Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Jumat, 16 Mei 2008

Inspirasi - 2 (Yayan Dahyan)

Raja Bambu dari Rajapolah (1)

Danto

Yayan Dahyan, 38 tahun, dasarnya memang punya watak pengusaha. Cepat mengambil keputusan dan pintar memanfaatkan peluang. Krisis moneter 1997 membantunya mempercepat niat menggeluti usaha kerajinan tangan dari bambu. Dia memilih keluar dari pekerjaannya di sebuah lembaga keuangan di Bandung.

Kala itu Yayan mengajak Acep Suparman membuka usaha kerajinan bambu di kampungnya di Rajapolah, Tasikmalaya, Jawa Barat. Bermodal awal patungan Rp 15 juta, usahanya cepat berkembang. Kini, sepuluh tahun kemudian, omzet perusahaannya mencapai Rp 8,8 miliar per tahun alias 732 juta per bulan, atau Rp 24,4 juta per hari. Apa rahasia suksesnya? Kami sajikan kisahnya dalam tiga tulisan.

****
****

Bagi Yayan Dahyan, krismon bukanlah kata singkat dari krisis moneter. Dalam kamus hidup Yayan, krismon adalah kiriman rezeki pasti moncer.

Pada awal 1997, kurs rupiah masih Rp 2.000 per dolar Amerika. Namun ketika krisis moneter itu melanda seluruh kawasan Asia pertengahan tahun itu, rupiah ikut terjerembab hingga di atas Rp 10.000 per US$. Harga kebutuhan pokok sekonyong-konyong melonjak tajam. Petaka bagi kebanyakan orang, tapi karunia bagi Yayan.

Lewat pergaulan yang luas, Yayan yang kala itu bekerja di sebuah lembaga keuangan di Bandung, sedikit bisa meraba tanda-tanda krisis bakal datang menjelang pertengahan 1997. Di balik musibah, pasti ada berkah. Begitu dia berfikir saat itu.

Nilai dolar Amerika yang melayang terbang, menjadi peluang baru bagi Yayan. Kerajinan tangan menjadi primadona anyar ekspor. Kebetulan, keluarga Yayan sudah lama menggeluti kerajinan tangan dari bambu, seperti kipas kaligrafi.

Dasarnya pandai memanfaatkan peluang, Yayan tanpa ragu memilih menekuni usaha kerajinan bambu untuk diekspor. Dia memutuskan berhenti kerja dari Wakil Direktur sebuah bank perkreditan rakyat di Bandung tersebut. Yayan berurun rembug dengan rekannya, Acep Suparman, kini 38 tahun, yang kala itu bekerja di sebuah perusahaan perkebunan di kawasan Sukabumi. Seperti Yayan, Acep pun memilih pensiun dari kerjanya.

“Kami sepakat untuk pulang kampung,” kata Yayan, Selasa (25/9). “Bukan karena karir kami sudah mentok, atau karena di kantor ada masalah. Kami melihat potensi kerajinan tangan (handicraft) yang sejak lama digeluti penduduk di kampung halaman kami di Rajapolah, Tasikmalaya, Jawa Barat.”

Begitulah. Pergaulan Yayan yang lapang membuatnya memahami bahwa di negara Eropa dan Amerika terdapat regulasi tentang penggunaan barang-barang yang sifatnya ramah lingkungan dan mengurangi pnggunaan barang yang bersifat sintetik. “Lebih jauhnya, kami ingin membuka lapangan kerja baru,” kata Yayan.

Yayan dan Acep bersepakat. Keduanya patungan sebesar
Rp 15 juta untuk modal awal usaha. Mereka bergerak mencari pasar, menerima order, dan berproduksi melalui pengrajin-pengrajin yang tersebar di Rajapolah. Pada 27 Mei 1997, keduanya resmi mendirikan CV. Rumpun Bambu Kitri.

Nama Rumpun Bambu terkait dengan proyek yang mereka peroleh dari Departemen Kehutanan, yaitu proyek penghijauan di daerah Tasikmalaya. Sedangkan nama Kitri terkait dengan nama usaha orangtua Yayan yang mempunyai galeri bernama Toko Kitri di Jalan Raya Rajapolah, Tasikmalaya.

Perusahan Yayan pada Juni 2003, bertepatan dengan perpanjangan izin usaha, Rumpun Bambu Kitri berganti nama menjadi Rumpun Bambu Kreasi.

Perkenalan dengan Departemen Kehutanan ikut mengubah nasib Yayan. Pertemuan berawal saat mengikuti pameran di departemen itu tahun 1997. “Kami ditawari menjadi mitra petani, yang memiliki tanah yang kurang produktif yang akan ditanami pohon bambu untuk penghijauan,” kata Yayan.

Mereka sepakat. Lahan yang ditawarkan seluas 1.900 hektar, tersebar di sembilan kecamatan di Tasikmalaya. Bambu bisa dipanen dalam enam tahun. Kerjasama bukan berarti gratis menggunakan bambu itu. Jika dipanen kelak, Yayan harus membelinya dari petani.

Dari Yayan dan Acep berencana membuat produk bambu lamina sebagai pengganti fungsi kayu yang nantinya dijadikan bahan baku untuk flooring, meubel, termasuk juga kerajinan. Bambu lamina adalah bambu yang dipadatkan menjadi semacam kayu yang keras, hingga bisa digunakan untuk membuat berbagai produk.

Agar proyek tak gagal, Yayan kemudian menggandeng Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan bagian penelitian dan pengembangan (Litbang) Dinas Kehutanan Bogor, untuk menyiapkan konsep produksi sekaligus pemasarannya.

Sembari menunggu bambu dipanen, duet Yayan-Acep terus menjalankan usaha handicraft yang telah dimulai pada awal 1997 itu. Order pertama yang mereka terima berupa produk hiasan kipas kaligrafi dari bahan bambu, untuk dijual ke Timur Tengah. Bukan perusahaannya yang langsung mengekspor, tapi melalui sebuah perusahaan eksportir.

Order pertama itu terbilang gede. Jumlahnya mencapai 12.000 unit dengan harga Rp 15 ribu per unit. Modal untuk itu ternyata masih kurang. Keduanya mencoba meminjam ke bank konvensional. Gagal. “Pada saat itu kami belum dilirik oleh Bank Umum,” kisah Yayan.

Tak hilang akal, Yayan menjajal pinjaman ke perorangan dan bank perkreditan rakyat (BPR). Hasilnya lumayan. Dapatlah pinjaman sebesar Rp 20 juta. Ekspor pertama pun lancar. Danto


Krisis bagi yang lain, bisa menjadi peluang usaha bagi kita jika pandai memanfaatkannya.


Bagian Kedua :

Raja Bambu dari Rajapolah (2)


Sejak mendirikan CV Rumpun Bambu Kitri pada 27 Mei 1997, yang kemudian berubah nama menjadi CV Rumpun Bambu Kreasi pada Juni 2003, Yayan Dahyan, 38 tahun, giat membangun relasi bisnis. Usahanya sukses. Pesanan gede perdana berhasil diraihnya.

Mereka mendapat order ekspor hiasan kipas kaligrafi ke Timur Tengah. Jumlahnya mencapai 12.000 unit dengan harga Rp 15 ribu per unit atau senilai Rp 180 juta. Sempat gelagapan lantaran modal cekak. Meminjam ke bank umum tak ada yang mau memberi. Bank konevnsional belum percaya. Untunglah pinjaman didapat dari bank perkreditan rakyat dan perorangan sebesar Rp 20 juta. Jadilah ekspor pertama itu lancar.

Kepercayaan diri Yayan memuncak. Mulai gencarlah dia bersama Acep Suparman, rekannya pendiri CV Rumpun Bambu, mencari order ekspor. Mengalirlah pesanan. Rasa pede tinggi membuat duet Yayan-Acep lengah.

Pada 1998, apa yang dikhawatirkan terjadi. Semula, Yayan sumringah ketika pesanan ekspor yang kesekian datang. Sebuah perusahaan eksportir yang baru dikenalnya, memesan order hiasan bambu untuk diekspor. Nilainya memang jauh di bawah order pertama. Besarnya “hanya” Rp 40 juta.

Setelah bicara sana-sini, Yayan dan si pemilik eksportir bersepakat. Yayan percaya. Deal. Barangpun diantar. Tapi Yayan ketiban apes. Dasarnya kurang hati-hati, “setelah dikirim mereka tidak mau membayar,” keluh Yayan.

Apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. “Sejak itu kami berhati-hati bila berhubungan dengan pembeli baru dan menetapkan pembayaran uang muka sebesar 50%,“ kata Yayan.

Soal tipu-menipu, Yayan kembali merasakan. Tak lama setelah peristiwa itu, duet Yayan-Acep kembali terjerembab. Bila sebelumnya ditipu di bagian ”hilir“ alias di penjualan, kali ini terjadi di bagian ”hulu“ alias di produksi.

Kala itu, Yayan yang memasok barang dari perajin di Rajapolah, Tasikmalaya, memesan order baru kepada sekelompok perajin melalui seorang wakilnya. Sebagaimana biasa, semua barang dan pengerjaan diserahkan kepada perajin. Yayan tinggal terima beres. Setelah mufakat, Yayan menyerahkan seluruh uang pesanan sebanyak Rp 20 juta.

Ternyata, oh, ternyata. Pesanan yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Belakangan, barulah sadar. Bahwa duit order itu dibawa kabur sang oknum perajin. ”Sejak itu kami memberlakukan aturan baru,“ kata Yayan. “CV Rumpun Bambu hanya memberi upah untuk jasa pembuatan produk yang dilakukan pengrajin. Sedang bahan baku dipasok oleh kami.”

Dua kali kena muslihat, Yayan tak menyerah. Tak ingin berlama-lama dalam keprihatinan, Yayan bersiap mengembangkan pasar. Strategi pun disiapkan. Berbagai cara pemasaran dijalankan. Ide baru muncul. Agar usaha berkembang, maka harus ada pengembangan produk. Dia merealisasikan idenya. Dari semula hanya membuat kerajinan dari bambu, produk dilebarkan menjadi produk aksesori. Seperti alat-alat kantor, antara lain kotak berkas, tempat kertas, kotak majalah, kotak CD, tempat pulpen, tempat memo, pigura, kotak alat tulis.

Yayan juga membuat produk houseware alias alat-alat rumah tangga dan dekorasi, seperti karpet, tempat sampah, kotak tisu, bantal, taplak meja. Dan terakhir adalah produk aksesori seperti sandal, tas, kotak kosmetik, dan kaligrafi.

Yayan kemudian aktif mengikuti berbagai pameran, baik di dalam maupun luar negeri. Mereka antara lain menjadi langganan tetap pameran kerajinan terbesar di Indonesia seperti Inacraft dan Pameran Produk Ekspor (PPE).

Selama pameran, Yayan yang someah alias ramah giat membangun hubungan silaturahmi dengan sesama peserta pameran. Hasilnya positif. “Hubungan tersebut bersambung menjadi hubungan bisnis, dengan menjadikan mereka sebagai buyer kami atau menghubungkan kami dengan para buyer yang mereka kenal,” ucap Yayan.

Agar pemasaran menjangkau yang lebih luas, Yayan bersama Acep membuat situs soal promosi produknya. Untuk pasar lokal, duet dari Tasikmalaya itu membuat brosur produk untuk disebar ke tempat-tempat potensi pasar. Tak lupa memasang iklan di koran dan majalah.

“Kami juga menjalin kerja sama dengan perusahaan lain (Complementary Product), misalnya dengan perusahaan furniture, barang kami bisa dijadikan sebagai pengisi container mereka yang memiliki celah kosong,” kata Yayan.

Perluasan pasar dilakukan juga dengan berkonsultasi ke Badan Pengembangan Eksor Nasional (BPEN). Tidak lupa menggandeng Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Tasikmalaya, Dinas Perindustrian Kabupaten Tasikmalaya dan Propinsi Jawa Barat untuk melakukan promosi, khususnya pameran. Dari semua lembaga itu, duet Yayan-Acep berhasil mendapat fasilitas pelatihan manajemen UKM, misalnya untuk ekspor.

Supaya produknya kian dikenal luas, Yayan tak hanya menggandeng lembaga dalam negeri. Direktur Utama CV Rumpun Bambu Kreasi itu juga menjalin kerja sama dengan CBI (Centre for The Promotion of Imports from Developing Countries) di Belanda.

Hasilnya sangat membanggakan. Beberapa bulan setelah ikut Pameran Produk Ekspor (PPE) 2003, Won International, sebuah perusahaan Korea, memesan tempat sampah, tempat tisu, tempat roti dan alas piring dengan material pandan. “Ini merupakan ekspor perdana kami yang ditangani secara langsung,” kata Yayan. Jumlah yang diekspor sebanyak satu container 20 kaki (feet) senilai Rp 100 juta.



Bagian Ketiga:

Raja Bambu dari Rajapolah (3)

Rajin berpameran, membuat usaha Yayan Dahyan kian berkembang. Rezeki nomplok pertama juga datang dari hasil pameran. Beberapa bulan setelah ikut Pameran Produk Ekspor (PPE) 2003, Won International, sebuah perusahaan Korea, memesan tempat sampah, tempat tisu, tempat roti dan alas piring dengan material pandan.

Itu merupakan ekspor perdana Yayan yang ditangani secara langsung. Sebelum itu, kegiatan ekspor selalu dilakukan oleh perusahaan eksportir lain. Jumlah yang diekspor kala itu lumayan gendut, sebanyak satu container 20 kaki (feet) senilai Rp 100 juta. Sukses ini membut Yayan girang bukan kepalang.

Rasa percaya diri pria 38 tahun itupun kian memuncak. Pasar semakin dilebarkan. Produksi barang-barang kerajinan makin diperbanyak. Jumlah total yang diproduksi menjadi lebih dari 400 item produk. Berkembangnya produksi hasil ketekunan Yayan tak lepas dari kreatifitas produknya.

Satu hal yang membedakan produk Yayan dengan yang lainnya adalah soal keunikan produknya. ”Desain kami selalu by order,“ kata Yayan. Lantaran itu, produk yang akan dibuat sudah ada sketsanya dari pembeli.

Sampai di sini Yayan bolehlah menepuk dada. “Produk yang kami produksi mempunyai ke istimewaan, yaitu mempunyai nilai seni dan fungsi serta ramah lingkungan, dan proses produksinya bersifat padat karya dengan melibatkan banyak masyarakat, dari mulai masyarakat daerah pedalaman sampai ke masyarakat kota,“ papar Yayan.

Kian berkembang pasar, makin banyak modal dibutuhkan. Beberapa waktu setelah ekspor ke Korea itu, kebutuhan modal makin mendesak. Maka kali ini Yayan pede meminjam duit ke bak konvensional. Bank umum yang semula memicingkan mata, buru-buru menyambut.
Pinjaman dari sebuah bank pun diraih. Besarnya sangat lumayan, Rp 125 juta. Satu tahun kemudian, kredit ditambah. Yayan meminjam kembali sebanyak Rp 500 juta. Usaha dibenahi. Manajemen keuangan dikelola secara profesional layaknya perusahaan besar, termasuk rutin membuat laporan neraca keuangan secara terperinci.

Yayan kini bolehlah berbangga. Korea tetap menjadi langganan ekspornya. Modal yang bertambah membuat pasar juga kian luas. Kini Yayan, tentu saja bersama Acep Suparman, rekannya di CV Rumpun Bambu Kreasi, melebarkan sayap ke Eropa. Selain Korea, Yayan sudah bisa mengekspor antara lain ke Malaysia, Swedia, Perancis, Jepang, dan Spanyol.

“Ekspor dilakukan langsung dan tidak langsung,‘ kata Yayan. Ekspor langsung jika dilakukan secara spontan oleh Yayan. Ekspor tidak langsung kalau dilakukan oleh perusahaan eksportir lainnya.

Dari keenam negara tersebut, hanya Malaysia yang ekspornya sesekali. Sisanya rutin dilakukan. Spanyol menyumbang pendapatan paling besar dari total ekspor CV Rumpun Bambu. Yaitu sebesar 39%. Sisanya dibagi rata oleh Korea sebesar 16%, Swedia (15%), Jepang (15%), dan Asia Tenggara, termasuk Malaysia (15%).

Yayan riang. Soalnya ekspor produk-produk kerajinannya terus menanjak. Sebelum ada pesanan perdana dari Korea itu, total ekspornya pada 2002 sebanyak US$ 192.038 atau sekitar Rp 1,82 miliar. Jumlah ini merupakan 92,5% dari total pendapatan CV Rumpun Bambu yang sebanyak US$ 207.608,7 (Rp 1,89 miliar). Sisa pendapatan lainnya dipasok dari domestik alias non-ekspor.

Setelah pesanan Korea masuk, hingga akhir 2003 total pendapatannya menjadi US$ 252.282,6 (Rp 2,29 miliar). Dari jumlah itu, 94,4% diraup dari ekspor. Setahun kemudian, jumlah akumulasi pendapatannya menjadi US$ 360.978,3 (Rp 3,28 miliar).

Tahun lalu, CV Rumpun Bambu sudah menghasilkan omzet sebanyak US$ 965.740,5 (Rp 8,8 miliar). Dari jumlah itu 94%-nya hasil sumbangan ekspor.

Sukses Yayan tak hanya dari segi pendapatan. Dari penyerapan tenaga kerja di Rajapolah, Tasikmalaya, Yayan terbilang berhasil. Pada 2002, tenaga kerja yang bekerja secara penuh di bawah payung CV Rumpun Bambu sebanyak 90 orang. Tahun 2006, jumlah tenaga kerjanya melonjak menjadi 513 orang.

Kini, di kantornya, terpajang berbagai penghargaan. Antara lain piagam Juara I Mitra Usaha Hutan Rakyat Tingkat Nasional 2001 dari Departemen Kehutanan, Juara I Untuk Kategori Mitra Usaha Hutan Rakyat pada Lomba Penghijauan dan Konservasi Alam Nasional Tingkat Jawa Barat 2001 dari Gubernur Jawa Barat, Pemuda Pelopor tingkat Kabupaten Tasikmalaya 2002.
Selain itu, ada tiga penghargaan lain yang membuat Yayan bangga. Yaitu masuk sembilan finalis Dji Sam Soe Award 2005 kategori UKM terbaik dengan memperlihatkan tingkat kesemangatan berwirausaha (Euterpreunership), nominasi Primaniyarta Award (Penghargaan untuk para eksportir yang berprestasi) tahun 2007, untuk kategori UKM ekspor terbaik, dan penghargaan dari Bupati Tasikmalaya dalam Pengembangan Industri Kecil Menengah di Kabupaten Tasikmalaya (2007).

Puaskah Yayan? “Seperti umumnya sifat manusia, kami ingin mendapatkan yang lebih,” kata Yayan. Dia kini berniat membangun pabrik untuk produksi bambu lamina. Semuanya sudah ok. Hanya terbentur soal modal. “Untuk merealisasikannya kami butuh dana Rp 15 milyar, untuk itu kami berharap ada investor yang tertarik untuk bekerja sama,” kata Yayan. Sebentar lagi, Yayan bakal terkenal sebagai Raja bambu dan Rajapolah. (Selesai)

Harian Bisnis dan Investasi Kontan, 27-29 September 2007

0 komentar:

Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger