Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Minggu, 30 September 2012

Secuplik Cerita Di Balik G 30 S/PKI 1965

0 komentar


Share

Secuplik Cerita Di Balik G 30 S/PKI 1965
* Catatan lama yang terselip di tumpukan file
***

Pada tahun 1966, Washington Post menerbitkan sebuah laporan yang memperkirakan sekitar 500.000 terbunuh dalam pembersihan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pembersihan ini bahkan memicu perang saudara singkat. Dalam laporan 1968, CIA memperkirakan terdapat 250.000 kematian eks-PKI, dan disebut pembunuhan "salah satu pembantaian terburuk dari abad ke-20."

***

Sejarah, selalu bertali temali antara kepentingan politik, ideologi, dan ekonomi. Juga pilinan antara kepentingan lokal dan asing. Di Indonesia, bagi saya, puncak dari keksiruhan tersebut meletus pada 30 September 1965. Bagi saya, 30 September adalah sebuah misteri besar tentang bangsa Indonesia. Ia adalah puncak dari kekisruhan politik ekonomi nasional dan internasional.

Pada periode 1950 hingga 1960-an, kepemimpinan kharismatik Soekarno, benar-benar membuat khawatir bangsa barat, khususnya Amerika Serikat (AS) dan para sekutunya. Pengaruh Soekarno yang mulai menyebarkan virus “perlawanan” terhadap Barat, menyebabkan cerita duka kejatuhan Soekarno di kemudian hari.

Di kancah Internasional, Soekarno mulai berseberangan dengan AS dan sekutunya memasuki medio 1950-an. Keberhasilan Soekarno menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung, pada 1955, sungguh menggelisahkan kekuatan barat.

Ini adalah pertama kalinya negara-negara berkembang membangun kekuatan. Mata AS dan sekutunya pun makin tajam membidik Soekarno. Sejak saat inilah AS mulai berperan besar dalam peta politik dan ekonomi Indonesia.

Banyak buku yang mengungkap keterlibatan AS lewat lembaga intelejen mereka: Central Intelligence Agency (CIA), pada masa-masa ini hingga periode berikutnya. Tentu saja, saya tak akan sepenuhnya percaya tesis ini. Meski demikian, ada baiknya saya mengungkapkan hasil penemuan Bradley R. Simpson, saat membuat disertasi doktoralnya di Universitas George Washington University.

Simpson meneliti dokumen-dokumen CIA, telegram-telegram dan arsip-arsip memorandum Kedutaan Besar AS di Jakarta periode 1960-an. Hasil penemuan Simpson ini kemudian diarsipkan di National Security Archive George Washington University. Hebatnya, karena kini jaman teknologi canggih, maka arsip-arsip itu bisa diakses dengan mudah via internet.[1]

Soal keterlibatan AS di Indonesia pada periode itu, juga bisa ditelusuri tulisan-tulisan Peter Dale Scott, profesor di University of California, Berkeley, tentang The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967. Karya Dale Scoot ini pernah dipublikasikan dalam artikel Pacific Affairs, 58, pada Musim Panas 1985.[2]

Sebagai perbandingan, ada pula ulasan dari Kathy Kadane soal peran CIA di Indonesia pada periode tersebut. Kadane yang mewawancarai tokoh-tokoh Amerika Serikat pada periode medio 1960-an, seperti mantan Direktur CIA pada masa tersebut: William Colby, mengungkapkan bagaimana peran pentingnya AS dan CIA dalam politik Indonesia.[3] Atau, sebagai bacaan pelengkap, silakan baca artikel-artikel David Ransom soal pembahasan serupa.[4]

Ada pula tulisan wartawan The New York Times, Tim Weiner, yang menulis tentang keterlibatan Adam Malik yang disebut sebagai agen CIA di Indonesia.[5] Jika ingin memperkaya bacaan, silakan baca Buku Dalih Pembunuhan Massal karya John Rossa, yang menyingkap misteri Gerakan 30 September 1965, siapa-siapa saja yang terlibat, mulai dari tokoh-tokoh central Partai Komunis Indonesia (PKI), operasi tentara, Amerka, hingga CIA.[6]

Di Indonesia, hampir semua tulisan-tulisan mereka menjadi kontroversi. Saya tak bermaksud mengangkat kembali kontroversi itu. Sekali lagi, tulisan saya ini hanya untuk menyajikan sudut pandang dan perspektif sejarah yang berbeda. Dari tulisan-tulisan mereka, ada benang merah yang sama soal tragedi kemanusian terbesar di Indonesia abad XX itu.

AS mulai menajamkan matanya membidik Soekarno setelah munculnya konfrontasi dengan Malaysia pada paruh waktu 1964. Menyusul keterlibatan Inggris dalam konfrontasi dengan Malaysia, pemerintah Indonesia segera menyikapi hal itu dengan menasionalisasikan perusahaan Inggris. Ini adalah nasionalisasi kedua yang dilakukan Indonesia setelah nasionalisasi perusahaan Belanda pada 1956 dan 1957.

Mengetahui hal itu, pemerintah AS segera bertindak. Setelah beberapa waktu sebelumnya menekan Indonesia untuk mengaitkan pencairan pinjamannya dengan program stabilisasi IMF, AS kemudian mengaitkan pencairan pinjaman berikutnya dengan tuntutan untuk mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia.

Catatan saja, selain menjalankan kebijakan politik, pada masa-masa ini AS juga mengepakan pengaruhnya lewat triumvirat Kesepakatan Bretton Woods: IMF, Bank Dunia, dan GATT. Pasca Perang Dunia Kedua, AS memang ekspansif untuk menyebarkan pengaruhnya ke seluruh dunia lewat kaki-kaki ekonomi.

Campur tangan AS tersebut di tengah maraknya demonstrasi menentang pelaksanaan program stabilisasi IMF di Tanah Air, yang ditanggapi Soekarno dengan mengecam utang luar negeri dan menentang AS. Pernyataan, ”Go to hell with your aid”, yang sangat terkenal itu adalah bagian dari ungkapan kemarahan Soekarno kepada negara tersebut. Penolakan Soekarno yang sangat keras tersebut harus dibayar dengan kejatuhannya dari kursi Kepresidenan mulai 1966-1967 kemudian.[7]

Penting dicatat, periode ini adalah masa-masa menentukan perekonomian dan perpolitikan Indonesia. Pada takaran tertentu, pada awal paruh kedua medio 1960-an, pergolakan politik dalam negeri begitu kuat.

Pada akhirnya, Soekarno tak berdaya, dan dengan skenarioinvisible hand yang sedemikian matang, kekuasaan Soekarno pun beralih ke Soeharto. Itu setelah Soekarno menyerahkan “kekuasaan” kepada Soeharto melalui tongkat komando Surat Perintah Sebelas Maret (Super Semar) pada 11 Maret 1966 yang masih kontroversi dan berbalut misteri hingga kini, menyusul kisruh 30 September 1965.

Sukarno adalah seorang yang populis, tulis John Pilger. Wartawan yang bermukim di Inggris kelahiran Australia itu menyebut serentetan kesuksesan Soekarno membangun aliansi di dalam negeri dan negara-negara berkembang, menimbulkan kekhawatiran kalangan barat. Pendiri gerakan modern Indonesia dan negara-negara berkembang ini, tulis Pilger tentang sosok Soekarno, bertekad membentuk kekuatan negara-negara dunia ketiga diantara dua kekuatan besar pada masa itu: kekuatan blok barat dengan ideologi kapitalis, dan blok timur dengan ideologi sosialis komunis.

Pilger juga menegaskan, keberhasilan Soekarno menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung, pada 1955, sungguh menggelisahkan kekuatan barat. Ini adalah pertama kalinya negara-negara berkembang membangun kekuatan.

Di dalam negeri, Soekarno juga sukses membangun kekuatan aliansi tiga kekuatan: nasionalis agama dan komunis (nasakom). Soekarno mampu mendorong massa serikat petani, perempuan dan gerakan-gerakan budaya.

Antara tahun 1959 dan 1965, lebih dari 15 juta orang bergabung dengan partai politik atau organisasi massa yang berafiliasi untuk menentang kekuatan neo kolonialisme barat. Sebanyak tiga juta diantaranya merupakan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Ini merupakan kekuatan komunis terbesar ketiga di dunia di luar Uni Soviet dan China. Inilah yang sangat menggelisahkan kalangan barat, terutama Amerika Serikat dan Inggris. Kedua negara adidaya ini pun merancang penggulingan Soekarno dari kekuasaan.[8]

Tak heran, AS yang tengah berupaya keras membendung pengaruh komunis dan ingin membenamkan pengaruh liberalisme pasar, berusaha gigih untuk menyingkirkan Soekarno. Selain mengupayakan mendidik kader lewat upaya-upaya pendidikan melalui serangkaian upaya Ford Foundation dan Rockefeller Foundation lewat Soemitro dan murid-muridnya di Berkeley, AS dengan CIA berupaya melakukan upaya melalui jalur politik, salah satunya lewat faksi militer Soewarto, kemudian Soeharto (lihat tulisan lain: http://www.facebook.com/notes/danto-tea/pki-dan-mengapa-obama-ke-universitas-indonesia/498671564611 ).

Memorandum CIA pada Juni 1962 menyatakan persetujuan Perdana Menteri Inggris Harold Macmillan dan Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy untuk “melikuidasi Presiden Soekarno, tergantung pada situasi dan kesempatan yang tersedia. Tak jelas benar pengertian likuidasi ini. Cuma, kuat dugaan itu sebagai penggulingan kekuasaan.

John Pilger memaparkan, mengutip hasil investigasi jurnalis Amerika Serikat Kathy Kadane pada 1990, ada rahasia kolaborasi Amerika dalam pembantaian anggota dan simpatisan PKI periode 1965-1966, yang memungkinkan Soeharto untuk merebut kursi kepresidenan dari Soekarno.[9]

Setelah serangkaian wawancara dengan mantan pejabat Amerika Serikat pada periode tersebut, Kadane menyimpulkan terjadi operasi terencana dari pejabat-pejabat Amerika Serikat soal pergantian kekuasaan di Indonesia dari tangan Soekarno. Kadane menulis, "Mereka secara sistematis menyusun daftar komprehensif operasi pembantaian anggota komunis di Indonesia. Ada sebanyak 5.000 nama yang disetor oleh tentara Indonesia, dan Amerika kemudian memeriksa nama-nama mereka yang telah dibunuh atau ditangkap."[10]

Salah satu yang diwawancarai Kadane adalah Robert J Martens, seorang pejabat politik di Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Jakarta periode tersebut. "Kami hanya membantu tentara (Indonesia)," katanya. "Mereka mungkin membunuh banyak orang, dan saya mungkin memiliki banyak darah di tangan saya, tetapi hal itu tidak semuanya buruk. Ada saat-saat ketika Anda harus memukul keras pada saat yang menentukan."
Sebagai perbandingan, ini saya sajikan cuplikan dari tulisan John Pilger mengenai kondisi saat itu:

Joseph Lazarsky, the deputy CIA station chief in Jakarta, said that confirmation of the killings came straight from Suharto's headquarters. 'We were getting a good account in Jakarta of who was being picked up,' he said. 'The army had a "shooting list" of about 4,000 or 5,000 people. They didn't have enough goon squads to zap them all, and some individuals were valuable for interrogation. The infrastructure [of the PKI] was zapped almost immediately.

We knew what they were doing . . . Suharto and his advisers said, if you keep them alive you have to feed them. Having already armed and equipped much of the army, Washington secretly supplied Suharto's troops with a field communications network as the killings got under way. Flown in at night by US air force planes based in the Philippines, this was state-of-the-art equipment, whose high frequencies were known to the CIA and the National Security Agency advising President Johnson.

Not only did this allow Suharto's generals to co-ordinate the killings, it meant that the highest echelons of the US administration were listening in and that Suharto could seal off large areas of the country. Although there is archive film of people being herded into trucks and driven away, a single fuzzy photograph of a massacre is, to my knowledge, the only pictorial record of what was Asia's holocaust.[11]

Dari keterangan tersebut, silakan Anda maknai sendiri apa sebenarnya yang sedang terjadi. Di luar itu, Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta ketika itu, Marshall Green, yang di Departemen Luar Negeri Amerika Serikat memiliki reputasi baik karena berhasil menjadi otak penggulingan penguasa Korea Syngman Rhee, sukses menggalang kekuatan di luar tentara. Mereka mendanai Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) untuk turut menekan kekuasaan Soekarno. Bantuan ikut disponsori oleh CIA.[12]

Kondisi psikologis demikian mewarnai Jakarta sejak pertengahan tahun 1965. Sulit dibedakan lagi antara kenyataan dan isu. "Ibu Pertiwi sedang hamil tua" begitu setiap hari kalimat yang diucapkan penyiar Suara Indonesia Bebas pada akhir siarannya, dan kemudian ditutup dengan kata, "Berontak!"[13]

Kecuali agen CIA, tidak ada yang tahu persis lokasi radio yang frekuensinya begitu kuat hingga dapat ditangkap melalui gelombang pendek di seluruh Indonesia. Banyak yang menduga posisi pemancar tersebut di Malaysia atau Filipina Selatan.

Namun, Prof Roland G. Simbulan dari University of the Philippines, dalam tulisannya mengenai peran rahasia CIA di Filipina, mengungkapkan hal lain. Ia mengatakan, tahun 1965 pemancar bergerak sangat canggih dengan frekuensi tinggi pada gelombang pendek. Pemancar bergerak itu diterbangkan menggunakan pesawat pengangkut US Air Force C-130 dari pangkalan angkatan udara Clark, Filipina Tengah, menuju Jakarta. Radio ini ditempatkan di markas Jenderal Soeharto. Pengiriman radio itu atas perintah William Colby, Direktur CIA Divisi Asia Timur Jauh.[14]

Situasi Jakarta pada September 1965 amat sangat tegang. Di kalangan PKI beredar "dokumen" rencana jahat Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta pada 5 Oktober 1965, menyusul makin parahnya kondisi kesehatan Bung Karno. Jika kudeta ini berhasil, Angkatan Darat akan melenyapkan semua kader PKI. Di lain pihak, di kalangan militer menyebar dokumen rencana PKI untuk mengambil alih kekuasaan dan menghabisi para jenderal.

"Dokumen" ini muncul tidak lama setelah beredarnya isu memburuknya kesehatan Bung Karno. Isu ini menyebabkan lenyapnya sandang-pangan di pasaran. Isu memburuknya kesehatan Bung Karno, disebut-sebut bersumber dari hasil diagnosa tim dokter RRC yang memeriksa Bung Karno, yang laporannya dikirim ke Beijing. Walaupun nantinya tim dokter RRC kaget karena tidak pernah membuat laporan demikian, tetapi informasi palsu ini telanjur menimbulkan guncangan politik dalam masyarakat.[15]

Ralph McGehee, veteran CIA yang pernah bekerja selama 25 tahun (1952-1977) sebagai staf Counterintelligence CIA seksi Komunisme Internasional, menyebut proses eskalasi disinformasi secara sistematis telah dilakukan CIA. Melalui tulisannya The Indonesian Massacres and CIA, yang sebagian disensor CIA karena menggunakan data rahasia negara yang belum boleh dipublikasikan kepada publik, ia menyebut dokumen palsu itu telah menggiring massa melakukan kekerasan. Sebab, demikian tambahnya, temuan dokumen itu akan disusul berita bohong mengenai ditemukannya kuburan massal korban kekejaman komunis.[16]

Kemudian melalui Divisi Pelayanan Teknis CIA, yang mempunyai jaringan atas ratusan media massa di AS dan di berbagai negara di dunia, informasi ini disajikan kepada publik sebagai suatu "temuan besar". Inilah juga yang dilakukan CIA untuk mematangkan situasi menjatuhkan Presiden Arbenz di Guatemala tahun 1954, Soekarno (1965-1966), Allende di Cile (1973), Juan Torres di Bolivia (1971), Arosemana di Dominika (1963), Joao Goulart di Brasil (1964), dan sejumlah kepala pemerintahan lainnya.

Pemalsuan dokumen itu begitu canggihnya, hingga sulit mengatakan itu palsu. Terbukti, misalnya, Subandrio sampai perlu melaporkan dokumen Dewan Jenderal itu sepekan sebelum meletusnya G30S. Bahkan, sejumlah perwira yang loyal kepada Bung Karno terpancing bertindak. Inilah memang yang dihendaki pembuat dokumen palsu itu.

Gonjang-ganjing inilah yang kemudian memicu Gerakan 30 September 1965. Pada tanggal 5 Oktober 1965, Green mengirim telegram ke Washington berkoordinasi dengan pemerintah pusat Amerika Serikat langkah-langkah apa yang bisa diambil dari keuntungan situasi kacau di Indonesia.

Saat itu, Gerakan 30 September 1965 baru saja pecah, yang meminta korban tujuh pahlawan revolusi dan Ade Irma Suryani, putri Jenderal A.H. Nasution. Muncullah rencana untuk meng-kambinghitam-kan PKI. Pada puncak tragedi itu, Green meyakinkan Soeharto bahwa Amerika Serikat umumnya bersimpati dan mengagumi apa yang sudah dilakukan oleh tentara.[17]

Pada 23 Oktober 1965, menurut McGehee, "ditemukan" dokumen rahasia PKI. Temuan besar ini dimuat di sebuah surat kabar Jakarta yang masuk jaringan CIA. Isi berita tersebut antara lain, "ditemukan jutaan kopi teks proklamasi Gestapu....Teks... sangat jelas dicetak di RRC. Selain itu ditemukan pula topi serta perlengkapan militer dalam jumlah besar. Ini merupakan bukti yang tidak terbantah mengenai keterlibatan RRC... Sedang senjata dikirim dengan kapal laut dengan berkedok kekebalan diplomatik..."[18]

Tanggal 30 Oktober 1965, masih menurut McGehee, Jenderal Soeharto, dalam pertemuan khusus dengan para jenderal dan perwira menengah lainnya, dengan nada gusar mengatakan, penemuan dokumen tersebut menunjukkan PKI berada di balik peristiwa G30S. Ia kemudian memerintahkan penumpasan komunis hingga ke akar-akarnya (communists be completely uprooted).[19]

Sejak itulah, tulis Maruli, militer mulai melancarkan kampanye berdarah untuk membasmi hingga ke akar-akarnya segala yang berkaitan dengan komunis. Elemen-elemen masyarakat yang terjangkit histeria sosial digerakkan membentuk pagar betis. Banjir darah terjadi di mana-mana. Jutaan manusia kehilangan orangtua, ibu, kakak atau adik.

Kedutaan RRC juga tidak luput dari amuk massa. Hubungan negara Tirai Bambu dengan RI yang tadinya begitu mesra, berubah menjadi musuh mengerikan. Hubungan diplomatik diputus. Suatu hal yang sangat didambakan AS untuk membendung pengaruh RRC.

Di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, secara mengejutkan proses pembunuhan berjalan sangat sistematis. Aksi sepihak yang dilancarkan BTI (Barisan Tani Indonesia) merebut lahan "tuan tanah" pada masa sebelumnya, sekarang dibalas tanpa ampun.[20]

Antara tangal 8 Oktober-10 Oktober 1965, Menteri Dalam Negeri Mayor Jenderal D. Sumarno menginstruksikan kepada para Gubernur Bupati, Walikota, dan seluruh korps pemerintahan dalam negeri agar memberantas dan mencegah kemungkinan adanya kegiatan “Dewan Revolusi”, di daerahnya masing-masing.[21]

Sejak meletusnya Gerakan 30 September, departemen-departemen pemerintahan juga mulai membersihkan pegawai-pegawainya. Setiap departemen dan lembaga-lembaga pemerintahan meneliti dan memperketat pengawasan para pegawainya. Para pegawai yang tidak masuk kantor sejak 1 Oktober 1965 diharuskan memberikan keterangan.[22] Menteri Kehakiman, A. Astrawinata SH, bahkan memberhentikan sementara para pegawai yang sejak 1 Oktober 1965 tidak masuk kerja tanpa alasan.[23]

Sejak 2 Oktober 1965, operasi pembersihan dimulai. Harian Kompas edisi Rabu, 13 Oktober 1965 di halaman 1 juga menulis soal penangkapan tujuh orang yang diduga anggota Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).

Polisi Komres VIII Kebajoran Baru, Selasa pagi ini, telah berhasil lagi meringkus 6 orang dimana diantaranja adalah 2 wanita, jang disinjalir terlibat dalam Gestapu dan pernah mengikuti latihan sukarelawan/wati di Tjililitan. Mereka adalah anggota2 Sobsi.[24]
 
Di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur, aparat juga menangkap 96 orang pemuda sipil yang diduga kuat terlibat Gerakan 30 September.[25] Major Jendral Rukminto Hendraningrat, Duta Besar RI pada Republik Pakistan diinterview oleh harian berbahasa Inggris "Pakistan Times" yang tebrit di Lahore dan Rawalpindi mengenai Gerakan 30 September, menyatakan sebuah Gerakan Kontrarevolusi Dihancurkan.[26]
 
Semendjak operasi pembersihan terhadap orang2 jg diduga tersangkut dalam “Gerakan 30 September” sampai dengan tanggal 16 Oktober jang lalu untuk daerah Hukum Penguasa Perang Djakarta Raya dan Sekitarnja ternjata terdapat 1334 orang jang terlibat dalam G. 30 S.[27]

Bersamaan dengan itu, Amerika Serikat memulai perang propaganda. Tema yang dipilih: “PKI brutality in murdering Generals and [Foreign Minister] Nasution's daughter . . . PKI subverting Indonesia as agents of foreign Communists.” Dalam terjemahan bebasnya, tema propaganda itu bisa diartikan sebagai: “Kebrutalan PKI dalam pembunuhan Jenderal dan tewasnya putri Jenderal Nasution......PKI merongrong Indonesia sebagai agen komunis luar negeri.[28]

Sebagai bagian dari rencana untuk merealisasikan propaganda itu, demikian Pilger, Amerika Serikat turut mendirikan lembaga propaganda di luar negeri. Dalam waktu dua minggu sejak Green mengirim telegram ke Washington, sebuah kantor dari Foreign Office's Information Research Department Luar Negeri (IRD) telah dibuka di Singapura.

IRD adalah lembaga top-rahasia, unit propaganda perang dingin yang dipimpin oleh agen rahasia Norman Reddaway. Reddaway belakangan diketahui sebagai agen rahasia Inggris MI-6 yang dikirim ke Jakarta atas permintaan Duta Besar Inggris di Jakarta, Andrew Gilchrist.

MI-6 adalah Direktorat kontra intelijen luar negeri Inggris. Dari sinilah propaganda internasional tentang “kejahatan” PKI dimulai. Dari kantor ini pula wartawan-wartawan luar negeri dipersulit masuk ke Indonesia untuk mengetahui peristiwa penting di Indonesia kala itu.

Roland Challis, koresponden BBC Asia Tenggara, misalnya, adalah salah satu target Reddaway. Bersama sejumlah wartawan asing lainnya, mereka dicegah masuk ke Indonesia. Sampai sejauh itu, Challis tidak menyadari bagaimana detail pembantaian di Indonesia. "Ini adalah kemenangan propaganda barat," kata Chalis, kepada Pilger.

“Sumber-sumber saya di Inggris pun sampai tak mengetahui apa yang sedang terjadi,” kata Challis. “Tapi mereka tahu apa yang direncanakan Amerika. Ada mayat dibuang di halaman konsulat Inggris di Surabaya, dan kapal perang Inggris memberi pengawalan dengan pasukan penuh pada sebuah kapal yang penuh dengan pasukan Indonesia. Mereka menyusuri Selat Malaka. Mereka ikut andil dalam tragedi mengerikan itu. Segera kami mempelajari dan mengonfirmasi ke Kedutaan Besar Amerika Serikat mengenai siapa-siapa saja nama-nama yang dibunuh. Tapi ada kesepakatan diantara kami. Yang pasti harus Anda lihat, ada ciri dari kelanjutan peristiwa ini, yakni bagaimana cara Soeharto dalam membangun rezim Orde Baru. Dalam sektor ekonomi, keterlibatan IMF dan Bank Dunia adalah bagian dari itu.[29]

Di dalam negeri, masih mengutip Pilger, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap massa dan pengikut PKI. Dokumen-dokumen soal ini di Indonesia dan luar negeri hingga saat ini masih sangat sulit dilacak. Sebab, operasi ini sedemikian mendapat dukungan besar dari Amerika Serikat. Termasuk, menghalang-halangi wartawan-wartawan asing masuk ke Indonesia seperti disebutkan di atas. Walhasil, hampir tak ada dokumen dari pers, untuk tidak mengatakan sangat sedikit.

Tapi, sejumlah dokumen CIA dan beberapa buku terbitan Amerika Serikat, kata Pilger, mengonfirmasi bahwa pejabat-pejabat Amerika Serikat mengakui terjadinya aksi pembersihan tersebut. Bahkan, Kedutaan Besar Australia di Jakarta pun mengakui, meskipun istilah mereka bukan pembantaian, melainkan ‘'operasi pembersihan”.

Rabu, 20 Oktober 1965, pukul 20.00 WIB ditemukan tiga mayat laki-laki tanpa identitas yang diduga simpatisan PKI, di kawasan Kampung Sawah, Pangkalan Jati, Pondok Gede. Ketiga jenazah itu kemudian dibawa ke Rumah Sakit Ciptomangunkusumo untuk diperiksa.[30]

Pada akhir Oktober 1965, Kedutaan Besar di Jakarta mengabarkan dan mengirim telegram ke Departemen Luar Negeri AS, bahwa Kedutaan Besar AS di Jakarta mulai menerima laporan pembunuhan anggota-anggota PKI.

Pada 29 Oktober 1965, Kedutaan AS di Jakarta melaporkan bahwa “orang-orang Aceh mulai membersihkan kaum komunis. Kepala-kepala mereka dipenggal dan dibuang ke sungai atau dilempar ke laut”. (Berdasarkan Telegram 1269 dari Djakarta; 29 Oktober, National Archieves and Records Administration, RG 84, Djakarta Embassy Files: Lot 69 F 42, Pol 23-9).[31]

Soeharto, yang terbilang jarang berbicara kepada pers, pada awal November 1965 menyatakan, penghancuran PKI sampai ke akar-akarnya harus menyeluruh. Mulai dari fisik, mental, hingga spiritual.[32]

Pada 13 November 1965, Kedutaan Besar AS di Jakarta melaporkan, berdasarkan seorang kepala polisi lokal bahwa, “Ada pembunuhan 50 sampai 100 anggota PKI terbunuh setiap malam di Jawa TImur dan Jawa Tengah oleh aksi masyarakat sipil yang anti komunis dengan bantuan tentara. Laporan dari Surabaya juga menyatakan, di kawasan Kediri setidaknya ada 3.500 angota PKI terbunuh antara 4 November hingga 9 November 1965. Sementara di Paree, 30 kilometer barat laut Kediri, ada 300 orang simpatisan PKI terbunuh. (Telegram 1374 dan 1438 dari Djakarta, 8 dan 13 November, dan telegram 171 dari Surabaya, 13 November, ibid)

Dalam airgram A-527 dari Jakarta, 25 Februari 1966, Kedutaan Besar AS di Jakarta melaporkan, diperkirakan ada 80.000 simpatisan PKI di Bali terbunuh dengan “tanpa batas”.

Di Februari 1966, Duta Besar Inggris di Jakarta Gilchrist menulis sebuah laporan tentang banyaknya pembantaian berdasarkan temuan dari Duta Besar Swedia yang tidak disebut namanya. Duta Besar Swedia itu telah mengunjungi Jawa Tengah dan Jawa Timur bersama istri. Sang Duta Besar dan istri mewawancari sejumlah orang di luar pemerintahan.

Gilchrist menulis surat kepada Kementerian Luar Negeri: "Duta Besar Swedia dan saya telah membahas pembunuhan ini sebelum dia pergi berkeliling Jawa, dan dia telah menemukan 400.000 sosok mayat, dan saya menyatakan itu sungguh sangat luar biasa.

Seorang manajer bank di Surabaya dengan dua puluh karyawan mengatakan bahwa setidaknya ditemukan empat kepala terpenggal tak jauh dari kantornya, tiga diantaranya teknisi pabrik, anggota serikat buruh Komunis. Di Bali juga terjadi pembantaian anggota dan simpatisan PKI. Bahkan, Perdana Menteri Harold Holt mengakui setidaknya ada 80.000 orang yang terbunuh.[33]

McGehee menggambarkan teror di Indonesia 1965-1966 itu mirip 'model operasi' Amerika Serikat saat menyingkirkan Salvador Allende di Chili tujuh tahun kemudian. "CIA memalsukan sebuah dokumen yang diklaim berasal dari kaum kiri Chili. Dokumen “asli” itu berisi rencana pembunuhan para pemimpin militer,” tulis McGehee. Ini mirip dengan yang terjadi di Indonesia pada 1965 dengan isu kudeta Dewan Jenderal. Menurut McGehee, operasi di Indonesia juga mirip dengan Operasi Phoenix di Vietnam.[34]

Pada tahun 1966, Washington Post menerbitkan sebuah laporan yang memperkirakan sekitar 500.000 terbunuh dalam pembersihan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pembersihan ini bahkan memicu perang saudara singkat. Dalam laporan 1968, CIA memperkirakan terdapat 250.000 kematian eks-PKI, dan disebut pembunuhan "salah satu pembantaian terburuk dari abad ke-20."[35]

Pada tahun 1970, Kepala Layanan Luar Negeri AS Richard Cabot Howland, officer di Kedutaan Besar AS di Jakarta periode 1965-1966, mempublikasikan artikel, Studies in Intelligence (Vol. 14, Fall 1970, pages 13-28). Artikel ini kemudian diarsipkan di Arsip Nasional AS, RG 263, CIA Records, Studies in Intelligence. Dalam artikelnya, Howland menulis bagaimana gigihnya tentara Indonesia melumat PKI dan simpatisannya laksana operasi militer AS di Vietnam. Akibat operasi tentara ini, diperkirakan sekitar 350.000 hingga 1,5 juta orang anggota PKI terbunuh.[36]

Meski demikian, Howland mengakui kesulitan mengonfirmasi keakuratan jumlah jutaan korban pembantaian PKI ini. Namun, dia mendapat data dari seorang pimpinan tentara berpangkat Letnan Kolonel soal data yang terbunuh. Yakni, total 50.000 orang terbunuh di Jawa, 6.000 tewas di Bali, 3.000 orang di Sumatera Utara. Dengan mengombinasikan seluruh data yang dia punya, Howland menghitung, anggota dan simpatisan PKI yang terbunuh cuma sekitar 105.000 orang.

Soal angka yang terbunuh dalam pembunuhan massal ini, di Kedutaan Besar AS di Jakarta sendiri hingga kini memang masih jadi perdebatan. Kepada Majalah Tempo, Bernardo Hugh Tovar, Kepala Badan Intelijen Amerika Serikat (CIA) di Jakarta pada periode 1965, mengakui terjadinya pembunuhan tersebut. “Pembunuhan itu sudah pasti benar karena banyak orang mengatakannya,” kata Tovar. Namun berapa persisnya yang terbunuh, dia mengaku tak tahu pasti.[37]

Lantas, bagaimana versi pejabat Indonesia saat itu? Brigadir Jenderal Ai Murtopo pada Senin, 10 Maret 1969 menyatakan pembunuhan memang ada. Di Purwodadi, Jawa Tengah, misalnya, memang telah terjadi pembunuhan. “Hanja sadja itu merupakan konsekwensi daripada suatu operasi militer. Hal itu dikatakannja setelah ia menghadap Presiden di Istana Merdeka,” tulis Harian Kompas, edisi 11 Maret 1969. Berapa jumlah orang yang terbunuh, saat itu belum jelas benar.[38]

Dalam dokumen Gedung Putih berkategori TOP SECRET/SENSITIVE tentang MEMORANDUM OF CONVERSATION, tertanggal 26 Mei 1970, kemudian terungkap, Soeharto melaporkan kepada Presiden AS Richard Nixon, bahwa, ”Berdasarkan laporan pasukan strategis kami, mereka (kelompok PKI) sudah bisa diatasi. Pada intinya, sebanyak 10% dari total 3 juta anggota mereka, saat ini memang masih bebas. Tetapi, puluhan ribu diantaranya telah diinterogasi dan ditempatkan dalam tahanan,” papar Soeharto.[39]

Dokumen TOP SCRET itu kemudian diarsipkan dalam Arsip Keamanan Nasional atau The National Security Archives AS, yang kini bisa diakses oleh semua orang, dimanapun, kapanpun. (Pembahasan dan transkrip dokumen rahasia itu akan dibahas di bagian bawah berikut ini).

Bagaimana tanggapan Soeharto atas dugaan keterlibatan CIA soal penumpasan PKI? Selama beberapa dekade Soeharto hampir tak pernah bicara soal tragedi nasional medio 1960-an itu. Soeharto baru membuka sedikit tabir ini pada awal November 1994, atau hampir tiga dekade berikutnya.

Dalam pertemuan dengan sejumlah petinggi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, seperti Amien Rais, Achmad Syafeii Ma’arif, dan Ismail Sunny, Soeharto mengaku bahwa operasi penumpasan PKI tidak melibatkan CIA."Presiden menegaskan bahwa dalam menumpas PKI tidak ada satu butirpun bantuan CIA. Adalah bangsa Indonesia  sendiri yang berhasil menumpas PKI yang anti-Pancasila itu," kata Amien Rais, mengutip Soeharto, dalam konferensi pers usai pertemuan tersebut.[40]

Demikianlah. Bagi saya, secuplik cerita ini adalah tragedi terbesar Indonesia di abad XX. Anda?




Jakarta, 30 September 2012




[1] Simpson, Bradley,  CIA Stalling State Department Histories: Archieve Posts one of two disputed volumes on web, State Historians conommunists to Indonesian Army, Which killed at least 105,000 in 1965-66. Versi online bisa dilihat di : http://www.gwu.edu/~nsarchiv/NSAEBB/NSAEBB52/, atau  http://www.gwu.edu/~nsarchiv/NSAEBB/NSAEBB242/index.htm, atau http://www.gwu.edu/~nsarchiv/NSAEBB/NSAEBB242/1968_NIE-55-68.pdf
[2] Peter Dale Scott. The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967. Pacific Affairs, 58, Summer 1985, pages 239-264. Versi online ulasan Peter Dale Scott bisa dilihat di : http://www.namebase.org/scott.html
[3] Kathy Kadane, Ex-agents say CIA complied death lists for Indonesians: After 25 years, Americans speak of their role in exterminating Communist Party. States News Service, 1990. Bisa juga dilihat di http://www.namebase.org/kadane.html
[4] Ransom, David, , The Berkeley Mafia and the Indonesian Massacre, loc. cit.
[5] Weiner, Tim, Legacy of Ashes: the History of the CIA, New York, Doubleday, 2007. Versi Bahasa Indonesia: Weiner, Tim, Membongkar Kegagalan CIA: Spionase Amatiran Sebuah Negara Adidaya, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2008
[6] Lihat Rossa, John, Dalih Pembunuhan Massal, Jakarta, Institut Sejarah Sosial ndonesia dan Hasta Mitra, 2008
[7] Weinstein FB, Indonesia Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Soekarno to Soeharto. Ithaca: Cornel University Press, 1976.
[8] Pilger, John, The New Rulers of The World, Verso Books, 2002, hlm. 30-44
[9] Sebagai perbandingan, lihat tulisan Kathy Kadane, Ex-agents say CIA complied death lists for Indonesians, loc. cit.
[10] Pilger, John, ibid
[11] Pilger, John, loc. cit
[12] ibid
[13] Lihat tulisan Maruli Tobing, Perang Urat Saraf yang Mematikan, Kompas, 9 Februari 2001. Bandingkan dengan Peter Dale Scott. The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967, loc. Cit.

[14] Maruli, ibid
[15] Dokumen-dokumen lain yang tak jelas sumbernya juga banyak beredar. Pada 11 Oktober 1965, misalnya, di rumah seorang tokoh PKI di Lampihong, sekitar 220 kilometer dari Banjarmasin, juga ditemukan sebuah dokumen yang berisi catatan: “Pengakuan negara-negara Arab/Islam terhadap Pemerintah Baru akan didapat dengan segera apabila Dekrit diucapkan oleh Presiden D.N. Aidit. Namun, tak jelas benar darimana dokumen itu berasal. Soal ini lihat Harian Kompas, Rentjana D.N. Aidit, edisi Selasa, 19 Oktober 1965, hlm 1.
[16] Maruli, loc.cit.
[17] Pilger, John, loc. cit
[18] Maruli Tobing, loc. cit
[19] ibid
[20] Ibid
[21] Lihat Kompas, Instruksi Mendagri: Brantas “Dewan Revolusi”, edisi Senin, 11 Oktober 1965, hlm 1
[22] Kompas, Departemen2 Mulai Adakan Pembersihan, edisi Rabu, 13 Oktober 1965, hlm 1
[23] Kompas, Menteri Kehakiman Bertindak, Kamis, 21 Oktober 1965, hlm 1
[24] Kompas, 7 Orang Ditangkap, Rabu, 13 Oktober 1965, hlm 1
[25] Kompas, Pengakuan 96 Pemuda Rakjat Ttg “Lubang Buaja”, Senin, 18 Oktober 1965, hlm 1. Pada hari yang sama Harian Kompas juga menerbitkan tajuk rencana dengan judul Pembersihan Total, tentang operasi pembersihan anggota dan simpatisan Gerakan 30 September 1965
[26] Kompas, Dubes Rukminto Pada Pakistan Times: Semua Gerakan Kontrarevolusi Dihantjurkan, Kamis, 14 Oktober 1965, hlm 1
[27] Kompas, Sudah 1334 Orang Jang Ngaku Ikut “G30S”, edisi Selasa 19 Oktober 1965, hlm 1
[28] Pilger, John, loc. cit
[29] Pilger, John, Ibid.
[30] Kompas, Tiga Majat Terikat, edisi Sabtu, 23 Oktober 1965, hlm 1


[31] Bradley Simpson, CIA Stalling State Department Histories: Archieve Posts one of two disputed volumes on web, op. cit, p. 338. Versi online bisa dbisa dilihat versi online di : http://www.gwu.edu/~nsarchiv/NSAEBB/NSAEBB52/doc300.pdf
[32] Kompas, Men/Pangad Maj.Djen. Soeharto: G30S Harus Ditumpas Setjara Fisik, Mental dan Sipirituil, edisi Kamis, 4 November 1965, hlm 1  
[33] Pilger, John, loc. cit.
[34]Pilger, John,Ibid, hlm 38.
[35] Kadane, Kathy, Ex-agents say CIA complied death lists for Indonesians, ibid. Bisa juga dilihat di http://www.namebase.org/kadane.html. Sebagai perbandingan, lihat Lihat pula Peter Dale Scott. The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967. Pacific Affairs, 58, Summer 1985, pages 239-264. Bisa dilihat di : http://www.namebase.org/scott.html
[36] Simpson, Bradley, CIA Stalling State Department Histories: Archieve Posts one of two disputed volumes on web, op. cit, p. 339
[37] Lihat Majalah Tempo, Wawancara dengan Kepala CIA Hugh Tovar, 01 Oktober 2001. Versi online bisa dilihat di http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2001/10/01/IQR/mbm.20011001.IQR83860.id.html#
[38] Kompas, Brigdjen Ali Murtopo: Djangan Karena Berpendapat Lain, Dituduh PKI: Panglima Soerono Akan Pertanggungdjawabkan Kepada Presiden?, edisi Selasa, 11 Maret 1969, hlm 1
[39] Dokumen ini bisa dilihat di http://www.gwu.edu/~nsarchiv/NSAEBB/NSAEBB242/index.htm
[40] Kompas, Presiden Soeharto: PKI Ditumpas Tanpa Bantuan CIA, edisi Rabu, 2 November 1994, hlm 1

Read More......
Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger