Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Kamis, 19 April 2012

"Gigi Otek"

0 komentar


Share

“Ayah, Gigi Aulia udah otek”. Pesan singkat (SMS) itu mampir ke handphone saya saat makan siang awal April lalu. Spontan saya mengirim SMS balik: “Hahhh... Itu artinya Aulia sudah gede”. Tak lama berselang, Aulia kembali menjawab SMS: “Makasih Ayah”.

Aulia

Aulia kini sudah berusia 6 tahun 3 bulan. Juli depan, Aulia masuk Sekolah Dasar. Sungguh sangat tidak terasa. Aulia lahir di tengah keprihatinan keluarga saya. Ketika Aulia lahir, 3 Januari 2006, kami masih tinggal di rumah BTN. Letaknya di tengah sawah di pedalaman Tambun, Bekasi. Rumah di atas tanah 72 meter persegi itu hasil cicilan saya saat masih sendiri alias membujang. Tidak ada niat beli rumah di sana, tadinya. Seorang teman mengajak saya membeli rumah BTN tersebut. Tanpa survei dan panjang kalam, saya langsung mengiyakan. Seusai akad kredit, baru saya menengok rumah tersebut. Alamaaakkk.. jauhnya... Dari stasiun Tambun, jaraknya 7 kilometer ke pedalaman.

Awalnya, sungguh capek tinggal di sana. Jalan dari Stasiun Tambun belum diaspal. Di tiga kilometer terakhir, harus melewati sawah. Jika hujan, maka jalanan tidak terlihat. Ketika itu, saya hanya memiliki sepeda motor cicilan kantor. Yang membuat terkenang hingga kini, saya selalu pulang malam pulang kerja. Jarak kantor ke rumah sekitar 47 kilometer.

Sering saya terjebak hujan saat pulang kerja. Tak seorang pun orang melintas di jalan. Bermodal nekad, saya terobos jika hujan mendera. Dalam kesendirian di jalan. Pernah suatu kali, motor saya mogok, pas jam 12 malam. Hujan luar biasa deras. Tidak ada seorang pun lewat. Juga mati lampu. Lengkap sudah ujian itu. Setengah berdoa, dalam setengah aral, gerentes hati muncul mengadu kepada Yang Di Atas, “Perhatikan ya Tuhan, Saya rela begini demi si buah hati dan mamanya.”

Sebelum kami pindah ke rumah BTN pada pertengahan tahun 2005 itu, saya dan istri tinggal di sebuah kontrakan kecil di daaerah Pasar Minggu. Kami mulai mengontrak rumah di sana setelah nikah pada Januari 2005. Kami hanya bertahan tiga bulan di kontrakan dekat makam tersebut. Ada beberapa alasan yang menyebabkan kami memutuskan pindah ke rumah BTN di Tambun.

Pertama, letak rumah kontrakan itu tidak membuat nyaman lantaran berhadapan langsung dengan makam. Istri saya kerap merasa was-was jika saya bekerja, tanpa teman. Apalagi, dengan pekerjaan sebagai wartawan, hampir pasti saya pulang larut.

Kedua, penghasilan seorang juru warta di media ternama di Indonesia itu, tidak berbanding lurus antara nama besar media tersebut dengan penghasilan. Gaji saya sangat pas-pasan. Sementara tanggungan sudah lumayan banyak: bayar kontrakan plus listrik, biaya cicilan BTN, juga biaya kuliah adik pertama. Berat. Akhirnya, kami memutuskan pindah ke rumah BTN di Tambun itu. Awalnya berat. Sebab, jaraknya terasa sangat jauh. Namun, lama-lama jadi terbiasa.

Menempati rumah yang jauh dari peradaban, juga sebelumnya menghuni kontrakan tanpa kursi, tempat tidur dan perabotan rumah tangga yang lain, sekaligus menjadi ujian bagi istri saya. Dari yang terbiasa ada, kemudian menikah dengan saya yang serba tidak ada. Nyatanya, ujian lulus dan istri saya sepenuh hati mendampingi saya. Alhamdulillah.

Ketika kami pindah ke rumah Tambun itulah, tiga bulan setelah menikah, istri saya mulai mengandung Aulia. Sembari mengisi waktu luang, istri saya diminta mengajar Taman Kanak-Kanak di depan rumah kami. Akhir Desember 2005, saya ditugaskan liputan ke Manila, Filipina. Di awal Januari 2006, saya kembali ke Indonesia. Saat itulah, Aulia kecil lahir.

Kelahiran Aulia juga menjadi ujian bagi kami. Modal cekak, saudara jauh, dan lokasi rumah yang jauh, juga tidak ada bidan di perumahan saya, menyebabkan saya harus mencari bidan di perumahan terdekat. Jaraknya sekitar dua kilometer. Jam 3 dini hari saya mencari dan membangunkan bidan.

Lantaran ketuban pecah, kelahiran Aulia harus dilakukan melalui operasi caesar. Syukurlah, setelah dua hari terbaring di rumah sakit terdekat, Aulia akhirnya bisa lahir melalui operasi. Ada beberapa tetangga yang turut menunggui kami di rumah sakit.

Awalnya kami gugup mendapat kelahiran bayi. Syukurlah, saya dan istri yang terbiasa susah dan sederhana, bisa melakukannya secara otodidak. Kami rawat dengan seadanya. Meski penghasilan pas-pasan, kami mencoba mencarikan pengasuh bayi. Hingga umur tiga tahun, Aulia didampingi baby sitter.

Saat Aulia umur setahun, saya pindah kerja ke media cetak berbeda. Jika ada yang mengatakan, anak adalah pembawa berkah, saya yakin akan hal itu. Kepindahan kerja ke tempat baru, turut mendorong penghasilan saya, Alhamdulillah meningkat.

Aulia mulai lepas dari baby sitter setelah kerap meminta ikut mamanya mengajar TK. Sejak itulah, Aulia sudah mulai belajar mewarnai, mengenal huruf, dan menulis. Pada umur empat tahun, Aulia sudah mampu membaca dan menulis huruf. Memasuki usia lima tahun, Aulia sudah pintar bermain game di laptop, menulis SMS di handphone. Meski statusnya masih tetap anak TK dasar.

Berkah Aulia, berkah pekerjaan baru. Pada 2008, kami membeli rumah baru. Lokasinya di depan jalan raya Daendels atau di Jalan Raya Bekasi. Namun, baru setahun kemudian, kami menempati rumah baru itu. Empat hari sebelum pergantian tahun 2010, kami boyongan ke rumah baru. Banyak tetangga di perumahan lama yang turut mengantar. Alhamdulillah, ini berkah bagi kami.

Di rumah inilah kami mulai menikmati keberkahan rezeki dari Yang Kuasa. Sungguh besar Karunia Allah kepada kami. Dari sisi ekonomi, kami kini jauh lebih baik ketimbang sebelumnya. Saya sering mengajari Aulia, meski mungkin belum terlalu mengerti, sederhana dan bersyukurlah, niscaya Allah akan senantiasa memberkahi hidup kita. Terdengar klise, barangkali, tapi demikianlah adanya.

Belakangan, Aulia sering menegur saya jika saya kadang tampak mengeluh saat terjadi sesuatu. Misalnya, kendaraan saya sedang dalam perbaikan. “Ayah nggak bersyukur, ya?” katanya. Tentu saja saya hanya nyengir. Kadang, saya merasakan Aulia terlalu dewasa untuk ukuran anak seumuran 6 tahun. Barangkali karena didikan mamanya yang lumayan disiplin. Kendati tentu saja kemanjaannya tetap sering muncul. Misalnya, setiap pagi dia selalu minta saya untuk mengusapkan minyak kayu putih dan bedak, kemudian meminta saya memakaikan baju seragam TK.

Istri saya tetap mengajar di TK depan perumahan lama. Sementara Aulia sekolah di TK yang searah dengan jalan menuju perumahan lama saya. Setiap saya pulang kantor, selalu saja Aulia menyambut dan berlari menjemput ke gerbang. Kemudian minta digendong. Sering juga dia meminta naik di pundak, layaknya mengelu-elukan sang juara tinju di tengah ring. Sungguh kebahagiaan tiada tara.

Walaupun sering tampak lebih dewasa dari seusianya, Aulia adalah anak pencemburu. Dia kerap tak mengizinkan saya dan istri untuk selalu berdekatan. Hehehe... Mungkin dia ingin saya dan istri selalu memperhatikan dan menimang dia. Atau dia cemburu dengan kedekatan dan kemesraan ayah dan mamanya.. Hehehe...

Jika tidur pun, Aulia selalu minta di tengah di antara kami. Dia akan marah besar bila dia terjaga, dia ada di pinggir tempat tidur. Ketika menjelang usia enam tahun, kami menyarankan Aulia menempati kamar depan rumah kami. Selama ini, kamar itu kosong, khusus buat tamu atau saudara yang mengindap di rumah kami. Dia baru mau pisah tempat tidur, ketika adik perempuan saya mulai tinggal di rumah saya.

Namun, itupun setiap pagi bangun tidur, selalu langsung mengecek ke kamar kami, apakah saya dan istri tidur berdekatan? Suara geretan pintu, kerap menjadi pertanda bagi kami. Jika pintu kamar depan berderit, maka Aulia ke luar kamarnya dan menuju kamar kami. Biasanya, saya dan istri mencoba tidur berjauhan. Aulia memang tidak masuk ke kamar. Dia hanya mengintip di balik jendela kaca kamar belakang kami, seperti ingin memastikan posisi tidur ayah dan mamanya. Kami pura-pura tertidur. Setelah Aulia pergi ke kamar depan kembali, barulah saya dan istri tersenyum menertawakan tingkah polah Aulia yang sungguh lucu dan menyegarkan hati kami.

Di balik tingkah polah inilah, Aulia tumbuh. Kadang kekhawatiran muncul, ketika Aulia lebih memilih terus menerus di rumah dengan melakukan aktivitas mewarnai, menulis, bermain game di laptop, atau bermain game di handphone. Istri saya khawatir, di usia dini, perilaku itu akan turut menyebabkan kondisi psikologis Aulia akan tumbuh menjadi egois, dan asosial. Mengajar di TK dan berijazah Sarjana Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), agaknya turut mendorong istri saya lebih memahami kondisi psikologis Aulia tinimbang saya.

Syukurlah, menurut pandangan kami, Aulia tumbuh normal, bahkan menonjol di banding seusianya. Sering, Aulia diminta guru-guru TK-nya, mewakili TK untuk berlomba matematika atau sejenisnya. Mudah-mudahan ini bibit-bibit baik buat ke depan.

Begitulah. Dari kesederhanaan dan segala keterbatasan, keberkahan –mudah-mudahn selalu- memayungi keluarga kecil kami. Tak jarang, jika saya di kantor, Aulia mengirim SMS duluan, hanya untuk sekedar menanyakan kabar, atau menanyakan apakah Ayah sudah makan, dan lain-lain.

Seperti siang hari di awal April itu, SMS Aulia mampir mengabarkan gigi depan bagian bawahnya otek. Saya tahu, dia sudah menunggu lama giginya otek. Sering dia mengadu kepada saya, “Ayah, gigi si Anu sudah otek”. Lain waktu, dia kembali mengabarkan, “Ayah, gigi si Anu juga otek”. Nampaknya, dia terobsesi untuk segera ganti gigi.

Maka, ketika mamanya memutuskan untuk mencabut gigi otek itu lantaran gigi barunya mulai tumbuh, Aulia kuat menahan sakit, meski darah keluar. “Aulia nggak menangis Ayah, hanya keluar sedikit air mata”. Hehehe.. Syukurlah.

Saya selalu membesarkan hatinya: “Itu tandanya Aulia sudah gede. Jadi, ngompolnya harus segera berhenti”. Hingga umur 6 tahun lebih saat ini, Aulia memang masih ngompol. Setiap menjelang tidur, dia selalu minta saya memasang pampers untuknya. Begitulah.

Sebentar lagi buah hati kami akan memasuki SD. Mudah-mudahan diberikan jalan terbaik, kesuksesan, keberkahan hidup, bahagia dunia akhirat. Amiinnn...


Kelak, jika kau sudah dewasa anakku, perhatikan nasihat Ayah yang dikutip dari nasihat Sunda Buhun yang dinyanyikan penyanyi asal Bandung Doel Sumbang. "Jampe-jampe harupat... Sing jauh tina maksiat Anaking, ngarah salamet dunya akherat. Susah senang omat sholat Anaking, beunghar kade poho zakat.


Pek dudunya satakerna, Lir ibarat hidep hirup di dunya, rek hirup saumur dunya. Jampe-jampe harupat. Prak ibadah sakatkerna, Lir ibarat hidep di dunya, rek cacap engke sareupna.

Read More......

Senin, 16 April 2012

"Emak Abah Mau ke Baitullah"

0 komentar


Share

Nada gumbira terdengar renyah di telepon. Kali ini suara Emak tampak bersemangat. “Alhamdulillah semua proses administrasi pendaftaran haji tuntas, tinggal menunggu jadwal keberangkatan,” kata Emak, di ujung telepon.

Pembicaraan via udara ini terjadi di awal Februari lalu. Betapa bahagia mendengar Emak dan Abah akhirnya sudah terdaftarkan untuk berangkat haji ke Baitullah.

Ini niat saya sejak lama. Niat ingin menghajikan emak dan abah. Mereka bukanlah keturunan kiai, atau berpendidikan pesantren. Emak dan Abah adalah buruh tani, dengan beberapa petak sawah garapan. Sungguh tidak mungkin jika membiayai sendiri naik haji.

Emak hanya membuka warung jajan kecil-kecilan. Dia lakoni pekerjaan ini dengan sepenuh hati. Barang jajanan di warungnya hampir tak pernah bertambah. Jika tidak dikatakan hanya itu-itu saja: kerupuk, jajanan anak-anak, beberapa bungkus rokok, cemilan kecil, dan mirong. Mirong adalah masakan khas daerah kami. Terbuat dari tepung dan ikan asin yang digoreng. Rasanya renyah dan gurih. Ia bisa bertahan lama hingga seminggu, tetap enak dan aman. Ia menjadi teman lauk pauk kami sejak kecil. Juga teman lauk pauk bagi kalangan petani garapan di daerah kami.


Emak sudah berjualan warung kecil ini sejak 1980-an. Jadi, jika dihitung, warung kecil Emak sudah lebih dari 30 tahun. Dan tetap seperti itu. Warung kecil ini menjadi modal harian untuk membiayai anak-anaknya sekolah. Anak Emak dan Abah ada empat: Kakak, saya, adik laki-laki, dan si bungsu. Kecuali si bungsu, anak Emak dan Abah adalah laki-laki.

Ketika saya kecil, kerap saya dagang es bungkus dari warung Emak ke tengah sawah. Harga sebatang es bungkus ketika itu masih sekitar Rp 25. Kendati hasilnya tak banyak, menjajakan es ini melatih kami untuk mandiri dan bekerja keras. Kelak, ketika menjalani proses sekolah, tak jarang kami, anak-anak Emak dan Abah harus berupaya survival, membiayai diri sendiri agar tetap bisa hidup, di tengah himpitan ketiadaan biaya sekolah.

Ketiadaan banda, tidak menjadikan Emak dan Abah mengeluh. Mereka mendidik kami untuk hidup prihatin dan sederhana. Dari kakak, saya, hingga adik laki-laki saya, tak malu untuk bekerja kuli di sawah. Atau mencari kayu bakar untuk kemudian dijual. Yang penting halal dan berkah.
Meski bukan dari kalangan santri, sejak kecil Emak menanamkan untuk selalu bersedekah. Sebulan sekali, dari hasil lebih warung jajanan yang sederhana itu, biasanya Emak membagikan sebagian kecil duit receh kepada anak-anak. Juga beberapa orang tua jompo. “Berbagilah, agar hidup kita berkah,” kata Emak, kepada saya suatu saat.

Hasil warung sebetulnya jauh dari cukup untuk membiayai sekolah. Emak lebih banyak nombok ketimbang untung. Namun, Abah yang bertani, bisa memberi subsidi untuk menjalankan warung. Dari hasil jual sayuran, atau menjual padi pasca panen, bisa menambah darah warung kecil kami. Singkat kata, warung kecil kami hanya cukup untuk teman makan kami.

Selain bertani, Abah tidak punya keterampilan lain. Dulu, jika sawah tadah hujan kehilangan air, Abah menjadi kuli bangunan di Jakarta. Abah juga memelihara beberapa ekor kambing untuk tambahan tabungan keluarga. Maka, jika Abah menjadi tukang gali di Jakarta, sayalah yang harus mencari makanan rumput buat kambing-kambing kami. Itu dilakukan setelah pulang dari sekolah.

Sangat wajar, jika teman-teman kecil saya adalah anak-anak sesama pencari rumput kambing. Mereka kebanyakan tidak melanjutkan sekolah setelah lulus Sekolah Dasar (SD). Jadi, di antara mereka, sayalah yang paling tinggi pendidikannya. Saya menjalani pada masa SMP hingga SMA. Harap maklum bila tampang dan kulit saya, paling hitam sendiri di antara teman-teman sekolah.

Kekurangan turut menyebabkan saya harus tampil apa adanya. Ketika SMP, sangat jarang baju seragam saya disetrika. Emak tak punya setrika. Meminjam ke tetangga atau saudara, juga malu. Biasanya, Emak menaruh baju dan celana seragam saya di bawah lipatan kasur di akhir pekan. Di awal pekan, baju dan celana ala setrika kasur ini bisa dipake. Lumayan bisa sedikit menghaluskan kusut masai baju dekil itu.

Modal rajin belajar, yang menyebabkan saya, kakak, dan adik laki-laki saya bisa meneruskan studi ke jenjang lebih tinggi. Si bungsu, relatif tidak merasakan “kesengsaraan” kami menapaki jalan pendidikan.

Ketika lulus dari SMP, niat melanjutkan sekolah ke SMU di ibukota kecamatan begitu kuat. Padahal, ketiadaan biaya adalah fakta yang harus dihadapi. Menyiasati ini, saya harus berkali-kali menjadi kuli bangunan di Jakarta. Hasil uangnya lumayan. Bisa untuk membeli sepeda bekas, bekal ke sekolah di Ibu Kota kecamatan. Jaraknya sekitar 7 kilometer dari rumah.

Saat itu, Kakak sudah nekad kuliah di Jakarta. Sementara adik laki-laki saya, masih di SD. Si bungsu masih bayi. Ketabahan Emak dan Abah, turut mendorong dan memotivasi kami melakoni itu.

Syukurlah, keluarga sederhana kami dikaruniai niat belajar yang kuat. Dari Kakak, saya, adik laki-laki, dan si bungsu, lumayan mendapat prestasi di sekolah masing-masing. Saya, saat di SMU, hampir selalu ada tiga besar. Beberapa kali mendapat ranking 1. Atas dasar ini, saya dua kali mendapat beasiswa dari negara. Uangnya lumayan buat nambah-nambah biaya sekolah dan uang jajan.

Bagi saya, sebetulnya tidak ada orang pintar dan tidak ada orang bodoh. Jika dia rajin belajar, maka dia akan pandai. Jika ada ulangan atau tes semesteran, saya harus melakoni ritual belajar dua kali dalam semalam. Setelah maghrib, saya menghafal seluruh materi yang akan diujikan. Selesai kira-kira jam 10 malam. Istirahat. Di dini hari, jam 03.00 saya terbangun, untuk kemudian menajamkan hafalan bahan pelajaran. Hasilnya nyata. Rata-rata ulangan saya, hampir selalu mendapat yang terbaik.

Allah Maha Adil. Allah Maha Mengetahui. Allah Maha Penyayang.

Apa yang kita tanam, itu yang kita dapatkan. Demikianlah. Hidup prihatin, sederhana, pekerja keras, buahnya akan kita rasakan di kemudian hari. Kakak saya, lulus sarjana di perguruan tinggi negeri di Jakarta. Ia mengambil jurusan Bahasa Inggris. Kini, ia berstatus Wakil Kepala Sekolah di SMP Negeri di Ibukota Kecamatan.

Saya, hampir 10 tahun jadi juru warta. Saya bekerja di dua media utama di Indonesia. Kemudian beralih menjadi konsultan media. Menjadi top manajemen, sekaligus mendapat sebagian kecil saham perusahaan. Perusahaan kami bergerak di industri Public Relation (PR). Klien-klien kami, sebagian besar kerap menghiasi media-media nasional dan internasional. Alhamdulillah.

Adik laki-laki saya, kini sudah hampir tiga tahun menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Akhir Maret lalu baru saja menyunting istri, tetangga kami di kampung. Selepas nikah, adik saya menempati rumah barunya di Bekasi, tak jauh dari perumahan saya.

Si bungsu, sedang menjalani proses bimbingan belajar intensif menjelang Seleksi Nasional penerimaan mahasiswa baru. Ia tinggal bersama saya di Bekasi.

Setahun bergerak di industri Public Relation, dengan upaya kerja keras, perusahaan kami berhasil mencatatkan hasil yang lumayan. Salah satunya, saya mendaftarkan Emak dan Abah untuk naik haji. Kakak saya yang mengurus administrasi. Sebab, cuma dia anak Emak dan Abah yang kini tinggal se-daerah. Saya dan adik-adik, tinggal di Bekasi.

Ternyata, daftar antrian haji di daerah saya begitu panjang, mencapai 9 tahun. “Di daftar antrian, Emak dan Abah baru bisa berangkat pada tahun 2021,” kata Emak, sekali lagi di ujung telepon.

Lama nian. Tapi, satu sisi ini menunjukan tingkat ekonomi masyarakat petani daerah saya maju. Keberangkatan haji ke Tanah Suci Mekkah, bisa menjadi penanda tingkat ekonomi masyarakat makin meningkat. Maklum, butuh biaya lumayan besar untuk sampai ke Tanah Suci.

Tapi, tahun 2021 bukanlah harga mati. “Menilik umur Emak dan Abah yang sudah di atas 60 tahun, mungkin keberangkatannya bisa dimajukan,” kata Emak. Entah kapan. Yang pasti, Emak dan Abah merasa bersyukur akhirnya diberikan jalan untuk berangkat mengok ke Baitullah. Hal yang sebetulnya saya sendiri agak khawatir. Emak dan Abah bukanlah orang berpendidikan. Untuk berbicara menggunakan bahasa Indonesia saja, Emak dan Abah mbalelo alias kesulitan. Mereka sudah terbiasa berbicara bahasa Sunda pinggiran. Tapi, Allah Maha tahu. Yang penting, langkah awal sudah ada. Bismillah!!!

Tentu saja saya dan keluarga kecil kami sangat bersyukur. Kami mencapai kondisi saat ini. Sebagai tanda syukur itu, biar saya yang menanggung biaya Emak dan Abah ke Baitullah. Mudah-mudahan bisa menjadi keberkahan buat saya dan keluarga saya. Mudah-mudahan Allah menjauhkan saya dari ujub, riya, dan takabur. Amiin. Ini hanya sekedar motivasi buat yang lain.

Dari sisi duniawi, menurut saya pribadi, saya dan keluarga Emak dan Abah Alhamdulillah cukup. Kakak saya, hidup berkecukupan. Istri yang juga PNS, dua anak, rumah, dan kendaraan motor dan mobil, sepertinya cukup sudah. Saya, Alhamdulillah rumah dua meskipun sederhana, mobil, dan beberapa kendataan motor. Adik laki-laki saya, rumah dan dua sepeda motor. Si bungsu masih mencari pendidikan buat bekal dia kelak.

Apa yang kami tanam di masa lalu, turut berkontribusi mencapai kualitas hidup pada tahap ini. Hingga kini, Emak, juga Kakak, selalu mengingatkan kami sekeluarga, untuk tetap memperhatikan kaum kecil dan papa. Terutama nenek dan kakek jompo. Alhamdulillah, didikan sejak kecil untuk terus berbagi dan sederhana, membekas kepada kami. Sedekah dan zakat penghasilan, Insya Allah selalu kami jalankan. Kami percaya, sedekah adalah pintu pembuka rezeki Allah yang lebih besar dan lebih berkah.

Barangkali, hal ini pula yang menjadi jalan Emak dan Abah menuju Baitullah. Bismillah!!!

Read More......
Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger