Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Rabu, 16 Mei 2012

"Degung"

0 komentar


Share

Sudah sepekan ini kaset di mobil saya memutar kaset degung instrumental. Saya memang sedang rindu Tanah Pasundan. Kecelakaan pesawat Sukhoi Super Jet 100 di Gunung Salak, mengingatkan saya pada Tanah Para Dewata ini. Konon, Gunung Salak adalah persinggahan terakhir Prabu Siliwangi, Raja terakhir Pajajaran. Dan Degung selalu identik dengan mereka.

Harmoni suaranya seperti membawa hati dan perasaan ke alam lain. Alam parahyangan yang begitu menakjubkan. Gunung gemunung bertemu kaki langit nan biru, sawah menghampar hijau, pepohonan berbanjar membentuk bait keindahan, sungai bening membelah Pasundan, betapa sempurna ayat-ayat Tuhan
.




Sawah di lingkung gunung, menjadi gerbang cahaya ufuk ketika embun beranjak sirna. Cericit kicau membelah angin, ketika mata baru terpicing.

Ahhh... Sempurna sungguh Tuhan mencipta.

Bagi saya, degung adalah pengingat. Ia bisa mengantarkan saya kepada sejarah Pasundan yang kesohor. Ia bisa menjadi penghibur dan penyegar ketika kepenatan, kejenuhan datang menjemput.

Pada degung saya belajar. Ia sederhana. Intrumennya hanya kendang, seruling bambu, kempul, saron, dan go’ong. Ia bisa mengajari saya: dari kesederhanaan, melahirkan sesuatu yang menakjubkan.

Lagu-lagu degung juga mengajarkan tentang filosofi kehidupan: sederhana tapi mengena. Lagu Sabilulungan, misalnya. Polesan tangan Mang Koko Koswara ini mengajarkan tentang budaya Pasundan yang saling bergandengan tangan, bergotong royong, silih asah, silih asih, silih asuh di antara sesama.





Saya suka karakter masyarakat Sunda: sopan, ramah, someah, riang, suka banyol, terkadang nakal. Personifikasinya ada dalam tokoh Kabayan dan Cepot dalam pewayangan.

Secara geografis, lokasi kelahiran saya bukan berada di tatar Sunda. Namun berada di daerah administrasi Jawa Tengah. Desa kelahiran saya adalah Cikakak, Kecamatan Banjarharjo, Brebes, Jawa Tengah.

Tapi secara budaya, desa kami secara turun temurun turut ke Pasudan. Penjelasan sederhana soal ini bisa ditilik dari tradisi hajatan. Sejak dulu hingga kini, bagi masyarakat mampu di desa saya selalu menghadirkan kesenian dari Jawa Barat seperti Jaipongan, wayang golek, atau degung. Hampir tidak ada yang menghadirkan wayang kulit atau kesenian dari Jawa Tengah.





Dari sisi bahasa sehari-hari, masyarakat desa saya menggunakan bahasa Sunda Dialek Timur Laut. Saat ini setidaknya ada enam dialek dalam bahasa Sunda: Dialek Barat, Utara, Selatan, Tengah Timur, Timur Laut, dan Dialek Tenggara (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sunda).

Dialek Barat dipertuturkan di daerah Banten Selatan. Dialek Utara mencakup daerah Sunda utara termasuk kota Bogor dan beberapa bagian Pantai Utara Jawa (Pantura). Lalu dialek Selatan adalah dialek Priangan yang mencakup kota Bandung dan sekitarnya. Sementara dialek Tengah Timur adalah dialek di sekitar Majalengka. Dialek Tenggara adalah dialek sekitar Ciamis. Dan Dialek Timur Laut adalah dialek di sekitar Kuningan, dialek ini juga dipertuturkan di beberapa bagian Brebes, Jawa Tengah. Pada dialek terakhir saya dan masyarakat saya berada.

Kabupaten Brebes memiliki 16 kecamatan. Mereka adalah Salem, Bantar Kawung, Bumiayu, Paguyangan, Sirampog, Tonjong, Larangan, Ketanggungan, Banjarharjo, Losari, Tanjung, Kersana, Bulakamba, Wanasari, Jatibarang, dan Kecamatan Brebes.

Sebagian masyarakat di delapan kecamatan diantaranya menggunakan dialek Sunda. Mayoritas wilayah tersebut berdekatan dengan perbatasan Jawa Barat: yakni Salem, Bantarkawung, Ketanggungan, Banjarharjo, dan beberapa desa di Kecamatan Losari (seperti Desa Randegan, Jatisawit, Karangsambung, Negla, Bojongsari, Karangjunti, Babakan), Kec. Tanjung (Sarireja dan Luwungbata), Larangan (Kamal, Wlahar, dan Pemulian), dan Kersana (Kradenan, Sindangjaya).

Titik pertemuan antara dua budaya dan dua wilayah, memang kerap memunculkan sesuatu yang unik. Pun demikian dengan daerah saya. Selain ada beberapa wilayah yang secara keseluruhan menggunakan Bahasa Sunda atau Bahasa Jawa, ada pula beberapa wilayah yang memakai dua bahasa tersebut sekaligus.

Ini terjadi di beberapa desa di kecamatan, antara lain Bumiayu (Desa Pruwatan, Laren), Bantarkawung (Cinanas, Cibentang, Karangpari, Pangebatan, dan Bantarkawung), Ketanggungan(Pamedaran, Baros, Kubangsari, Kubangjati, Dukuhbadag, dan Kubangwungu), Banjarharjo (Banjarharjo, Cimunding, Ciawi, Tegalreja, dan Banjar Lor), Kecamatan Losari (Karangjunti dan Babakan), serta Kecamatan Kersana (Kubangpari).

Khusus di wilayah saya tinggal, yakni di kawasan Banjarharjo, sebagian masyarakat di Kecamatan Losari dan beberapa kecamatan di daerah Brebes selatan, adalah adanya kecenderungan masyarakat dalam melakukan hampir seluruh aktivitasnya seperti bersekolah, berobat, berbelanja, atau keperluan lain, selalu ke arah barat alias ke daerah Jawa Barat.

Bahasa Sunda menjadi bahasa sehari-sehari di beberapa kawasan tersebut. Bahkan kerap menjadi pengantar dalam acara-acara resmi. Seperti acara-acara pernikahan, sunatan, syukuran, dan lain-lain. Namun demikian, Bahasa Sunda di wilayah ini hanya digunakan dalam ragam lisan, bukan dalam ragam tulis. Sampai saat ini bahasa tersebut masih dipelihara dengan baik oleh masyarakat penuturnya.

Kendati masih memakai Bahasa Sunda, namun terdapat perbedaan Bahasa Sunda Brebes dengan Bahasa Sunda Standar yang digunakan di daerah tatar Sunda asli. Perbedaan tampak menonjol pada intonasi dan beberapa kosakata. Dalam tataran frasa dan kalimat tidak terjadi perbedaan. Dalam tataran frasa, misalnya adalah ngakan kejo (makan nasi), gede kacida atau gede ujur (besar sekali), jenuk budak (banyak anak). Dalam Bahasa Sunda Standar, frasa tersebut adalah dahar sangu (makan nasi), ageung pisan (besar sekali), loba budak (banyak anak).

Tapi penggunaan bahasa di daerah saya juga menunjukan kelas. Orang berpendidikan dan orang berada, biasanya lebih menonjolkan Bahasa Sunda Standar dalam percakapan sehari-hari. Untuk kelas buruh dan rendahan, lebih sering menggunakan Bahasa Sunda lokal.

Singkat kata, daerah tempat kelahiran saya adalah sesuatu yang unik. Secara geografis ia ada di Jawa Tengah, dalam hal budaya ikut ke Jawa Barat. Ini tampak jelas dari sisi penamaan yang sangat berbau Sunda: Desa Cikakak.

Daerah saya diapit dua gunung: Ciremai dan Slamet. Gunung Ciremai ada di Jawa Barat, Gunung Slamet ada di Jawa Tengah. Dua gunung ini sudah tidak aktif. Tapi di kalangan para pendaki, dua gunung ini adalah anomali: menantang tapi nuansa mistis bertebaran di sana sini. Ia medan yang penuh misteri. Banyak cerita pendaki tak bisa kembali.

Seperti juga alunan degung yang kental mistis. Konon, di daerah-daerah tertentu di Jawa Barat, mengawali degung harus dengan sesaji. Asap dupa menyesakkan dada. Meminta izin pada lelembut dan Dewata, agar pesta tetap terjaga.

Dan degung selalu membawa perasaan saya kepada alam. Dulu, semasa kecil, menanam padi, palawija, atau mencangkul adalah pekerjaan saya sehari-hari. Hingga sekolah SMU di kota kecamatan, saya masih melakoni aktivitas di alam tersebut.

Ada kedamaian di sana. Terdapat ketenangan batin di sana. Ia adalah kantor abadi, jauh dari hiruk pikuk dunia. Ia perwujudan ketenteraman semesta. Tempat kerja idaman, berpenyangga hujan, bercahaya surya, dan berpayung langit.

Ke sanalah saya menuju. Menyatukan diri dan hayat kepada Sang Pencipta. Menjadi petani saya menghujamkan cita-cita. Memadukan harmoni alam, jiwa, sesama, dan Paduka: Antara Kawula dan Gusti. Menyublimkan kefanaan diri kepada Yang Esa. Menyatukan Ada dan Tiada. Aku menjadi Engkau, Engkau menjadi Aku. Tiadalah Surga Neraka. Dan, degung akan mengantarkan saya ke sana...



Read More......
Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger