Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Jumat, 16 Mei 2008

Inspirasi - 3 (William Kwan)

William Kwan, Penggerak Batik Tiga Negeri di Lasem (1)

Danto

Liburan selalu mendatangkan kenangan tak terlupakan. Ketika bervakansi ke kota Semarang di awal 2004, William Kwan hanyalah seorang pelancong yang mencari suasana segar di kota Semarang. Ternyata, oleh-oleh vakansi kali ini terasa sangat istimewa. Bukan barang, juga bukan buah tangan. William membawa oleh-oleh dari Semarang ke Jakarta berupa kata baru: “Batik Tiga Negeri di Lasem”. Kata asing yang menggelitik pikirannya.

“Sepulang ke Jakarta saya mencoba mencari arti kata tersebut melalui internet,” kata William, kini Direktur Institut Pluralisme Indonesia, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang di bidang multietnik.

Berselancar di dunia maya mencari kata “Batik Tiga Negeri di Lasem” membawanya pada satu kesimpulan. Batik Tiga Negeri merupakan satu sebutan merek batik dari Lasem, kota kecil di daerah Rembang, Jawa Tengah. Pada masa jayanya di dekade tahun 1970-an, Batik Tiga Negeri merupakan salah satu gaya batik pesisir. Dilihat dari skala industri kala itu, batik Lasem termasuk salah satu dari lima besar industri batik di Indonesia, selain Surakarta, Yogyakarta, Pekalongan dan Cirebon.

Motif dan warna batik Lasem juga cukup terkenal. Motif Batik Tiga Negeri dan Lok Can, misalnya, digemari oleh para konsumen batik di Jawa, Sumatera, semenanjung Malaya (Malaysia dan Singapura), Bali, Suriname, dan sebagainya. Warna merah batik Lasem, disebut sebagai ‘abang getih pitik (merah darah ayam)’, konon tidak dapat dihasilkan di daerah lain.

Tapi itu cerita masa lalu. Pada tahun 2002, jumlah perajin batik Lasem tercatat cuma ada 10 pengusaha atau perajin. “Saya tertegun mendapatkan kenyataan bahwa batik Lasem ternyata dulu amat terkenal sebagai salah satu gaya batik pesisir, tetapi warisan budaya ini sekarang kurang dikenal masyarakat. Industri batik Lasem yang terletak di daerah tertinggal kabupaten Rembang pun sudah demikian surutnya,” papar William, kepada Kontan.

Itu hal menarik pertama yang menggelitik pria 46 tahun itu. Hal yang memikat lainnya dari batik lasem adalah soal pergeseran komposisi etnisitas dari pengusaha batik Lasem. Secara tradisional, para pengusaha batik Lasem berasal dari keluarga etnis Tionghoa Peranakan di kota Lasem. Sedangkan pengrajin atau buruh batik Lasem berasal dari keluarga etnis Jawa di pedesaan sekitar kota Lasem. Para pengrajin batik Lasem tersebut tidak mendapatkan order pekerjaan yang memadai saat industri batik Lasem surut. Tentu saja, hal ini membuat para perajin terancam kehilangan sumber penghasilan tambahan.

Beberapa orang pengrajin Jawa mulai mencoba menjadi pengusaha, sementara keluarga pengusaha Tionghoa kehilangan minat untuk meneruskan usaha warisan nenek moyang mereka.


“Kombinasi dinamika kemerosotan industri batik Lasem, kurangnya apresiasi terhadap budaya batik Lasem, problem regenerasi dan hubungan silang budaya Jawa-Tionghoa dalam proses penyesuaian ke arah perubahan komposisi pengusaha batik Lasem demikian menarik perhatian saya untuk melakukan riset dan pendampingan masyarakat ke arah revitalisasi budaya dan usaha kecil batik Lasem,,” papar William, yang memiliki nama China Kwan Hwie Liong.

Merasa tertarik dengan batik Lasem itu, vakansi William Kwan di awal tahun 2004 itu kemudian berlanjut. Pada periode Maret 2004-Mei 2006, William bolak-balik Jakarta-Rembang untuk keperluan observasi lapangan, wawancara, dialog, dan seminar soal Batik Tiga Negeri. William ternyata serius menggarap idealisme untuk kembali membangkitkan batik Lasem itu. Beberapa kali, William mengajak sejumlah desainer nasional, seperti Musa Widyatmodjo dan Dina Midiani dari Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) untuk mengunjungi Kabupaten Rembang. Mereka kemudian berdialog dengan para pengusaha serta pengrajin batik Lasem.

***
***

William Kwan, Penggerak Batik Tiga Negeri di Lasem (2)

Butuh waktu dua tahun, tepatnya pada periode Maret 2004-Mei 2006, bagi William Kwan untuk survei awal pendampingan perajin Batik Tiga Negeri di Lasem, kota kecil di Rembang, Jawa Tengah. Dalam rentang waktu itu, William bolak-balik Jakarta-Rembang untuk keperluan observasi lapangan, wawancara, dialog, dan seminar soal Batik Tiga Negeri. William juga beberapa kali mengajak sejumlah desainer nasional, seperti Musa Widyatmodjo dan Dina Midiani dari Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) untuk mengunjungi Kabupaten Rembang. Mereka kemudian berdialog dengan para pengusaha serta pengrajin batik Lasem.

Baru pada bulan Juni 2006 William fokus pada realisasi idealismenya membangun kembali batik Lasem. Agar cepat berkembang, harus ada satu tempat membangun proyek percontohan. Tujuannya supaya dapat memperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang bagaimana sebuah revitalisasi budaya dan ekonomi kreatif, seperti batik Lasem, dapat dilakukan. Pada Agustus 2006, William menemukan satu tempat yang pas untuk percontohan proyeknya. Namanya Desa Jeruk. Dusun ini terletak di Kecamatan Pancur, Kabupaten Rembang.

Soal alasan kenapa memilih Desa Jeruk, William berkisah. Desa ini merupakan sebuah dusun yang tertinggal secara ekonomi. Sulit memperoleh air, misalnya. Dusun ini dihuni oleh sejumlah besar perempuan pembatik yang telah menganggur cukup lama. Terdapat 172 orang perempuan yang memiliki ketrampilan membatik, namun hanya 33 orang alias sekitar 19% di antaranya yang masih bekerja aktif.

Di desa Jeruk inilah William yang dibantu beberapa staf di Institut Pluralisme Indonesia (IPI) bekerja sama dengan beberapa pihak, antara lain Pemerintah Daerah Kabupaten Rembang, pemuka masyarakat Desa Jeruk, relawan desainer nasional dari Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) seperti Musa Widyatmodjo, Mardiana Ika, Dina Midiani, untuk mendampingi para perempuan pembatik agar mereka dapat menjadi penggerak kemajuan di desa mereka sendiri.

“Di proyek percontohan Desa Jeruk kami ingin membuktikan bahwa kepercayaan dan kerjasama erat antar elemen masyarakat Desa Jeruk, merupakan prakondisi penting untuk sebuah proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan politik lokal,” papar William, peraih gelar master ekonomi dari Vanderbilt University, Graduate Program in Economic Development, Nashville, Tennessee, Amerika Serikat, tahun 1993.

Selama ini, William bilang, kemampuan mumpuni para perajin batik di Desa Jeruk seperti tercecer. Tak terkoodinir. Lantaran itu, William bertekad untuk menyatukan mereka. Ibarat pepatah, kumpulan lidi saja mampu menyingkirkan tumpukan sampah kotor. Maka, William kemudian mencari cara agar para perempuan pembatik itu mampu kembali berdaya.

William memilih cara tradisional dengan pendekatan face to face. “Kami menerapkan pengembangan kelompok secara hati-hati dan bertahap dalam jangka waktu panjang. Berbeda dengan pendekatan pembentukan kelompok yang biasa dikenal, yaitu sekaligus merekrut beberapa orang calon anggota, kami justru memulai proses pendampingan dengan mengindentifikasi seorang perempuan buruh batik yang menganggur bernama Ramini,” papar William.

Begitulah. Ramini, wanita paruh baya, dipilih lantaran memiliki karakter lebih kuat di antara yang lain. “Walaupun tidak selesai belajar di sekolah dasar, Ramini memiliki kemauan kuat untuk memperbaiki kesejahteraan keluarganya, serta bersedia berbagi dengan para tetangganya dalam proses perjuangan hidup tersebut,” kata William.

William mengajak Ramini membentuk sebuah kelompok usaha bersama pembatikan. Cuma, perlu sedikit waktu untuk meyakinkan Ramini untuk merealisasikan ide tersebut. Setidaknya William menghabiskan dua pekan untuk melobi Ramini dan keluarganya. (Bersambung)


****
****


William Kwan, Penggerak Batik Tiga Negeri di Lasem (3)

Untuk mewujudkan mimpinya mengembalikan kejayaan Batik Tiga Negeri di Lasem, William Kwan mendirikan desa percontohan industri batik di Desa Jeruk, Kecamatan Pancur, Kabupaten Rembang. Di desa tersebut, William memilih Ramini, perempuan pembatik berumur 44 tahun, untuk jadi penggerak bagi pembatik lainnya. Butuh waktu dua pekan bagi William untuk meyakinkan Ramini dan keluarganya. Ramini akhirnya mengangguk.

Ramini kemudian mengajak tiga teman pembatiknya untuk membentuk kelompok usaha bersama (KUB). Mereka menamakan diri sebagai KUB Srikandi Jeruk. Nama Srikandi diambil lantaran memiliki image yang berwibawa bagi perempuan. Srikandi adalah nama seorang pahlawan wanita yang gagah perkasa dalam cerita klasik wayang Mahabharata.

Selama enam bulan, William bersama Institut Pluralisme Indonesia (IPI) berusaha mengidentifikasi dan memfasilitasi kebutuhan pelatihan bagi KUB Srikandi Jeruk. Tujuannya jelas, agar mereka mampu bekerjasama dan dapat menghasilkan kain batik secara mandiri.

“Kami mengajarkan aneka pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental yang diperlukan agar anggota KUB Srikandi Jeruk dapat menjadi pengusaha atau pengrajin batik yang profesional dan mandiri,” papar William.

Aneka pelatihan diajarkan, antara lain proses produksi batik, pewarnaan alami, kepemimpinan, pembukuan alias keuangan, pemasaran, dan inovasi produk. Lantaran secara tradisional Batik Tiga Negeri di Lasem tidak lepas dari perpaduan budaya antara Tionghoa peranakan dan etnis Jawa, tak lupa William mengajarkan dasar-dasar pluralisme.

“Inti pembelajaran oleh KUB tidak dilakukan pada sesi pelatihan, melainkan diperoleh melalui kegiatan nyata sehari-hari alias action learning,” kata William.

William mencontohkan, KUB Srikandi Jeruk melakukan analisa pasar untuk menemukan jenis produk dan pasar potensial batik warna alam, melakukan advokasi untuk akses anggaran publik bagi usaha rakyat seperti batik tulis, dan sebagainya. “Tentu saja pendampingan ini gratis, semua biaya kami tanggung atau atas kerjasama dengan mitra kami,” katanya.

Usaha William tak sia-sia. Pada Februari 2007, Srikandi mulai mencoba dan menjual produk. Upaya ini berhasil. Keberhasilan itu membangun kepercayaan. Anggota KUB pun kian meningkat pesat, juga perlahan menjadi sentral produksi batik Lasem. Jika pada 2002 hanya ada 10 pengusaha atau perajin saja, juga belum terkoordinir, jumlahnya bertambah banyak.

Kehadiran KUB Srikandi Jeruk ternyata memicu pengusaha dan perajin lainnya. Khusus anggota Srikandi Jeruk saja, dalam catatan William, hingga Juni 2007 alias dalam waktu empat bulan setelah KUB Srikandi Jeruk mengawali proses produksi, jumlah pengusaha dan perajin sudah mencapai 20 orang, terdiri dari 14 orang pengusaha etnis Tionghoa (65%) dan enam orang pengusaha etnis Jawa (35%). Semuanya tergabung dalam KUB Srikandi Jeruk. Padahal, awalnya Cuma seorang Ramini dan tiga perempuan pembatik saja.

Mereka mampu menghasilkan kapasitas produksi sekitar 50 lembar batik per bulan.
Anggota pun mulai merasakan manfaat KUB. Mereka kini bebas menentukan sendiri tingkat penghasilan atau upah kerja. Tentu dengan memperhitungkan perkembangan keuntungan dari usaha batik itu.

Tentu saja, catatan William belum lengkap. Lantaran di luar Srikandi Jeruk, masih ada pengusaha dan perajin batik lain di kota Rembang. Cita-cita William untuk terus menggeliatkan kembali Batik Tiga Negeri di Lasem makin menggebu. Lantaran itu, William dan timnya kemudian melakukan pendampingan dua pihak.



Selain pendampingan langsung kepada perempuan buruh batik melalui KUB Srikandi Jeruk, William juga membantu pendampingan tidak langsung terhadap para pengusaha batik Lasem di tingkat kabupaten Rembang. Caranya, antara lain dengan perbaikan komunikasi lintas pengusaha dan pengrajin batik melalui penerbitan media. William menerbitkan majalah berkala soal batik. William juga melakukan advokasi untuk perbaikan upah perajin batik guna menjamin regenerasi industri batik Lasem, pameran batik Lasem, dan sebagainya. (Bersambung)



*****
*****

William Kwan, Penggerak Batik Tiga Negeri di Lasem (4)

Batik Tiga Negeri dari Lasem kini sudah mulai pulih. Melalui sentra percontohan Srikandi Jeruk di Desa Jeruk, Kecamatan Pancuran, Kabupaten Rembang, Batik tiga Negeri kembali mengudara. Jumlah pembatik kini sudah puluhan pengusaha atau perajin. Meski belum sepenuhnya seperti masa kejayaannya di dekade 1970-an. Di masa itu, hampir setiap rumah membatik adalah mata pencaharian utama. Kini, Batik Tiga Negeri menggeliat lagi.

Srikandi jeruk bolehlah menjadi cikal bakal kebangkitan kembali Batik Tiga Negeri di Lasem. Cuma, di luar itu, masih banyak pengusaha dan perajin di kabupaten Rembang yang masih tercecer dan tidak terorganisasi. Terinspirasi berhasil membangun komunitas batik di Desa Jeruk, William ingin hal yang sama terjadi di seluruh Kabupaten Rembang. Semua bermuara pada cita-citanya: membangkitkan kembali Batik Tiga Negeri di Lasem.

Jalan sudah terbuka kini. Tak ingin yang sudah dirintisnya kembali mundur, William Kwan kemudian menerapkan pendampingan di dua kaki. Selain pendampingan langsung kepada perempuan buruh batik melalui KUB Srikandi Jeruk, William juga membantu pendampingan tidak langsung terhadap para pengusaha batik Lasem di tingkat kabupaten Rembang. Caranya, antara lain dengan perbaikan komunikasi lintas pengusaha dan pengrajin batik melalui penerbitan media. William menerbitkan majalah berkala soal batik. William juga melakukan advokasi untuk perbaikan upah perajin batik guna menjamin regenerasi industri batik Lasem, pameran batik Lasem, dan sebagainya.

William berkisah, pendampingan secara paralel ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan kemajuan produktivitas antara proyek percontohan di Desa Jeruk dan industri batik Lasem di tingkat Kabupaten Rembang. “Sehingga manfaat ekonomi dapat diperoleh bersama oleh semua pelaku usaha batik Lasem,” kata William.

Tak mudah, memang. Membangun dari nol tak selamanya berjalan mulus. Hambatan, tentu saja, ada. William mengakui, banyak rintangan untuk mewujudkan mimpi. Di bidang teknologi batik, misalnya, William harus benar-benar mengawali dari nol besar. “Untuk proses ketelan (mordant), umpamanya, kami harus berjuang keras untuk melakukan eksperimen sendiri karena tidak terbukanya informasi dari para pengusaha,” papar William. “Tapi itu sesuatu yang wajar, tentunya.”

Aral rintang tak hanya berhenti di situ. Mencuatnya komunitas baru Batik Lasem dengan nama Srikandi Jeruk, ternyata menimbulkan iri dengki dari pengusaha yang sudah ada sebelumnya. “Tantangan terbesar kami adalah menghadapi sikap curiga dan kecemasan dari para pengusaha batik Lasem dalam mengantisipasi kemungkinan munculnya para pesaing baru sebagai hasil proyek percontohan di desa Jeruk,” papar William.

Untuk sementara, William dan rekan-rekannya di Institut Pluralisme Indonesia (IPI) hanya bisa menahan sabar. Terlebih, cita-cita belum tergapai seluruhnya. Selain berlapang dada, William harus jembar untuk terus mendorong kerjasama antar pelaku industri batik Lasem. “Saya yakin bahwa menyikapi persaingan dan kerjasama usaha secara berimbang akan membentuk kebahagian batin dan kesuksesan usaha yang lebih lestari dalam jangka panjang,” katanya.

Sampai di sini, puaskah William dengan hasil jerih payahnya? Jawabannya mudah ditebak. Manusia adalah makhluk yang tak pernah merasa puas. Masih ada asa tersisa William di balik bangkitnya kembali batik Lasem.

“Kemajuan industri batik Lasem tersebut belum sepenuhnya menjamin kelestarian masa depan industri dan budaya batik Lasem. Peningkatan pendapatan pengusaha yang belum diikuti dengan perbaikan kesejahteraan perajin akan menggerogoti kemajuan industri itu sendiri. Generasi muda pengusaha akan bergairah untuk meneruskan usaha orang tua mereka.



Sebaliknya, generasi muda dari keluarga pengrajin semakin tidak tertarik untuk menjadi pembatik. Industri batik Lasem akan sulit mendapatkan sumberdaya manusia perajin batik di masa datang jika tidak terjadi perbaikan kesejahteraan para buruh dan perajin batik Lasem itu sendiri,” begitulah William mengakhiri perjalanan kisahnya kepada Kontan. (Selesai)

Harian Bisnis dan Investasi Kontan, 5-9 Februari 2008

0 komentar:

Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger