Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Selasa, 14 Desember 2010

Humbalang Hacker Melanda Dunia Maya*

0 komentar


Share

Tulisan ringan di awal pekan. Pasca kasus Wikileaks, mari belajar memahami siapa hacker sebenarnya.

****
Tulisan 1

Humbalang Hacker Melanda Dunia Maya*

Para pendukung dan penentang Wikileaks memanfaatkan serangan DDoS untuk menghantam situs internet lawan

**

Langkah Wikileaks membocorkan 251.187 dokumen rahasia milik pemerintah Amerika Serikat (AS) secara bertahap sejak Senin (29/11) lalu, menimbulkan gejolak hebat di dunia maya. Perang hacker pun merajalela dalam sepekan terakhir.

Beberapa jam sebelum mengunduh dokumen diplomatik rahasia AS tersebut, situs Wikileaks sudah diserang para hacker. "Kami baru saja mendapat serangan Distributed Denial of Service (DDoS)," tulis Wikileaks dalam akun Twitter-nya, Selasa (30/11) lalu. Sejak itu, serangan hacker ke Wikileaks terus-terusan terjadi.

Tak mau menyerah, para pendukung Wikileaks yang juga para hacker menyerang balik situs-situs pendukung lawan. Mereka menyerang situs-situs penting pemerintahan AS, salah satunya situs kejaksaan, bahkan selanjutnya serangan hacker menyebar ke sistem keuangan global.

Kamis lalu (9/12), para hacker pendukung Wikileaks menyerang situs Visa, Mastercard, dan PayPal. Serangan itu muncul akibat tiga lembaga keuangan tersebut menghentikan layanan ke Wikileaks. Selama ini, ketiga lembaga keuangan itu berfungsi sebagai lembaga yang mentransfer donasi para dermawan ke Wikileaks. Akibat terhentinya logistik, kelangsungan situs Wikileaks pun terancam terhenti.

Sama seperti penentangnya, para pendukung Wikileaks juga menyerang tiga situs tersebut dengan memakai DDoS. Akibatnya, situs ketiga penyedia jasa transaksi keuangan itu banjir pengakses, sehingga kewalahan. Dampak selanjutnya, situs pun tidak berfungsi.

Serangan segala penjuru DDoS

DDoS merupakan jenis serangan yang sering digunakan para hacker untuk melumpuhkan situs web dan jaringan online. Untuk melakukannya, para pelaku biasanya memanfaatkan pasukan penyerang dari banyak komputer yang telah disusupi program jahat atau virus. Komputer-komputer ini diperintahkan dari jarak jauh untuk membanjiri kunjungan ke situs yang menjadi target (lihat infografik).

Serangan serentak akan menyebabkan trafik di situs target menjadi melonjak. Sehingga, pengunjung lain kesulitan mengakses situs itu. "Request yang terus menerus akan menyebabkan overload dan bisa berakibat server down," ujar Halim Sulasmono, Senior General Manager Information & System Center PT Telkom Tbk, dalam obrolan dengan saya, Jumat (10/11) lalu.

Basuki Suhardiman, pengamat teknologi informasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), memberikan gambaran lebih sederhana. Sistem kerja jaringan internet, sangat mirip dengan lalu lintas di jejaring jalan raya. Sebuah situs internet, dihubungkan oleh satu jalan raya bernama bandwith.


Nah, dengan serangan DDoS, para hacker mengirim muatan paket internet semacam spam dan lainnya berkapasitas besar dari banyak jurusan menuju situs tersebut. Sehingga, menghalangi jalan dan lalu lintas di situs tersebut. Akibatnya, pengakses lain ke situs itu tidak bisa masuk. "DDoS itu ibarat para pendemo yang menyebabkan jalan macet," kata Basuki.

Menurut Basuki, serangan hacker ke situs Wikileaks bukanlah DDoS. Sebab, sistem DDoS biasanya sudah bisa dihadang otomatis oleh penangkal sistem komputer yang diserang saat memasuki gerbang besar internet (gateway) mereka.

Catatan saja, gateway adalah pintu gerbang utama dalam sistem jaringan internet. Dari gateway inilah situs-situs online saling tersambung. "Saya menduga, itu adalah ulah pihak yang tidak suka kepada Wikileaks, sehingga sengaja menutup gateway ke situs Wikileaks," kata Basuki menganalisis.

Yang dimaksud Basuki, ada kekuatan besar yang menghalangi arus masuk ke gateway internet di Eropa dan menyambung ke Swedia, basis situs Wikileaks. "Sehingga, pengunjung situs Wikileaks tidak mampu mengaksesnya," katanya.

Apapun yang terjadi, Wikileaks jalan terus. WikiLeaks menegaskan tetap akan menyiarkan dokumen yang berisi banyak surat kawat milik Kedutaan Besar AS tersebut, meskipun situsnya sedang down akibat serangan DDoS.

Hingga Jumat (10/12) kemarin, dukungan ke Wikileaks terus datang. Situs Guardian menulis, sokongan ke Wikileaks mengalir dari berbagai belahan dunia. Di Brazil, Presiden Lula Da Silva memprotes penangkapan Julian Assange, pendiri Wikileaks. "Dia hanya menerbitkan sesuatu yang ia baca. Dan setelah membacanya, karena ia penulis, sudah sepatutnya menerbitkannya," katanya.

Dampak dibukanya 251.187 dokumen rahasia pemerintah AS kian besar. Dunia mulai memandang sinis AS. Kini suhu politik global juga mulai memanas, tak hanya di dunia maya, tapi juga dunia nyata.

* Dimuat di Rubrik Iptek Harian KONTAN, edisi Sabtu, 11 Desember 2010

***

BOX:

Gerudukan Zombie dari Delapan Penjuru Mata Angin


Ibarat perang, serangan Distributed Denial of Service (DDoS) adalah serbuan tentara dari delapan penjuru mata angin. Serbuan fokus menuju server target. Serangan dikendalikan dari sebuah server utama, yang lokasinya jauh dari target. Penyerang memberi perintah ke semua pasukan untuk membuat request HTTP ke sebuah situs target. Bila pasukan yang dikuasai attacker sangat besar maka web server target akan dibanjiri request sehingga menjadi terlalu sibuk dan tidak bisa diakses oleh pengguna yang sebenarnya (real visitor).

Sebetulnya, serangan DDoS adalah versi terbaru dari serangan Denial of Service (DoS). DoS adalah jenis serangan terhadap sebuah komputer atau server dalam jaringan internet dengan cara menghabiskan sumber daya yang dimiliki oleh komputer tersebut. Hasil akhirnya, komputer target tidak dapat menjalankan fungsinya dengan benar. Walhasil, secara tidak langsung mencegah pengguna lain untuk memperoleh akses layanan dari komputer yang diserang tersebut. Beda DoS dengan DDoS, jika DoS: satu lawan satu, DDoS: banyak lawan satu.

Serangan DoS muncul pertama kali pada 1996. Tiga tahun berselang, serangan DDoS datang. Caranya, dengan menggunakan serangan SYN Flooding, yang mengakibatkan beberapa server web di internet downtime alias drop. Pada awal Februari 2000, sebuah serangan DDoS besar dilakukan. Akibatnya, beberapa situs web terkenal seperti Amazon, CNN, eBay, dan Yahoo! downtime selama beberapa jam.

Serangan selanjutnya dilancarkan pada Oktober 2002 ketika sembilan dari 13 DNS Server diserang dengan memakai DDoS sangat besar yang disebut dengan Ping Flood. Pada puncak serangan, beberapa server tersebut pada tiap detiknya mendapat lebih dari 150.000 request paket Internet Control Message Protocol (ICMP).

***

Tulisan 2

SERANGAN KE SERVER komputer & INTERNET

Serangan Para Cracker Membabi Buta, dari yang Klasik hingga Paling Modern

JAKARTA. Pertumbuhan gangguan keamanan pada sistem jaringan komputer dan online, berbanding lurus dengan cepatnya perkembangan teknologi informasi (TI). Para hacker usil alias cracker, selalu punya celah untuk mengganggu sistem lawan.

Serangan Distributed Denial of Service (DDoS) yang melanda dunia pasca kasus Wikileaks, hanya salah satu versi serangan para cracker pada target mereka. Jauh sebelum itu, serangan klasik mereka juga sudah muncul.

Generasi pertama ulah para cracker disebut malicious software, yakni program yang dirancang untuk disusupkan ke dalam sebuah sistem target dengan aneka tujuan, utamanya merusak sistem target.

Masuk dalam malicious software adalah Virus, Worm, dan Trojan Horse. Yang paling klasik dari generasi awal perusak sistem komputer ini adalah Virus, yang mulai marak sejak 1980-an. Hingga kini, para cracker terus mereproduksi virus seiring kian canggihnya program komputer.

Adapun Worm, adalah modifikasi Virus komputer. Bedanya, jika Virus dikendalikan oleh pengguna, Worm bisa mereplikasi dirinya sendiri untuk merusak sistem target. Sementara Trojan Horse, adalah taKtik perang Kuda Troya. Ini adalah gabungan Virus dan Worm untuk yang disusupkan ke sistem anti Virus lawan.

Serangan lebih hebat lagi muncul ke sistem jaringan server website (online). Bentuknya yang paling sederhana disebut phishing, yakni proses sebelum serangan ke lawan dimulai alias soft attack.Dengan phising, sang penyerang berusaha mendapat informasi rahasia dari target.

Caranya, dengan menyamar menjadi pihak yang dapat dipercaya, atau seolah-olah merupakan pihak yang sesungguhnya. Misalnya, sebuah email yang berisi suatu informasi yang mengatakan, sang pengirim adalah dari Divisi Teknologi Informasi yang sedang melakukan upgrading sistem. Untuk kelancaran tugasnya, si penyerang minta kata kunci password dari user name yang dimiliki.

Terjangan lebih jahat lagi berbentuk web defacement. Dengan cara ini, cracker mengubah tampilan website lawan. "Ini pernah terjadi saat Pemilihan Umum 2004 lalu," kata Basuki Suhardiman, pengamat TI Institut Teknologi Bandung (ITB). Saat itu, di situs KPU nama-nama partai berubah menjadi nama ajaib: Partai Kolor Ijo, Partai Cucak Rowo, Partai Dukun Beranak, dan Partai Mbah Jambon.

Serbuan lebih canggih, dalam bentuk Denial of Services (DoS) dan Distributed Denial of Services (DDoS) seperti kasus Wikileaks saat ini. Salah satu bentuknya SYN-Flooding, yakni serangan yang memanfaatkan lubang kerawanan pada saat koneksi internet protocol (IP) terbentuk.

Lebih ganas lagi adalah serangan Robot Network alias Botnet. Robot inilah yang berfungsi sebagai pengendali serangan DDoS. Dialah yang otomatis memerintahkan kapan menyerang lawan.

***

HACKER

Butuh Sertifikat Khusus Agar Jadi Hacker Profesional


Sesekali, telusurilah situs mesin pencari raksasa Google. Kata kuncinya: hacker community atau komunitas hacker versi Bahasa Indonesia. Jangan kaget apabila tak terhitung ajakan dari berbagai situs di dalam dan luar negeri yang mengajak Anda bergabung dengan para komunitas hacker.

Ya, tidak usah bingung. Di kalangan para praktisi teknologi informasi (TI), para hacker bukanlah sekelompok orang jahat. Justru, mereka adalah kalangan profesional yang dibayar untuk mengatasi serangan kepada suatu sistem perusahaan. "Karenanya, butuh sertifikat khusus untuk menjadi hacker profesional," kata Basuki Suhardiman, pengamat TI Institut Teknologi Bandung (ITB).

Calon hacker mendapat sertifikat melalui serangkaian pelatihan TI. "Sertifikat ini sebagai bukti pengakuan bahwa yang bersangkutan memang mumpuni di bidang TI," kata Basuki.

Jasa para hacker profesional inilah yang biasanya menangani semua masalah dalam jaringan komputer dan website. Selain para hacker lepas, biasanya perusahaan-perusahaan besar memiliki hacker sendiri untuk mengatasi gangguan di sistem jaringan internet mereka.

Sejauh ini, memang terdapat beberapa pengertian untuk hacker. Dalam definisi sederhana, hacker adalah sebutan untuk mereka yang memberikan sumbangan bermanfaat kepada jaringan komputer. Mereka juga terkadang membuat program kecil di jaringan intranet maupun internet. Namun, dalam arti luas, hacker adalah golongan profesional komputer atau IT.

Mereka bisa sebagai jurutera komputer, pengatur cara dan sebagainya. Biasanya, mereka memiliki pengetahuan tinggi dalam suatu sistem komputer.

Di kalangan para praktisi TI, dikenal dua macam hacker. Pertama, White Hat Hacker. Dia adalah hacker yang memfokuskan aksinya untuk melindungi sebuah sistem komputer dan internet. Kedua, Black Hat Hacker. Hacker ini tugasnya bertentangan dengan White Hat, yang lebih memfokuskan aksinya kepada bagaimana menerobos sistem tersebut.

Dalam kategori yang lebih ekstrem, Black Hat Hacker inilah yang kemudian disebut cracker. Cracker adalah sebutan bagi para ahli program komputer yang masuk ke sistem orang lain dengan aneka tujuan, biasanya cenderung merusak. Cara kerja cracker lebih destruktif, biasanya di jaringan komputer dan website.

Cara yang paling sering dilakukan, antara lain mencuri atau mem-bypass kata kunci alias password dan lisensi program komputer, sehingga merusak sistem komputer pihak lain. Tak jarang mereka usil menghilangkan data orang lain untuk kepentingan tertentu.

Para cracker-lah yang mereproduksi aneka gangguan dan serangan ke sistem komputer pihak lain. Bentuknya, mulai dari malicious software untuk merusak jaringan komputer, hingga phising, web defacement, Denial of Services (DoS) dan Distributed Denial of Services (DDoS), hingga mengirim robot network alias Botnet.

***

SEJARAH HACKER

Bermula di Massachusetts

SEJARAH selalu bermula dari orang yang mau berfikir. Demikian juga di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejarah hacker bermula di era 1960-an. Ketika itu, sejumlah anggota organisasi mahasiswa Tech Model Railroad Club di Laboratorium Kecerdasan Artifisial Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat, melakukan serangkaian percobaan sejumlah komputer mainframe.

Dari percobaan trial and error mereka, kini sistem komputer bisa bermanfaat luar biasa bagi kepentingan manusia. Saat itulah, istilah hacker muncul, menunjuk kepada orang-orang yang menekuni dunia komputer, dari mulai pemrograman hingga jaringan.

Namun, hitam putih akan selalu ada. Pada 1983, untuk pertama kalinya Biro Ivestigasi Federal Amerika Serikat atau FBI, mencokok sekelompok kriminal komputer berkode The 414s yang berbasis di Milwaukee AS. Angka 414 merupakan kode area lokal sekawanan itu.

Kelompok yang juga disebut hacker itu dinyatakan bersalah atas pembobolan 60 buah komputer, dari komputer milik Pusat Kanker Memorial Sloan-Kettering, hingga komputer milik Laboratorium Nasional Los Alamos. Dari sana, kemudian para hacker asli menjuluki sekomplotan pembobol komputer tersebut sebagai cracker alias Black Hat Hacker. Hingga kini, dua jenis hacker itu masih eksis.

Read More......

Senin, 29 November 2010

"Abah"

0 komentar


Share

by: Danto

Abah adalah lelaki super sederhana, dan diam. Tak banyak bicara, bahkan pemalu. Pada Abah, tercermin kebersahajaan, setidaknya di mata saya. Dia tak jarang menolak jika dibelikan baju baru. Maka, baju anyar Abah praktis dari pemberian anak-anaknya ketika Musim Lebaran.

Dilahirkan di masa Pemberontakan Tentara Darrul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) awal 1950-an, Abah adalah laki-laki pintar. Sayang, kemiskinan membawanya hanya mampu menyelesaikan Sekolah Rakyat (SR) kelas dua. Selebihnya, ngangon kambing dan sapi milik Almarhum Si Embah. Dari empat anak Si Embah, Abah adalah anak laki-laki satu-satunya. Maka, di usia belasan tahun, ia menjadi tumpuan keluarga.




Ketika saya Sekolah Dasar (SD) di awal 1980-an, Abah lah yang mengajarkan saya berhitung matematika. Dengan pengetahuan di Sekolah Rakyat yang seadanya, dia mengeja hitungan matematika dasar: dengan bahasa Sunda pinggiran.”Hiji sareng hiji, sami sareng dua”. “Lima sareng opat, sami sareng salapan”. Artinya: satu tambah satu, sama dengan dua. Lima tambah empat, sama dengan sembilan. Begitulah. Dari pelajaran super sederhana itu, pelajaran saya di sekolah sekarang jauh lebih dalam ketimbang Abah.

Hujan sore ini, plus lagu-lagu Ebiet G. Ade, membangkitkan memori pada Abah. Sudah sejak Lebaran lalu, kami tak bersua. Mungkin, dia masih berkutat sibuk mencangkul atau membajak sawah yang kami punya di kampung: daerah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sebagai buruh dengan beberapa petak sawah, Abah punya jam kerja 12 jam di “kantor”. Berangkat ketika Betara Surya di ufuk timur, pulang ketika Senja menyapa. Kantor Abah adalah bumi berpayung langit. Bercadar awan, dan berpenyangga hujan.

Sawah Abah tak banyak, peninggalan si Embah. Mungkin total cuma setengah hektare saja. Itupun sebagian telah terjual untuk membiayai Kakak pertama melanjutkan studi. Modal buruh petani, hanya sawah untuk mengantar anaknya kuliah. Lain tidak.

Anak Abah empat: kakak pertama, saya, adik pertama, dan si bungsu. Kecuali si Bungsu, semua anak Abah adalah laki-laki. Kakak pertama berhasil lulus di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Jakarta dalam tujuh tahun. Dia mengambil Jurusan Bahasa Inggris. Dia terbilang lama kuliah, akibat harus nyambi mencari uang sendiri lantaran uang hasil menanam padi tak cukup banyak buat bayar kuliah. Kakak pertama harus kerja keras menjadi kuli bangunan di proyek-proyek mercusuar Jakarta untuk biaya hidup.

Pada suatu hari menjelang Pemilu 1992 yang panas, ketika kakak pertama di tingkat tiga kuliah. Kakak pertama harus berkeringat keras menelusuri lorong dan jembatan Grogol, Jakarta Barat. Di sana, Abah tengah termenung ngungun. Di sampingnya, teronggok pakaian dalam tas belel berjejer cangkul. Di kolong Jembatan Grogol itu, ada teman-teman sekampung Abah, juga termenung. Sebagian rebahan berlasa tikar pandan bercampur debu.

Abah harus “mangkal” di Jembatan Grogol itu. Ketika itu, pembangunan di Jakarta sedang gencar-gencarnya. Dan, orang-orang kampong, buruh dan petani, macam Abah, mencoba mengadu nasib menjadi “tukang gali”. Modalnya cuma cangkul.

Dan, Jembatan Grogol adalah lokasi strategis bertransaksi dengan mandor-mandor bangunan. Dengan upah borongan Rp 10.000 per hari, biasanya para tukang gali bangunan bisa membawa uang hingga Rp 100.000 sekali pulang kampong. Itu hasil mangkal sebulan di Jembatan Grogol. Itupun jika orderan banyak. Jika pesanan minim, maka yang tersisa adalah utang ke warung makan. Beberapa diantara mereka coba membuka warung makan seadanya: di kolong jembatan itu.

“Abah, sebaiknya Abah pulang saja. Jangan pikirkan biaya kuliah saya. Saya masih mampu untuk mencoba mengajar privat, atau sekedar bekerja jadi tukang sapu di proyek bangunan,” kata Kakak pertama, kepada Abah, ketika itu. Cerita ini, dituturkan kembali Abah kepada saya di kemudian hari.

“Abah akan tetap di sini, baru seminggu di kolong jembatan Grogol, belum ada orderan proyek galian,” kata Abah, setengah memaksa.

“Tidak, Abah harus pulang,” kata kakak pertama. Bukan karena malu, kata kakak kepada saya suatu hari, tapi sungguh: tak tega saya harus melihat Abah mangkal di kolong jembatan grogol ini,” kata Kakak. Betapa Abah harus menjadi gelandangan untuk membantu biaya kuliah Kakak pertama. Ketika itu, musim paceklik menyerang kampung. Sawah-sawah tadah hujan di kampung tiada air: kering kerontang.

Ketika itu, Ibu meminta Abah bekerja mangkal di kolong Jembatan Grogol saja tinimbang di kampung luntang-lantung. Selain bertani, Abah tak punya keterampilan lain.

Abah adalah lelaki bijak. Dia memilih ikut saran Ibu, siapa tahu bisa punya penghasilan tambahan untuk biaya kuliah kakak pertama. Kala itu, saya masih di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Biaya juga sangat mepet. Baju sekolah kusut masai, akibat tak pernah diseterika. Boro-boro punya setrika, meminjam setrika dengan arang panas ke tetangga pun Abah dan Ibu tak berani,. Maka, baju saya hanya bisa ditaruh di bawah kasur agar lipatan dan kusut tak begitu tampak.

Abah akhirnya ke Jakarta, ikut saran Ibu, bersama beberapa tetangga. Namun, tak gampang mencari order galian di kolong Jembatan Grogol. Seminggu termangu, orderan tak juga datang. Hingga Kakak pertama menemukan Abah termenung di kolong itu. Hendak berkunjung ke kos-an kakak pertama, katanya malu. Takut teman-teman kakak pertama mencibir.

“Kalau Abah enggan pulang kampung, sebaiknya tinggal di kosan saya saja di Rawamangun,” kata kakak pertama.

“Tidak, Abah di sini saja, Abah malu pada teman-temanmu,” kilah Abah.
“Tidak apa-apa, saya sudah terbiasa dengan kondisi kita, sebaiknya Abah ke kosan saya saja,” kembali kakak mengajak.

Awalnya Abah menolak, namun kemudian mau. Setelah bermalam di Rawamangun, besoknya Abah pulang menumpang bus di terminal Pulogadung. Sengaja kakak berutang ke temannya untuk sekadar ongkos dan uang jajan buat ibu. Biar ibu di kampung sedikit bungah Abah punya hasil. Hingga kini, Ibu tak tahu uang itu adalah hasil pinjaman kakak dari teman kos.

Maka, Abah kembali menjalani rutinitas: ketika ufuk di timur datang, Abah segera “ngantor”. Saat senja menyapa, Abah pulang. Mungkin sore ini Abah baru siap-siap meninggalkan ladang.

Dari hasil keringatnya itu, kini kakak pertama sudah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) guru SMP di ibukota kecamatan. Bertitel wakil kepala sekolah, kakak pertama beristri bidan, anak dua, mobil satu, dan motor tiga. Saya, kini menjadi juru warta, dan sedikit harta di pinggiran Jakarta. Adik pertama, jadi PNS di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sementara si Bungsu, perempuan satu-satunya anak Abah dan Ibu, kini kelas tiga SMU di ibukota kecamatan.

Pada Abah, saya belajar tentang kesederhanaan. Pada Abah, saya belajar tentang hidup. Pada Abah, saya belajar tentang Syukur.

Sekali lagi, lagu Ebiet mengalun dari CPU computer saya sore ini:

“Di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa
Benturan dan hempasan terpahat di keningmu
Kau nampak tua dan lelah
Keringat mengucur deras
Namun kau tetap tabah
Meski nafasmu, kadang tersengal, memikul beban yang makin sarat
Kau tetap bertahan

Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu, gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari
Kini kurus dan terbungkuk
Namun semangat tak pernah pudar
Meski langkahmu kadang gemetar
Kau tetap setia

Ayah…
Dalam hening sepi ku rindu
Untuk menuai padi milik kita
Tapi…Kerinduan tinggal hanya kerinduan
Anakmu sekarang
Banyak menanggung beban.

* Silahkan baca juga cerita tentang Ibu

Read More......

Senin, 22 November 2010

Badai Matahari, Kiamat Kecil yang Terus Mengintai

3 komentar


Share

(Bacaan ringan di awal pekan. Sekali-kali nulis yang ringan-ringan.. hehe...)

****

by: Danto

Selama November ini, terjadi beberapa kali ledakan di matahari. Industri telekomunikasi Indonesia harus mewaspadai kerusakan hebat jaringan telekomunikasi mulai Mei 2013.

****
****

Tulisan 1:

Selain ancaman dari dalam perut bumi sendiri, seperti gempa, gunung meletus, dan tsunami, bumi juga terancam badai matahari. Bak gelombang, kabar badai matahari tak henti-hentinya datang.

Para ilmuwan meyakini, puncak kiamat kecil itu terjadi di 2013, bukan 2012 seperti selama ini diberitakan. Saat itu, coronal mass ejection (CME) atau lontaran massa korona matahari meledak. Awan gas meletup dari salah satu titik bintik matahari.

Dampaknya mengerikan: gelombang energi magnetik yang tercipta di atmosfer akan memicu badai radiasi yang menyebabkan lonjakan energi berkekuatan dahsyat. Akibatnya, akan tercipta badai awan yang merusak sistem kehidupan di bumi.


Potensi bencana yang terjadi sekali seabad ini bisa membawa ancaman serius pada sejumlah fasilitas vital: jaringan listrik rusak, sistem komunikasi hancur, pesawat jatuh, dropnya stok pangan dunia, dan porak-porandanya jaringan internet, pun telepon genggam mendadak mati.


Bencana serupa pernah terjadi pada 1859 dan mendatangkan kerusakan dahsyat di Eropa dan Amerika. Saat itu, kawat telegraf terbakar habis. Bahkan, ketika itu diberitakan dua pertiga langit di bumi diselimuti cahaya aurora berwarna merah darah. Mengerikan! Pada 1989, bencana serupa yang berskala kecil sempat mengganggu pembangkit listrik di Quebec, Kanada.

Badan Antariksa Amerika Serikat, NASA, pada 2008 memprediksi badai matahari akan menelan biaya ekonomi US$ 2 triliun di tahun pertama. Pemulihan butuh 10 tahun.

Ini bukan cerita horor. Tanda-tanda aktifnya badai matahari belakangan kerap terjadi. Sepanjang November 2010 saja, sudah terjadi beberapa kali ledakan (erupsi) matahari. Satelit pengintai matahari atau Solar and Heliospheric Observatory (SOHO) dan pesawat ruang angkasa kembar milik NASA, Solar Terrestrial Relations Observatory/Stereo (STEREO), menangkap letupan matahari itu.

Dalam rekaman SOHO dan STEREO tampak, pada gambar korona, atau cahaya semu di sekitar matahari, ada awan gas meletus keluar dari bintik matahari 1123. Ini adalah salah satu titik di bagian selatan matahari. Ilmuwan NASA mengkategorikan letupan itu bintik surya C-4. Material yang dimuntahkan erupsi itu mengarah lurus ke arah bumi dengan kecepatan nyaris mendekati 500 kilometer per jam.

"Pengamat lintang astronomi harus mewaspadai adanya aurora pada hari-hari tersebut," tulis NASA, dalam keterangannya, Senin (15/11) lalu. Namun, dampaknya tak terlalu besar mengingat skala letupannya masih di level C.

Catatan saja, para astronom mengelompokkan ledakan matahari ke dalam lima kategori, yakni A, B, C, M, dan X. Level A sampai C masih kategori kecil dan dampaknya tidak terlalu besar ke bumi. Pada level M alias Medium, dampaknya bisa mengganggu komunikasi radio dan satelit di bumi. Sedang level X atau eXtrem, bisa berdampak pada putusnya jaringan komunikasi, hingga tumbangnya jaringan listrik, seperti pada peristiwa 1859 silam.

Nah, peristiwa-peristiwa letupan matahari serupa juga muncul dalam pantauan satelit NASA lainnya, GOES. Satelit ini yang dijadikan referensi pemantauan aktivitas matahari oleh Lembaga Nasional Penerbangan dan Antariksa (LAPAN) Indonesia.

Puncaknya Mei 2013

Menurut Thomas Djamaluddin, Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika LAPAN, selama November ini setidaknya terjadi lebih dari lima kali ledakan. "Yang terbaru terjadi pada Senin, 15 November 2010 pada pukul 13.00 WIB," kata Thomas, kepada saya.

Sebelumnya, terjadi empat kali ledakan matahari pada Rabu, 11 November 2010, masing-masing pada pukul 10.00 WIB dengan level C1, pukul 13.00 level C2, lalu pukul 19.00 skala C1, dan pukul 22.00 WIB level C1. Namun, dampaknya tak terlalu terasa ke bumi.

Menurut Thomas, ledakan-ledakan di matahari terjadi secara berkala. Para ilmuwan baru meneliti hal ini sejak 1725. Sejak saat itu, sudah terjadi 23 kali siklus matahari. Satu siklus rata-rata 11 tahun.

Pada siklus ke-23, letupan terparah terjadi pada 28 Oktober 2003. Ledakan terjadi pada level X7, atau intensitas sangat tinggi. "Dampaknya, beberapa satelit komunikasi hilang," kata Thomas. Fenomena itu juga tampak dari Stasiun pengamatan LAPAN di Tanjungsari, Bandung. "Banyak gangguan komunikasi radio di Indonesia," kata Thomas.

Nah, sejak Januari 2009, letupan matahari itu memasuki siklus ke-24. Puncak maksimum matahari, Mei 2013.

Saat itulah, energi matahari akan mencapai tahap terpanas. Ini ditandai dengan banyaknya bintik matahari (sun spot). Inilah yang banyak diramal akan menjadi kiamat kecil. Selain suhu bumi memanas, jaringan telekomunikasi juga bisa rusak hebat.

"Tapi, yang justru harus diwaspadai adalah periode setelah puncak, yakni mulai 2014. Sebab, pada saat itulah ledakan matahari akan lebih sering terjadi dan bisa mengakibatkan gangguan komunikasi radio," kata Thomas.

Dia menyarankan para pengusaha telekomunikasi Indonesia mewaspadai ini. "Mereka harus mengantisipasinya, agar tidak terjadi kerusakan jaringan telekomunikasi dan listrik yang hebat," kata Thomas. Siap-siap blank spot dan tidak ada hubungan komunikasi!

* Di muat di Harian KONTAN, Rubrik Science, edisi Sabtu, 20 November 2010


Tulisan 2:

BADAI MATAHARI

Siklus Ledakan yang akan Terus Berulan 


Ibarat kehidupan, matahari memiliki pola yang teratur. Pola ini disebut siklus Matahari. Cirinya, ditandai dengan kemunculan bintik (sun spot) di permukaan matahari secara periodik.

Bintik matahari adalah pulau-pulau magnetik di permukaan matahari, dan merupakan sumber dari berbagai aktivitas matahari. Akibat reaksi fusi nuklir dalam dirinya, bintik matahari selalu berubah, dari muncul, membesar, dan akhirnya menghilang.

 Reaksi fusi adalah proses perubahan zat hidrogen menjadi helium pada kadar 600 juta ton. Dari proses fusi itu, terlepas empat juta ton massa setiap saat. Inilah yang menyebabkan matahari terus bersinar setiap saat.

Nah, pada medio 1800-an, Heinrich Schwabe, astronom Jerman, menemukan pola keteraturan kemunculan bintik matahari tersebut. Sejak saat itulah, kita kenal adanya siklus matahari. Siklus matahari terjadi selama 10 hingga 12 tahun, atau rata-rata 11 tahun. Terhitung sejak saat itu, para ilmuwan sepakat, hingga kini sudah berlangsung 23 siklus. Sejak Januari 2009, memasuki siklus ke-24.

Thomas Djamaluddin, Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika Lembaga Nasional Penerbangan dan Antariksa (LAPAN) Indonesia memprediksi puncak siklus ke-24 terjadi pada Mei 2013.

Siklus matahari muncul naik turun. Pada satu waktu tertentu, ada dalam kondisi minimum. Suatu ketika maksimum yang ditandai dengan banyaknya bintik matahari, disertai dengan kejadian-kejadian yang fenomenal, seperti angin matahari, dan erupsi matahari. Nah, erupsi matahari inilah yang kerap disebut sebagai ledakan matahari, yang bisa berdampak besar terhadap kehidupan di bumi.

Erupsi matahari ada dua jenis, yakni flare dan pelontaran massa korona alias Coronal Mass Ejection (CME). Kedua jenis ini merupakan aktivitas pelepasan energi tinggi dan seketika yang tersimpan dalam medan magnetik matahari. Pelepasan ini mengakibatkan ledakan hebat dan berdampak signifikan ke bumi.

Garis-garis medan magnetik matahari muncul dari dalam matahari melalui lengkungan-lengkungan loop pada korona matahari. Dengan berotasinya matahari, loop-loop ini mengalami puntiran, saling bertaut, tertarik, menyimpan sejumlah besar energi.

Ketika tertarik terlalu kuat, loop-loop tersebut seketika saling terlepas, menyesuaikan dirinya lagi, lalu membangkitkan ledakan yang sangat dahsyat. Sebagian energinya dilepaskan sebagai semburan radiasi, yang disebut sebagai flare. Cahaya tampak dan ultraviolet flare yang dalam delapan menit sampai ke bumi. Dampaknya, terlukanya astronot yang tanpa pelindung, satelit dan jaringan komunikasi rusak, hingga suhu bumi memanas.


Tulisan 3:

ENERGI MATAHARI

Ketika Matahari Kelak Padam


Matahari adalah bola gas raksasa berisi helium dan hidrogen. Para ilmuwan meyakini, material matahari terbentuk dari ledakan bintang generasi pertama pada 4,6 miliar tahun lalu. Kepadatan massa matahari 1,41 berbanding massa air. Jarak matahari ke bumi sekitar 148 juta kilometer.

Sumber energi matahari berasal dari reaksi thermonuklir. Walhasil, energinya akan terus berkurang, dan pada akhirnya habis. Saat itulah, matahari akan padam. Dan, ini adalah kematian semua makhluk hidup di bumi.

Kapan ini terjadi? Fisikawan Amerika kelahiran Jerman, Hans Bethe, memperkirakan, reaksi thermonuklir di matahari kemungkinan masih akan bertahan dalam 10 miliar tahun lagi. Di perjalanan menuju titik nadirnya, matahari akan terus melepas hidrogen, termasuk ke bumi. Akibatnya, suhu bumi akan terus memanas hingga oksigen menipis, dan air tak tersisa. Kehidupan pun akan sirna. Pada saat matahari kehabisan hidrogen, maka reaksi thermonuklir benar-benar berhenti, dan matahari pun mati.

Read More......

Rabu, 10 November 2010

PKI, dan Mengapa Obama ke Universitas Indonesia

0 komentar


Share

by Danto

Pada sejarah, kita belajar betapa bertali-temalinya peristiwa. Pada sejarah pula, kita bisa mengetahui betapa masa kini adalah hasil dari masa lalu. Kedatangan Obama ke Indonesia, 9-10 November 2010, salah satunya ke Universitas Indonesia, juga menampakkan gejala ini. Kunjungan Obama ke Universitas Indonesia, bisa dilihat dari serentetan panjang sejarah pergulatan Indonesia-Amerika. Tentu, ada tafsir lain soal Obama ke Universitas Indonesia ini.


Sejarah ini bermula pada masa Perang Dunia II. Pada Februari 1945, Konferensi Yalta memutuskan Eropa menjadi dua blok besar: Eropa Barat dan Eropa Timur. Eropa Barat ada di bawah komando Amerika Serikat, pemenang perang Dunia II. Eropa Timur di gerbong Uni Soviet.

Setelah Perang Dunia II, Uni Soviet berhasil mengembangkan pengaruh ke negara-negara di sekitar, terutama Eropa Timur, hingga pelosok bumi, juga pedalaman Jawa di kemudian hari. Ini terbukti dengan berkuasanya partai komunis di negara-negara tetangganya. Antara lain Hongaria, Polandia, Rumania, Bulgaria, dan terakhir Cekoslovakia (kini pecah menjadi Republik Ceko dan Republik Slovakia). Kokoh sudah pagar negara yang dibangun Uni Soviet di Eropa membendung pengaruh kapitalisme ala Amerika Serikat.

Di Asia, pengaruh komunis juga menyebar: China (Tiongkok) jatuh ke kubu komunis. Masuknya Yunani dan Turki pada 1947 dalam daftar infiltrasi komunis kian membuka gerbang ke Asia. Dari sini, kita tahu muncul teori domino effect ala Presiden Harry S. Truman: komunis bisa menyebar ke seluruh jagat jika tidak diantisipasi. Teori ini kita kenal sebagai Truman Doctrin.

Doktrin ini kemudian menjadi pedoman politik luar negeri AS selama 40 tahun berikutnya. Inti doktrin ini adalah policy of containment (kebijakan pembendungan) atau mengisolasi Uni Soviet secara politik dan ideologi, dan AS akan menghadang komunisme di manapun di seluruh dunia.

Pada 12 Maret 1947, Presiden Truman meminta persetujuan Kongres AS untuk memberikan dana kepada Yunani dan Turki sebesar US$ 400 juta. Dana untuk membantu program pencegahan komunis.

Pada Juni 1947, AS juga menyusun Marshall Plan: otaknya Menteri Luar Negeri AS, George Marshall. Rencana ini melengkapi Doktrin Truman untuk membendung upaya Uni Soviet mempengaruhi negara-negara Eropa yang kesulitan finansial pasca Perang Dunia II. Di luar proposal Truman, Kongres AS menyetujui dana US$ 12 miliar untuk program Mashall Plan.

Betapa digdayanya tentakel adi kuasa. Pengaruh Truman Doctrin dan Marshall Plan, juga sampai ke Indonesia. Menguatnya golongan kiri di masa kemerdekaan, semacam Musso, Amir Syarifuddin Harahap, hingga petinggi tentara, membuat Amerika Serikat benar-benar khawatir. Pada 21 Juli 1948, berlangsung pertemuan rahasia di hotel "Huisje Hansje" Sarangan, dekat Madiun. Juha hadir Sukarno, Mohammad Hatta, Sukiman, Menteri Dalam Negeri Mohamad Rum dan Kepala Polisi Sukanto.

Wakil Amerika hadir Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), dan Merle Cochran (wakil Amerika dalam Komisi Jasa Baik PBB). Di awal 1950-an kemudian, Merle Cochran menjadi Duta Besar Amerika Serikat di Indonesia.

Dari sini muncul kesepakatan Indonesia menerima proposal "Red Drive Proposal" (proposal pembasmian kelompok merah) yang disampaikan Amerika. Sebagai “imbalan” kesediaan Indonesia membasmi komunisme di Indonesia, pemerintah kita mendapat kucuran dana sebesar US$ 60 juta. Dana ini untuk membantu kepolisian RI. Dan, kita tahu, pada September 1948, meletus peristiwa Madiun Affairs. Politik golongan kiri Indonesia menjadi kambing hitam. Orde Baru menyebut peristiwa sebagai Pemberontakan PKI Madiun.

Kuatnya nuansa revolusi, tak membuat gerakan politik memberangus kelompok kiri di Indonesia padam. Cara lain ditempuh: melalui pengkaderan di jalur pendidikan. “Sudah sejak lama pendidikan adalah perpanjangan tangan alat negara”.

Dean Rusk mengatakan hal itu pada 1952. Rusk menyatakan itu beberapa bulan sebelum dia mengundurkan diri dari Asisten Menteri Dalam Luar Negeri AS untuk Seksi Timur Jauh, untuk kemudian memimpin Rockefeller Foundation. Institusi terakhir adalah lembaga filantropis. Bersama Ford Foundation, di kemudian hari, lembaga ini banyak memberi beasiswa untuk mahasiswa-mahasiswa Indonesia.

“Agresi Komunis” mengharuskan tidak hanya agar orang-orang Amerika dilatih menghadapinya di sana (di Timur Jauh), “Tetapi kita juga harus membuka fasilitas-fasilitas pelatihan untuk menambah jumlah kawan-kawan kita di seberang lautan Pasifik”.

Maka, mengutip penulis David Ransom, lewat Ford Foundation dan Rockefeller Foundation, Amerika menggandeng Soemitro Djojohadikusumo, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia generasi awal. Melalui tangan dingin Soemitro, lahir profesor-profesor ekonomi Indonesia yang kelak berjaya di masa Orde Baru. Bersama Soemitro, dua lembaga filantropis itu menggaet sejumlah universitas Amerika Serikat: Massachusetts Institute of Technology (MIT), Cornell University, Berkeley University, dan Harvard University.

Tujuannya, untuk mencetak pemerintahan Indonesia menjadi para administrator modern yang secara tidak langsung bekerjasama dengan Amerika. Dalam istilah Ford, “para elit pembaharu” (modernizing elit). Soemitro mengirimkan sejumlah mahasiswa ke sejumlah universitas itu, bertahap sejak awal medio 1950-an hingga awal 1960-an.

Kita tahu, ada sejumlah lulusan universitas ini yang kemudian memegang peranan penting dalam ekonomi Indonesia. Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, J.B. Soemarlin, Saleh Afif, Subroto, hingga Mohammad Sadli. Geng ini yang kemudian terkenal dengan sebutan sinis: Mafia Berkeley.

Pada Majalah Tempo, edisi pekan pertama Oktober 2001, Suzanne E. Siskel, perwakilan Ford Foundation di Indonesia, tak menampik adanya kasus organisasi yang menerima dana dari Ford dan CIA sekaligus pada periode 1950-an dan 1960-an. Menurut Siskel, alumni program Ford memang memegang peran penting dalam pemerintahan Soeharto. (Majalah Tempo, “Sang Dermawan Berwajah Ganda?”, edisi 01 Oktober 2001).

Masih dalam artikel yang sama di Majalah Tempo, Mohammad Sadli, salah satu penerima beasiswa dari Ford, mengaku tak punya beban dengan tudingan semacam itu. "Kalaupun guru saya seperti Paul Samuelson adalah CIA, saya tidak peduli dan malah bangga. Soalnya, Samuelson itu pemenang Nobel," kata Sadli.

Melalui gerakan politik yang menggemparkan pada medio 1960-an, Soeharto naik ke tampuk kekuasaan menggeser Sukarno: penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI). Hasil disertasi Bradley R. Simpson, saat membuat disertasi doktoralnya di Universitas George Washington University, menunjukkan, peristiwa ini bersinggungan dengan kebijakan Amerika ketika itu, lewat Central Intelligence Agency (CIA) (Simpson, Bradley, “CIA Stalling State Department Histories: Archieve Posts one of two disputed volumes on web, State Historians conommunists to Indonesian Army, Which killed at least 105,000 in 1965-66”).

Banyak dokumen lain yang menyebut keterlibatan AS di Indonesia pada periode itu. Silakan telusuri tulisan-tulisan Peter Dale Scott, profesor di University of California, Berkeley, tentang The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967. Karya Dale Scoot ini pernah dipublikasikan dalam artikel Pacific Affairs, 58, pada Musim Panas 1985. (Scott, Peter Dale, “The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967”, Pacific Affairs, 58, Summer 1985, pages 239-264).

Sebagai perbandingan, ada pula ulasan dari Kathy Kadane soal peran CIA di Indonesia pada periode tersebut. Kadane yang mewawancarai tokoh-tokoh Amerika Serikat pada periode medio 1960-an, seperti mantan Direktur CIA pada masa tersebut: William Colby, mengungkapkan bagaimana peran pentingnya AS dan CIA dalam politik Indonesia. (Kadane, Kathy, “Ex-agents say CIA complied death lists for Indonesians: After 25 years, Americans speak of their role in exterminating Communist Party”. States News Service, 1990).

Ada pula tulisan wartawan The New York Times, Tim Weiner, yang menulis tentang keterlibatan Adam Malik yang disebut sebagai agen CIA di Indonesia (Weiner, Tim, “Legacy of Ashes: the History of the CIA”, New York: Doubleday, 2007. Versi Bahasa Indonesia: Weiner, Tim, “Membongkar Kegagalan CIA: Spionase Amatiran Sebuah Negara Adidaya”, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008). Jika ingin memperkaya bacaan, silakan baca Buku Dalih Pembunuhan Massal karya John Rossa, yang menyingkap misteri Gerakan 30 September 1965, siapa-siapa saja yang terlibat, mulai dari tokoh-tokoh central Partai Komunis Indonesia (PKI), operasi tentara, Amerka, hingga CIA (Rossa, John, “Dalih Pembunuhan Massal”, Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008).


Di Indonesia, hampir semua tulisan-tulisan mereka menjadi kontroversi. Saya tak bermaksud mengangkat kembali kontroversi itu. Tulisan ini hanya untuk menyajikan sudut pandang dan perspektif sejarah yang berbeda.

Dari peristiwa yang menggemparkan medio 1960-an itu, Soeharto dan gerbong ekonom Universitas Indonesia membawa gerbong ekonomi dan politik Indonesia berhaluan “kanan”, berputar 180 derajat dari kebijakan Sukarno yang cenderung berhaluan kiri. Sejak saat itu, pemerintah Orde Baru mengeluarkan berbagai paket kebijakan deregulasi yang pro pasar.

Pada 3 Juli 1968, Soeharto yang sudah naik tahta ke kursi Presiden meneken Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Undang-Undang ini sekaligus melengkapi peranan modal asing yang sudah mulai diatur dalam UU No 1 Tahun 1967.

Salah satu perusahaan Amerika Serikat yang menikmati kekayaan Indonesia imbas liberalisasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 adalah masuknya Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc sejak akhir 1967. Salah satu Board di Freeport ketika itu adalah Henry Alfred Kissinger. Pada masa itu, Kissinger juga menjadi Menteri Luar Negeri pada masa Presiden Richard Nixon, kemudian berlanjut di masa Presiden Henry Ford.

Di kemudian hari, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 mengalami perubahan dengan terbitnya UU Nomor 11 Tahun 1970 yang lebih meliberalkan modal asing di dalam negeri. Dan yang terpenting, Soeharto begitu dekat kepada Amerika.

Salah satu contohnya, terekam dalam dokumen Gedung Putih tertanggal 26 Mei 1970. Itu terjadi ketika Soeharto mengunjungi Gedung Putih di Washington. Dalam dokumen Gedung Putih berkategori TOP SECRET/SENSITIVE tentang MEMORANDUM OF CONVERSATION, tertanggal 26 Mei 1970, itu terungkap, pembicaraan tiga orang penting (tripartit): Presiden AS Richard Nixon, Menteri Luar Negeri Henry Kissinger, dan Presiden Soeharto. Intinya, Soeharto minta arahan Amerika dan melaporkan program penumpasan PKI di Indonesia (http://www.gwu.edu/~nsarchiv/NSAEBB/NSAEBB242/index.htm).

Hingga kini, kebijakan Indonesia berhaluan pasar. Juga, geng ekonom Universitas Indonesia tetap menguasai posisi-posisi kunci ekonomi strategis di pemerintahan Indonesia. Dan, Obama tahu, menyambangi Universitas Indonesia, sama dengan meneruskan kaderisasi apa yang sudah dilakukan sejak masa Perang Dunia Kedua.

Read More......

Minggu, 07 November 2010

Cerita Dalam Sepotong Nama

0 komentar


Share

Nama, bagi saya adalah persoalan sederhana, sekaligus ruwet. Pada nama, tersimpan sebuah identitas kultural, kelas, dan ego. Di negeri ini, nama juga adalah sebuah improvisasi dan harapan.

Pak Sukemi, menyematkan bayi Sukarno kecil dengan nama Kusno. Jika saja si bayi kecil ini tak sakit-sakitan, barangkali kita tidak pernah tahu ada manusia pemberani dengan nama besar: SUKARNO.

Pada suatu hari di tahun 1912 yang sendu, Kusno kecil terserang thypus hebat. Hampir 75 hari, bocah 11 tahun ini tidak bangun dari tidurnya, terbaring di bilah-bilah bambu yang reyot. Seluruh kerabat menyangka Kusno berada dalam tubir kematian. Di atas lantai semen yang lembab, bertikar alas pandan nan kusut, Sukemi menunggui Kusno di bawah bilah-bilah bambu itu.

Dan kita tahu, Sukemi kemudian menyematkan nama Soekarno mengganti Kusno, pada usia 14. Sukemi adalah pengagum legenda Mahabharata. Karna adalah tokoh pemberani di epik ini. Su, dalam bahasa Jawa, berarti baik. Dalam bahasa Jawa, “A” akan menjadi “O”. Dan Sukarno adalah nama improvisasi dari Kusno.

Pada nama, juga terkandung impian. Sukemi berharap, perubahan nama Kusno menjadi Sukarno menjadikan si bocah kecil ini tidak sakit-sakitan, dan bisa menjadi pemimpin bangsanya sebagaimana Karna dalam epos Mahabharata.

Di negeri ini, nama juga adalah sikap politik. Kita tahu, ada nama Njoto, Njono, dan juga Rewang dalam jajaran elit Politbiro Partai Komunis Indonesia (PKI). Njoto dan Njono memilih nama ini karena erat berhubungan dengan kelas rendah, kasta proletar di Jawa. Mereka tak mau memakai sebutan “Su”, misalnya. Alasannya sederhana saja: kata “Su”, kerap dipakai oleh priyayi Jawa.

Di negeri ini, terutama di Jawa, nama juga adalah sebuah kelas. Bangsawan Jawa tak segan menyebut sederet nama gelar di depan namanya. Ini untuk menambah wibawa, juga sebagai hiasan untuk menonjolkan pangkatnya. Dengan demikian, akan bertambah juga wibawanya.

Juru tulis sebuah kantor karesidenan, ujar Pramoedya Ananta Toer, akan menamakan dirinya dengan kata Sastra. Bisa Sastra Diwirya, yang berarti juru tulis yang tegas. Atau Sastra Disastra, yang berarti kepala juru tulis dari juru tulis. Priyayi pengairan suka memberi namanya dengan awalan Tirta. Maka Tirtanata akan berarti pejabat yang mengatur perairan.

Di negeri ini, teori kelas dalam nama memang begitu kental. Pada 5 November 2010 lalu, Kepala Adat Suku Talimba di Saumlaki, Maluku, tergopoh-gopoh menyematkan gelar tertinggi suku mereka kepada Wakil Presiden Boediono. Gelar yang sungguh capek bila diucapkan: Mel Ratan Ken Tnebar Barataman. Artinya: bangsawan tertinggi dan luhur serta orang dituakan yang datang dari barat.

Di Suku Bugis, ada nama Andi sebagai identitas kelas bangsawan. Di suku Makassar, ada gelar Daeng untuk menunjuk pribadi keturunan darah biru. Pada bangsawan Melayu, ada gelar Maharaja untuk gelar pemimpin laki-laki. Ada nama Maharani untuk gelar pemimpin putri.

Pada Rubrik Catatan Pinggir Majalah Tempo, edisi 5 September 2010, sastrawan Goenawan Mohammad menulis hikayat nama. Pelukis Djoko Pekik - seorang perupa Lekra yang datang dari sebuah desa Jawa Tengah yang miskin, tulis GM, sebutan Goenawan Mohammad, memberi nama anak dan cucunya dengan sebutan sehari-hari yang tak dipedulikan orang, mungkin bahkan disisihkan: Pakuril ("paku rel kereta api"), Lugut ("miang pada bambu"), Drejeg Lalang ("umbi alang-alang").

Sastrawan Bur Rasuanto lain lagi. Sadar posisinya sebagai sastrawan, untuk anaknya ia memodulasi nama dari bentuk-bentuk sastra: Legendariya dan Mitologenta.

Nama juga adalah sebuah penanda. Tetangga saya di kampung, menamakan anaknya dengan sebutan Dina Meilana. Panggilannya Mei. Arti sederhananya: Dina dalam bahasa jawa adalah hari. Mei adalah nama bulan, dan Lana adalah kependekan dari kelana, berkelana. Ketika Mei lahir, bapaknya sedang berkelana menjadi pendatang di Jakarta untuk sekedar menjadi buruh bangunan.

Teman saya yang lain, menamakan bayinya dengan sebutan Kliwon. Lahir hari Ahad Kliwon. Huruf K pada awal namanya adalah penanda dia lahir hari Ahad. Di kampung saya, hari lahir bayi bisa dicirikan dari huruf awal namanya. Kasdi, ia lahir hari minggu Legi. Huruf K menandakan hari Minggu, hari Legi dalam perhitungan Jawa bisa diwakili dengan total nama yang dia sandang. Legi, sama dengan Manis, terwakili dengan lima huruf. Jadi, hampir seluruh nama kelas rendah di Jawa yang feodal, akan punya nama singkat dan pendek.

Termasuk saya. Itu kenapa, saya hingga kini enggan masuk dalam kelompok Jawa. Bagi saya, suku Jawa adalah bangsa yang melanggengkan feodalisme. Secara geografis, tanah kelahiran saya masuk dalam area Jawa Tengah, salah satu sentra suku Jawa. Tapi, secara budaya, saya lebih memilih Jawa Barat: Pasundan. Pada bangsa Sunda, saya melihat ada egaliter, tak menonjolkan ke-Aku-an feodalisme.

Itu sebabnya, ketika membuat akun Facebook, saya memilih nama dengan nama belakang Tea. Ini berasal dari Bahasa Sunda. Ia adalah sebuah kata penunjuk seperti kata the dalam bahasa Inggirs. Tidak berarti apa-apa, dan tidak bermakna feodal. Juga tetap mencirikan nama saya yang berlatar feodal. Ini semata untuk menampung aspirasi sejumlah teman yang meminta saya membubuhkan nama belakang.

Belakangan, muncul niat melanggengkan nama ini, termasuk ke pengadilan negeri untuk di akta-kan. Satu alasannya, ada beberapa tulisan saya yang dikutip dengan nama plus Tea. Saya ingin berusaha konsisten. Dan, saya sudah tes untuk mempopulerkan nama itu di tempat kerja saya. Reaksinya macam-macam. Ada yang menganggap biasa, ada pula yang bertanya. Ada pula yang menganggap saya main-main. Dasarnya, karena terkadang saya becanda, lain waktu sangat serius.

Kalau sudah begini, rasanya kita layak menggugat ungkapan William Shakespeare dalam lakon Romeo and Juliet: What is the name? Apalah arti sebuah nama.

Sejak lakon romantis ini dipentaskan pada 1597, kata-kata itu terus direproduksi dalam berjuta-juta percakapan, juga pentas. Tiap kali orang kerepotan karena soal nama, maka meluncurlah kata sakti itu: nama bukan soal penting. Juliet Capulet dan Romeo Montague bisa saling mencintai, meskipun Capulet dan Montague lain bermusuhan.

What’s Montague? It is nor hand, nor foot,
Nor arm, nor face, nor any other part
Belonging to a man.

Lalu, apa pendapat sodara?

Read More......

Jumat, 07 Mei 2010

Sri Mulyani, Bank Dunia, SBY, dan Pasar

0 komentar


Share

Keputusan Sri Mulyani bergabung dengan Bank Dunia setidaknya menjawab pertanyaan sejumlah pihak selama ini. Lepas dari kasus yang melilitnya di dalam negeri, perginya Sri Mulyani ke lembaga keuangan dunia itu menjadi pertanda baru bahwa ada hubungan erat antara Sri dengan Bank Dunia selama ini.

Saya tidak hendak menulis sisi politik yang tengah berkecamuk menghantam Sri Mulyani. Juga tak hendak mempersoalkan kepergian Sri Mulyani bergabung dengan Bank Dunia. Hak setiap orang untuk bekerja di mana pun. Yang hendak saya tulis adalah, korelasi antara kebijakan ekonomi di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika Sri Mulyani bergabung pada posisi-posisi kunci perekonomian, dengan kebijakan-kebijakan Bank Dunia selama ini.

Sudah sejak lama banyak pihak menuding Sri Mulyani sebagai antek Bank Dunia, juga Dana Moneter Internasional (IMF) yang menjalankan agenda-agenda neoliberalisme yang berorientasi kepada pasar. Tudingan ini muncul lantaran menganggap Sri Mulyani bersama dalam satu gerbong dengan ekonom-ekonom didikan Widjojo Nitisastro, semacam Emil Salim, M. Sadli, dan beberapa ekonom lain.

Ekonom-ekonom inilah yang banyak disebut sebagai Kelompok Mafia Berkeley. Pada mereka, banyak yang menuduh kebijakan ekonomi Indonesia yang menurut Undang-Undang Dasar 1945 disebut sebagai Ekonomi Kerakyatan, dibengkokkan menjadi berhaluan pasar.

Dalam “perdebatan” komentar di status facebook Farid Gaban (senior saya), sang empunya status berkomentar: “Visi Sri Mulyani jelas WB-minded, yang makin terkonfirmasi sekarang, pelaksana patuh blue-print ekonomi World Bank.”

Sejarah ekonomi Indonesia memang tidak lepas dari pengaruh Bank Dunia dan IMF. Sejak peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto pada 1967, orientasi kebijakan ekonomi Indonesia sangat pro kepada kedua lembaga keuangan dunia tersebut. Bahkan, hingga kini.

Bank Dunia lahir di kampung kecil: Bretton Woods. Di desa kecil di New Hampshire, Amerika Serikat, inilah jabang bayi lembaga keuangan dunia mbrojol. Atas prakarsa Amerika Serikat, pada 22 Juli 1944, ada 44 negara yang menghadiri konferensi paling penting pada abad ke-20: “The Bretton Woods Conference“.

Di konferensi inilah disepakati lahirnya triumvirat yang kelak banyak mempengaruhi kebijakan ekonomi dunia: Bank Dunia, Dana Moneter Internasonal (IMF), dan General Agreement in Tariffs and Trades (GATT) yang lahir kemudian pada 1947. GATT pada 1994 berubah nama menjadi World Trade Organization (WTO).

Bank Dunia, pada dasarnya adalah lembaga pemberi utang multilateral yang sesungguhnya terdiri atas empat lembaga keuangan yang saling berkaitan, yakni Bank Internasional untuk Rekonstruksi (IBRD), Asosiasi Pembangunan Intemasional (IDA), Korporasi Keuangan Internasional (IFC), dan Lembaga Penjamin Investasi Bilateral (MIGA). IBRD ini, yang lebih sering disebut sebagai Bank Dunia, tugas utamanya adalah memberi utang pada negara berkembang.

Awalnya, Bank Dunia mempunyai misi sebagai lembaga internasional yang membantu mengurangi kemiskinan dan membiayai investasi untuk pertumbuhan ekonomi. Namun, berbagai program Bank Dunia seperti 'Structural Adjustment Programme' kemudian melenceng dari misi utamanya 'sebagai lembaga demokratis maupun lembaga yang membantu mengurangi kemiskinan'.

Istilah Structural Adjustment Programme' kemudian dipopulerkan oleh ekonom Robert Fitzgerald dalam buku The State and Economic Development (1994). Disebut melenceng, karena kemudian kebijakan ini tidak lagi berorientasi pada pengentasan kemiskinan, melainkan sangat pro pasar.

Perubahan radikal kebijakan Bank Dunia dari banking on the poor ke orientasi pasar terjadi pada masa peralihan kekuasaan kursi tertinggi Bank Dunia dari Robert McNamara ke tangan Tom Claussen pada 1981. Tom, bekas Direktur Bank of America, lebih banyak menjalankan agenda-agenda perubahan yang lebih berorientasi pada pasar, hingga kini.

Sebagai pembanding, saya sedikit mengintip risalah buku karya Sebastian Mallaby, Wartawan Washington Post, berjudul The World’s Banker. Buku terbitan Council on Foreign Relations, Penguin Press, pada Oktober 2004 ini tampak berisi program-program mulia dari Bank Dunia. Misalnya, seperti membantu rekonstruksi Bosnia pasca perang, membantu mengatasi penyebaran penyakit AIDS, hingga membantu krisis di Asia pada 1997. Namun, tampak pula bahwa Mallaby seperti menjadi juru bicara Bank Dunia.

Kini, Presiden Bank Dunia dijabat oleh Robert B. Zoellick, mantan Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta dan juga bekas Kepala Perdagangan Amerika Serikat (USTR). Menilik latar belakangnya yang selama ini banyak memperjuangkan perdagangan bebas, termasuk pembicaraan-pembicaraan perdagangan bebas dengan Indonesia, saya agak pesimistis jika Zoellick benar-benar mengemban tugas “kemanusiaan” semata dari Bank Dunia.

Terlebih, yang menitahkan Zoellick ke Bank Dunia adalah (bekas) Presiden George Bush, Republikan yang konservatif itu. Hingga saat ini, sebagai share holders paling besar, Amerika Serkat memang memiliki hak istimewa untuk selalu menempatkan orangnya di Bank Dunia. Meskipun di era terkini, Presiden Barrack Obama menjanijkan akan mengubah tradisi tersebut. Benar tidaknya, kita lihat saja.

Adapun negara-negara berkembang, memiliki jatah satu hingga dua orang duduk sebagai Managing Director di Bank Dunia. Sebagai syaratnya, haruspernah menjadi menteri. Dan, di Indonesia Sri Mulyani lah yang paling layak menempati posisi itu. Selain memiliki profesionalitas, Sri juga sudah dekat secara emosional dengan lembaga tersebut.

Meski demikian, sebagai pemegang shareholders terbanyak, Amerika Serikat pasti memiliki agenda mengolkan semua tujuannya. Untuk ini, Sri Mulyani mau tidak mau harus ikut agenda itu.

Menilik ini, sangat dimungkinkan tetap saja Zoellick akan mengemban misi pasar ala Amerika, yang tidak jauh dari pinjam meminjam uang dalam skala raksasa.

Contoh paling dekat adalah, atas prakarsa Sri Mulyani, Bank Dunia mengabulkan pinjaman dari Pemerintah Indonesia sejumlah US$ 1,263 miliar yang akan cair dalam waktu dekat. Saat ini, utang Indonesia ke Bank Dunia yang dikonversikan sekitar Rp 243,7 triliun.

Apalagi, dalam sejarahnya, Bank Dunia memang fokus menalangi utang dan pinjaman, meski dalam akta pendiriannya menjalankan program pengentasan kemiskinan. Pada masa awal 1980-an, misalnya, betapa dominannya peran Bank Dunia ketika krisis gobal merebak di negara-negara berkembang, terutama di Amerika Latin. Pada masa ini pula paham kanan baru, atau biasa disebut dengan julukan Neo Liberalisme, berkembang.

Untuk menangulangi krisis inilah, Bank Dunia, bekerja sama dengan Departemen Keuangan Amerika Serikat dan IMF, meluncurkan paket ekonomi bernama paket kebijakan Konsensus Washington.

Bekas Direktur Bank Dunia Joseph Stiglitz, yang paham betul peristiwa itu, dalam buku terkenalnya Globalization and Its Discontens (2002, Penguin Books) menggambarkan ada empat hal penting dalam paket Konsensus Washington. Pertama, pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai bentuknya. Kedua, pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan. Ketiga, pelaksanaan liberalisasi sektor perdagangan. Keempat, pelaksanaan privatisasi BUMN.

Sejarah mencatat, penerapan paket-paket inilah yang kemudian membuat banyak negara berkembang terlilit utang, termasuk Indonesia. Bahkan, Meksiko ambruk pada 1982 akibat terlilit utang dan krisis.

Di luar itu, paket-paket Konsensus Washington ini pula yang menyebabkan berondongan paket-paket deregulasi yang sangat berorientasi pasar. Di Indonesia, pada dekade 1980-an itu sungguh menggurita paket-paket deregulasi. Dengan deregulasi, proses liberalisasi pasar pun mengalir deras.

Mulai 1983, bersama ekonom Widjojo Nitisastro cs, pemerintah Orde Baru secara beruntun menempuh langkah-langkah deregulasi. Ini terjadi hampir di semua sektor, baik moneter, perdagangan luar negeri, maupun industri. Pada Juni 1983, misalnya, pemerintah Orde Baru mulai menderegulasi sektor perbankan. Akibatnya, banyak bermunculan bank-bank baru.

Selanjutnya pada 1985, Soeharto kembali menerbitkan Inpres Nomor 4 tanggal 4 April 1985. Isinya cukup menggebrak, yakni mengalihkan sebagian peran Direktorat Jenderal Ditjen Bea dan Cukai kepada Societe Generale Surveilance (SGS), dan membebaskan arus perhubungan laut antar pulau.

Pada 1986, pemerintah Orde Baru kembali menerbitkan paket deregulasi yang dikenal dengan sebutan Paket 6 Mei. Isinya membebaskan sebagian produsen eksportir untuk mengimpor langsung kebutuhan impor mereka.

Di tahun yang sama, pada 25 Oktober 1986, pemerintah menerbitkan keputusan yang membebaskan sebagian barang impor dari pemberlakuan tata niaga (non-tarif barrier). Kemudian pada 1987, pemerintah kembali menerbitkan keputusan yang sejalan dengan keputusan tanggal 25 Oktober 1986.

Dan yang tidak akan kita lupa adalah Paket Oktober 1988, yang kemudian dikenal dengan sebutan Pakto '88. Paket terakhir ini makin mengukuhkan mainstream ekonomi Indonesia ke arah liberalisasi pasar. Bank-bank bermodal kecil kian menjamur.

Pelaksanaan lebih massif paket-paket Konsensus Washington menemukan momentumnya setelah Indonesia dilanda krisis moneter pada pertengahan 1997. Menyusul kemerosotan nilai rupiah, Pemerintah Indonesia kemudian secara resmi mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF, pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington melalui penanda-tanganan Letter Of Intent (LOI).

Salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, yang sekaligus memberi peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell, Total, dan Petronas. Begitu juga dengan kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya Indosat, Telkom, BNI, PT. Tambang Timah, dan Aneka Tambang.

Dan, yang paling penting adalah penerapan agenda-agenda Paket Konsensus Washington di masa pemerintahan Presiden SBY. Mari kita merunut ke awal SBY naik tahta yang praktis efektif pada awal 2005. Pemerintahan awal SBY dengan gerbong tim ekonominya, atas prakarsa Sri Mulyani, nyata-nyata mengadopsi isi paket Konsensus Washington.

Pengumuman penting itu terjadi di tahun pertama SBY berkuasa. Pada 30 Agustus 2005, SBY mengumumkan empat paket ekonomi. Pertama, di bidang energi, pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada Oktober 2005 dan mengurangi subsidi BBM secara bertahap. Kedua, di bidang moneter, pemerintah dan Bank Indonesia mengeluarkan sejumlah kebijakan, antara lain dengan kenaikan suku bunga dan kenaikan giro wajib minimum.

Ketiga, di bidang fiskal, pemerintah telah menetapkan tiga sumber pembiayaan untuk menutup defisit anggaran. Sumbernya: melalui utang dengan cara penerbitan surat utang negara (SUN) dan juga obligasi internasional, privatisasi BUMN dan divestasi PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) serta pinjaman luar negeri baik bilateral maupun multilateral. Untuk kebijakan ekonomi keempat di bidang investasi, Presiden meminta prosedur perizinan investasi dipermudah.

Perhatikan empat paket kebijakan itu. Bandingkan dengan paket-paket Konsensus Washington. Sebagian besar sama, bukan? Soal pengurangan subsidi BBM, pemerintah perlahan-lahan mencabut subsidi itu. Kebijakan ini menimbulkan kontroversi. Salah satu kritik keras adalah: subsidi BBM untuk rakyat kecil dicabut, subsidi untuk bankir (bailout Bank Century yang dilakukan oleh Sri Mulyani) digelontorkan dengan nilai jumbo Rp 6,7 triliun. Saya tak akan masuk pada kontroversi itu.

Soal privatisasi, misalnya, kita tahu, betapa agresifnya pemerintah menjual (memprivatisasi BUMN). Sejak pemerintahan Yudhoyono, betapa meledaknya agenda privatisasi BUMN. Pada 2008 saja, Komite Privatisasi BUMN menyetujui privatisasi 44 BUMN. Untuk tahun 2010 saja, pemerintah sudah menyiapkan tiga BUMN yang akan dilepas ke pasar: PT Krakatau Steel, PT Garuda Indonesia, dan PT Pembangunan Perumahan (PP).

Tiga BUMN lain yang segera menyusul adalah PT Waskita Karya, PT Adhia Karya, PT Bank Tabungan Negara. Di luar itu, masih ada 14 BUMN lain yang siap dilego.

Kini, Sri tinggal menghitung hari menuju Bank Dunia. Beberapa media massa Indonesia terbitan Kamis (6 Mei 2010) menulis headline dengan beragam sudut (angle). Harian Kontan menulis: Sri Mulyani Mundur Akibat Kompromi Politik. Ini terkait erat dengan skandal Bank Century yang tengah dihadapi Sri. Kompas menulis berita utama: Sri Mulyani Dinilai Sukses. Koran Tempo menulis Kekalahan Istana. Media Indonesia: SBY Lepas Sri ke Bank Dunia. Indopos: SBY Lepas Anak Emas.

Saya tidak akan menghujat, apalagi mencerca kebijakan SBY, juga Sri Mulyani. Sebab saya belum merasakan seperti apa rasanya ada di posisi SBY, juga Sri Mulyani. Soal resep lain di luar kebijakan SBY? Lain waktu kita berbagi..Hehehe...


Bekasi, 6 Mei 2010

Read More......

Kamis, 22 April 2010

Sebuah Candu Bernama Utang

0 komentar


Share

“Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”

Cuplikan bait singkat itu adalah torehan emas dari legenda musik Indonesia: Koes Ploes. Pada syair itu, Indonesia tergambar sebagai negeri kaya raya. Tapi, itu dulu. Kini, masih layakkah Indonesia disebut sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi, toto tenterem kerta raharja?

Pertanyaan ini layak kita utarakan. Belakangan, hampir tak ada lagi kebanggaan ekonomi yang patut kita busungkan. Negeri ini sudah berdiri 65 tahun, waktu yang tak sedikit untuk membangun: menyejahterakan rakyat, katanya.

Tapi, untuk sekadar hidup dan menjalankan ekonomi, penguasa kita tak mampu memberikan surplus keuangan bagi negara. Utang negara segunung (Ini bukan lagi kata kiasan). Hingga akhir 2009, Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan mencatat utang Indonesia mencapai Rp 1.667 triliun (Ini catatan resmi dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan: http://www.dmo.or.id/dmodata/5Statistik/1Posisi_Utang/1Posisi_Utang_LN/Perkembangan_Utang_Negara_20090131.pdf ).

Jumlah ini setara dengan Rp 1,667 kuadriliun. Satu kuadriliun sama dengan angka satu dengan jumlah lima belas nol di belakangnya. Saya tak mampu membayangkannya. Betapa dahsyat!!

Jika uang itu dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 250 juta jiwa, didapat angka kira-kira 6,67 juta. Artinya, seluruh penduduk Indonesia, termasuk bayi yang baru lahir, kebagian jatah menanggung utang sebesar Rp 6,67 juta. Luar biasa!

Maka, tak salah jika Direktur Jenderal Pengelolan Utang Rahmat Waluyanto, dalam konferensi pers, Senin (19/4) lalu, dengan nada bergurau menyatakan: bahkan Gelora Bung Karno dengan luas 2.790.835 meter persegi (sekitar 2,79 kilometer persegi) pun tak mampu menampung utang tersebut.

Candaan Rahmat benar adanya. Dalam hitungan sederhana: satu meter persegi diisi oleh sekitar 90 lembar uang kertas Rp 1.000,-. Artinya, utang Rp 1.667 triliun dengan uang lembaran ribuan rupiah, bisa mengisi sekitar 18,5 triliun meter persegi alias sekitar 18,5 juta kilometer persegi. Angka ini sama dengan 6,63 juta kali luas Gelora Bung Karno. Jika dijejer dengan uang kertas ribuan rupiah, jumlah utang Indonesia juga sekitar 13 kali luas Pulau Jawa yang sekitar 138.793,6 kilometer persegi. Dahsyat!

Jumlah utang bakal makin gendut. Sebab, bakal ada tambahan utang yang sudah pasti cair dalam waktu dekat lewat skema pinjaman luar negeri. Total jenderal berjumlah US$ 3,208 miliar. Jumlah ini bertambah dari rencana semula yang sebesar US$ 2,444 miliar.

Pinjaman terbesar berasal dari Bank Dunia: US$ 1,263 miliar. Disusul Asian Development Bank (ADB) direncanakan meminjamkan US$ 700 juta, Japan International Cooperation Agency (JICA) US$ 300 juta, Perancis US$ 200 juta, dan sejumlah kreditur lain.

Jumlah itu belum menghitung calon-calon utang dalam bentuk pinjaman surat utang negara (SUN) dan aneka bentuk obligasi pemerintah lainnya.

Dalam sejarah panjang, negeri ini memang hidup dari pinjaman dan utang. Ketika penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar, di Denhaag, Belanda, akhir 1949, Indonesia kebagian beban utang Belanda sebesar 4,5 miliar gulden, atau setara US$ 4 miliar.

Peralihan dari Soekarno ke Soeharto pada 1967, mewariskan utang luar negeri sekitar US$ 2,1 miliar. Artinya, selama Soekarno berkuasa sepanjang 18 tahun (dihitung dari 1949), ada pengurangan utang sekitar US$ 1,9 miliar. Hebatnya, sejak Soeharto naik tahta, Indonesia jadi sangat doyan ngutang, hingga menjadi candu hingga kini. Selama Soeharto berkuasa, sejak 1967 sampai 1998, atau sekitar 31 tahun, utang luar negeri membengkak luar biasa. Total jenderal utang selama Orde Baru mencapai US$ 60 miliar atau setara Rp 600 triliun pada kurs Rp 10.000 per US$.

Labih dahsyat lagi, sejak Susilo Bambang Yudhoyono naik tahta pada 2004, utang Indonesia makin membengkak luar biasa. Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, pada 2004 utang luar negeri Indonesia sebanyak Rp 1.275 triliun. Jumlahnya terus naik pada 2005 sejumlah Rp 1.268 triliun, selanjutnya Rp 1.310 triliun (2006), Rp 1.387 triliun (2007), Rp 1.623 triliun (2008), dan hingga akhir 2009 sebesar Rp 1.667 triliun. Pada kurs Rp 10.000 per US$, jumlah total utang Indonesia mencapai sekitar US$ 166,7 miliar.

Artinya, selama lima tahun pertama pemerintahan Yudhoyono (2004-2009) saja, total utang Indonesia sudah bertambah Rp 392 triliun. Yakni, dari Rp 1.275 triliun menjadi Rp 1.667 triliun. Jika dirata-ratakan, selama periode pemerintahan pertama Yudhoyono, per tahun menangguk utang Rp 78,4 triliun. Bandingkan dengan selama 31 tahun Soeharto berkuasa: Rp 600 triliun. Artinya, per tahun, Soeharto “cuma” menangguk utang Rp 19,3 triliun. Itu berarti, pemerintahan Yudhoyono “sukses” menangguk utang empat kali lipat rezim Orde Baru. Dahsyat!

Sejak tahun 2004 sampai dengan 2008, pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri menunjukkan tren naik. Sejak awal masa pemerintahan Yudhoyono sampai September 2008 saja, total bunga dan cicilan pokok pinjaman luar negeri mencapai Rp 277 triliun. Sedang total penarikan pinjaman baru pada periode yang sama sebesar Rp 101,9 triliun.

Lantas, kemana uang-uang itu mengalir? Untuk pembangunan? Fakta-fakta temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan ketidakefektifan penggunaan utang. Kedua lembaga itu menyatakan, sejak 1967-2005, pemerintah baru memanfaatkan utang negara sebanyak 44% saja (www.mediaindonesia.com).

Sekadar catatan tambahan, APBN Indonesia pada tahun 2004 sebesar Rp 370 triliun. Jumlah ini meningkat tiga kali lipat menjadi sekitar Rp 1.000 triliun pada tahun 2009. Ajaibnya, peningkatan APBN yang disertai pembengkakan jumlah utang negara, ternyata tidak mampu mengurangi angka kemiskinan.

Jika pada 2004, jumlah penduduk miskin sebesar 36 juta jiwa, maka hingga Maret 2008 jumlah penduduk miskin masih diangka 35 juta jiwa (bahkan peneliti Universitas Indonesia memperkirakan 40 juta penduduk miskin pada Desember 2008). Ironis, memang. Anggaran kian gemuk, tapi kesejateraan tidak bertambah dan jumlah penduduk miskin tidak berkurang. Lantas, kemana anggaran gemuk hasil utang itu?

Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2007 menyebutkan, salah satu sumber kerugian keuangan negara terbesar adalah kebocoran APBN. KPK mencontohkan, pada tahun 2004 saja, kebocoran anggaran APBN mencapai 30%. Pada tahun 2005, terjadi penggelembungan (mark up) anggaran proyek pengadaan barang. Misalnya, untuk pengadaan PC (komputer), dianggarkan 15 juta per unit, padahal harga pasaran sekitar Rp 4 juta hingga Rp 5 juta-an per unit.

Laporan Indonesian Corruption Watch (ICW) juga menunjukkan, selama 2006 dan 2007 juga terjadi kebocoran APBN. Jika ingin lebih yakin, silakan juga telusuri hasil-hasil dokumen Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebagian besar, hasil audit kepada instansi anggaran kementerian dengan hasil disclaimer alias tanpa opini). Kemudian, jika kita tengok poin per poin penelusuran audit, maka terjadi penyimpangan pengunaan anggaran yang tidak seharusnya dilakukan pihak kementeriaan (lihat di bpk.go.id). Sungguh menyedihkan!

Jika memang lebih banyak mudharat ketimbang manfaat, lantas untuk apa pemerintah kita berutang?

Bisa jadi, nukilan lagu nina bobo sebelum tidur dari Koes Ploes itu saat ini cuma sekadar mitos. Selain utang menggunung, aset-aset bangsa kita juga kian musnah.

“Cabang-cabang ekonomi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara,” bunyi Pasal 33 Undang-Undang dasar 1945. Faktanya, hampir semua kekayaan negara kini sudah tergadaikan. Ini terutama di sektor pertambangan.

Betapa tak berkuasanya pemerintah terhadap aset bangsa ini tergambar dari ketidakberdayaan pemerintah menentukan hasil ladang gas di Blok Donggi-Senoro dijual ke pasar domestik. Hampir sebagian besar hasil gas dari blok tersebut untuk ekspor. Padahal, di saat bersamaan, industri dalam negeri juga kekuranga gas. Ironis.

Fakta lainnya, aset-aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perlahan tapi pasti lepas dari kontrol negara. Sehingga, lambat laun, hilang pula kewenangan negara mengontrol perekonomian untk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 tersebut.

Kita tahu, betapa agresifnya pemerintah menjual (memprivatisasi BUMN). Sejak pemerintahan Yudhoyono, betapa meledaknya agenda privatisasi BUMN. Pada 2008 saja, Komite Privatisasi BUMN menyetujui privatisasi 34 BUMN. Para analis menyebutnya sebagai 'ledakan privatisasi'. Dengan 10 BUMN luncuran (carry over) tahun 2007, hingga 2008 total yang diajukan Menteri Negara BUMN (kala itu Sofyan Djalil) ke DPR-RI menjadi 44 BUMN. (lihai Inilah.com, edisi 7 Februari 2008).

Jumlah itu boleh dibilang spektakuler. Jumlahnya terbesar dalam sejarah bangsa ini. Kalangan DPR pun mempertanyakan metode yang digunakan pemerintah dalam proses penjualan 44 BUMN itu. Sebagai perbandingan, pada periode 1991-2001 saja, pemerintah Indonesia cuma 14 kali memprivatisasi BUMN. Yang terprivatisasi 12 BUMN. Periode 2001-2006, pemerintah 14 kali memprivatisasi BUMN. Yang terprivatisasi 10 BUMN.

Dari sini, banyak para analis menilai Indonesia terjadi “ledakan privatisasi”. Sebab, hanya dalam setahun 44 BUMN dijual. Apalagi, privatisasi kali ini disertai penjualan seluruh saham 14 BUMN industri, 12 BUMN kepada investor strategis, dan beberapa BUMN lainnya kepada asing.

Indonesia Corruption Wacth (ICW) menempatkan agenda privatisasi 2008 sebagai salah satu ladang potensi korupsi. Sementara Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan, menjelang Pemilu 2009 sudah terendus transaksi-transaksi yang mencurigakan.

Jika kita kembalikan kepada amanat Undang-Undang Dasar 1945, BUMN merupakan salah satu lembaga yang wajib dikelola negara lantaran menguasai hajat hidup orang banyak.

Sejak 2008, BUMN yang dijadwalkan diprivatisasi antara lain PT Asuransi Jasa Indonesia, PT Krakatau Steel, PT Bank Tabungan Negara, PT Semen Baturaja, PT Sucofindo, PT Surveyor Indonesia, dan PT Waskita Karya, Bahtera Adiguna, Barata Indonesia, dan PT Djakarta Lloyd. BUMN lainnya adalah PT Sarinah, PT Industri Sandang, PT Sarana Karya, PT Dok Kodja Bahari, PT Dok & Perkapalan Surabaya, PT Industri Kereta Api, PT Dirgantara Indonesia, PT Kertas Kraft Aceh, PT INTI, Virama Karya, Semen Kupang, Yodya Karya, kawasan industri Medan, kawasan industri Makassar, kawasan industri Wijaya Kusuma, PT SIER, PT Rekayasa Industri, kawasan Berikat Nusantara, Garuda Indonesia, Merpati Nusantara, dan industri gelas.

Untuk tahun 2010 saja, pemerintah sudah menyiapkan tiga BUMN yang akan dilepas ke pasar. Mereka adalah PT Krakatau Steel, PT Garuda Indonesia, dan PT Pembangunan Perumahan (PP). Ketiganya merupakan bagian dari enam BUMN yang sudah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Tiga BUMN lain yang segera menyusul adalah PT Waskita Karya, PT Adhia Karya, PT Bank Tabungan Negara. Di luar itu, masih ada 14 BUMN lain yang siap dilego, diantaranya PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, PTPN IV, PTPN VII, PT Pengerukan Indonesia, PT Bahtera Adiguna, PT Asuransi Jasa Indonesia, PT Industri Gelas, PT Industri Sandang, PT Sarana Karya, PT Cambrics Primissima (Persero), PT Semen Kupang, PT Semen Baturaja, dan PT Rekayasa Industri. (Jawaban Pertanyaan Tertulis Kementerian Badan Usaha Milik Negara kepada Komisi VI DPR, 20 Januari 2010. Hlm. 19)

Setelah kelak seluruh BUMN dijual, aset apakah yang akan dimiliki bangsa dan negara ini? Tidakkah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945? Sesuai amanat Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguaai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara,"? Juga penegasan Ketetapan MPR No. II/2002 yang mengamanatkan agar pemerintah "Memperbaiki peran negara sebagai regulator dan fasilitator dalam kegiatan ekonomi, kecuali pada cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak,"?

Rasanya, jika saya diizinkan untuk mengubah syair lagu Koes Plus di atas, maka baitnya akan saya ganti menjadi: “Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi timbunan utang.”

Bekasi, 20 April 2010

Read More......

Senin, 15 Maret 2010

Fatwa Beraroma Dolar

0 komentar


Share

Senin (8/3) lalu, Pengurus Pusat Muhammadiyah mengeluarkan Fatwa Haram Rokok, menyusul fatwa Haram Rokok MUI pada 25 Januari 2009.

Fakta menunjukkan, aliran dana dari Boomberg Initiative, salah satu lembaga internasional, mengalir ke sejumlah instansi yang mendukung Kampanye Bebas Rokok di Indonesia, mulai parlemen, pemerintah, lembaga keagamaan, hingga LSM. Sejak 2007, nilai total bantuan yang sudah dicairkan mencapai US$ 4,19 juta atau sekitar Rp 38,5 miliar. Muhammadiyah mendapat US$ 393.234 atau sekitar Rp 3,6 miliar, dikucurkan sejak November 2009. Ada pertarungan dua raksasa besar di balik itu.


***
***

Petunjuk penting itu datang tak terduga. Jumat (12/3) siang lalu, pesan singkat tidak diundang dari sumber saya mampir tiba-tiba. “Kasihan, ternyata fatwa haram rokok Muhammadiyah cuma Rp 3,5 miliar, buka laporan tobacco control, dan siapa saja yang menerima dana anti rokok selain Muhammadiyah: http://www.tobaccocontrolgrants.org/Pages/40/What-we-fund”.

Senin (8/3) lalu, Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah memang mengeluarkan fatwa haram rokok Nomor 6//SM/MTT/III/2010. Kalau saja tak ada pesan singkat itu, fatwa PP Muhammadiyah yang sebelumnya menyatakan rokok adalah mubah (boleh), menjadi hal biasa. Yang tidak menjadi biasa, adalah nama Muhammadiyah disebut dalam laporan situs milik Bloomberg Initiative tersebut.

Penelusuran kecil-kecilan saya menemukan hal yang membuat dahi berkerut. Dalam situs itu, ada sejumlah lembaga dan instansi lain yang menerima dana dari Bloomberg melalui program Bloomberg Initiative To Reduce Tobacco Use, termasuk Muhammadiyah. Program ini bertujuan untuk Kampanye Anti Rokok di Indonesia.

Bloomberg Initiative adalah lembaga donor internasional milik Michael R. Bloomberg, bekas Walikota New York, pemilik situs berita tersebut. Michael Bloomberg juga adalah si empunya situs berita ekonomi Bloomberg.

Bloomberg aktif mengkampanyekan pengendalian tembakau dan rokok di seluruh dunia sejak beberapa tahun lalu. Indonesia menjadi salah satu target mereka, yang kebanyakan negara-negara berkembang. Di luar Indonesia, target lainnya adalah negara China, India, Bangladesh, Rusia, Brazil, Meksiko, Turki, Pakistan, Mesir, Ukraina, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Polandia.

Pada 2006, Bloomberg total mengucurkan US$ 125 juta untuk peluncuran program tersebut. Dan pada 2008, Bloomberg mengucurkan tambahan US$ 250 juta.

Nah, kucuran-kucuran dana dari Bloomberg mengalir ke sejumlah instansi dan lembaga di Indonesia sejak 2007 hingga kini. Totalnya US$ 4,19 juta atau sekitar Rp 38,5 miliar.

Dana mengucur ke sejumlah lembaga, mulai dari forum parlemen, pemerintah pusat, pemerintah daerah seperti DKI Jakarta dan Kota Bogor, lembaga keagamaan, hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) (baca: Dana Mengalir Sampai Jauh).

Bebeberapa tahun terakhir, lembaga-lembaga yang disebut dalam laporan Bloomberg Initiative itu memang getol mengkampanyekan kawasan bebas rokok dan tembakau.

Muhammadiyah, disebut menerima dana US$ US$ 393.234 atau sekitar Rp 3,6 miliar, dikucurkan sejak November 2009. Untuk Muhammadiyah, dalam laporannya Bloomberg menyebut, kucuran dana itu bertujuan agar salah satu organisasi massa islam itu bisa memobilisasi dukungan publik. Caranya, dengan mengeluarkan kebijakan dari sisi tinjauan agama untuk pelarangan rokok. Bentuknya, berupa keputusan Ijma Ulama (semacam fatwa) pelarangan rokok di seluruh Indonesia.

Puncaknya, pada rapat Majelis Tarjih dan Tajdid di Yogyakarta, pada Senin (8/3) lalu, PP Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram untuk rokok. Sebelum ini, PP Muhammadiyah telah mengeluarkan fatwa mubah (boleh) bagi perokok.

Belum ada tanggapan resmi dari PP Muhamdiyah. Berkali-kali saya mencoba menghubungi dua nomor telepon seluler Ketua Umum PP Muhammadiyah Dien Syamsuddin sejak Jumat (12/3), masih tak berhasil meminta konfirmasi. Dua nomor telepon seluler milik Dien yang ada pada saya semuanya tidak aktif.

Tentu saja, tulisan ini tak bermaksud menelanjangi kelompok tertentu, termasuk Muhammadiyah. Saya punya sejumlah teman yang beraliran Muhammadiyah. Yang harus tetap dikontrol adalah, peran lembaga agama besar sekaliber Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang harus tetap netral dalam memimpin umat: tak terbawa kepentingan kelompok manapun.

Nah, selain Muhammadiyah, ada sejumlah nama lembaga lain yang disebut menerima dana. Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan (IFPPD), misalnya, disebut menerima dua kali pengucuran dana. Pertama, dana sebesar US$ 28.753 pada periode Januari 2007 hingga Juni 2007. Duit itu antara lain digunakan untuk memperoleh dukungan politik dan menyampaikan rencana mitigasi dampak kesehatan produk rokok dan tembakau.

Kedua, IFPPD menerima dana sebesar US$ 164.717 pada periode Oktober 2007 hingga Desember 2009. Dana itu digunakan untuk membantu mengembangkan kontrol tembakau, kampanye media, serta melobi pemimpin agama dan pejabat publik.

Sri Utari Setiawati, Sekretaris Eksekutif IFPPD mengakui menerima dana dari Bloomberg Initiative. Soal jumlah dana yang diterima, dia enggan menyebutkannya. Yang pasti, langkah mengajukan dana ke lembaga internasional seperti Bloomberg, karena lembaga resmi dunia semacam Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tak memiliki cukup dana untuk kampanye bebas rokok dan tembakau. “Makanya kami mengajukan ke Bloomberg,” katanya, kepada saya, Sabtu (13/3).

Untuk LSM, salah satu yang menerima adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Kepada YLKI, dana mengucur bersama paket dana untuk Pusat Studi untuk Agama dan Komunitas. Totalnya US$ 454.480. Dana ini untuk program kampanye periode Mei 2008-Mei 2010. Kegiatannya berbentuk advokasi dan kampanye bebas rokok di kawasan Jawa, mengadvokasi Gubernur DKI Jakarta, dan kampaye media.

Tulus Abadi, Pengurus Harian YLKI membenarkan bantuan dana dari Bloomberg Initiative tersebut. “Kami menerima sejak April 2008,” kata Tulus, kepada saya, Jumat (12/3).

Menurut Tulus, YLKI mengajukan dana ke Bloomberg untuk kampanye dan advokasi bebas rokok di tiga kota di Jawa, yakni Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Berapa besaranya dana yang diterima, Tulus enggan berbagi.

Blomberg sendiri, hingga laporan ini ditulis belum berhasil dikontak.

****
****


Ahad, 25 Januari 2009. Di Padang Panjang, Sumatera Barat, Rapat Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa haram mengonsumsi rokok. Tabloid Kontan edisi pekan terakhir Januari 2009 melaporkan, suasana pengambilan keputusan fatwa begitu kental dengan nuansa politik.

Lobi-lobi dilakukan antara pihak yang mendukung fatwa haram dan yang menolak pengharaman rokok.
Caranya macam-macam, mulai dari menghadirkan massa tandingan hingga membagi-bagi selebaran. Dua kelompok yang berkepentingan berusaha mempengaruhi peserta Ijtima (Rapat) MUI yang membahas fatwa haram merokok.

Rupanya, “adu kekuatan” itu turut mempengaruhi hasil akhir fatwa. Belakangan, hasil keputusan fatwa MUI soal pelarangan rokok melunak, tak menohok kepada semua perokok: fatwa haram hanya berlaku untuk pengurus MUI, merokok di tempat umum, serta untuk ibu hamil dan anak-anak yang merokok.

Dari pertemuan ke-14 World Health Organization (WHO), 7 Maret – 12 Maret 2009, di Mumbai, India, terungkap bahwa tarik ulur keputusan fatwa haram MUI di Padang Panjang tersebut tidak lepas dari lobi organisasi internasional.

Forum di Mumbai ini bertaburan dana sponsor. Dua perusahaan di bidang kesehatan tingkat dunia, Pfizer dan GlaxoSmithKline (GSK), ikut membiayai acara ini.

Namun sponsor utama acara Mumbai adalah Bill & Melinda Gates Foundation, yayasan nirlaba pemilik Microsoft Group, Bill Gates. Di luar itu, ada tiga belas lembaga lain yang ikut menjadi sponsor, termasuk Bloomberg.

Pada pertemuan yang dihadiri 1.500 aktivis antirokok sedunia, kontingen Indonesia mengirimkan 25 orang. Mereka berasal dari beragam latar belakang, seperti organisasi masyarakat, Departemen Kesehatan (Depkes), hingga akademisi dan peneliti. Nama-nama lembaga mereka inilah yang disebut dalam laporan penerima dana Bloomberg Initiative.

Menurut Rohani Budi Prihatin, peneliti Sekretariat Jenderal DPR RI, yang juga aktif di IFPPD yang ikut ke Mumbai, di Mumbai itu para delegasi dari Indonesia melaporkan keberhasilan mereka melobi Majelis Ulama Indonesia (MUI) sehingga mengeluarkan fatwa haram terhadap rokok pada akhir Januari 2009 lalu.

Selain itu, para delegasi juga melaporkan leletnya kerja para anggota DPR di Badan Legislasi dalam memproses pengesahan Rancangan Undang-Undang Pengendalian Produk Tembakau (lihat Tabloid Kontan, edisi pekan kedua Maret 2009).

Meski sudah mempresentasikan sejumlah keberhasilan, aktivis antirokok dunia di forum tersebut masih mengecap Indonesia sebagai negara yang tidak melindungi rakyatnya. Sebab, selain tetap menolak menekan Konvensi Kerangka Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), Indonesia juga belum memiliki Undang-Undang Pengendalian Tembakau. “Indonesia tetap ditempatkan ke dalam kelompok negara terjelek dalam pengendalian rokok, bersama China dan India,” kata Rohani Budi.

Tak ayal, forum itu kembali mendesak Indonesia mengubah sikapnya yang terlalu membela kepentingan industri rokok ketimbang kesehatan masyarakat. Caranya, meratifikasi FCTC dan mengesahkan UU Pengendalian Tembakau.

Maklum, Indonesia menjadi satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang belum meratifikasi FCTC. Padahal, hingga kini sudah ada 192 negara yang meratifikasinya.

Lobi panjang itu akhirnya sedikit membuahkan hasil. Pada 14 September 2009, Rapat Paripurna DPR RI menyetujui pengesahan Undang-Undang Kesehatan yang di dalamnya melarang penggunaan zat adiktif, termasuk dalam tembakau. Dua hari kemudian, DPR menyerahkan draft Undang-Undang tersebut ke Sekretariat Negara. Saat itulah diketahui ada bagian draft yang raib, yakni Pasal 113 Ayat 2 tentang zat adiktif.

Pasal ini berbunyi: “Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya”.

Padahal, bagian inilah yang paling penting dan paling sensitif. Sebab, dengan hilangnya ayat ini, maka para produsen rokok bisa bebas dari jerat undang-undang ini. Hilangnya ayat ini diduga kuat hasil lobi para produsen rokok besar di Indonesia kepada sejumlah anggota parlemen.

Protes pun merebak, terutama para aktivis antirokok. Gerakan mereka gol. Pada 13 Oktober 2009, Sekretariat Negara mengembalikan Ayat 2 Pasal 113 dalam draft Undang-Undang Kesehatan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian meneken pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Pada 11 November 2009, Badan Kehormatan (BK) meminta keterangan pegawai Sekretariat Jenderal DPR RI. BK kemudian meminta keterangan sejumlah saksi ahli, dan tiga pimpinan Panitia Khusus RUU Kesehatan dan pejabat Departemen Kesehatan. Pada 25 Januari 2010, BK menyimpulkan hilangnya ayat tentang tembakau dalam UU Kesehatan bukan karena kesalahan administratif. BK menduga ada oknum yang mencoba mengganti isi ayat tersebut. Dengan kata lain, ada yang “mengorupsi” ayat tersebut. Persoalan ini menggantung hingga kini.

Kini, pemerintah tengah merampungkan pembahasan draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang rokok. RPP ini merupakan penjabaran dari UU Nomor 36 Tahun 2009 tersebut. “RPP masih dibahas antar Kementerian, yang masih keberatan adalah Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,” kata Rohani Budi , kepada saya, Jumat (12/3).

Ada beberapa isi pokok dalam RPP itu. Antara lain pengaturan kawasan tanpa rokok, peringatan berupa gambar pada bungkus rokok, dan larangan menjual rokok kepada anak-anak, larangan menjual rokok batangan, serta larangan iklan, sponsor, dan promosi promosi di media massa.

“Kemungkinan November 2010 bisa kelar,” kata Tulus Abadi dari YLKI, yang turut mengawal pembahasan RPP tersebut.

Namun, pembahasan RPP ini juga bukan tanpa kendala. Protes dari industri dan petani tetap merebak. Pada Senin (1/3) dua pekan lalu, misalnya, ribuan petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) berunjuk rasa menolak RPP tersebut di Gedung DPR/MPR RI. Mereka menyulut rokok raksasa sebagai bentuk protes.

Para petani yang kebanyakan memakai pakaian petani bercaping itu membawa aneka spanduk bertuliskan protes. Misalnya, bertuliskan “Jangan Bunuh Petani” dan “Tolak RPP Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan.

Sebaliknya, Rohani Budi dan Tulus menuding demontsrasi para petani tersebut didalangi oleh kalangan industri rokok. “Industri ada di balik para petani itu,” kata Tulus.

Hingga tulisan ini tayang, belum ada tanggapan dari para pelaku industri rokok. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok Kretek Indonesia (Gapri) Ismanu Soemiran masih enggan komentar. Ismanu masih tak menanggapi telepon dan pesan singkat yang saya kirimkan.

Namun, dalam beberapa kali wawancara dengan Tabloid dan Harian Kontan, Ismanu mengutarakan kegundahanya tentang fatwa haram ulama, seperti fatwa MUI dan Muhammadiyah. Industri mengkhatirkan fatwa-fatwa itu menjadi cikal bakal Undang-Undang (UU) Antirokok.

Kalau ada UU Antirokok, industri rokok yang padat karya itu bakal runtuh. Karena itu, menurut Ismanu, pemerintah harus bersikap hati-hati. Karena, 99% industri ini penuh local content, mulai dari tembakau hingga saus cengkehnya. Bahkan, 90% pangsa pasarnya di dalam negeri.

“Jangan sampai potensi besar bangsa yang terus tumbuh ini dipangkas begitu saja oleh tongkrongan asing yang menumpang di isu kesehatan,” kecam Ismanu, beberapa waktu lalu. Siapa yang dimaksud tongkrongan asing itu, tak jelas benar. Yang terang, Ismanu menyatakan, temuan bahaya merokok telah menjadi senjata para aktivis antirokok dan antitembakau untuk memberangus industri rokok.

Agaknya, perseteruan antara industri rokok Indonesia dan aktivis-aktivis LSM bersama beberapa kalangan di pemerintah yang didanai lembaga internasional semacam Bloomberg Initiative, bakal masih memanjang.

Apalagi, menilik daftar sokongan dana Bloomberg, program-program antirokok di Indonesia, masih akan terus berlangsung hingga 2011. Dan, tentakel lembaga asing ini memakai segala lini, mulai dari parlemen, pemerintah pusat dan daerah, LSM, hingga lembaga-lembaga agama macam MUI dan Muhammadiyah.



******
******


Dana Mengalir Sampai Jauh

Kucuran dana Bloomberg Initiative mengalir ke sejumlah lembaga dan instansi di Indonesia. Sejak 2007, total dana yang sudah mengucur US$ 4,19 juta atau sekitar Rp 38,5 miliar. Berikut siapa saja yang menerima dana tersebut.

~~ Instansi ~~Nilai ~~Periode ~~Tujuan ~~Program

~~ Dinas Kesehatan Kota Bogor: US$ 228.224; Maret 2009-Februari 2011; Mempengaruhi para pembuat kebijakan di Indonesia untuk melakukan kebijakan harga dan penerapan pajak rokok.

~~ Institut Demografi, FEUI: US$ 280.755; Oktober 2008-Juli 2010; Advokasi kebijakan untuk mengawal efektivitas pajak dan harga tembakau / rokok di Indonesia.

~~ Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Departemen Kesehatan: US$ 529.819; September 2008-Agustus 2010; Untuk melatih dan memperkuat pejabat di direktorat ini dalam mengembangkan dan menerapkan kontrol tembakau.

~~ Forum Parlemen Indonesia untuk Kependudukan dan Pembangunan (IFPPD): US$ 164.717; Oktober 2007-Desember 2009; Membantu mengembangkan kontrol tembakau, kampanye media, pemimpin agama, dan pejabat publik.

~~ IFPPD: US$ 28.753; Januari 2007-Juni 2007; Untuk memperoleh dukungan politik, menyampaikan rencana mitigasi dampak kesehatan produk tembakau.

~~ Pusat Dukungan Kontrol Tembakau/Tobacco Control Suport Centre, Indonesian Public Health Association (TCSC-IPHA): US$ 542.600; Agustus 2007-Agustus 2009; Proyek bertujuan mendirikan sebuah pusat pengendalian tembakau nasional, mengkoordinasikan dukungan untuk kegiatan pengendalian tembakau di Indonesia, dan advokasi kebijakan pusat dan daerah.

~~ TCSC-IPHA: US$ 491.569; September 2009-Agustus 2011; Idem dito

~~ Muhammadiyah: US$ 393.234; November 2009-Oktober 2011; Untuk memobilisasi dukungan publik dengan cara mengeluarkan kebijakan dari tinjauan agama, dalam bentuk keputusan Ijma Ulama pelarangan merokok di seluruh Indonesia.

~~ Komisi Perlindungan Anak Nasional Indonesia (KPAI/NCCP): US$ 455.911; Mei 2008-Mei 2010; Advokasi komprehensif soal iklan larangan rokok.

~~ KPAI/NCCP: US$ 210.974; Mei 2008-Mei 2010; Mendukung iklan anti rokok, promosi, dan sponsorship.

~~ Swisscontact Indonesia Foundation: US$ 360.952; Mei 2009-April 2011; Bertujuan menggolkan kampanye bebas rokok 100% di Jakarta

~~ Pertemuan Jaringan Kontrol Tembakau Indonesia (NGO) pada 2009 ~ TCSC-IPHA: US$ 12.800; Januari 2009-Mei 2009; Mengadakan pertemuan dan mendukung kemajuan kebijakan kontrol tembakau.

~~ Institut Demografi, FEUI: US$ 40.654; Juni 2008-Agustus 2008; Untuk mengintensifkan isu-isu kebijakan dan mempromosikan pembuat kebijakan.

~~ Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Pusat Studi untuk Agama dan Komunitas: US$ 454.480; Mei 2008-Mei 2010; Advokasi bebas rokok di kawasan Jawa, advokasi Gubernur DKI Jakarta, dan kampanye media.


Total Kucuran Dana : US$ 4.195.442


Sumber: Bloomberg Initiative




Disclaimer: Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.*


Bisa dilihat uga di: http://www.facebook.com/profile.php?ref=profile&id=1023372280#!/notes/danto-tea/fatwa-beraroma-dolar/394439299611

Read More......

Senin, 22 Februari 2010

Badai Pasti (Belum) Berlalu

0 komentar


Share

Menjelang Depressi Besar (The Great Depression) Jilid II

***
***
“Krisis subprime mortgage 2007 hanya sebuah permulaan. Banyak ramalan masih ada lagi kondisi krisis global yang lebih buruk mulai 2011: krisis global yang mirip, bahkan melebihi, The Great Depression 1929-an. Siapkah kita?”
***
***
Jaman malaise adalah periode kelam dalam sejarah. Ini adalah masa ketika depresi besar alias The Great Depression melanda seluruh dunia. Periode itu terjadi mulai 1929 hingga 10 tahun kemudian.

Ketika itu, saham-saham raksasa dunia di Dow Jones Industrial Average (DJIA) bertumbangan. Ini berimbas pada jatuhnya harga-harga produk dan pangan di seluruh dunia. Di Jawa, banyak penduduk kelaparan akibat keengganan bercocok tanam lantaran jatuhnya harga pangan.

Secara singkat, penyebab depresi kala itu akibat gelembung ekonomi. Awal mulanya berasal dari gairah bursa Dow Jones yang terdorong oleh kebijakan The Federal Reserves (The Fed), bank sentral Amerika Serikat. Periode masa itu, The Fed menurunkan suku bunga untuk mendukung Bank Sentral Inggris, Bank of England dalam menerapkan standar emas. Penurunan suku bunga berlangsung antara 1925 hingga 1927.

Akibatnya, jutaan warga Amerika Serikat meminjam uang di bank dan kemudian menginvestasikannya di bursa saham. Saat itulah terjadi ledakan spekulatif yang menggiring terciptanya gelembung ekonomi (economic bubble).

Rasanya kita sudah tahu ending dari cerita ini selanjutnya. Pada pekan terakhir Oktober 1929, bencana tsunami datang. Pasar saham ambruk, harga-harga saham di bursa DJIA terjun bebas.

Awalnya, pada 29 September 1929, DJIA mencatatkan pertumbuhan spekatakuler dengan angka indeks di level 381,17. Ini adalah angka indeks tertinggi sejak DJIA berdiri pada 1896. Namun, sebulan kemudian, bursa mulai merah. Pada Kamis, 24 Oktober 1929, harga saham terjun bebas. Peristiwa itu dikenal dengan sebutan “Kamis Hitam” (Black Thursday).

Beberapa langkah coba ditempuh oleh pimpinan bank-bank terkemuka di dunia, di antaranya dengan membeli saham-saham unggulan untuk mengangkat sentimen positif. Namun sayangnya, hal itu tetap tidak mampu mendongkrak pasar. Kepercayaan investor pudar.

Indeks terus melorot. Pada 28 Oktober 1929, indeks kembali terjun bebas dan terpangkas 38,33 point alias anjlok sebesar 12,8%. Saat itu indeks ditutup pada level 260,64. Esoknya, pada Selasa, 29 Oktober 1929, bursa Dow Jones kembali terkoreksi kembali sebesar 30,57 poin menjadi 230,07. Angka ini terpangkas 11,7%. Dalam dua hari itu, indeks sudah jatuh sebesar 24,5%. Sehari itu, kerugian di bursa mencapai US$ 14 miliar. Hari itu dikenang sebagai “Selasa Hitam” (Black Tuesday).

Total kerugian dalam minggu itu mencapai US$ 30 miliar, atau 10 kali lipat dari anggaran belanja tahunan pemerintah federal Amerika Serikat dan lebih besar dari seluruh biaya yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat guna membiayai Perang Dunia II. Dahsyat!

Bagi broker-broker saham di dalam gedung bursa Dow Jones, peristiwa itu ibarat air bah datang menghantam. Sebab, para pemain saham bergelombang-gelombang menjual sahamnya.

Harap maklum jika para makelar-makelar itu kemudian histeris dan menangis sejadi-jadinya. Mereka tak segan merobek-robek semua dokumen jual beli saham yang tak ada harganya lagi. Kekayaan mereka tiba-tiba menguap tak berbekas. Suara mereka sampai serak parau mencari seorang pembeli saham saja.

Lelucon pada saat itu sungguh melekat hingga kini. Konon, setiap pembeli saham perusahaan Goldman Sachs menerima dengan cuma-cuma sebuah revolver (untuk bunuh diri), dan bila orang-orang memesan sebuah kamar hotel, oleh resepsionis ia disambut dengan pertanyaan: “Untuk tidur atau untuk loncat dari jendelanya?”

Runtuhnya lantai bursa menyebabkan banyak bank gulung tikar. Awal tahun 1930, ada 60 bank gulung tikar, disusul 254 bank di bulan November, dan 344 bank di bulan Desember. Salah satu bank yang gulung tikar adalah Bank of the United States, bank keempat terbesar di New York, dengan 450.000 depositor.

Akibat besarnya kerugian inilah, krisis ini disebut sebagai krisis besar (The Great Depression). Krisis dahsyat yang disebut juga sebagai jaman Malaise ini turut berdampak ke Indonesia yang kala itu masih dalam pemerintahan kolonial Belanda.

Di Indonesia, terutama di Jawa, terjadi kemerosotan ekonomi yang cukup parah. Jutaan orang meninggal akibat kelaparan dan lahan-lahan pertanian tidak tergarap dengan baik akibat jatuhnya harga pangan. Krisis ekonomi ini terus berlangsung hingga datangnya Perang Dunia II.

***
***
Dua tahun lalu, kita merasakan gejala serupa. Munculnya krisis kredit perumahan kelas rendah alias subprime mortgage berimbas kepada skala global. Subprime merupakan kredit pemilikan rumah (KPR) berisiko tinggi yang ditawarkan dengan opsi menarik. Dalam setahun pertama, debitur Subprime tidak dikenakan bunga. Bunga baru dikenakan setelah setahun pertama. Kredit ini diperuntukan bagi kalangan masyarakat bawah yang belakangan macet dan berimbas ke lembaga-lembaga keuangan raksasa. Jumlah total dana yang macet sejatinya cuma US$ 1,5 triliun atau sekitar Rp 14.037 triliun (empat belas ribu tiga puluh tujuh triliun rupiah). Namun, belakangan jumlah kerugian membengkak lantaran menimbulkan efek domino.

Bagaimana krisis ini meruntuhkan perusahaan-perusahaan raksasa Amerika Serikat macam Citigroup Inc. dan Merrill Lynch & Co, hingga Lehman Brothers. Dampaknya luar biasa besar. Ekonomi dunia lesu darah. Ekspor impor internasional juga menyusut.

Akibat kejatuhan ini, Uni Eropa sampai harus mengabulkan paket dana talangan (bailout) otomotif Prancis, Spanyol, dan Italia. Jumlahnya miliaran Euro. Prancis, misalnya, mengucurkan pinjaman darurat 6,4 miliar Euro atau sekitar Rp 80,8 triliun bagi produsen otomotif, asalkan para produsen berjanji pabrik mereka di Prancis tetap buka.

Di pusat krisis: Amerika Serikat, Presiden Barrack Obama menyerukan pembelian produk dalam negeri, yang kemudian dikenal dengan sebutan Buy American. Obama juga menggelontorkan paket stimulus ekonomi senilai US$ 827 miliar, atau sekitar Rp 9.924 triliun alias hampir 10 kali lipat total belanja Indonesia di APBN 2009. Dana super jumbo itu antara lain untuk penyelamatan paket otomotif dan mengambil alih Fannie Mae dan Freddie, dua bisnis raksasa dalam bidang pendanaan hipotek yang tak mampu lagi membayar kewajibannya US$ 5,2 triliun.

Di Amerika Serikat,sebanyak 123 bank mendaftarkan kebangkrutan. Indeks-indeks bursa saham di seluruh dunia pun mengalami koreksi tajam di atas 50% hanya dalam setahun.

Laporan terakhir Bank of America, seperti dikutip dari Channel News Asia, menyatakan, krisis sub prime Amerika Serikat ini telah mengakibatkan kerugian di bursa saham total sebesar US$ 7,7 triliun atau sekitar Rp 72.056,6 triliun. Jumlah ini setara dengan 72 kali total belanja Indonesia di APBN 2009.

Pada sektor riil, krisis ini menyebabnya banyaknya pengangguran di berbagai negara. Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani, pada rapat kerja dengan panitia anggaran DPR RI, 12 Februari 2009, mengungkapkan, akibat krisis ini, pengangguran di Inggris mencapai 1,92 juta, pengangguran di Spanyol naik dari 13% ke 16%. Penggangguran di Perancis meningkat dari 7,9% menjadi 10%.

Beberapa perusahaan mengurangi pegawai: Citigroup mengurangi 52.000 pegawai, Bank of America mengurangi 35.000 pegawai, Nissan Motor Inggris mengurangi 1.200 pegawai, Microsoft mengurangi 5.000 pegawai, Motorola mengurangi 4.000 pegawai, Sony mengurangi sebesar 18.000 pegawai, dan Honda mengurangi 3.000 pegawai.

Di Indonesia, krisis ini juga memicu pemerintah melakukan penyelamatan Bank Century. Belakangan, kebijakan ini menimbulkan kisruh.

Sepanjang tahun lalu, sebagian besar dari kita beranggapan krisis sudah berakhir dan menuju pada pemulihan. Namun, benarkah demikian? Jika sesekali meluangkan waktu menelusuri kondisi Amerika Serikat dan Eropa di dunia maya saat ini, ada sejumlah hal yang membuat asumsi krisis sudah lewat salah besar.

Misalnya, situs internet yang membahas soal mortgage http://www.mortgagenewsdaily.com. Beberapa waktu terakhir, rajin menyiarkan ancaman krisis tahap II yang bias menjadi pertanda The Great Depression Jilid II.

Kita memang berhasil melalui krisis subprime mortgage. Namun, sesungguhnya ada lagi kredit yang rada-rada mirip dengan subprime yang berpotensi besar menggulung lembaga-lembaga raksasa keuangan dunia.

Di Amerika Serikat, subprime Mortgage bukanlah satu-satunya produk Kredit Kepemilikan Perumahan (KPR) berisiko tinggi. Ada dua jenis lainnya, yakni Alt-A dan Option ARM. Dua kategori kredit ini diperuntukan bagi masyarakat pengangguran yang tidak mempunya pekerjaan juga tanpa agunan. Sangat berisiko!

Ada perbedaan dua jenis kredit ini dengan subprime. Jika subprime bebas bunga selama setahun pertama, Alt-A dan Option ARM memberikan keleluasaan pada nasabahnya dalam membayar cicilan selama lima tahun pertama. Setelah itu, baru dikenakan penyesuaian bunga secara berkala. Gawatnya, setelah lima tahun itu, rata-rata kenaikan suku bunganya mencapai 80%. Edan!

Alt-A dan Option ARM diperuntukan bagi kalangan yang relatif lebih mampu ketimbang subprime, namun tidak benar-benar aman. Dua jenis kredit ini mulai mengucur sejak 2005-an. Nah, pada tahun ini dan pada tahun depan, adalah masa lima tahun kedua dimana konsumen akan dikenakan bungan mencekik tadi: 80% per tahun. Padahal, konsumen dua jenis kredit ini sangat berpotensi gagal bayar lantaran tak punya sokongan dan faktor fundamental kuat untuk membayar. Catatn saja, jumlah total kredit yang beredar masing-masing US$ 2,5 triliun untuk Alt-A, dan US$ 500 miliar untuk Option ARM. Totalnya US$ 3 triliun. Bandingkan dengan subprime mortgage yang cuma US$ 1,5 triliun.

VP Research & Analys PT Valbury Asia Securities Nico Omer Jonckheere punya catatan menarik soal ini. Nico melihat kredit properti komersial sudah menunjukkan tanda-tanda ambruk. Catatan saja, nilai kredit real estate komersial di AS mencapai US$ 3,5 triliun.

"Harga properti komersial turun lebih dari 34% sepanjang 2009. Nasabah yang gagal membayar cicilannya meningkat dari 1% menjadi 9%. Nilai gagal bayar meningkat 423% menjadi US$ 52,7 miliar dari tahun 2008 sebesar US$ 12,5 miliar," papar Nico (www.detikfinance.com).

Volume transaksi properti komersial, mengalami penurunan tajam dari sebesar US$ 133,2 miliar di 2007 menjadi US$ 4,8 miliar di triwulan I-2009. Sekitar 90.000 properti komersial di Amerika Serikat saat ini tidak dihuni, kosong. Selain itu, lebih dari 2.600 bank di Amerika Serikat memiliki portofolio pinjaman properti komersial di atas 300% dari batasan risiko yang ditetapkan (risk based capital).

Walhasil, potensi gagal bayar sangat besar. Sepanjang tahun 2009 saja, bank-bank di seluruh dunia telah melakukan pemutihan utang senilai US$ 1 triliun, lantaran meningkatnya gagal bayar. Tak berhenti di situ, pemutihan utang yang akan dilakukan bank-bank di dunia selama tahun 2010 akan mencapai US$ 1,5 triliun. Nico meramal, mulai pertengahan 2010, kerugian bank-bank di Amerika Serikat akan melebihi depresi besar 1929.

Lembaga keuangan Credit Suisse Februari ini bahkan menyatakan akan menjadwal ulang utang kredit Alt-A dan Option ARM senilai U$$ 1 triliun. Penjadwalan kembali ini yang berpotensi menimbulkan kredit macet lebih besar (lihat http://www.mortgagenewsdaily.com/02112009_Alt_A_Resets.asp).

Survei kuartalan terbaru Standard & Poor's Fixed Income Risk Management Services yang dirilis 18 februari 2010 lalu kian menegaskan, hingga saat ini potensi gagal bayar akibat kredit Alt-A dan Option ARM di Amerika Serikat melonjak tajam, dari 1,4% menjadi 34,36% dibanding kuartal sebelumnya.

Kini, nyata-nyata gejala dan tanda-tanda depresi besar (The Great Dpression) Tahap II setelah periode 1929 bakal kembali terjadi. Jika dengan subprime mortgage senilai US$ 1,5 triliun saja dunia sudah sedemikian gempar, bagaimana jika kredit Alt-A dan Option ARM dengan nilai total US$ 3 triliun juga macet. Siapkah kita? Ealah dalahh…!!! Badai pasti (Belum) Berlalu...

Jakarta, 21 Februari 2010



http://www.facebook.com/notes/danto-tea/badai-pasti-belum-berlalu/346807454611#!/profile.php?ref=profile&id=1023372280

Read More......
Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger