Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Kamis, 22 April 2010

Sebuah Candu Bernama Utang

0 komentar


Share

“Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”

Cuplikan bait singkat itu adalah torehan emas dari legenda musik Indonesia: Koes Ploes. Pada syair itu, Indonesia tergambar sebagai negeri kaya raya. Tapi, itu dulu. Kini, masih layakkah Indonesia disebut sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi, toto tenterem kerta raharja?

Pertanyaan ini layak kita utarakan. Belakangan, hampir tak ada lagi kebanggaan ekonomi yang patut kita busungkan. Negeri ini sudah berdiri 65 tahun, waktu yang tak sedikit untuk membangun: menyejahterakan rakyat, katanya.

Tapi, untuk sekadar hidup dan menjalankan ekonomi, penguasa kita tak mampu memberikan surplus keuangan bagi negara. Utang negara segunung (Ini bukan lagi kata kiasan). Hingga akhir 2009, Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan mencatat utang Indonesia mencapai Rp 1.667 triliun (Ini catatan resmi dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan: http://www.dmo.or.id/dmodata/5Statistik/1Posisi_Utang/1Posisi_Utang_LN/Perkembangan_Utang_Negara_20090131.pdf ).

Jumlah ini setara dengan Rp 1,667 kuadriliun. Satu kuadriliun sama dengan angka satu dengan jumlah lima belas nol di belakangnya. Saya tak mampu membayangkannya. Betapa dahsyat!!

Jika uang itu dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 250 juta jiwa, didapat angka kira-kira 6,67 juta. Artinya, seluruh penduduk Indonesia, termasuk bayi yang baru lahir, kebagian jatah menanggung utang sebesar Rp 6,67 juta. Luar biasa!

Maka, tak salah jika Direktur Jenderal Pengelolan Utang Rahmat Waluyanto, dalam konferensi pers, Senin (19/4) lalu, dengan nada bergurau menyatakan: bahkan Gelora Bung Karno dengan luas 2.790.835 meter persegi (sekitar 2,79 kilometer persegi) pun tak mampu menampung utang tersebut.

Candaan Rahmat benar adanya. Dalam hitungan sederhana: satu meter persegi diisi oleh sekitar 90 lembar uang kertas Rp 1.000,-. Artinya, utang Rp 1.667 triliun dengan uang lembaran ribuan rupiah, bisa mengisi sekitar 18,5 triliun meter persegi alias sekitar 18,5 juta kilometer persegi. Angka ini sama dengan 6,63 juta kali luas Gelora Bung Karno. Jika dijejer dengan uang kertas ribuan rupiah, jumlah utang Indonesia juga sekitar 13 kali luas Pulau Jawa yang sekitar 138.793,6 kilometer persegi. Dahsyat!

Jumlah utang bakal makin gendut. Sebab, bakal ada tambahan utang yang sudah pasti cair dalam waktu dekat lewat skema pinjaman luar negeri. Total jenderal berjumlah US$ 3,208 miliar. Jumlah ini bertambah dari rencana semula yang sebesar US$ 2,444 miliar.

Pinjaman terbesar berasal dari Bank Dunia: US$ 1,263 miliar. Disusul Asian Development Bank (ADB) direncanakan meminjamkan US$ 700 juta, Japan International Cooperation Agency (JICA) US$ 300 juta, Perancis US$ 200 juta, dan sejumlah kreditur lain.

Jumlah itu belum menghitung calon-calon utang dalam bentuk pinjaman surat utang negara (SUN) dan aneka bentuk obligasi pemerintah lainnya.

Dalam sejarah panjang, negeri ini memang hidup dari pinjaman dan utang. Ketika penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar, di Denhaag, Belanda, akhir 1949, Indonesia kebagian beban utang Belanda sebesar 4,5 miliar gulden, atau setara US$ 4 miliar.

Peralihan dari Soekarno ke Soeharto pada 1967, mewariskan utang luar negeri sekitar US$ 2,1 miliar. Artinya, selama Soekarno berkuasa sepanjang 18 tahun (dihitung dari 1949), ada pengurangan utang sekitar US$ 1,9 miliar. Hebatnya, sejak Soeharto naik tahta, Indonesia jadi sangat doyan ngutang, hingga menjadi candu hingga kini. Selama Soeharto berkuasa, sejak 1967 sampai 1998, atau sekitar 31 tahun, utang luar negeri membengkak luar biasa. Total jenderal utang selama Orde Baru mencapai US$ 60 miliar atau setara Rp 600 triliun pada kurs Rp 10.000 per US$.

Labih dahsyat lagi, sejak Susilo Bambang Yudhoyono naik tahta pada 2004, utang Indonesia makin membengkak luar biasa. Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, pada 2004 utang luar negeri Indonesia sebanyak Rp 1.275 triliun. Jumlahnya terus naik pada 2005 sejumlah Rp 1.268 triliun, selanjutnya Rp 1.310 triliun (2006), Rp 1.387 triliun (2007), Rp 1.623 triliun (2008), dan hingga akhir 2009 sebesar Rp 1.667 triliun. Pada kurs Rp 10.000 per US$, jumlah total utang Indonesia mencapai sekitar US$ 166,7 miliar.

Artinya, selama lima tahun pertama pemerintahan Yudhoyono (2004-2009) saja, total utang Indonesia sudah bertambah Rp 392 triliun. Yakni, dari Rp 1.275 triliun menjadi Rp 1.667 triliun. Jika dirata-ratakan, selama periode pemerintahan pertama Yudhoyono, per tahun menangguk utang Rp 78,4 triliun. Bandingkan dengan selama 31 tahun Soeharto berkuasa: Rp 600 triliun. Artinya, per tahun, Soeharto “cuma” menangguk utang Rp 19,3 triliun. Itu berarti, pemerintahan Yudhoyono “sukses” menangguk utang empat kali lipat rezim Orde Baru. Dahsyat!

Sejak tahun 2004 sampai dengan 2008, pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri menunjukkan tren naik. Sejak awal masa pemerintahan Yudhoyono sampai September 2008 saja, total bunga dan cicilan pokok pinjaman luar negeri mencapai Rp 277 triliun. Sedang total penarikan pinjaman baru pada periode yang sama sebesar Rp 101,9 triliun.

Lantas, kemana uang-uang itu mengalir? Untuk pembangunan? Fakta-fakta temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan ketidakefektifan penggunaan utang. Kedua lembaga itu menyatakan, sejak 1967-2005, pemerintah baru memanfaatkan utang negara sebanyak 44% saja (www.mediaindonesia.com).

Sekadar catatan tambahan, APBN Indonesia pada tahun 2004 sebesar Rp 370 triliun. Jumlah ini meningkat tiga kali lipat menjadi sekitar Rp 1.000 triliun pada tahun 2009. Ajaibnya, peningkatan APBN yang disertai pembengkakan jumlah utang negara, ternyata tidak mampu mengurangi angka kemiskinan.

Jika pada 2004, jumlah penduduk miskin sebesar 36 juta jiwa, maka hingga Maret 2008 jumlah penduduk miskin masih diangka 35 juta jiwa (bahkan peneliti Universitas Indonesia memperkirakan 40 juta penduduk miskin pada Desember 2008). Ironis, memang. Anggaran kian gemuk, tapi kesejateraan tidak bertambah dan jumlah penduduk miskin tidak berkurang. Lantas, kemana anggaran gemuk hasil utang itu?

Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2007 menyebutkan, salah satu sumber kerugian keuangan negara terbesar adalah kebocoran APBN. KPK mencontohkan, pada tahun 2004 saja, kebocoran anggaran APBN mencapai 30%. Pada tahun 2005, terjadi penggelembungan (mark up) anggaran proyek pengadaan barang. Misalnya, untuk pengadaan PC (komputer), dianggarkan 15 juta per unit, padahal harga pasaran sekitar Rp 4 juta hingga Rp 5 juta-an per unit.

Laporan Indonesian Corruption Watch (ICW) juga menunjukkan, selama 2006 dan 2007 juga terjadi kebocoran APBN. Jika ingin lebih yakin, silakan juga telusuri hasil-hasil dokumen Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebagian besar, hasil audit kepada instansi anggaran kementerian dengan hasil disclaimer alias tanpa opini). Kemudian, jika kita tengok poin per poin penelusuran audit, maka terjadi penyimpangan pengunaan anggaran yang tidak seharusnya dilakukan pihak kementeriaan (lihat di bpk.go.id). Sungguh menyedihkan!

Jika memang lebih banyak mudharat ketimbang manfaat, lantas untuk apa pemerintah kita berutang?

Bisa jadi, nukilan lagu nina bobo sebelum tidur dari Koes Ploes itu saat ini cuma sekadar mitos. Selain utang menggunung, aset-aset bangsa kita juga kian musnah.

“Cabang-cabang ekonomi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara,” bunyi Pasal 33 Undang-Undang dasar 1945. Faktanya, hampir semua kekayaan negara kini sudah tergadaikan. Ini terutama di sektor pertambangan.

Betapa tak berkuasanya pemerintah terhadap aset bangsa ini tergambar dari ketidakberdayaan pemerintah menentukan hasil ladang gas di Blok Donggi-Senoro dijual ke pasar domestik. Hampir sebagian besar hasil gas dari blok tersebut untuk ekspor. Padahal, di saat bersamaan, industri dalam negeri juga kekuranga gas. Ironis.

Fakta lainnya, aset-aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perlahan tapi pasti lepas dari kontrol negara. Sehingga, lambat laun, hilang pula kewenangan negara mengontrol perekonomian untk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 tersebut.

Kita tahu, betapa agresifnya pemerintah menjual (memprivatisasi BUMN). Sejak pemerintahan Yudhoyono, betapa meledaknya agenda privatisasi BUMN. Pada 2008 saja, Komite Privatisasi BUMN menyetujui privatisasi 34 BUMN. Para analis menyebutnya sebagai 'ledakan privatisasi'. Dengan 10 BUMN luncuran (carry over) tahun 2007, hingga 2008 total yang diajukan Menteri Negara BUMN (kala itu Sofyan Djalil) ke DPR-RI menjadi 44 BUMN. (lihai Inilah.com, edisi 7 Februari 2008).

Jumlah itu boleh dibilang spektakuler. Jumlahnya terbesar dalam sejarah bangsa ini. Kalangan DPR pun mempertanyakan metode yang digunakan pemerintah dalam proses penjualan 44 BUMN itu. Sebagai perbandingan, pada periode 1991-2001 saja, pemerintah Indonesia cuma 14 kali memprivatisasi BUMN. Yang terprivatisasi 12 BUMN. Periode 2001-2006, pemerintah 14 kali memprivatisasi BUMN. Yang terprivatisasi 10 BUMN.

Dari sini, banyak para analis menilai Indonesia terjadi “ledakan privatisasi”. Sebab, hanya dalam setahun 44 BUMN dijual. Apalagi, privatisasi kali ini disertai penjualan seluruh saham 14 BUMN industri, 12 BUMN kepada investor strategis, dan beberapa BUMN lainnya kepada asing.

Indonesia Corruption Wacth (ICW) menempatkan agenda privatisasi 2008 sebagai salah satu ladang potensi korupsi. Sementara Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan, menjelang Pemilu 2009 sudah terendus transaksi-transaksi yang mencurigakan.

Jika kita kembalikan kepada amanat Undang-Undang Dasar 1945, BUMN merupakan salah satu lembaga yang wajib dikelola negara lantaran menguasai hajat hidup orang banyak.

Sejak 2008, BUMN yang dijadwalkan diprivatisasi antara lain PT Asuransi Jasa Indonesia, PT Krakatau Steel, PT Bank Tabungan Negara, PT Semen Baturaja, PT Sucofindo, PT Surveyor Indonesia, dan PT Waskita Karya, Bahtera Adiguna, Barata Indonesia, dan PT Djakarta Lloyd. BUMN lainnya adalah PT Sarinah, PT Industri Sandang, PT Sarana Karya, PT Dok Kodja Bahari, PT Dok & Perkapalan Surabaya, PT Industri Kereta Api, PT Dirgantara Indonesia, PT Kertas Kraft Aceh, PT INTI, Virama Karya, Semen Kupang, Yodya Karya, kawasan industri Medan, kawasan industri Makassar, kawasan industri Wijaya Kusuma, PT SIER, PT Rekayasa Industri, kawasan Berikat Nusantara, Garuda Indonesia, Merpati Nusantara, dan industri gelas.

Untuk tahun 2010 saja, pemerintah sudah menyiapkan tiga BUMN yang akan dilepas ke pasar. Mereka adalah PT Krakatau Steel, PT Garuda Indonesia, dan PT Pembangunan Perumahan (PP). Ketiganya merupakan bagian dari enam BUMN yang sudah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Tiga BUMN lain yang segera menyusul adalah PT Waskita Karya, PT Adhia Karya, PT Bank Tabungan Negara. Di luar itu, masih ada 14 BUMN lain yang siap dilego, diantaranya PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, PTPN IV, PTPN VII, PT Pengerukan Indonesia, PT Bahtera Adiguna, PT Asuransi Jasa Indonesia, PT Industri Gelas, PT Industri Sandang, PT Sarana Karya, PT Cambrics Primissima (Persero), PT Semen Kupang, PT Semen Baturaja, dan PT Rekayasa Industri. (Jawaban Pertanyaan Tertulis Kementerian Badan Usaha Milik Negara kepada Komisi VI DPR, 20 Januari 2010. Hlm. 19)

Setelah kelak seluruh BUMN dijual, aset apakah yang akan dimiliki bangsa dan negara ini? Tidakkah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945? Sesuai amanat Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguaai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara,"? Juga penegasan Ketetapan MPR No. II/2002 yang mengamanatkan agar pemerintah "Memperbaiki peran negara sebagai regulator dan fasilitator dalam kegiatan ekonomi, kecuali pada cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak,"?

Rasanya, jika saya diizinkan untuk mengubah syair lagu Koes Plus di atas, maka baitnya akan saya ganti menjadi: “Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi timbunan utang.”

Bekasi, 20 April 2010

Read More......
Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger