Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Selasa, 01 Maret 2011

"Bisa Bergejolak Karena Minyak"

0 komentar


Share

***
Potret Migas dan Pertambangan 2011*

***

Tahun 2011 akan menjadi tahun yang penuh tantangan bagi Indonesia. Selain gejolak harga pangan, gelegak harga minyak juga bakal banyak mempengaruhi perekonomian global dan Indonesia. Sejak November 2010 hingga memasuki 2011, harga si emas hitam terus meroket. Banyak prediksi, harga minyak masih akan terus tinggi di tahun ini.

Dari sisi industri migas dan pertambangan, ini bisa menjadi pendongkrak harga-harga komoditas tambang lain. Sehingga menjadi peluang meraup untung besar bagi pengusaha tambang. Tapi, dari sisi pemerintah, kendati bisa menjadi berkah dengan naiknya pendapatan negara dari sektor minyak, hal itu bisa mengancam menggelembungnya dana subsidi BBM di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011. Namun, akan sedikit terbantu oleh kebijakan pembatasan BBM subsidi.

***
Kejutan datang di awal tahun ini. Harga minyak mentah di pasar internasional terus mencetak rekor. Mulai menanjak sejak Agustus 2010, harga si emas hitam kian berkobar di awal 2011. Setelah mencapai titik tertinggi pada 3 Desember 2010 lalu dengan menyentuh US$ 89,19 per barrel, rekor-rekor baru tetap tercipta.

Pada perdagangan pembuka tahun ini di New York Mercantile Exchange (Nymex), Senin, 3 Januari 2011, harga minyak untuk pengiriman Februari 2011 sudah mencapai US$ 92,14 per barel. Harga ini naik 0,83 persen dibanding penutupan perdagangan akhir tahun 2010 pada Jumat, 31 Desember 2010, yang sebesar US$ 91,38 per barel. Ini adalah rekor tertinggi dalam 27 bulan terakhir, atau sejak Oktober 2008 silam.

Bahkan, jika dihitung sejak 24 Agustus 2010 lalu, saat masih di level US$ 73,97 per barel, harga minyak pekan pertama Januari 2011 ini sudah melonjak 24,56 persen.

Harga minyak masih berpotensi naik sepanjang tahun ini. Ada beberapa penyebab. Pertama, harapan mulai tumbuhnya perekonomian Amerika Serikat (AS) kian kuat. Indikator ini bisa sedikit tergambar dari mulai meningkatnya tingkat penyerapan tenaga kerja dan menanjaknya angka penjualan rumah di AS yang dirilis pada akhir 2010 lalu. Ekonomi AS yang tumbuh bisa memicu naiknya konsumsi minyak negara tersebut. Imbasnya, permintaan minyak makin tinggi. Sehingga, akan turut mendongkrak harga.

Tanda-tanda kenaikan konsumsi minyak di AS sudah tergambar. Mengutip kantor berita Bloomberg, Departemen Energi AS pada pekan terakhir 2010 melaporkan, konsumsi bahan bakar di AS mencapai 20,7 juta barel per hari. Ini adalah konsumsi tertinggi di AS sejak Mei 2008.

Kedua, harga minyak akan terus terdorong lonjakan harga-harga berbagai komoditas sepanjang tahun ini. Akibat perubahan iklim global, produksi berbagai komoditas akan terganggu. Akibatnya, pasokan terganggu. Walhasil, harga-harga komoditas pun akan terdongkrak. Dampaknya, inflasi pun terkerek. Nah, saat itulah para investor akan menjadikan minyak sebagai aset lindung nilai.

Ketiga, potensi harga minyak dunia terus melesat terimbas langkah pemerintah AS yang akan mengerjakan dua proyek besar, yaitu kereta api cepat dan pengembangan persenjataan militer di tahun ini. Dua proyek tersebut akan turut mendorong naiknya permintaan minyak dunia. Padahal, konsumsi minyak akan terus naik. International Energy Agency memperkirakan, permintaan minyak global untuk 2010 saja meningkat 2,5 juta barel per hari, atau 2,9 persen menjadi 87,4 juta barel per hari dibandingkan dengan 2009.

Keempat, negara-negara pengekspor minyak (OPEC), pada pertemuan mereka di Quito, Ekuador, pekan kedua Desember 2010 lalu, memutuskan untuk mempertahankan tingkat produksi pada level kuota saat ini sebesar 24,845 BOPD. Langkah ini akan menyebabkan harga melambung, sebab di saat permintaan tinggi produksi minyak tetap.

Kelima, selain disebabkan faktor-faktor tersebut, mengutip laporan Tim Harga Minyak Indonesia Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), untuk kawasan Asia Pasifik, peningkatan harga minyak mentah juga dipengaruhi oleh berkurangnya kekhawatiran pasar atas melambatnya pertumbuhan ekonomi China. Keyakinan itu terjadi setelah China memutuskan untuk tidak menaikkan tingkat suku bunga yang berlaku.

Gelegak harga minyak dunia ini, ibarat dua sisi mata uang. Bagi pengusaha sektor minyak dan pertambangan, jelas ini berkah. Sebab, lonjakan harga minyak akan turut mendongkrak laba mereka.

Tapi, bagi pemerintah, ini adalah lampu kuning. Sebab, lonjakan harga minyak dunia, akan turut menaikkan patokan harga minyak mentah Indonesia alias Indonesia Crude Price (ICP). Tahun ini, pemerintah mematok ICP US$ 80 per barel. Jika ICP naik, dampaknya panjang, bisa memicu inflasi dan bengkaknya subsidi bahan bakar minyak (BBM). Tahun ini subsidi BBM sebesar Rp 95,914 triliun.

Jika inflasi naik, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) juga akan terkerek. Saat ini, sesuai keputusan rapat Dewan Gubernur BI, 5 Januari 2010 lalu, BI Rate masih di level 6,5 persen. Kalau BI Rate naik, maka suku bunga perbankan akan turut meningkat. Dampaknya bisa lebih panjang ke sektor riil. Ke sektor properti, misalnya. Industri ini akan sedikit melesu jika suku bunga Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) naik.

Pemerintah harus benar-benar serius memperhatikan hal ini. Untuk harga ICP, umpamanya, sudah benar-benar tinggi. Kementerian ESDM mencatat, selama Desember 2010 saja, rata-rata ICP mencapai US$ 91,37 per barel. Angka ini naik US$ 6,30 per barel atau 7,4 persen dibandingkan rata-rata ICP November 2010 sebesar US$ 85,07 per barel. Padahal, patokan ICP dalam APBN Perubahan 2010 sebesar US$ 80 per barel.

Sementara harga minyak nasional (SLC) pada Desember 2010 mencapai US$ 93,81 per barel. Angka ini naik US$ 8,25 per barel atau 9,6 persen dibandingkan bulan sebelumnya sebesar US$ 85,56 per barel.
Kepada wartawan, Sekretaris Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Syahrial Loetan menyatakan, pemerintah mengaku sulit berbuat banyak mengatasi lonjakan harga minyak. Alasannya, kenaikan harga minyak lebih banyak akibat faktor eksternal. “Kondisi ini, tidak hanya menarik perhatian Indonesia saja, tapi juga negara-negara lain. Kita tidak bisa mengontrol situasi internasional. Kita hanya berharap kondisi ini tidak berlangsung lama karena bisa deg-degan juga,” ucap Syahrial, Rabu, 5 Januari 2011.

Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menyatakan, perubahan iklim dan fluktuasi harga minyak memang akan menjadi tantangan terbesar perekonomian Indonesia pada 2011. "Global climate change (perubahan iklim global) akan berdampak pada masalah food (ketahanan pangan) dan energi," katanya, kepada wartawan akhir Desember lalu.

Ia menyebutkan, pemerintah menempuh sejumlah kebijakan untuk mengantisipasi hal itu. Di bidang energi, pemerintah akan berupaya melakukan diversifikasi energi. Antara lain, seperti mendorong penggunaan gas untuk transportasi. "Penghematan konsumsi BBM juga dilakukan. Jadi selain dari sisi penyediaan, upaya dari sisi permintaan juga dilakukan," katanya. Pemerintah yakin, kebijakan pembatasan konsumsi BBM subsidi mulai Maret 2011, bisa sedikit mengerem membengkaknya subsidi BBM jika ICP jauh di atas patokan APBN yang sebesar US$ 80 per barel.

Meski lonjakan harga minyak dunia sudah mendongkrak ICP selama Desember 2010, namun Hatta mengaku masih belum khawatir. Dia menghitung, ICP di APBN 2011 masih aman. Sehingga belum perlu mengubah asumsi ICP di APBN 2011.

Hatta menjelaskan undang-undang APBN memberi kewenangan kepada Pemerintah untuk dapat menaikan harga apabila ICP naik 10% sepanjang tahun. "Bagaimana mau ngomong soal kenaikan, wong ICP kita dihitung belum mencapai itu," kata Hatta, kepada wartawan, pada kesempatan berbeda, usai rapat koordinasi transportasi di Istana Wakil Presiden, Rabu, 5 Januari 2011.

Menurut Hatta, rata-rata ICP sepanjang tahun 2010 saja hanya US$ 78 per barel. Angka itu masih di bawah patokan ICP di APBN Perubahan 2010 sebesar US$ 80 per barel. Selain itu, harga ICP lebih rendah antara US$ 4 hingga US$ 5 per barel dibandingkan harga minyak mentah dunia.

Apalagi, kata Hatta, saat ini baru memasuki awal tahun 2011, sehingga agak sulit memprediksi harga ICP 2011 bisa melewati target US$ 80 per barel. "Saya katakan, terlalu pagi kita mengasumsikan bahwa harganya itu akan bertengger pada US$ 90 atau US$ 100 per barel," kata politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Yang jelas, menurut Hatta, pemerintah menyiapkan dana cadangan risiko fiskal jika target ICP dalam APBN 2011 meleset lebih dari US$ 80 per barel. Hatta mengatakan, kenaikan ICP sebesar US$ 1 per barel akan memicu risiko fiskal terhadap kenaikan subsidi mendekati Rp 900 miliar. Menurut data Kementerian Keuangan, dalam APBN 2011 ada dana cadangan risiko fiskal sebesar Rp 4,2 triliun. Dana itu dipakai untuk mengatisipasi perubahan asumsi makro, termasuk jika asumsi ICP meleset.

Namun, pemerintah tetaplah mesti waspada. Syahrial mengakui, imbas harga minyak dunia ke dalam negeri mulai terlihat dengan kenaikan harga Pertamax yang sulit dikendalikan. Saat ini, harga Pertamax berkisar Rp 7.500 hingga Rp 8.200 per liter. Pemerintah, kata Syahrial, sebetulnya mengaku khawatir lonjakan harga minyak dunia akan cepat mendorong inflasi.

Apalagi, banyak para ekonom memprediksi inflasi tahun ini saja akan mencapai 7 persen. Itu lantaran terkerek pembatasan konsumsi BBM subsidi mulai April nanti. Sepanjang 2010 saja, tanpa ada kebijakan pembatasan BBM subsidi, inflasi mencapai 6,96 persen. Angka itu jauh lebih tinggi ketimbang patokan inflasi di APBN Perubahan 2010 sebesar 5,3 persen.

Tambang Jadi Primadona

Jika pemerintah harus waspada, para pengusaha di sektor minyak dan gas (migas), pertambangan, serta komoditas, lonjakan harga minyak adalah berkah. Maklum, peluang meraup untung bisa makin besar. Selama ini, jika harga minyak naik, maka harga-harga komoditas juga akan meningkat.

Pengamat energi dari Reformer Institute Pri Agung Rakhmanto menyatakan, akibat lonjakan harga minyak, semua harga jenis tambang akan naik di tahun ini. Kenaikan ini tercermin dari sinyal kenaikan harga minyak dunia yang lebih kuat dari 2010. Melentingnya harga minyak bumi membawa efek domino bagi harga komoditas-komoditas tambang lain, seperti batubara, tembaga, emas, hingga minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO).

Harga CPO, misalnya, belakangan semakin licin. Di bursa Malaysian Derivative Exchange (MDEX), pada Senin, 13 Desember 2010 harga CPO untuk kontrak bulan Maret 2011 mencapai level harga tertinggi 2010 lalu, yakni US$ 1.165,42 per ton. Bandingkan dengan posisi awal Juli lalu saat harga CPO masih berada di posisi US$ 697,52 per ton.

Namun, yang akan menjadi favorit di tahun ini adalah batubara. "Kalau harga batubara ikut naik, itu sudah biasa," kata Pri Agung, kepada wartawan.

Harga batubara belakangan memang terus menanjak seiring merayapnya harga minyak. Harga tertinggi batubara di bursa ICE Newcastle tercipta pada Senin, 13 Desember 2010 lalu, yakni sebesar US$ 118,80 per ton. Harga batubara terus merambat naik sejak 16 Agustus. Saat itu, harga batubara masih US$ 91,50 per ton.

Wakil Presiden Riset dan Analis Valbury Asia Futures Nico Omer Jonckheere juga sepakat bahwa batubara akan menjadi komoditas pertambangan yang moncer di tahun depan. "Permintaannya kuat sekali," kata Nico, kepada media.

Beruntung bagi Indonesia, kuatnya permintaan ini ini diimbangi dengan pasokan batubara yang melimpah. Apalagi kalau pembangunan infrastruktur penunjang pertambangan batubara, seperti jalur kereta api diperluas, akan membuat kinerja perusahaan tambang batubara semakin kinclong.

Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) memproyeksikan, produksi batubara tahun ini mencapai 340 juta ton. Jumlah ini melonjak 9,7 persen dari proyeksi produksi batubara tahun 2010 sekitar 310 juta ton.
Meski demikian, bukan tidak ada tantangan pengembangan industri batubara tahun ini. Menurut pengamat pertambangan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Rudi Rubiandini, ada beberapa tantangan besar di industri pertambangan batubara.

Antara lain, pertama, penanganan lingkungan. Dia mengakui peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah di sektor pertambangan semakin baik. Namun, terbukanya perizinan pertambangan kecil di tingkat kabupaten berisiko memunculkan isu perusakan lingkungan. "Isu ini akan mulai mengemuka pada pertengahan 2011 hingga 2012 nanti," kata Rudi, kepada wartawan. Untuk mengatasinya, Rudi mengusulkan pemerintah pusat mengatur kewenangan pemerintah kabupaten dalam melepas izin wilayah tambang batubara kecil.
Kedua, masalah perpajakan. Kasus dugaan mafia pajak yang membelit perusahaan batubara menunjukkan masih lemahnya aturan perpajakan. Ini berbeda dengan pertambangan minyak dan gas yang sudah lebih jelas. Meski demikian, Rudi mengakui industri batubara akan cemerlang tahun ini.

Selain batubara, menurut Nico Omer Jonckheere, pertambangan timah dan nikel juga bakal bersinar tahun 2011 ini. Dia memprediksi harga kedua jenis tambang ini akan mencetak rekor pada tahun ini. Dari sisi potensi, pertambangan timah di Tanah Air lebih kecil dari nikel. Tapi, pemilik tambang timah yang besar di dunia saat ini hanya Indonesia dan China.

Yang menjadi masalah, stok timah Indonesia yang berada di daratan tinggal berusia 16 tahun hingga 18 tahun lagi. Setelah itu tak lagi berbekas. Karenanya, tak heran jika perlu upaya gencar pembukaan penambangan timah di laut dalam.

Sedangkan pertambangan nikel, kata Nico, dari sisi pasokan, cadangan nikel di Indonesia masih bisa digali hingga 50 tahun ke depan. Belum lagi pertambangan bauksit yang mulai terlihat berprospek cerah di tahun depan. Saat ini, PT Aneka Tambang sudah mulai melakukan kegiatan di hilir. Jadi, di tahun 2011 ini, masih banyak peluang sekaligus tantangan di sektor migas dan tambang. Tinggal pintar-pintar mengelolanya. ****

Read More......

Minggu, 27 Februari 2011

"Ketika Pungguk Merindukan Bulan"

0 komentar


Share


by: Danto
Tender Wilayah Kerja Migas 2011
****
Produksi minyak dan gas (migas) Indonesia terus melorot. Untuk menyiasatinya, pemerintah terus menggelar tender Wilayah Kerja (WK) Migas, kendati kerap tak laku. Banyak faktor kendalanya. Tahun ini, pemerintah akan menenderkan lagi 60 WK Migas. Targetnya, bisa laku lebih dari 30 WK. Tahun lalu, dari 43 WK Migas yang ditawarkan, cuma ada 21 peminat. Pemerintah harus mencari banyak cara agar produksi migas dan target lifting bisa tercapai. Bisakah? Apa saja cara efektif agar lelang WK Migas bisa laku?

****

Pemerintah seperti tak kenal lelah. Untuk menutup terus menurunnya produksi minyak dan gas (migas), pemerintah kembali akan menenderkan Wilayah Kerja (WK) Migas. Jika tidak ada aral, tahun ini pemerintah akan melelang 60 WK Migas di seluruh Indonesia.

Sebanyak 39 WK Migas melalui reguler tender, dan 11 WK Migas melalui penawaran langsung. Dan 10 WK sisanya untuk gas metana batubara atau coal bed methane (CBM),” kata Direktorat Jenderal (Dirjen) Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Evita Herawati Legowo.

“Langkah ini sebagai salah satu upaya menambah produksi migas Indonesia,” tutur Evita. Ibarat kerja mesin, produktivitas sektor minyak dan gas (migas) Indonesia memang makin lama kian uzur. Ini bisa terlihat dari terus melorotnya produksi dan lifting minyak dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 lalu, misalnya, dari target lifting minyak di APBN sebanyak 965 ribu barel per hari (bph), tercapai hanya 957 ribu bph saja. Demikian pula dengan lifting minyak 2009. Dari target lifting minyak 2009 sebanyak 960 ribu bph, hanya tercapai 945 ribu bph.

Tahun ini, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011, pemerintah mematok target lifting minyak sebanyak 970 ribu barel per hari (bph). Itupun banyak pihak meragukan target bakal kembali tercapai. Apalagi, stok minyak Indonesia kian menipis.

Dalam 10 tahun terakhir, cadangan terbukti minyak bumi Indonesia mengalami penurunan dari 5,1 miliar barel tahun 2000, menjadi 4,3 miliar barel tahun 2009 atau rata-rata 1,7% per tahun. Sedangkan tingkat produksi pada periode yang sama mengalami penurunan dari 1,45 juta barel per hari menjadi 0,95 juta barel per hari, atau menurun rata-rata 3,8 persen per tahun.

Bahkan, sejak tahun 2004, Indonesia sudah menjadi net oil importer. Selain akibat makin merosotnya cadangan minyak, itu lantaran kemampuan produksi dalam negeri tidak dapat mengimbangi pertumbuhan konsumsi. Pada tahun 2009, konsumsi minyak bumi mencapai 1,34 juta bph. Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan kemampuan produksi sebesar 0,95 juta bph. Keterbatasan produksi itu telah mendorong peningkatan impor minyak mentah dalam lima tahun terakhir dari 322 ribu bph tahun 2005 menjadi 334 ribu bph tahun 2009.

Fakta ini kian menegaskan tingkat produksi minyak bumi di Indonesia yang terus merosot. Masa puncak produksi yang pernah mencapai 1,68 juta bph pada tahun 1977 silam rasanya muskil tercapai lagi. Lihat saja, saban tahun, pemerintah selalu ngos-ngosan untuk memenuhi target lifting. Produksi minyak tertinggi setelah puncak tertinggi pada 1977 tersebut tercapai pada 1997 lalu, itupun mentok di level produksi 1,5 juta bph.

Data Kementerian ESDM mencatat, sejak produksi tertinggi medio 1990-an itu, produksi minyak Indonesia memang terus menurun. Sekitar 70 persen dari sumur minyak berstatus brownfield alias uzur. Dan 90 persen di antaranya telah melewati puncak produksi dan kini produksinya terus turun 15 persen tiap tahun (lihat tabel Produksi Minyak Indonesia).

Produksi Minyak Indonesia (ribu barel per hari)
2004    2005    2006    2007    2008    2009    2010
1.037   1.033   957      898      931      944      965*
* Target, tapi tercapai 957.000 bph

Inilah yang menjadi salah satu pendorong pemerintah tetap ngotot menender WK Migas. Evita tampak yakin tender WK Migas 2011 bakal banyak peminat. Di proyek CBM, misalnya. Di luar 10 WK CBM yang ditawarkan, Februari ini rencananya sudah akan diteken tiga kontrak WK CBM. Dua diantaranya akan dikelola oleh perusahaan nasional. Sedang sisanya merupakan perusahaan multi nasional.

Dua perusahaan nasional itu adalah PT Pertamina (Persero) dan BP Indonesia. Menurut Evita, Pertamina berhak mengelola dua blok CBM di Sumatera Selatan. Sedangkan BP mengelola satu blok di Kalimantan. Dua perusahaan tersebut, menggunakan aturan lama sehingga blok-blok itu tidak ditenderkan. ”Mereka sudah bekerja lama. Cuma prosesnya belum tuntas. Baru sekarang (selesai),” jelas Evita, menjawab pertanyaan wartawan usai menutup acara Indogas 2011, di Jakarta Hilton Convention Centre, Kamis, 17 Januari 2011 lalu.

Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh berharap lapangan CBM sudah ada yang menghasilkan. ”Ditargetkan pada tahun ini gas dari CBM sudah dapat digunakan untuk pembangkit listrik,” ujar Darwin, dalam sambutannya ketika membuka acara Indogas 2011.

Sekadar informasi, sejak 2007 hingga 2010, telah ditandatangani 23 WK CBM. Pemerintah menargetkan pada tahun ini dapat dilakukan penawaran 13 WK CBM dan penandatanganan 10 KKS CBM.

CBM adalah gas alam dengan dominan gas metana dan disertai sedikit hidrokarbon lainnya dan gas non-hidrokarbon dalam batubara hasil dari beberapa proses kimia dan fisika. CBM sama seperti gas alam conventional yang kita kenal saat ini, namun perbedaannya adalah CBM berasosiasi dengan batubara sebagai source rock dan reservoir-nya. Sedangkan gas alam yang kita kenal, walaupun sebagian ada yang bersumber dari batubara, diproduksikan dari reservoir pasir, gamping, maupun rekahan batuan beku. 

Hal lain yang membedakan keduanya adalah cara penambangannya di mana reservoir CBM harus direkayasa terlebih dahulu sebelum gasnya dapat diproduksikan. Cadangan gas metana batu bara (CBM) Indonesia mencapai 453,3 TCF.

Secara total, hingga akhir tahun lalu, ada 232 WK produksi dan eksplorasi Migas di Indonesia, termasuk CBM. Jumlah itu naik 14,2 persen jika dibandingkan dengan 2008 yang hanya sebanyak 203 blok.

Evita berharap keseluruhan tender WK Migas dan CBM tahun ini bakal lebih banyak peminatnya. “Makanya, kami menargetkan laku di atas 50% dari yang ditawarkan,” tutur Evita. Dengan kata lain, pemerintah mematok target bisa mendapat 30 peminat WK Migas baru. Tapi, bisakah?

Mari kita berhitung. Jika menilik pengalaman-pengalaman tahun sebelumnya, rasanya target Evita terlalu muluk. Pada tahun 2010 lalu, umpamanya, dari 43 WK Migas baru, plus 4 kontrak kerjasama (KKS) perpanjangan, dan 3 KKS CBM, atau total 50 WK yang ditawarkan, cuma laku di bawah 50 persen. “Yang ditandatangani hanya ada 21 KKS, dengan komitmen eksplorasi dan investasinya sebesar US$ 265,34 juta, plus bonus tanda tangan sebesar US$ 37,8 juta,” tutur Evita.

Tender WK Migas 2009 malah lebih miris lagi. Dari lelang 20 WK Migas pada Juni 2009, pemerintah terpaksa memperpanjang masa tender hingga akhir 2009 akibat tidak ada peminat. Hasil akhirnya, baru didapat akhir November 2009, dengan hanya mendapat tiga peminat WK Migas saja.

Jika tidak ada upaya progresif, bukan tidak mungkin tender WK Migas tahun 2011 juga seperti tahun-tahun sebelumnya. Sepinya peminat tender, menurut Evita, diakibatkan sejumlah hal.

Pertama, akibat minimnya data blok migas yang berpotensi. “Data yang ada saat ini kurang mencukupi untuk langkah lebih lanjut. Makanya, sebelum menawarkan lelang migas dan CBM itu, kita akan meningkatkan kajian ilmiah termasuk data geoscience. Tujuannya adalah, untuk menarik investor yang berminat mengikuti tender. Ini bukan soal mudah. Karena, dua tender migas yang diselenggarakan pemerintah tahun lalu ternyata sepi dari peminat,” papar Evita.

Evita yakin, setelah menyiapkan data blok migas yang akan ditawarkan, investor akan berminat. Memang, untuk mendapatkan data migas, tidak semudah membalik tangan. Sejak perencanaan, terjun ke lapangan, hingga pengumpulan data, butuh dana dan waktu tidak sedikit. 

Sejauh ini, anggaran pemerintah untuk pengumpulan data migas memang sangat minim. “Untuk tiga buah blok migas, anggarannya sekitar US$ US$ 14,75 juta (sekitar Rp 132 miliar), itu untuk penyediaan data seismik 3D saja. Sedangkan anggaran Kementerian ESDM malah terbatas, hanya miliaran rupiah,” kata Evita.

Kedua, menurut Kepala Kepala Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) R. Priyono, sepinya minat investor terhadap lelang WK Migas akibat investor masih memandang kondisi investasi di sektor hulu migas kurang kondusif. Penyebabnya, akibat tidak pastinya penghargaan terhadap kontrak yang sedang berlaku.

Ketiga, kata Priyono, akibat penurunan produksi alamiah migas yang hingga kini mencapai 7 persen hingga 12 persen per tahun. “Hal itu disebabkan karena sebagian besar lapangan produksi migas sudah berada dalam tahapan mature,” kata Priyono.

Keempat, tambah Priyono, akibat anggaran biaya eksplorasi yang sangat terbatas. Jika dalam kurun waktu 1995-1999 pengeluaran untuk eksplorasi rata-rata 10 persen dari total biaya, dalam kurun 2000- 2008 turun signifikan menjadi rata-rata 5 persen pada 2009. “Investasi eksplorasi juga masih rendah, beruntung realisasi pengeboran eksplorasi di tahun itu naik 7,1 persen dengan tingkat keberhasilan 46 persen,” tutur Priyono. Demikian pula dana perusahaan-perusahaan migas, perusahaan nasional saat ini tidak memiliki research and development yang canggih untuk migas. Walhasil, hasil data riset blok migas baru sangat minim.

Di luar empat hal itu, ada juga faktor eksternal yang kemungkinan besar berpengaruh besar pada minimnya minat investor terhadap lelang WK Migas, yakni kondisi makro ekonomi dunia. “Itu juga diakibatkan oleh ekonomi global, down term di Amerika Serikat sebagai pusat dari keuangan dunia. Orang investasi itu kan cuma return on investment, portfolionya di mana-mana tinggal dihitung, bagaimana kondisinya. Kalau semua sedang down, ya, down semua,” papar A. Edy Hermantoro, Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas, Kementerian ESDM.

Evita menambahkan, lesunya perekonomian global ini memang menyebabkan banyak investor asing memutuskan menunda pelaksanaan proyek, terutama di sektor migas. “Investor-investor asing banyak yang melakukan efisiensi biaya operasional ataupun investasi,” kata Evita.

Dari sisi pendanaan perbankan, juga masih sangat minim. Menurut Priyono, perbankan masih enggan membiayai sektor migas. Padahal, potensinya sangat besar dan relatif bebas dari krisis. “Saya pernah bicara dengan asosiasi perbankan. Saya ngomong proyek perusahaan minyak di Indonesia, seperti ExxonMobile US$ 4 miliar, di Makassar, senilai US$ 7 miliar, dan Blok Masela senilai US$ 17 miliar. Saya bersemangat memperlihatkan potensinya. Jawaban mereka (bank): "Pak Pri ngomong gede banget. Tahu enggak, sirkulasi semua perbankan di Jakarta hari ini cuma US$ 2 miliar," papar Priyono, menceritakan pengalamannya ketika bicara pendanaan sektor migas dengan perbankan.

Guru Besar Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (ITB) Surna Tjahja Djajadiningrat, menyatakan, banyaknya kendala teknis yang menyebabkan sepinya minat investor mengelola WK Migas, akan berdampak pada sulitnya mencapai target produksi dan lifting migas tahun ini. “Jika yang jadi masalah adalah kelengkapan data, kenapa tidak dari dulu dibenahi? Kan seharusnya sudah tahu kalau itu masalah sangat penting,” kata mantan Direktur Jenderal Pertambangan Umum Departemen Pertambangan dan Energi ini.

Surna menawarkan dua solusi untuk mempertahankan produksi migas, yaitu optimalisasi lapangan migas yang ada, dan eksplorasi blok baru. Hal itu terkait dengan banyaknya “lapangan tidur” dalam wilayah kerja asing yang dibiarkan karena dinilai tidak ekonomis lagi. “Untuk mengeksploitasi barang sisa itu, dibutuhkan teknologi yang lebih kompleks dan lebih berisiko. Perusahaan multinasional semacam ExxonMobil, BP Indonesia, atau Chevron biasanya tidak begitu tertarik, karena tidak menguntungkan. Padahal, kalau diproduksikan kembali, sumur-sumur itu mampu memproduksi minimal 50 ribu hingga 100 ribu bph,” tegas Surna.

Surna memperkirakan, banyak lapangan tua yang kandungan migasnya masih mencapai 35 persen dari total produksi blok tersebut di saat normal. Misalkan, blok migas Z mempunyai kandungan minyak mencapai satu juta barel, maka ketika ditambang, yang tersedot mungkin hanya sebesar 60 persen hingga 70 persen. Sisanya yang mengendap inilah yang bisa dioptimalkan.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menyarankan, pemerintah juga harus melelang WK Migas baru, bukan wilayah-wilayah lama yang sudah diketahui kurang diminati. “Calon investor mungkin sudah malas ikut lelang karena yang ditawarkan ya itu-itu saja, blok-blok migas yang lama,” katanya.

Di luar itu, aturan Migas masih belum banyak yang mendukung iklim investasi Migas. Meski saat ini pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010 tentang cost recovery, tambah Pri Agung, tapi hal itu tidak akan banyak membantu memperbaiki iklim investasi hulu migas. Pasalnya, PP cost recovery tersebut hanya bermanfaat sebagai pedoman bagi BP Migas untuk menjalankan tugasnya dalam pengendalian KKS. Dengan aturan baru tersebut, jelas dia, Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) migas tetap akan dikenakan pajak-pajak tidak langsung terlebih dahulu, termasuk pada masa eksplorasi yang kemudian dikembalikan melalui cost recovery.

“Meskipun PP ini sedikit berbeda dengan pengembalian melalui tax reimbursement atau tax deduction, tetapi secara arus kas tetap merupakan disinsentif bagi KKKS Migas, sehingga tidak membantu memperbaiki iklim investasi hulu migas,” tutur Pri Agung.

Selain itu, dia menambahkan, aturan yang sudah akan diberlakukan mulai 2011 itu juga dapat digunakan untuk menyamakan persepsi tentang biaya-biaya yang dapat atau tidak dapat dikembalikan antara BP Migas dan auditor-auditor pemerintah seperti BPK atau BPKP. “Itu saja yang ada dalam PP ini, tidak lebih,” kata Pri Agung.

Menurut Pri Agung, PP cost recovery tersebut juga makin menegaskan bahwa pendekatan birokratis memang lebih dikedepankan dalam menangani industri hulu migas. Namun, ketentuan yang tertuang dalam PP itu tidak menjamin cost recovery akan lebih efisien karena pengendalian hal-hal teknis dan operasional tetap tidak tersentuh.

Menilik masih banyak kendala dan pekerjaan rumah (PR) berat pemerintah, sepertinya target pemerintah melelang 60 WK Migas tahun ini plus target laku lebih dari 50 persen, ibarat Pungguk Merindukan Bulan. ****

Read More......
Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger