokok. Gerakan mereka gol. Pada 13 Oktober 2009, Sekretariat Negara mengembalikan Ayat 2 Pasal 113 dalam draft Undang-Undang Kesehatan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian meneken pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Pada 11 November 2009, Badan Kehormatan (BK) meminta keterangan pegawai Sekretariat Jenderal DPR RI. BK kemudian meminta keterangan sejumlah saksi ahli, dan tiga pimpinan Panitia Khusus RUU Kesehatan dan pejabat Departemen Kesehatan. Pada 25 Januari 2010, BK menyimpulkan hilangnya ayat tentang tembakau dalam UU Kesehatan bukan karena kesalahan administratif. BK menduga ada oknum yang mencoba mengganti isi ayat tersebut. Dengan kata lain, ada yang “mengorupsi” ayat tersebut. Persoalan ini menggantung hingga kini.

Kini, pemerintah tengah merampungkan pembahasan draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang rokok. RPP ini merupakan penjabaran dari UU Nomor 36 Tahun 2009 tersebut. “RPP masih dibahas antar Kementerian, yang masih keberatan adalah Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,” kata Rohani Budi , kepada saya, Jumat (12/3).

Ada beberapa isi pokok dalam RPP itu. Antara lain pengaturan kawasan tanpa rokok, peringatan berupa gambar pada bungkus rokok, dan larangan menjual rokok kepada anak-anak, larangan menjual rokok batangan, serta larangan iklan, sponsor, dan promosi promosi di media massa.

“Kemungkinan November 2010 bisa kelar,” kata Tulus Abadi dari YLKI, yang turut mengawal pembahasan RPP tersebut.

Namun, pembahasan RPP ini juga bukan tanpa kendala. Protes dari industri dan petani tetap merebak. Pada Senin (1/3) dua pekan lalu, misalnya, ribuan petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) berunjuk rasa menolak RPP tersebut di Gedung DPR/MPR RI. Mereka menyulut rokok raksasa sebagai bentuk protes.

Para petani yang kebanyakan memakai pakaian petani bercaping itu membawa aneka spanduk bertuliskan protes. Misalnya, bertuliskan “Jangan Bunuh Petani” dan “Tolak RPP Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan.

Sebaliknya, Rohani Budi dan Tulus menuding demontsrasi para petani tersebut didalangi oleh kalangan industri rokok. “Industri ada di balik para petani itu,” kata Tulus.

Hingga tulisan ini tayang, belum ada tanggapan dari para pelaku industri rokok. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok Kretek Indonesia (Gapri) Ismanu Soemiran masih enggan komentar. Ismanu masih tak menanggapi telepon dan pesan singkat yang saya kirimkan.

Namun, dalam beberapa kali wawancara dengan Tabloid dan Harian Kontan, Ismanu mengutarakan kegundahanya tentang fatwa haram ulama, seperti fatwa MUI dan Muhammadiyah. Industri mengkhatirkan fatwa-fatwa itu menjadi cikal bakal Undang-Undang (UU) Antirokok.

Kalau ada UU Antirokok, industri rokok yang padat karya itu bakal runtuh. Karena itu, menurut Ismanu, pemerintah harus bersikap hati-hati. Karena, 99% industri ini penuh local content, mulai dari tembakau hingga saus cengkehnya. Bahkan, 90% pangsa pasarnya di dalam negeri.

“Jangan sampai potensi besar bangsa yang terus tumbuh ini dipangkas begitu saja oleh tongkrongan asing yang menumpang di isu kesehatan,” kecam Ismanu, beberapa waktu lalu. Siapa yang dimaksud tongkrongan asing itu, tak jelas benar. Yang terang, Ismanu menyatakan, temuan bahaya merokok telah menjadi senjata para aktivis antirokok dan antitembakau untuk memberangus industri rokok.

Agaknya, perseteruan antara industri rokok Indonesia dan aktivis-aktivis LSM bersama beberapa kalangan di pemerintah yang didanai lembaga internasional semacam Bloomberg Initiative, bakal masih memanjang.

Apalagi, menilik daftar sokongan dana Bloomberg, program-program antirokok di Indonesia, masih akan terus berlangsung hingga 2011. Dan, tentakel lembaga asing ini memakai segala lini, mulai dari parlemen, pemerintah pusat dan daerah, LSM, hingga lembaga-lembaga agama macam MUI dan Muhammadiyah.



******
******


Dana Mengalir Sampai Jauh

Kucuran dana Bloomberg Initiative mengalir ke sejumlah lembaga dan instansi di Indonesia. Sejak 2007, total dana yang sudah mengucur US$ 4,19 juta atau sekitar Rp 38,5 miliar. Berikut siapa saja yang menerima dana tersebut.

~~ Instansi ~~Nilai ~~Periode ~~Tujuan ~~Program

~~ Dinas Kesehatan Kota Bogor: US$ 228.224; Maret 2009-Februari 2011; Mempengaruhi para pembuat kebijakan di Indonesia untuk melakukan kebijakan harga dan penerapan pajak rokok.

~~ Institut Demografi, FEUI: US$ 280.755; Oktober 2008-Juli 2010; Advokasi kebijakan untuk mengawal efektivitas pajak dan harga tembakau / rokok di Indonesia.

~~ Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Departemen Kesehatan: US$ 529.819; September 2008-Agustus 2010; Untuk melatih dan memperkuat pejabat di direktorat ini dalam mengembangkan dan menerapkan kontrol tembakau.

~~ Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan (IFPPD): US$ 164.717; Oktober 2007-Desember 2009; Membantu mengembangkan kontrol tembakau, kampanye media, pemimpin agama, dan pejabat publik.

~~ IFPPD: US$ 28.753; Januari 2007-Juni 2007; Untuk memperoleh dukungan politik, menyampaikan rencana mitigasi dampak kesehatan produk tembakau.

~~ Pusat Dukungan Kontrol Tembakau/Tobacco Control Suport Centre, Indonesian Public Health Association (TCSC-IPHA): US$ 542.600; Agustus 2007-Agustus 2009; Proyek bertujuan mendirikan sebuah pusat pengendalian tembakau nasional, mengkoordinasikan dukungan untuk kegiatan pengendalian tembakau di Indonesia, dan advokasi kebijakan pusat dan daerah.

~~ TCSC-IPHA: US$ 491.569; September 2009-Agustus 2011; Idem dito

~~ Muhammadiyah: US$ 393.234; November 2009-Oktober 2011; Untuk memobilisasi dukungan publik dengan cara mengeluarkan kebijakan dari tinjauan agama, dalam bentuk keputusan Ijma Ulama pelarangan merokok di seluruh Indonesia.

~~ Komisi Perlindungan Anak Nasional Indonesia (KPAI/NCCP): US$ 455.911; Mei 2008-Mei 2010; Advokasi komprehensif soal iklan larangan rokok.

~~ KPAI/NCCP: US$ 210.974; Mei 2008-Mei 2010; Mendukung iklan anti rokok, promosi, dan sponsorship.

~~ Swisscontact Indonesia Foundation: US$ 360.952; Mei 2009-April 2011; Bertujuan menggolkan kampanye bebas rokok 100% di Jakarta

~~ Pertemuan Jaringan Kontrol Tembakau Indonesia (NGO) pada 2009 ~ TCSC-IPHA: US$ 12.800; Januari 2009-Mei 2009; Mengadakan pertemuan dan mendukung kemajuan kebijakan kontrol tembakau.

~~ Institut Demografi, FEUI: US$ 40.654; Juni 2008-Agustus 2008; Untuk mengintensifkan isu-isu kebijakan dan mempromosikan pembuat kebijakan.

~~ Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Pusat Studi untuk Agama dan Komunitas: US$ 454.480; Mei 2008-Mei 2010; Advokasi bebas rokok di kawasan Jawa, advokasi Gubernur DKI Jakarta, dan kampanye media.


Total Kucuran Dana : US$ 4.195.442


Sumber: Bloomberg Initiative




Disclaimer: Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.*


Bisa dilihat uga di: http://www.facebook.com/profile.php?ref=profile&id=1023372280#!/notes/danto-tea/fatwa-beraroma-dolar/394439299611

Read More......
Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger