Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Jumat, 16 Mei 2008

Internet Kini

Danto

Persaingan Ekstra Ketat di Tengah Pasar yang Menganga

Perusahaan penyedia internet (ISP) beramai-ramai membidik pelanggan korporat

JAKARTA. Dunia kini bisa dilihat dalam sekotak komputer. Tak ada lagi batas-batas wilayah. Kata Anthony Giddens, sosiolog Inggris, buana hanyalah sebuah kampung global (Global Village). Peristiwa di belahan dunia sana, kini langsung bisa diketahui di sebuah dusun nun jauh di sini. Syaratnya, tentu saja, dusun itu sudah tersambung ke jaringan dunia maya: internet. Itulah jalan penghubung antarkampung global itu.

Kini, internet menjadi kebutuhan vital masyarakat yang haus informasi. Tak heran jika pertumbuhan penggunanya melesat bak meteor. Data terakhir menyebutkan, hingga pengujung 2007, pengguna internet di seluruh dunia mencapai 1,114 miliar. Populasi terbesar ternyata berasal dari kawasan Asia dengan mencapai 398,7 juta pengguna.

Sebagai negara dengan penduduk terbesar, wajar China memimpin dengan 200 juta pengguna internet. Sedangkan Amerika Serikat mempunyai 135 juta pemakai. Jepang menyusul dengan 86,3 juta. Sedang Indonesia, dengan penduduk lebih 220 juta, pengguna internetnya cuma 25 juta.

Jumlah pengguna sebesar itu berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Asosiasi ini mencatat pertumbuhan di dalam negeri mencapai 25%, dari 20 juta pada 2006 menjadi 25 juta di akhir 2007.

Pasar lokal sangat terbuka

Meski jumlah penggunanya cuma 25 juta, itu angka yang fantastis. Dalam enam tahun terakhir, memang pertumbuhan pengguna internet melonjak hingga 800%. Namun jangan berbesar hati dulu. Karena pertumbuhan itu cuma mencerminkan 9% dari total penduduk Indonesia yang melek internet.

Dari angka itu, sebenarnya pasar internet masih menganga super lebar. Sayangnya, di bisnis penyedia jasa internet, justru sebaliknya. Persaingan berlangsung begitu ketat. Pasalnya, pengguna internet ini memang tak merata; hanya bercokol di kota-kota besar.

Penetrasi pasar yang cuma menyasar perkotaan inilah yang membuat persaingan perusahaan penyedia internet alias Internet Service Provider (ISP) kian hari makin ketat. Apalagi, harga koneksi internet internasional kini juga terdepresiasi akibat banyaknya pemain. Dan ujungnya tentu menurunkan tarif ritel internet.

Saat ini tarif koneksi internet internasional sudah melorot tajam. “Turun hampir 50%,” ujar Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Sylvia W. Sumarlin.
Padahal, pada 2007 lalu, ISP harus merogoh kocek hingga US$ 2.500 per satu mega bandwith. Saat ini, harga per bandwith-nya cuma US$ 1.800. “Bahkan ISP bisa memperoleh harga lebih murah jika membeli paket yang besarnya sekitar US$ 1.300,” tambah Sylvia.

Penurunan harga koneksi internasional ini tentu membuat ISP makin berani banting-bantingan harga. Menurut Director and Chief Commercial Officer PT Cyberindo Aditama (CBN), Aditama Sugiharto Darmakusuma, ada kemungkinan ISP memberlakukan tarif bunuh diri alias menjual rugi. “Mungkin ingin merampungkan kewajiban yang membebani,” imbuhnya.

Nah, agar tak rugi, para ISP kini berlomba membidik pelanggan korporat. Meski jumlahnya mungil, kontribusi pelanggan korporat ternyata mencapai separuh pendapatan ISP lokal.

Aditama Sugiharto mengungkapkan, pendapatan CBN terbesar berasal dari pelanggan korporat. Perbandingan pemasukan antara pelanggan korporat dan individual adalah 60:40. Padahal, jumlah pelanggan korporat hanya 900 pelanggan dari 50.000 total pelanggan.

Untuk menggenjot pelanggan korporat, CBN tidak memberlakukan promo khusus. Pelanggan korporat lebih mementingkan stability dan customer care yang baik. “Tidak sensitif terhadap harga. Makanya kualitas kami tingkatkan,” imbuh Sugiharto.

Biznet juga melakukan hal serupa. Mereka kini fokus dengan pelanggan korporasinya. Maklumlah, saat ini 80% pelanggan Biznet dari kalangan itu. "Pelanggan korporat kami jumlahnya ribuan," ujar Sasongko Bayu Seto, Metro Product Manager Biznet.

Nah, agar pelanggan perusahaan makin menggembung, Biznet berencana menurunkan tarif. Saat ini, tarif mereka adalah Rp 30 juta per 1 Mbps. "Pada Februari mendatang, tarif baru akan kami umumkan," kata Sasongko.

Hal serupa juga akan dilakukan PT Dyviacom Intrabumi Tbk, pemilik merek D-NET itu. “Hampir 90% pendapatan sektor internet berasal dari pelanggan korporat,” ujar Taufik Aldjuffry, Direktur D-NET. Saat ini jumlah pelanggan korporat D-Net mencapai 2.000 pelanggan.

Soal harga, Taufik mengatakan D-NET telah menurunkan harga jual produknya dibanding tahun lalu. Untuk bandwidth 1 Mbps dibanderol Rp 27 jutaan. “Sebelumnya mencapai Rp 32 juta,” ujarnya. Dengan penurunan harga itu, D-NET optimistis mampu menambah 150 pelanggan korporat tahun ini.

Harian Bisnis dan Investasi KONTAN, 23 Januari 2008

0 komentar:

Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger