Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Senin, 29 November 2010

"Abah"

by: Danto

Abah adalah lelaki super sederhana, dan diam. Tak banyak bicara, bahkan pemalu. Pada Abah, tercermin kebersahajaan, setidaknya di mata saya. Dia tak jarang menolak jika dibelikan baju baru. Maka, baju anyar Abah praktis dari pemberian anak-anaknya ketika Musim Lebaran.

Dilahirkan di masa Pemberontakan Tentara Darrul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) awal 1950-an, Abah adalah laki-laki pintar. Sayang, kemiskinan membawanya hanya mampu menyelesaikan Sekolah Rakyat (SR) kelas dua. Selebihnya, ngangon kambing dan sapi milik Almarhum Si Embah. Dari empat anak Si Embah, Abah adalah anak laki-laki satu-satunya. Maka, di usia belasan tahun, ia menjadi tumpuan keluarga.




Ketika saya Sekolah Dasar (SD) di awal 1980-an, Abah lah yang mengajarkan saya berhitung matematika. Dengan pengetahuan di Sekolah Rakyat yang seadanya, dia mengeja hitungan matematika dasar: dengan bahasa Sunda pinggiran.”Hiji sareng hiji, sami sareng dua”. “Lima sareng opat, sami sareng salapan”. Artinya: satu tambah satu, sama dengan dua. Lima tambah empat, sama dengan sembilan. Begitulah. Dari pelajaran super sederhana itu, pelajaran saya di sekolah sekarang jauh lebih dalam ketimbang Abah.

Hujan sore ini, plus lagu-lagu Ebiet G. Ade, membangkitkan memori pada Abah. Sudah sejak Lebaran lalu, kami tak bersua. Mungkin, dia masih berkutat sibuk mencangkul atau membajak sawah yang kami punya di kampung: daerah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sebagai buruh dengan beberapa petak sawah, Abah punya jam kerja 12 jam di “kantor”. Berangkat ketika Betara Surya di ufuk timur, pulang ketika Senja menyapa. Kantor Abah adalah bumi berpayung langit. Bercadar awan, dan berpenyangga hujan.

Sawah Abah tak banyak, peninggalan si Embah. Mungkin total cuma setengah hektare saja. Itupun sebagian telah terjual untuk membiayai Kakak pertama melanjutkan studi. Modal buruh petani, hanya sawah untuk mengantar anaknya kuliah. Lain tidak.

Anak Abah empat: kakak pertama, saya, adik pertama, dan si bungsu. Kecuali si Bungsu, semua anak Abah adalah laki-laki. Kakak pertama berhasil lulus di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Jakarta dalam tujuh tahun. Dia mengambil Jurusan Bahasa Inggris. Dia terbilang lama kuliah, akibat harus nyambi mencari uang sendiri lantaran uang hasil menanam padi tak cukup banyak buat bayar kuliah. Kakak pertama harus kerja keras menjadi kuli bangunan di proyek-proyek mercusuar Jakarta untuk biaya hidup.

Pada suatu hari menjelang Pemilu 1992 yang panas, ketika kakak pertama di tingkat tiga kuliah. Kakak pertama harus berkeringat keras menelusuri lorong dan jembatan Grogol, Jakarta Barat. Di sana, Abah tengah termenung ngungun. Di sampingnya, teronggok pakaian dalam tas belel berjejer cangkul. Di kolong Jembatan Grogol itu, ada teman-teman sekampung Abah, juga termenung. Sebagian rebahan berlasa tikar pandan bercampur debu.

Abah harus “mangkal” di Jembatan Grogol itu. Ketika itu, pembangunan di Jakarta sedang gencar-gencarnya. Dan, orang-orang kampong, buruh dan petani, macam Abah, mencoba mengadu nasib menjadi “tukang gali”. Modalnya cuma cangkul.

Dan, Jembatan Grogol adalah lokasi strategis bertransaksi dengan mandor-mandor bangunan. Dengan upah borongan Rp 10.000 per hari, biasanya para tukang gali bangunan bisa membawa uang hingga Rp 100.000 sekali pulang kampong. Itu hasil mangkal sebulan di Jembatan Grogol. Itupun jika orderan banyak. Jika pesanan minim, maka yang tersisa adalah utang ke warung makan. Beberapa diantara mereka coba membuka warung makan seadanya: di kolong jembatan itu.

“Abah, sebaiknya Abah pulang saja. Jangan pikirkan biaya kuliah saya. Saya masih mampu untuk mencoba mengajar privat, atau sekedar bekerja jadi tukang sapu di proyek bangunan,” kata Kakak pertama, kepada Abah, ketika itu. Cerita ini, dituturkan kembali Abah kepada saya di kemudian hari.

“Abah akan tetap di sini, baru seminggu di kolong jembatan Grogol, belum ada orderan proyek galian,” kata Abah, setengah memaksa.

“Tidak, Abah harus pulang,” kata kakak pertama. Bukan karena malu, kata kakak kepada saya suatu hari, tapi sungguh: tak tega saya harus melihat Abah mangkal di kolong jembatan grogol ini,” kata Kakak. Betapa Abah harus menjadi gelandangan untuk membantu biaya kuliah Kakak pertama. Ketika itu, musim paceklik menyerang kampung. Sawah-sawah tadah hujan di kampung tiada air: kering kerontang.

Ketika itu, Ibu meminta Abah bekerja mangkal di kolong Jembatan Grogol saja tinimbang di kampung luntang-lantung. Selain bertani, Abah tak punya keterampilan lain.

Abah adalah lelaki bijak. Dia memilih ikut saran Ibu, siapa tahu bisa punya penghasilan tambahan untuk biaya kuliah kakak pertama. Kala itu, saya masih di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Biaya juga sangat mepet. Baju sekolah kusut masai, akibat tak pernah diseterika. Boro-boro punya setrika, meminjam setrika dengan arang panas ke tetangga pun Abah dan Ibu tak berani,. Maka, baju saya hanya bisa ditaruh di bawah kasur agar lipatan dan kusut tak begitu tampak.

Abah akhirnya ke Jakarta, ikut saran Ibu, bersama beberapa tetangga. Namun, tak gampang mencari order galian di kolong Jembatan Grogol. Seminggu termangu, orderan tak juga datang. Hingga Kakak pertama menemukan Abah termenung di kolong itu. Hendak berkunjung ke kos-an kakak pertama, katanya malu. Takut teman-teman kakak pertama mencibir.

“Kalau Abah enggan pulang kampung, sebaiknya tinggal di kosan saya saja di Rawamangun,” kata kakak pertama.

“Tidak, Abah di sini saja, Abah malu pada teman-temanmu,” kilah Abah.
“Tidak apa-apa, saya sudah terbiasa dengan kondisi kita, sebaiknya Abah ke kosan saya saja,” kembali kakak mengajak.

Awalnya Abah menolak, namun kemudian mau. Setelah bermalam di Rawamangun, besoknya Abah pulang menumpang bus di terminal Pulogadung. Sengaja kakak berutang ke temannya untuk sekadar ongkos dan uang jajan buat ibu. Biar ibu di kampung sedikit bungah Abah punya hasil. Hingga kini, Ibu tak tahu uang itu adalah hasil pinjaman kakak dari teman kos.

Maka, Abah kembali menjalani rutinitas: ketika ufuk di timur datang, Abah segera “ngantor”. Saat senja menyapa, Abah pulang. Mungkin sore ini Abah baru siap-siap meninggalkan ladang.

Dari hasil keringatnya itu, kini kakak pertama sudah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) guru SMP di ibukota kecamatan. Bertitel wakil kepala sekolah, kakak pertama beristri bidan, anak dua, mobil satu, dan motor tiga. Saya, kini menjadi juru warta, dan sedikit harta di pinggiran Jakarta. Adik pertama, jadi PNS di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sementara si Bungsu, perempuan satu-satunya anak Abah dan Ibu, kini kelas tiga SMU di ibukota kecamatan.

Pada Abah, saya belajar tentang kesederhanaan. Pada Abah, saya belajar tentang hidup. Pada Abah, saya belajar tentang Syukur.

Sekali lagi, lagu Ebiet mengalun dari CPU computer saya sore ini:

“Di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa
Benturan dan hempasan terpahat di keningmu
Kau nampak tua dan lelah
Keringat mengucur deras
Namun kau tetap tabah
Meski nafasmu, kadang tersengal, memikul beban yang makin sarat
Kau tetap bertahan

Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu, gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari
Kini kurus dan terbungkuk
Namun semangat tak pernah pudar
Meski langkahmu kadang gemetar
Kau tetap setia

Ayah…
Dalam hening sepi ku rindu
Untuk menuai padi milik kita
Tapi…Kerinduan tinggal hanya kerinduan
Anakmu sekarang
Banyak menanggung beban.

* Silahkan baca juga cerita tentang Ibu

0 komentar:

Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger