Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Sabtu, 26 Februari 2011

"Surga Emas di Nusa Tenggara"

0 komentar


Share


****
Susah-susah gampang untuk mencapai lokasi tambang Newmont Nusa Tenggara (NNT). Lokasi Tambang Batu Hijau terletak di sebelah barat daya pulau Sumbawa. Persisnya di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Dari Mataram, jarak Batu Hijau sejauh 81 kilometer. Untuk mencapainya, butuh sedikit perjuangan: bisa dicapai dengan menggunakan pesawat ampibi (seaplane) perusahaan, atau menggunakan transportasi laut berupa ferry umum dari pelabuhan Kayangan di Pulau Lombok.

Siapa sangka, jarak nun jauh di ujung nusa, tersimpan sumber kekayaan melimpah. Cadangan emas di area tambang Batu Hijau milik NNT terbesar di Indonesia. Dibanding dengan cadangan emas Gunung Grassberg, Papua milik Freeport McMoran yang mencapai 76 juta ounce, tambang Batu Hijau milik NNT memiliki kandungan 6,9 miliar ounce emas. Cadangan ini diperkirakan bisa bertahan hingga 2027.

Meski Kontrak Karya sudah diteken pada 2 Desember 1986, tapi PT NNT baru menemukan cebakan tembaga porfiri pada 1990, yang kemudian diberi nama Batu Hijau. Setelah penemuan tersebut, dilakukanlah pengkajian teknis dan lingkungan selama enam tahun. Dengan menggelontorkan investasi US$ 1,8 Miliar, proyek tambang Batu Hijau mulai beroperasi secara penuh pada Maret 2000.

Batu Hijau merupakan cebakan tembaga porfiri dengan sedikit kandungan emas dan perak. Logam berharga tidak secara langsung dapat diperoleh karena bercampur dengan mineral lain yang tidak memiliki nilai ekonomis. Kadar cebakan porfiri di Batu Hijau terbilang rendah. Di Batu Hijau, setiap ton bijih yang diolah hanya menghasilkan 4,87 kilogram tembaga. Sedangkan rata-rata hasil perolehan emas jauh lebih sedikit, yaitu hanya 0,37 gram dari setiap ton bijih yang diolah.

Tambang Batu Hijau adalah operasi tambang terbuka. Semua mineral berharga seperti tembaga, emas dan perak, ditambang dari permukaan tanah dengan menggunakan pelbagai peralatan tambang seperti alat muat (shovel) dan truk pengangkut.

Proses penambangan di Batu Hijau terbilang sederhana. Diawali kegiatan pengeboran dan peledakan untuk memudahkan pengambilan bijih. Dengan peledakan, batuan terlepas dari tanah dengan diameter rata-rata 25 centimeter (cm). Dengan menggunakan beberapa shovel berukuran besar, batuan dimuat ke dalam truk berkapasitas maksimal 240 ton. Selanjutnya diangkut menuju ke dua buah crusher (mesin penghancur).

Di crusher, ukuran bijih batuan diperkecil hingga berdiameter rata-rata kurang dari 15 cm. Bijih kemudian diangkut ke pabrik pemrosesan mineral, sedangkan batuan berkadar lebih rendah diangkut ke tempat penampungan, untuk menunggu giliran pemrosesan pada waktu mendatang.

Dari crusher, bijih batuan diangkut dengan ban berjalan sepanjang enam kilometer ke pabrik pengolahan, yang disebut konsentrator. Di konsentrator, mineral berharga dipisahkan dari batuan pembawa melalui proses penggerusan dan flotasi. Bijih batuan, setelah dicampur dengan air laut, kemudian digerus menggunakan dua penggerus yang disebut Semi Autogenous (SAG) mill dan empat buah ball mill. Setelah keluar dari ball mill, partikel halus yang terkandung dalam slurry kemudian dipompa ke separangkat tangki cyclone untuk pemisahan akhir partikel bijih.

Bubur bijih halus dari tangki cyclone selanjutnya dialirkan ke sejumlah tangki untuk diambil kandungan mineral berharganya. Tangki ini disebut sel flotasi. Proses flotasi ini tidak menggunakan bahan kimia secara berlebihan sehingga aman dan membantu meminimalkan dampak lingkungan. Secara fisika, proses ini memisahkan mineral berharga dari batuan pembawa dengan menggunakan gelembung udara dan reagent dalam jumlah kecil.

Terdapat dua jenis reagent yang ditambahkan dalam proses flotasi di tangki. Jenis pertama akan mengikat mineral berharga, sedangkan jenis kedua berfungsi untuk menstabilkan gelembung yang terbentuk oleh proses pengadukan.

Saat gelembung udara naik, mineral berharga atau konsentrat akan ikut terangkat ke permukaan. Lapisan gelembung ini diselimuti oleh mineral berharga yang berbentuk seperti pasir. Lapisan yang terapung di permukaan sel flotasi inilah yang disebut konsentrat.

Dari sel flotasi, konsentrat dikirim ke tangki penghilangan kadar garam yang disebut CCD (counter-current decantation). Di dalam tangki ini air laut dibuang dan konsentrat dikentalkan dengan cara mengalirkan air tawar secara berlawanan arah. Air tawar menggantikan air laut dan konsentrat mengendap di dasar tangki.

Konsentrat kemudian mengalir melalui pipa sepanjang 17,6 km menuju ke fasilitas filtrasi atau penyaringan di Benete. Konsentrat cair ini ditampung dalam tangki besar dan diaduk terus menerus untuk menghindari terjadinya pengendapan. Konsentrat kemudian disaring, untuk membuang kandungan air dalam konsentrat sampai dengan 91%, menggunakan udara bertekanan.

Setelah proses penyaringan, konsentrat akan berupa bubuk batuan halus atau pasir dan disimpan dalam gudang untuk menunggu pengapalan. Pemuatan konsentrat ke kapal menggunakan fasilitas ban berjalan. Konsentrat akhirnya dikapalkan ke sejumlah pabrik peleburan dalam negeri yakni ke PT Smelting di Gresik, Jawa Timur maupun ke luar negeri seperti Jepang, Korea Selatan, India, Eropa, untuk menjalani proses pemisahan dan pengambilan logam berharga, yaitu tembaga, emas dan perak.

Dari sanalah mengalir pundi-pundi kekayaan. Dalam situs resmi PT Newmont Nusa Tenggara, mereka mengklaim sejak 1997 hingga 2009, telah membayar pajak, royalti, dan non-pajak sebesar lebih dari Rp 15 triliun. Penerimaan inilah yang dikelola oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten bagi pembangunan Indonesia. ****

Sumber: PT Newmont Nusa Tenggara dan riset dari berbagai sumber

Read More......

"Jalan Panjang Menuju Divestasi"

0 komentar


Share


Timeline Divestasi PT Newmont Nusa Tenggara
=======================

Sangat bisa dipahami jika saham Newmont Nusa Tenggara (NTT) menjadi rebutan banyak pihak. Maklum, cadangan emas di area tambang Batu Hijau milik NNT terbesar di Indonesia. Dibanding dengan cadangan emas Gunung Grassberg, Papua milik Freeport McMoran yang mencapai 76 juta ounce, tambang Batu Hijau milik NNT memiliki kandungan 6,9 miliar ounce emas. Cadangan ini diperkirakan bisa bertahan hingga 2027.


Tak heran, butuh proses lumayan melelahkan untuk pemerintah dan pengusaha lokal bisa mengepit saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Proses eksplorasi emas dan tembaga di Batu Hijau, Nusa Tenggara Barat, mulai berjalan pasca ditandatanganinya perjanjian kontrak karya (KK) pertambangan oleh Newmont Mining Corporation dan pemerintah Indonesia pada 2 Desember 1986. Berikut perjalanan waktu eksplorasi dan divestasi saham NNT:

2 Des 1986        : Penandatangan Kontrak Karya tambang Batu Hijau
1990                  : PT NNT menemukan cebakan tembaga porfiri, yang kemudian diberi nama   Batu Hijau.
1991 – 1996      : Pengkajian teknis dan lingkungan selama enam tahun di area Batu Hijau.
1996                  : Pemerintah Indonesia menyetujui hasil kajian tersebut menjadi dasar dimulainya pembangunan Proyek Tambang Batu Hijau. Total investasi US$ 1,8 Miliar.
1999                  : Proyek pembangunan tambang, pabrik dan prasarananya selesai
Maret 2000        : Tambang mulai beroperasi penuh
2005                  : Sesuai Kontrak Karya, pada akhir tahun kelima sejak operasi atau akhir 2005, NNT harus mendivestasi 15 persen saham. Pada akhir tahun keenam sekurang-kurangnya 23 persen. Pada akhir tahun ketujuh minimal 30 persen. Pada akhir tahun kedelapan sedeikitnya 37 persen. Pada akhir tahun kesembilan paling kecil 44 persen. Pada akhir tahun kesepuluh sekurang-kurangnya 51 persen. Lantaran 20 persen sudah dimiliki swatsa lokal PT Pukuafu Indah, maka NNT tinggal mendivestasi 31 persen saham. Sejak 2005, mulai terjadi kisruh siapa yang bisa menjadi wakil pemerintah Indonesia.

15 Nov 2005     : Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Newmont. Versi Pukuafu Indah, keputusannya: Newmont Indonesia Limited (NIL) dan Nusa Tenggara Mining Corporation (NTMC) agar menjual 31 persen saham NNT ke Pukuafu (dengan komposisi 17% NIL dan 14% NTMC).

2006                  : Versi Pukuafu Indah , Menteri ESDM dan Komisi VII DPR mendukung keputusan RUPS 15 November 2005

Agustus 2006    : NNT menawarkan divestasi 3 persen divestasi 2006 dan 7 persen divestasi 2007 ke pemerintah

13 Sept 2006     : Pemerintah menolak divestasi 3 persen dan 7 persen saham NNT, karena dana minim. Versi Pukuafu: penolakan tersebut dengan sendirinya hak atas 31% saham divestasi menjadi milik Pukuafu.

21 Mei 2007      : Versi Pukuafu: RUPS NNT menyetujui penjualan divestasi 3 persen dan 7 persen kepada Pukuafu, yang tertuang dalam akta notaris tertanggal  12 Juni 2007. Pukuafu juga sudah mengirim surat ke Menteri ESDM agar mengeluarkan surat pemberitahuan ke BKPM, namun tidak ditanggapi oleh Menteri ESDM.

16 Mei 2008      : Versi Pukuafu, saham 2008 milik NNT sebesar 7 persen sudah dibeli secara tunai oleh Pukuafu lewat SPA (sales-purchase agreement) seharga US$ 258 juta dan penandatanganannya dilakukan antara NIL,NTMC, dan Pukuafu.

Des 2008           : Pemerintah dan NNT menempuh jalur pengadilan arbitrase untuk mencari penyelesaian kasus divestasi 31 persen saham NNT. Arbitrase tidak melibatkan Pukuafu.

31 Mar 2009     : Pengadilan arbitrase Internasional memenangkan gugatan Indonesia. NNT harus mendivestasi 17 persen saham hingga Juni 2009untuk nilai saham periode 2006-2008. Sisa 14 persen sisanya hingga 2010.

21 Okt 2009      : Pukuafu mengajukan gugatan  ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menuding keputusan arbitrase 31 Maret sebagai rekayasa kontrak karya. Pukuafu menganggap saham NNT telah terlebih dulu dijual kepada Pukuafu.

6 Nov 2009       : Pemda NTB dan NNT sudah menandatangani SPA 10% saham divestasi dengan harga US$ 391 juta. Penandatanganan dilakukan di Jakarta antara Newmont dan PT Multi Daerah Bersaing (perusahaan patungan MDB dengan Multicapital).

9 Nov 2009       : Aneka Tambang Tbk (Antam) menjadi wakil pemerintah dalam divestasi 14% sham jatah pemerintah pusat di Newmont.

10 Nov 2009     : Pukuafu melayangkan somasi kepada Presdir NNT Martiono Hadianto

11 Nov 2009     : PT Aneka Tambang Tbk membatalkan pembelian saham NNT.

16 Nov 2009     : Divestasi 10% saham NNT oleh PT Multi Daerah Bersaing (MDB) untuk 2006 dan 2007 senilai US$ 391 juta terealisasi.

17 Nov 2009     : Pukuafu mengajukan somasi keduanya kepada NNT.

29 Nov 2009     : Pukuafu mengajukan gugatan ke PN Jakarta Pusat tentang perlawanan pihak ketiga untuk membatalkan keputusan Arbitrase Internasional.

18 Mar 2010     : Proses jual beli saham NNT jatah 2009 kelar
8 Juni 2010       : Pukuafu ajukan bukti klaim 31% saham NNT
13 Juli 2010      : Pukuafu menyatakan akan menggugat divestasi 31% saham NNT
16 Agus 2010   : Pukuafu melayangkan somasi ke Presiden Direktur NTT Martiono Hadianto.
19 Agus 2010   : Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) minus Pukuafu minta persetujuan pemegang saham untuk melepas 10 persen atau sekitar 1,3 miliar lembar saham NTT ke publik atau pelepasan saham perdana alias initialing public offering (IPO).
22 Okt 2010      : Fukuafu melayangkan somasi menolak RUPSLB dan mendesak manajemen NTT untuk membatalkan RUPSLB
18 Nov 2010     : Pertemuan antara pemerintah dan manajemen NNT. Menyepakati memberi waktu 30 hari ke pemerintah pusat untuk menyatakan minat atau tidak terhadap 7 persen saham jatah divestasi 2010. Adapun harga harga penjualan 7 saham saham NNT ini sebesar US$ 271,95 juta. Acuannya, nilai total aset NNT sekitar US$ 3,885 miliar.
8 Des 2010        :  Newmont Bawa Pukuafu ke Arbitrase
14 Des 2010      : Pukuafu mengajukan sita jaminan saham Newmont milik NIL dan NTMC
18 Des 2010      : Menteri Keuangan Agus Martowardojo meneken surat pernyataan minat membeli 7 persen saham NNT.
Maret 2011       : Batas akhir divestasi 7 persen saham 2010
April 2011        : Jadwal IPO 10 persen saham NNT
****
Sumber: Riset dari berbagai sumber

Read More......

"Jalan Berliku Menjadi Tuan Di Negeri Sendiri"

0 komentar


Share


****

Menilik Proses Divestasi Saham Newmont 

****
Mewakili pemerintah pusat, Menteri Keuangan Agus Martowardojo kembali menyatakan minat membeli 7 persen saham Newmont Nusa Tenggara (NNT) jatah 2010. Sesuai kontrak karya, sampai Maret 2011, kepemilikan asing di NNT tidak boleh lebih dari 49 persen saham. Sisanya harus jadi milik pemerintah Indonesia. Sehingga, mulai 2011, mestinya pemerintah sudah bisa menguasai tambang emas raksasa di Indonesia itu. 

Nyatanya, hingga kini pemerintah pusat belum kebagian secuil pun saham NNT. Pemerintah pusat kerap menyatakan minat, tapi nihil eksekusi. Bagaimana nasib divestasi 7 persen saham 2010? Siapa yang berpeluang besar mengeksekusinya?

****
Libur di akhir pekan adalah momen sangat langka buat Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Sebagai pejabat penting negara, tak jarang, di saat yang lain libur, dia harus berjibaku menjalankan tugas. Sabtu, 18 Desember 2010 lalu, misalnya. Agus harus pontang-panting meneken dan mengirim surat. Di hari libur itu, ia mengirim surat itu ke sejumlah pihak, seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan manajemen PT Newmont Nusa Tenggara (NNT).

Ini bukan sembarang surat, sebab menyangkut kepentingan negara. Isi surat adalah pernyataan pemerintah pusat berminat membeli 7 persen saham NNT jatah divestasi tahun 2010.

Agus harus merelakan akhir pekan menjelang pergantian tahun untuk bekerja. Maklum, tanggal 18 Desember 2010 adalah tenggat akhir pemerintah harus menyerahkan surat pernyataan minat atau tidak membeli 7 persen saham NNT. Itu sesuai kesepakatan 18 November 2010 antara NNT dan pemerintah.

Selain deadline pernyataan minat, isi kesepakatan lainnya adalah, harga penjualan 7 persen saham NNT ini US$ 271,95 juta. Jumlah itu sekitar Rp 2,45 triliun pada kurs Rp 9.000 per US$. Acuannya, nilai total aset NNT US$ 3,885 miliar. Batas akhir pernyataan minat pembelian adalah 30 hari setelah pertemuan 18 November 2010 itu. Jika Menteri Keuangan tak juga mengirim surat minat memnbeli 7 persen saham NNT jatah 2010 hingga tenggat akhir 18 Desember 2010, maka pemerintah pusat dianggap tidak berminat mengeksekusi saham 7 persen saham NNT. Walhasil, Agus harus merelakan liburan akhir pekannya untuk mengurus persoalan administrasi divestasi saham NNT itu.

Sesuai dengan perjanjian kontrak karya (KK) pertambangan yang ditandatangani Newmont dan pemerintah pada 2 Desember 1986, perusahaan emas raksasa asal Amerika Serikat itu wajib mendivestasikan 51 persen sahamnya kepada pemerintah Indonesia, atau perusahaan nasional sampai 2010. Keharusan divestasi 51 persen saham itu kemudian diperkuat oleh keputusan arbitrase internasional, 31 Maret 2009.

Namun, meski diwajibkan mendivestasi 51 persen saham, sejatinya NNT tinggal melepas 31 persen saham mereka. Sebab, 20 persen saham sisanya sudah dimiliki PT Pukuafu Indah, milik pengusaha lokal Jusuf Merukh. Wakil swasta nasional ini dianggap sudah mewakili Indonesia.

Divestasi 31 persen saham NNT itu dilakukan bertahap selama periode 2006-2010. Sehingga, mulai 2011, asing hanya menguasai 49 persen saham saja di NNT. Proses divestasi tahap pertama, NNT wajib melepas 3 persen yang ditawarkan Maret 2006. Selanjutnya, 7 persen pada Maret 2007, 7 persen pada Maret 2008, 7 persen pada Maret 2009, dan 7 persen Maret 2010. Nah, jatah 7 persen yang mulai ditawarkan pada Maret 2010 itu paling telat harus dieksekusi Maret 2011.

Menteri Agus menyatakan, pemerintah tertarik membeli 7 persen saham itu lantaran saham sektor pertambangan menguntungkan bagi pemerintah Indonesia. Apalagi, NNT memiliki lima kawasan pertambangan yang masih dalam taraf pengolahan awal. Artinya, NNT memiliki potensi yang bagus ke depan. "Keuntungan industri ekstraktif itu bagus, dan komoditas tambang itu harganya lagi tinggi," kata Agus, kepada wartawan, Senin, 20 Desember 2010 silam.

Bisa jadi, Agus Martowardojo terlalu pede. Sebab, ternyata rencana pembelian 7 persen saham NNT itu belum bulat benar. Soal siapa yang akan mewakili pemerintah pusat mengeksekusi 7 persen saham itu, juga belum betul-betul jelas. Sementara ini, menurut Agus, pemerintah pusat kemungkinan akan menunjuk Pusat Investasi Pemerintah (PIP).

"Pak Menteri (Keuangan) memang mengatakan kepada kami untuk mempersiapkan diri mengambil yang 7 persen itu. Tapi, perintah yang disampaikan itu masih lisan, belum tertulis," kata Kepala PIP Soritaon Siregar saat konferensi pers, Selasa, 29 Desember 2010 lalu. Soritaon mengaku sudah menyiapkan dana, diambil dari kas PIP. Saat ini, PIP punya kas Rp 4 triliun.

Jika jadi mengakuisisi 7 persen saham NNT senilai Rp 2,45 triliun pada awal 2011, maka sisa kas PIP tinggal Rp 1,55 triliun. Padahal, PIP dirancang sebagai pusat investasi bagi pemerintah di segala sektor. Duit sisa Rp 1,55 triliun tidaklah seberapa jika menilik kebutuhan investasi pemerintah. Walhasil, terasa berat jika PIP yang nantinya mengeksekusi saham NNT tersebut.

Karenanya, santer beredar kabar bahwa pemerintah akan kembali menunjuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mewakili pemerintah pusat. Dua BUMN yang santer disebut adalah PT Aneka Tambang Tbk (Antam) dan PT Timah Tbk.

Tak salah memang jika dua BUMN ini disebut-sebut. Pada divestasi saham NNT tahun-tahun sebelumnya, mereka ditunjuk untuk mewakili pemerintah pusat. Pada divestasi 14 persen saham NNT jatah 2008 dan 2009 lalu, misalnya, pemerintah menunjuk Antam. Namun, Antam menolak lantaran tidak bisa menjadi mayoritas di NNT.

Walhasil, saham jatah 2008 dan 2009 jatuh ke PT Multi Daerah Bersaing (MDB). Ini menambah pundi-pundi saham MDB di NNT. Sejak 2006, selalu MDB yang mengeruk jatah divestasi saham NNT. Itu setelah pemerintah pusat mengaku tak punya dana untuk mengeksekusi pelepasan saham NNT itu. Karenanya, kini MDB mampu menguasai 24 persen saham NNT. Keuangan MDB ditopang oleh mitra swasta mereka: PT Multicapital, anak usaha Bumi Resources, milik kelompok Bakrie.

MDB merupakan perusahaan patungan PT Daerah Maju Bersama (DMB) dengan PT  Multicapital. Sementara DMB merupakan BUMD milik tiga pemda, yakni Pemda Sumbawa, Pemda Sumbawa Barat, dan Pemprov Nusa Tenggara Barat (NTB).

Di luar Multi Daerah Bersaing, saat ini asing masih menguasai 56 persen saham di NNT. Asing menguasai NNT melalui Nusa Tenggara Partnership, yang 55 persen sahamnya dimiliki Newmont Indonesia Ltd, dan 45 persen dimiliki Nusa Tenggara Mining Corp. dan Sumitomo. Sementara sisa 20 persen saham NNT dikempit PT Pukuafu Indah. Karenanya, asing harus melepas 7 persen saham lagi agar kepemilikan mereka di NNT di bawah 50 persen. Divestasi 7 persen saham itu maksimal harus dieksekusi Maret 2011.

Lantas, apakah Antam kembali bersedia jika pemerintah menunjuk mereka mengakuisisi 7 persen saham divestasi jatah 2010? Kepada wartawan, Budi Satriyo, Corporate Secretary PT Antam, menjawab tegas. “Kami tidak berminat,” katanya, Selasa, 27 Desember 2010 lalu.

Budi beralasan, Antam masih fokus kepada proyek-proyek mereka sendiri. Selain itu, Budi berpendapat, saham NNT kurang strategis. Hingga akhir Desember, menurut Budi, pemerintah pusat memang belum resmi menunjuk Antam. “Tapi, kalaupun ditunjuk, kami tetap tidak mau,” tandasnya.

Budi agaknya merasa trauma dengan proses divestasi masing-masing 7 persen saham NNT jatah 2008 dan 2009 lalu. Ketika itu, pemerintah sudah resmi menunjuk Antam sebagai pemimpin konsorsium pembelian 14 persen NNT saham senilai US$ 493 juta itu.

Kala itu, Antam direncanakan menggandeng tiga pemerintah daerah di NTB yang tergabung di PT Daerah Maju Bersama, karena lokasi tambang Batu Hijau berada di wilayah tersebut. Antam dan Pemda NTB merupakan wakil pemerintah pusat dalam program divestasi tersebut. Konsorsium itu terbuka bila perusahaan lain hendak bergabung. Bahkan, PT Tambang Batubara Bukit Asam ketika itu sudah menyatakan minatnya.
Namun, proses divestasi saham 2008 dan 2009 tersebut begitu berlarut-larut. Ini karena terlalu banyak pihak yang membidik saham tersebut. Di luar Antam dan konsorsium, PT Pukuafu yang merupakan pemegang saham 20 persen saham NNT, juga membidiknya.

Hingga akhir kuartal pertama 2010, divestasi 14 persen saham jatah 2008 dan 2009 tersebut juga belum ketahuan siapa pemenangnya. Salah satu faktor berlarut-larutnya divestasi saham 2008-2009, akibat tak jelasnya penentuan siapa pihak nasional yang berhak ikut dalam program divestasi serta dari mana sumber dana.

Di tubuh pemerintah terjadi perpecahan ketika harus menentukan siapa yang layak menjadi mitra Pemda NTB. Menteri Keuangan (ketika itu) Sri Mulyani, lebih menghendaki Pusat Investasi Pemerintah (PIP) yang menjadi mitra di luar Antam.

Celakanya, tiga pemda NTB yang paling berhak mendapat jatah investasi sama sekali tidak memiliki dana, sehingga harus menggandeng mitra sebagai pemodal. Akhirnya, muncullah Multicapital. Melalui serangkaian perundingan yang alot, Antam kemudian terdepak. Walhasil, jatah 14 persen saham kembali ke pangkuan Pemda NTB dan kelompok Bakrie.

“Pada divestasi 2008 dan 2009 kami mundur karena tidak sesuai dengan keinginan kami. Kami ingin memperoleh yang lebih besar, tapi apalah daya. Buat apa kalau tidak menguntungkan,” papar Budi, kepada wartawan. Itu sebabnya, jika pemerintah kembali menunjuk Antam untuk mengeksekusi 7 persen saham NNT jatah 2010, tandas Budi, Antam akan tetap menolaknya.

Merasa mendapat angin dengan menguasai 24 persen saham NNT sejak 2006-2009, Pemda NTB, MDB, dan Bakrie, kini juga bernafsu kembali mengambil 7 persen saham jatah divestasi 2010. "Kami mau 7% saham NNT agar daerah lebih maju," tutur Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Lalu Sujirman, kepada media, Selasa, 28 Desember 2010, lalu.

Pemprov NTB pun telah mengirim surat ke pemerintah pusat mengenai ketertarikannya membeli saham perusahaan tambang emas ini. Meski hingga akhir Desember 2010 belum juga dapat tanggapan dari pemerintah pusat. Menurut Sujirman, dana pembelian saham itu jelas bukan berasal dari APBD. "Kami menggandeng swasta melalui beauty contest," ujar dia.

Siapa swasta yang dimaksud Lalu? Dia enggan menjelaskannya. Tapi, jawaban lebih gamblang datang dari Heriyadi Rachmat. Komisaris PT Multi Daerah Bersaing itu menyatakan, dana akuisisi 7 persen jatah 2010 itu sudah mereka siapkan. “Dananya tentu saja dari mitra-mitra yang digandeng pemerintah daerah,” kata Heriyadi, kepada pers. Satu-satunya swasta yang bergabung dalam PT Multi Daerah Bersaing adalah Multicapital.

Dileep Srivastava, Juru Bicara Bumi Resources, induk Multicapital, tidak menampik jika mereka juga membidik 7 persen saham NNT jatah 2010. “Bagaimana mungkin kami tidak tertarik dengan saham Newmont? Tapi karena kami joint venture, maka kami akan ikuti prosesnya sesuai aturan,” kata Dileep, kepada wartawan.

Lalu dan Heriyadi yakin jika PT Multi Daerah Bersaing kembali membeli 7 persen divestasi NNT jatah 2010, pemerintah daerah akan semakin banyak mendapat keuntungan. Sejak menguasai 24 persen, menurut Lalu, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Pemda Sumbawa, Pemda Sumbawa Barat, sudah mendapat deviden lumayan besar. “Dari tidak punya sama sekali, kini dapat deviden hampir mendekati deviden Rp 200 miliar. Itu ditambah dengan royalti hampir Rp 50 miliar. Jadi, angka ini sangat berarti buat kami di daerah,” kata Lalu.

Pukuafu Indah, pemegang saham NNT lainnya, juga tetap bernafsu menguasai NNT. Bahkan, Pukuafu menganggap divestasi 31 persen saham NNT sepenuhnya menjadi hak mereka. Tapi, Pukuafu menganggap status 31 persen saham yang dijual kepada mereka, di luar yang dijual kepada pemerintah, termasuk MDB.
Alexander Yopi Susanto, Juru Bicara Pukuafu menegaskan, Pukuafu tetap berpegang pada kesepakatan yang dibuat dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) NNT pada 15 November 2005 dan 21 Mei 2007.

Dalam RUPS itu, dua pemegang saham NNT yang tergabung dalam Nusa Tenggara Partnership, yaitu Newmont Indonesia Limited (NIL) dan Nusa Tenggara Mining Corporation (NTMC), sepakat menjual 31% saham divestasi NNT ke Pukuafu. Kami tetap berpegang teguh pada keputusan RUPS itu. Itu sudah menjadi bagian dari kami,” kata Yopi, kepada wartawan.

Pukuafu merasa berhak, pada awal Desember lalu Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan, NIL dan NTMC harus menyerahkan 31% saham divestasi NNT ke PT Pukuafu Indah. Memang, NIL kemudian mengajukan banding atas putusan PN Jakarta Selatan itu, sehingga masih ada kemungkinan keputusan pengadilan berubah.

Tapi, apapun hasil di pengadilan, Yopi tidak mempersoalkan penjualan 31 persen saham NNT yang sudah terjadi, termasuk 24 persen kepada MDB. “Kami menganggap penjualan 31% saham NNT itu sebagai transaksi jual beli saham biasa. Itu bukan saham divestasi yang menjadi hak Pukuafu,” ujar Yopi. Karenanya, status 31 persen saham NNT yang disengketakan itu di luar 31 persen saham yang dijual kepada pemerintah.

Saham Newmont memang pantas menjadi rebutan banyak pihak. Maklum, cadangan emas di area tambang Batu Hijau milik NNT terbesar di Indonesia. Dibanding dengan cadangan emas Gunung Grassberg, Papua milik Freeport McMoran yang mencapai 76 juta ounce, tambang Batu Hijau milik NNT memiliki kandungan 6,9 miliar ounce emas. Cadangan ini diperkirakan bisa bertahan hingga 2027.

Pendapatan Newmont Mining Corporation (NEM), operator tambang Batu Hijau milik NNT, juga terus menanjak. Sejak beroperasi Maret 2000, NEM sudah meraup ratusan triliun rupiah. Tengok saja, laba selama kuartal ketiga 2010 saja sudah mencapai US$ 2,6 miliar, atau sekitar Rp 23,4 triliun. Jumlah itu melonjak 30 persen ketimbang periode sama 2009 yang sebesar US$ 2 miliar. Adapun laba bersihnya mencapai US$ 537 juta atau sekitar Rp 4,8 triliun. Jumlah itu melonjak 38,4 persen ketimbang laba bersih periode sama 2009 sebesar US$ 388 juta.

Sementara total pajak dan royalti yang diberikan ke pemerintah sejak tahun 2000 sekitar Rp 18 triliun saja. Pada 2009 lalu, PT NNT membayar pajak dan royalti kepada pemerintah senilai Rp 3,9 triliun. Sementara dari sisi aset, sejak beroperasi Maret 2000, aset NNT kini sudah mencapai US$ 3,885 miliar. Potensi keuntungan NNT bakal terus membesar. Sebab, potensi cadangan emas dan tembaga di Batu Hijau diperkirakan bisa bertahan hingga 27 tahun mendatang. Jadi, sangat wajar jika banyak pihak membidik saham NNT. Bahkan, tak heran kisruh ini hingga berujung ke meja hijau (lihat: http://bungapadangilalang.blogspot.com/2011/02/jalan-panjang-menuju-divestasi.html ).

Pertanyaannya kemudian, apa yang sudah didapat pemerintah Indonesia dari melimpahnya kekayaan emas dan tembaga di Batu Hijau itu? Sejauh ini sangat tidak seimbang dengan kekayaan yang telah dikeruk Newmont. Lihat, misalnya, dana bagi hasil untuk pemerintah daerah cuma sekitar US$ 4 juta atau sekitar Rp 36 miliar per tahun. Dana itu memang belum menghitung deviden kepada Pemprov NTB, Pemda Sumbawa, dan Pemda Sumbawa Barat. Tapi, menilik jumlah deviden ketiga pemda itu yang cuma sekitar Rp 250 miliar, rasanya pembagian kue tambang emas Batu Hijau masih tetap banyak mengalir ke kantong asing.

Menurut Ketua Komite Penyelamat Kekayaan Negara Marwan Batubara, kalaupun divestasi 7 persen saham NNT sudah terlaksana sampai Maret 2011 nanti, pemerintah Indonesia tetaplah tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, kepemilikan saham oleh domestik, tercerai berai: Pukuafu Indah 20 persen dan PT Multi Daerah Bersaing 14 persen.

“Jadi kesempatan untuk nasionalisasi sudah terlewat. Saham 7% tidak ada gunanya. Mestinya pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertanggung jawab kenapa dia biarkan saham dikuasai asing dan diambil oleh Bakrie atas nama daerah. Bahkan, Bakrie sekarang sudah kerjasama dengan Inggris. Asing juga sudah punya saham di sana,” papar Marwan.

Kesimpulannya, menurut Marwan, sungguh tidak berkutik pemerintah Indonesia dalam kasus divestasi saham NNT ini. Kasus serupa, kata Marwan, juga terjadi di bisnis pertambangan lain. Misalnya, betapa tak berdayanya pemerintah SBY dalam mengutamakan kepentingan nasional di area pertambangan milik PT Freeport McMohan di Papua. “Dan yang lebih banyak lagi terjadi di perusahaan minyak seperti Chevron di Riau, Total Indonesie di Blok Mahakam, dan ExxonMobil di Cepu,” kata Marwan. Mestinya, kata Marwan, Presiden SBY segera melakukan koordinasi para pemilik saham lokal, agar keterwakilan pemerintah Indonesia di NNT bisa maksimal.

Menilik masih banyaknya pekerjaan rumah ini, menikmati libur akhir pekan, bagi Menteri Keuangan Agus Martowardojo rasanya masih jauh. ****

Read More......

"Seret di Minyak, Berpeluang di Gas"

0 komentar


Share


***

Potret Migas dan Pertambangan 2011

***
Prospek indusri minyak dan gas (migas) sepanjang 2011 agaknya tidak akan secemerlang sektor pertambangan. Dari sisi produksi minyak, misalnya, tahun ini bakal sulit mencapai target. Namun, masih ada peluang dalam produksi gas selama tahun ini. Tapi, tantangan dan hambatannya juga tak sedikit.
***

Tantangan di sektor minyak dan gas (migas) serta pertambangan di tahun 2011 lumayan berat. Pemerintah harus bekerja keras agar semua target produksi migas dan tambang bisa tercapai. Kinclongnya sektor pertambangan di tahun ini, sepertinya tidak akan berbanding lurus dengan sektor migas. Jika banyak prediksi sektor pertambangan akan berpeluang besar meraup untung besar di tahun kelinci ini, sektor migas harus megap-megap.


Dari sisi produksi minyak, misalnya, akan sulit bagi pemerintah kembali mencapai target. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011, pemerintah mematok target lifting minyak sebanyak 970 ribu barel per hari (bph). Jumlah ini naik 5 ribu barel per hari dari target lifting minyak 2010 yang sebesar 965 ribu bph. Lifting adalah volume minyak yang bisa dijual dan diangkut dengan tanker ke pembeli, baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.

“Menilik pengalaman, selama ini sulit bagi pemerintah memenuhi target itu,” kata Dito Ganinduto, anggota Komisi VII DPR RI Bidang Energi, dalam seminar Outlook Energy and Mining 2011 di Jakarta, Rabu, 22 Desember 2010 lalu.

Dito memang tak sekadar bicara. Sepanjang tahun 2010 lalu, umpamanya, dari target lifting minyak di APBN sebanyak 965 ribu bph, tercapai hanya 957 ribu bph saja. Demikian pula dengan lifting minyak 2009. Dari target lifting minyak 2009 sebanyak 960 ribu bph, hanya tercapai 945 ribu bph.

“Ketidakmampuan di dalam peningkatan kapasitas produksi minyak bumi merupakan dampak penurunan cadangan terbukti minyak bumi dalam satu dekade terakhir,” kata Dito. Dalam 10 tahun terakhir, cadangan terbukti minyak bumi Indonesia mengalami penurunan dari 5,1 miliar barel di tahun 2000, menjadi 4,3 miliar barel pada tahun 2009, atau rata-rata menyusut 1,7 persen per tahun. Sedangkan tingkat produksi pada periode yang sama mengalami penurunan dari 1,45 juta barel per hari menjadi 0,95 juta barel per hari, atau menurun rata-rata 3,8 persen per tahun.

Bahkan, sejak tahun 2004, Indonesia sudah menjadi net oil importer. Selain akibat makin merosotnya cadangan minyak, itu lantaran kemampuan produksi dalam negeri tidak dapat mengimbangi pertumbuhan konsumsi. Pada tahun 2009, konsumsi minyak bumi mencapai 1,34 juta bph. Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan kemampuan produksi sebesar 0,95 juta bph. “Keterbatasan produksi telah mendorong peningkatan impor minyak mentah dalam lima tahun terakhir dari 322 ribu bph tahun 2005 menjadi 334 ribu bph tahun 2009,” kata Dito.

Fakta ini kian menegaskan tingkat produksi minyak bumi di Indonesia yang terus merosot. Masa puncak produksi yang pernah mencapai 1,68 juta bph pada tahun 1977 silam rasanya muskil tercapai lagi. Lihat saja, saban tahun, pemerintah selalu ngos-ngosan untuk memenuhi target lifting. Produksi minyak tertinggi setelah puncak tertinggi pada 1977 tersebut tercapai pada 1997 lalu, itupun mentok di level produksi 1,5 juta bph.
Data Kementerian ESDM mencatat, sejak produksi medio 1990-an itu, produksi minyak Indonesia memang terus menurun. Sekitar 70 persen dari sumur minyak berstatus brownfield alias uzur. Dan 90 persen di antaranya telah melewati puncak produksi dan kini produksinya terus turun 15 persen tiap tahun (lihat tabel Produksi Minyak Indonesia).

Produksi Minyak Indonesia (ribu barel per hari)
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
1.037
1.033
957
898
931
944
965*
970*
Kondisi Minyak Nasional (Barel)















Tahun
Produksi
Konsumsi
Ekspor
Impor



2009
337.260.837,00
297.602.721,00
117.212.847,00
118.638.275,50



2008
356.436.786,00
273.505.549,00
128.058.149,00
92.175.358,25



2007
348.314.945,00
321.302.814,00
127.134.792,00
111.067.245,00



2006
359.289.337,00
349.845.435,00
114.147.764,31
113.545.934,13



2005
385.708.779,00
357.493.997,00
156.766.006,00
120.159.324,81



2004
400.486.234,00
375.494.636,00
180.234.938,00
148.489.589,13



2003
415.814.157,00
373.190.759,00
211.195.794,52
129.761.738,00



2002
455.738.915,00
358.806.832,00
216.901.729,00
121.269.175,75



2001
489.849.297,00
375.668.315,00
239.947.960,00
118.361.896,69



2000
517.415.696,00
383.955.955,00
225.840.000,00
79.206.903,00

























* Target: di 2010 hanya tercapai 957.000 bph
Sumber: Kementerian ESDM
 
Tingkat produksi minyak bumi yang diperkirakan di bawah target pada 2011 akan menyebabkan defisit di APBN. Setiap penurunan produksi sebesar 10 ribu bph, berpotensi menyebabkan penurunan penerimaan negara sebesar Rp 3 triliun hingga Rp 3,34 triliun.

Padahal, selama ini prosentase penerimaan sektor migas cenderung menurun terhadap APBN. Memang, secara jumlah, total penerimaan migas dalam lima tahun terakhir meningkat. Angkanya, dari Rp 138,8 triliun pada 2005 menjadi Rp 202,8 triliun pada 2009. Namun, share-nya terhadap total penerimaan negara melorot dari 28,1 persen menjadi 22,3 persen pada periode yang sama.

Di luar itu, masih ada faktor lain penyebab target produksi minyak dan gas bumi tahun 2011 berpotensi tidak akan tercapai. “Antara lain karena penerapan asas cabotage, ketidakpastian perpanjangan sejumlah kontrak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan kerusakan peralatan (unplanned shutdown), serta intensitas perawatan fasilitas produksi yang makin tinggi,” papar Dito.

Asas cabotage adalah kewajiban muatan domestik diangkut kapal-kapal berbendera nasional. Ketentuan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 ini mulai berlaku 2011. Padahal, selama ini 70 persen angkutan minyak, terutama sumur-sumur minyak di lepas pantai, memakai jasa kapal asing. Itu lantaran kemampuan kapal domestik masih minim. “Akibat penerapan azas cabotage, diproyeksikan akan menyebabkan berkurangnya produksi minyak bumi sebesar 225 ribu bph,” kata Dito.

Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Evita Herawati Legowo mengakui hal tersebut. “Penerapan asas cabotage memang menjadi salah satu tantangan di tahun 2011,” katanya, dalam seminar yang sama. Kendala lain, menurut Evita, akibat keterbatasan peralatan pengeboran lainnya.

Karenanya, menurut Evita, kini pemerintah berupaya keras agar target produksi lifting minyak 2011 bisa tercapai. “Kami akan berupaya mengoptimalkan lapangan-lapangan eksisting untuk menahan laju penurunan produksi dengan melakukan workover, infill drilling, dan lain-lain,” kata Evita. Pemerintah mengaku akan berupaya mengoptimalkan penerapan teknologi perolehan minyak tahap lanjut (Enhanced Oil Recovery / EOR). Selain itu, juga dengan mengembangkan lapangan baru, termasuk put on production (POP) sumur temuan eksplorasi.

Tantangan terbesar di sektor produksi minyak, adalah keterbatasan stok minyak di Tanah Air. “Menurut survey US Geological Survey Oil & Gas Journal, diperkirakan cadangan migas beberapa negara, termasuk Indonesia, hanya akan berumur 10-15 tahun lagi, selebihnya ada beberapa negara yang mempunyai umur cadangan antara 50 sampai 100 tahun,” papar Direktur Utama PT Pertamina, Karen Agustiawan (lihat tabel Cadangan Minyak Dunia).

Cadangan Minyak Dunia
Negara
Umur Cadangan Minyak
Indonesia, Amerika Serikat, Kanada, Mesir, Australia, Ekuador, Inggris, Norwegia
10 – 15 tahun
China, Nigeria, Aljazair, Colombia, Oman, India, Qatar, Angola, Rumania, Yaman, Brunei Darussalam
15 – 50 tahun
Sejumlah  negara di kawasan Arab
50 – 100 tahun
Sumber: US Geological Survey Oil & Gas Journal (1995 – 2000)

Kondisi inilah yang sebetulnya mengharuskan pemerintah segera mengeksplorasi potensi sumber energi di luar minyak. Antara lain panas bumi (geothermal), batubara, biofuel, dan energi nuklir.

Potensi energi panas bumi Indonesia lumayan besar, mencapai sekitar 28.000 Megawatt (MW), dengan potensi sumber daya 13.440 MW dan cadangan 14.473 MW tersebar di 265 lokasi di seluruh Indonesia. Sayang, upaya eksplorasi panas bumi relatif lambat lantaran masih minimnya minat investor. Sementara sektor nuklir, pemerintah seperti maju mundur akibat masih kentalnya kontroversi. Pemerintah harus mampu membuat terobosan.

Langkah pemerintah membuat Visi Energi Terbarukan 2025” memang patut didukung. Dalam Visi ini, pada 15 tahun mendatang penggunaan energi terbarukan ditargetkan paling sedikit 25 persen dari total pemakaian energi. Visi ini jauh berbeda dengan kebijakan energi nasional yang diintrodusir pada tahun 2006. Isinya, penggunaan energi terbarukan pada tahun 2025 ditargetkan minimal 5 persen dari konsumsi energi. Kini, tinggal kita tunggu realisasi dan upaya pemerintah merealisasikan Visi Energi Terbarukan 2025 itu.

Meski demikian, di sektor minyak, peluang bukan tidak ada. Pemulihan ekonomi global pasca-krisis subprime mortgage tahun 2008 lalu, akan menyebabkan permintaan minyak menanjak di 2011. “Di luar itu, terjadi kecenderungan peningkatan konsumsi minyak yang diperkirakan akan mencapai 120-130 million barrels per day (MMBPD) pada tahun 2030, dibandingkan produksi dunia yang hanya 110 mmbpd,” kata Karen. Tinggal sekarang, bagaimana mencari cara untuk menggenjot produksi minyak di saat potensi cadangan minyak di dalam negeri yang mulai menipis.

Salah satu upaya Pertamina, adalah ekspansi ke luar negeri. Strateginya, menurut Karen, dengan memfokuskan pengembangan usaha hulu pada wilayah RIM-1 (Asia Tenggara dan Australia). Langkah lainnya, dengan men-take over lapangan-lapangan yang belum dikembangkan namun dekat dengan fasilitas produksi dan cluster asset, dan konsentrasi sumber daya manajemen untuk masuk ke aset-aset eksplorasi melalui joint bidding, joint study serta memanfaatkan 15% privilege interest.

Nah, jika di sektor minyak tantangannya begitu berat di tahun 2011, sektor gas relatif lebih berpeluang besar untuk berkembang. Apalagi, kebutuhan gas masih sangat jauh dari cukup. Berdasarkan Neraca Gas Nasional, pada tahun 2010 saja terdapat defisit gas mencapai sekitar 1 miliar kaki kubik per hari (SCFD) (contracted demand). Defisit terutama di Jawa (sebanyak 0,44 miliar SCFD, dan Sumatera sebesar 0,34 miliar SCFD, yang diakibatkan oleh kekurangan pasokan dan keterbatasan infrastruktur.

“Potensi defisit gas bumi (contracted demand) untuk keperluan di dalam negeri pada tahun 2011 diproyeksikan masih tetap tinggi, yaitu mencapai 0,6 miliar SCFD. Bahkan jika memperhitungkan potential demand, maka defisit gas bumi jauh lebih besar, diperkirakan mencapai 2,73 miliar SCFD (Neraca Gas Nasional 2010-2025),” papar Dito Ganinduto.

Menurut Dito, kebijakan wajib pasok dalam negeri alias Domestic Market Obligation (DMO) Gas Bumi mulai 2011 yang mewajibkan kontraktor migas (KKKS) menyerahkan 25 persen dari hasil produksi gas bumi bagian kontraktor, belum dapat menjamin pemenuhan kebutuhan gas di dalam negeri yang terus meningkat. Kewajiban DMO gas ini diatur Peraturan Menteri ESDM No. 3 Tahun 2010.

Dari sisi produksi gas, tahun 2011 kemungkinan lebih tinggi ketimbang sebelumnya. Dalam APBN 2011, pemerintah mematok lifting gas sebanyak 7,77 miliar SCFD. Jumlah itu hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan target lifting gas 2010 sebesar 7,76 miliar SCFD, dan realisasi tahun 2009 sebesar 7,95 miliar SCFD.

“Tapi target lifting gas pada 2011 diprediksi akan lebih tinggi dibandingkan yang ditargetkan di dalam APBN 2011, sebagaimana yang terjadi pada tahun 2009 dan 2010,” papar Dito. Peningkatan lifting produksi gas bumi tersebut ditunjang oleh peningkatan cadangan terbukti gas bumi dalam satu dekade terakhir.

Dalam satu dekade terakhir, penambahan cadangan terbukti gas bumi nasional meningkat rata-rata 1,5 persen per tahun. Jika di tahun 2000 masih 94,6 TCF, pada 2009 sudah mencapai 107,4 TCF. Sedangkan tingkat pertumbuhan produksinya hampir dua kali pertumbuhan cadangan terbuktinya, yaitu sebesar 2,8 persen per tahun atau meningkat dari 6,3 SCFD menjadi 7,9 miliar SCFD pada periode yang sama.

Meski sempat mencapai angka tertingginya dalam 10 tahun pada 2003, dan kemudian melandai, namun produksi gas dalam tiga tahun terakhir selalu melebihi target (lihat tabel Kondisi Gas Nasional).

Kondisi Gas Nasional (MMSCFD)

Tahun
Produksi
Pemanfaatan
2009
3.024.841.099,00
2.832.586.863,00
2008
2.891.929.375,00
2.790.988.091,24
2007
2.805.999.464,00
2.708.982.556,00
2006
2.947.048.632,00
2.825.760.987,00
2005
2.984.150.215,00
2.766.062.673,00
2004
3.029.904.958,00
2.888.863.199,00
2003
3.136.000.115,00
2.973.792.996,00
2002                 
2.993.121.530,00
2.823.492.031,00
2001
2.803.231.545,00
2.636.278.069,00
2000
2.895.578.543,00
2.722.779.865,00





MMSCFD: Juta kaki kubik per hari






Sumber: Kementerian ESDM

Saat ini, Indonesia merupakan produsen gas bumi terbesar kesepuluh di dunia dan terbesar kedua di Asia Pasifik. Namun demikian, pemanfaatan gas di dalam negeri belum optimal. “Sekitar 50% dari total produksi tersebut dialokasikan untuk ekspor, baik dalam gas alam cair (LNG) maupun gas bumi,” kata Dito. Share gas bumi di dalam energy (primer) mix nasional hanya sebesar 19% dari total konsumsi energi yang mencapai 1,1 miliar BOE. Jadi, masih ada harapan di sektor migas dan pertambangan Indonesia. Tinggal bagaimana kita mengolahnya. ***

Read More......
Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger