Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Jumat, 09 Oktober 2009

KONTROL

0 komentar


Share

Dalam gelisah resah sangat, seorang kawan tergopoh-gopoh mengirim pesan singkat: “Bila semua sudah merapat menuju satu pusaran, satu per satu menuju pada yang berkuasa, sungguh nonsense bicara soal penyeimbang, apa arti sebuah oposisi?”

Dia pribadi yang gundah, trauma pada dosa politik silam: otoritarian. Ketika kekuasaan ada dalam satu genggaman, manakala semua tertumpu pada satu kepalan, hanya ada sebulat kata dalam pemerintahan: “sumuhun dawuh”. Ini adalah ungkapan dalam Bahasa Sunda yang berarti terserah pada Tuan, asal Tuan senang, maka sahaya akan jalan. Demikianlah kira-kira.

Pagi buta Kamis (8/10) lalu, sesaat setelah Partai Golkar memastikan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum yang baru, si kawan mengirim sinyal galau: inilah awal dari kekuasaan terpusat baru.

Pada pemilihan Ketua Umum Partai Golkar di Pekanbaru, Riau, Aburizal menang kuat dibanding pesaing kuatnya, Surya Paloh. Dari 536 suara DPD I, DPD II, dan organisasi massa pendiri Golkar, Aburizal meraup 296 suara, Surya Paloh 240 suara. Dua kandidat lain, Yuddy Chrisnandi dan Hutomo Mandala Putra, nihil suara.

Kemenangan Aburizal adalah “Kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono”. Siapapun tahu, Aburizal adalah “penyangga kuat pemerintah Yudhoyono”. Lihat, bagaimana perkawinan ini begitu kentara: Rizal Mallarangeng, “otak kemenangan” Yudhoyono di Pemilihan Presiden lalu, ditunjuk Aburizal sebagai salah satu Ketua Golkar di kepengurusan lima tahun ke depan.

Celi, sebutan Rizal, bukanlah siapa-siapa di Golkar. Pengurus pun bukan. Memang, Celi sudah lama akrab dengan Ical, sebutan Aburizal, melalui Freedom Institute, lembaga studi demokrasi milik Celi yang dibiayai Ical.

Maka, dengan nakhkoda dan gerbong kapal baru yang “ke-Yudhoyono-an”, otomatis Ical akan “sumuhun dawuh” ke Jenderal asal Pacitan, Jawa Timur, itu. Jangan heran, di bawah Ical, kendali Golkar di parlemen dan pemerintahan, dalam lima tahun ke depan, juga demikian.

Merapatnya Golkar ke Yudhoyono, bakal mengokohkan kekuatan dan kekuasaannya. Sebelum ini, Yudhoyono sudah punya mitra koalisi kuat partai-partai besar: Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan sejumlah partai lain. Terbaru, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) --yang di periode sebelumnya mengklaim sebagai oposisi-- ikut merapat. Dan, santer kabar, partai baru Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) di bawah komandan Prabowo Soebianto, juga bergabung.

Satu-satunya partai yang kemungkinan di luar “kontrol” Yudhoyono adalah Partai Hati Nurani (Hanura). Melenggang sendirian dengan kekuatan “lemah” di parlemen tanpa kawan, bagi Hanura jelas bukan kekuatan oposisi efektif. Bertepuk sebelah tangan di Senayan, adalah sebuah keniscayaan.

Maka, dalam pemerintahan Yudhoyono-Boediono lima tahun ke depan, akan berjalan monoton. Tanpa kekuatan penyeimbang. Sangat riskan timbul pemerintah otoriter. Menjadi negeri sumuhun dawuh. Demokrasi tanpa penyeimbang, tanpa oposisi, adalah demokrasi kuburan. Sendiri, sepi, tanpa kontrol, tiada kritik, sonder kebijakan dan program alternatif. Tentu saja, ini hanya sebuah kekhawatiran.

Indonesia punya pengalaman seabrek soal ini: ketika Soeharto berkuasa lebih dari tiga dasa warsa. Semua kekuasaan dan kekuatan terpusat di tangan Sang Jenderal Besar ini. Maka, tak ada kontrol, tak ada penyeimbang: otoritarian.

Sistem dan tatanan masyarakat tanpa kritik adalah masyarakat mati. Tanpa perubahan. Tatanan yang sonder dinamika akan menjadi stagnan, juga tak ada kemajuan. Tanpa orang-orang yang hidup mengambil jarak terhadap sistem, matilah demokrasi kita. Tak kurang dari Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman itu, meramalkan tatanan tanpa kontrol adalah masyarakat diambang “kehancuran”, tanpa pergerakan.

Mekanisme kontrol bertujuan untuk memastikan akuntabilitas sistem dan pelaku-pelakunya, bukankah? Siapapun yang berkuasa, siapapun yang duduk dalam sistem, seharusnya tidak “sa’ena’e udhel’e dewek” menggunakan otoritas mereka untuk kepentingan yang salah, melainkan dibawah sorotan kontrol pihak-pihak lainnya, sehingga kinerja mereka tetap berada di dalam rel, dan sistem sendiri tetap seimbang.

Bukankah demokrasi pada hakekatnya adalah perwujudan mekanisme kontrol secara masif? Dus, tak ada demokrasi, jika tidak ada kontrol kekuasaan. Kontrol kekuasaan adalah nyawa demokrasi.

Ketika kekuasaan tanpa kendali luar, maka pemimpin akan berjalan di jalurnya sendiri. Kelakukan para pejabat dan kelompok koalisi besar, di alam kekuasaan seperti ini, yang bakal timbul hanyalah mentalitas do ut des (aku memberi agar engkau memberi). Siapa dapat apa. Rakyat? Nanti dulu.

Lantas, kepada siapa bisa berharap lima tahun ke depan? “Satu-satunya harapan adalah pada pilar keempat demokrasi: pers,” tulis si kawan. Mampukah pers mengontrol kekuasaan di tengah mekanisme pasar yang terus mengancam juga menggoda, lima tahun ke depan? Mari kita sama-sama buktikan.

Jakarta, 9 Oktober 2009

Read More......

Kamis, 05 Maret 2009

Krisis

0 komentar


Share

Tiap zaman melahirkan sejarahnya sendiri. Saban peristiwa menggambarkan kekuatan manusia di masanya --saya tak ingat lagi dari mana sumbernya kata-kata ini--.

Belakangan, telinga ini sangat akrab dengan hal-hal njelimet, rumit, runyam, juga ruwet, yang --menurut saya-- bisa menjadi ciri zaman kiwari. Krisis global kian menjerat. Ekonomi dunia terancam stagflasi. Ekspor impor makin susut. Daya beli makin letoi.

Masing-masing negara menerapkan perlindungan pasar dalam negeri: proteksionisme. Bloomberg merekam dengan jelas kepanikan ini. Pasar modal di seluruh penjuru dunia terus bertumbangan. Di Amerika Serikat, Eropa, Asia, sebentar lagi Australia.

Dow Jones Industrial Average (DJIA), patokan di bursa New York, misalnya, di pembukaan perdagangan awal pekan sekaligus pembukaan perdagangan Maret 2009, terjun 4,24% menjadi 6.763,29. Ini adalah posisi terendah sejak krisis moneter 1997 lampau.

Bursa Asia juga rontok. Indeks Nikkei 225, umpamanya, di pembukaan perdagangan Maret 2009 menyentuh 7.128,75, rekor terendah dalam 25 tahun terakhir.

Para pemimpin ekonomi dunia panik. Mereka saling berlomba menyelematkan ekonomi negara masing-masing. Sepanjang awal Maret kemarin, para pemimpin Uni Eropa mengadakan rapat darurat soal proteksionisme itu.

Hasilnya, Uni Eropa mengabulkan paket bail out otomotif Prancis, Spanyol, dan Italia. Jumlahnya miliaran Euro. Prancis, misalnya, akan mengucurkan pinjaman darurat 6,4 miliar bagi produsen otomotif asalkan para produsen berjanji pabrik mereka di Prancis tetap buka.

Di pusat krisis: Amerika Serikat, Presiden Barrack Obama menyerukan Buy American dan menggelontorkan paket stimulus ekonomi senilai US$ 827 miliar. Antara lain untuk mengambil alih Fannie Mae dan Freddie, dua bisnis raksasa dalam bidang pendanaan hipotek yang tak mampu lagi membayar kewajibannya US$ 5,2 triliun.

Singkat kata, pemerintah negara-negara Eropa dan Amerika mengambil alih perusahaan-perusahaan swasta: nasionalisasi, hal yang sangat bertolak belakang dengan prinsip yang selama ini mereka anut: kapitalisme. Juga pemerintah negara-negara Asia dan Australia. Di Indonesia, pemerintah menggulirkan program wajib beli produk dalam negeri untuk proyek-proyek pemerintah, sejak Februari 2009.

Rasanya, entah perlu berapa ratus atau ribu lembar untuk menggambarkan kepanikan dunia akibat krisis saat ini, krisis yang sebetulnya efek domino dari krisis kredit kepemilikan rumah (KPR) kelas coro alias subprime mortgage di Amerika Serikat, pertengahan 2007 lalu.

Kapitalisme sedang mengalami ujian berat. Tak ada lagi batas-batas “Negara” dan “Pasar”, seperti dogma mereka selama ini. Atau fatwa suhu kaun neoliberalis itu: Milton Friedman, bahwa pasar tak perlu campur tangan pemerintah. Pasar bisa memecahkan persoalannya sendiri; pemecahan persoalan oleh pemerintah sama buruknya dengan permasalahan itu sendiri. Mereka ingkar.

Agaknya, paradigma baru harus kembali muncul. Perang lawas dua kubu: kapitalisme dan sosialisme, seperti menemui titik nadir. Sama-sama kehilangan makna awal. Bahwa ekonomi dunia tak sebatas hanya asumsi, juga teori. Kapitalisme bukan hukum, yang bisa mematikan tesis-tesis lama.

Kalau batas antara dua kubu itu tak lagi jelas, lalu apa makna sebuah koreksi. Friedrich August von Hayek pernah melontarkan ini. Bahwa riak-riak di tubuh kapitalisme adalah koreksi diri sendiri. Kapitalisme perlu mengoreksi dirinya sendiri agar bisa terus berjalan, terus menerus.

Benarkah? Agaknya kita perlu menilik pengalaman sang Maestro Kapitalisme: George Soros. Dia adalah pria kaya raya dari sistem modal ini, sistem modal yang kemudian dia kritik dalam-dalam. Pelaku utama krisis moneter 1997 itu punya pengalaman berharga dengan kapitalisme, lewat bukunya The New Paradigm for Financial Market.

Dalam buku maha penting ini, Soros menggugat teori dasar kapitalisme milik kaum neoliberal di bawah gerbong Friedman, bahwa pasar tak pernah salah. Justru, Soros yakin asumsi dasar teori pasar berangkat dari serangkaian tesis yang salah. Sebab, tak satupun pelaku pasar yang memiliki pengetahuan sempurna, sehingga bersifat spekulatif.

Karenanya, Soros yakin mekanisme pasar akan selalu mengarah pada krisis, bukan pada titik keseimbangan alias equilibrium yang selama ini dipercaya. Pasar hanya berjalan dari satu siklus ke siklus yang lain. Setiap kali siklus berakhir, selalu berujung pada krisis. Pada titik inilah campur tangan pemerintah muncul. Inilah yang terjadi pada saat ini.

Persoalannya, intervensi pemerintah selalu saja memihak pada modal. Karl Marx sejak abad 19 malah sudah mencatat, “Negara” selalu berada di kelas yang berkuasa. “Negara” bukan hanya sebatas “apa” tapi juga “siapa”.

Lantas, misalnya krisis ini berakhir dan mekanisme modal kembali bekerja, adakah jaminan semua berjalan kembali normal? Sebagaimana Soros, siklus ini akan selalu berulang dan berulang. Bagaimanapun, harus diakui hingga kini masih belum ada antitesis dari kapitalisme? Sosialisme dan komunisme? Dua kata yang hingga kini menunggu kepunahannya.

Sejarah itu linier. Sekali kapitalisme menang, dia akan berlangsung hingga akhir kisah di bumi. Francis Fukuyama menasbihkan dengan jelas hal ini: “The End of History”, satu decade silam.

Untuk sementara ini, kaum kanan –maksud saya penganut kapitalisme-- masih menguasai jagad. Jadi, jangan dulu berharap dunia akan bisa berubah. Satu hal yang pasti, krisis ini menandai paradigma besar pembentuk sejarah kembali harus digugat.

Kapitalisme harus berubah. Sebagaimana ramalan Marx, selama ini filsuf sangat pasif dengan hanya menafsirkan sejarah. Yang harus dilakukan adalah mengubahnya, agar tiap zaman melahirkan sejarahnya sendiri.

Jakarta, 5 Maret 2009

Read More......

Rabu, 25 Februari 2009

Panggil Aku Karto Saja*

0 komentar


Share

Pesan singkat tadi pagi membuat Karto harus sedikit bekerja keras hari ini. Di samping mengerjakan rutinitas kantor, Karto kudu riset, mencari nama-nama bayi dari Timur Tengah, persisnya dari Persia.

Kus, kakak Karto, sehabis Subuh tadi pagi mengabarkan istrinya melahirkan anak kedua. Bayi laki-laki lumayan gembil, berat badan 3,4 kilogram. Kulit sawo matang, mata rada belo. Hidung lumayan bangir.

“Tolong carikan nama-nama yang bagus, To,” pesan singkat dari Kus mampir ke handphone Karto.

“Mau nama-nama bayi mana? Timur Tengah mau?” balas Karto. “Boleh,” timpal Kus.

Orang jaman sekarang saling menghias nama, yang indah-indah, bisa mewakili wibawanya, melebur dalam kesamaan. Tak mewakili kelas dan strata sosial seperti Jawa. Di jamanku, kata Karto, nama adalah kelas. Dengan memperhatikan nama, orang sudah bisa menebak dari kasta mana dia berasal.

Karto? Hmmmm. Nama Karto adalah produk feodalisme di Jawa. Lima huruf. Hanya lima huruf saja. Juga satu kata. Tak ada nama belakang. Atau nama marga.

Dari namanya saja, mudah ditebak. Dia berasal dari kasta rendah suku Jawa. Golongan abangan. Bukan dari golongan santri. Apalagi golongan priyayi Jawa. Sebab, jika masuk golongan santri, maka namanya akan sangat kental dengan bau-bau Islam. Muhammad Zikrullah, misalnya. Atau Ahmad Hamid Abdullah, umpamanya. Atau juga Abdul Syukur, atau Abdur Rohman, atau Abdul-Abdul yang lain.

Bukan pula dari golongan orang-orang ningrat atawa priyayi Jawa yang suka membanggakan namanya. Birokrat Jawa, suka memilih nama-nama keraton yang indah-indah sebagai hiasan. Juga untuk memberi kesan bisa mempengaruhi diri sendiri dan orang lain dengan wibawa dan keindahannya itu. Dengan demikian, akan bertambah juga wibawanya.

Juru tulis sebuah kantor karesidenan, ujar Pramoedya Ananta Toer, akan menamakan dirinya dengan kata Sastra. Bisa Sastra Diwirya, yang berarti juru tulis yang tegas. Atau Sastra Disastra, yang berarti kepala juru tulis dari juru tulis.

Priyayi pengairan suka memberi namanya dengan awalan Tirta. Maka Tirtanata akan berarti pejabat yang mengatur perairan. Atau Raden Ajeng, yang dengan namanya orang sudah bisa menebak bahwa dia adalah keturunan keraton Jawa. Berdarah biru.

“What is the name? Apalah arti sebuah nama?,” kata Karto, kepadaku suatu senja. Barangkali dia mengutip pernyataan terkenal dari pujangga Eropa itu: William Shakespeare. Karto memang kadang sok puitis. Sok meniru ucapan pujangga-pujangga besar. Tapi begitulah dia.

Pada senja kala di batas kota tua itu, kami terlibat obrolan ringan. Entah mengapa, menjelang gelap itu kami mengupas lepas soal nama. Entah apa mula kata kami bicara. Tiba-tiba nyangkrok ke soal nama. Karto punya alasan soal namanya yang pendek itu.

“Si mbok-ku yang memberi nama memang tak pernah tahu aku jadi seperti sekarang, seorang juru warta. Dulu, ketika aku lahir, si mbok tahunya aku bakal menjadi seperti orang-orang sedaerahku. Jadi petani, atau pedagang, atau merantau ke Jakarta berdagang asongan rokok, menjadi kuli macul, kemudian menikah, punya anak, jadi kakek-kakek, selanjutnya meninggal di usia tua,” Karto terhenti sejenak. Tangan kanannya mencabut sehelai rumput yang sedikit tertiup angin senja kota tua. Menarik nafas sebentar.

Karto melanjutkan. “Seperti tak ada harapan bahwa anaknya bisa mempunyai nasib berbeda dengan orang-orang sebangsanya di kampung, bangsa kaum buruh, bangsa kaum abangan. Si mbok-ku hanya bisa pasrah, tak berani menentang nasib. Seperti tak ada harapan bahwa jaman sekarang sudah berubah. Bahwa sekarang orang kecil juga bisa sederajat dengan orang-orang besar,” papar Karto, getir. “Melalui pendidikan,” tandasnya.

Aku sedikit terpaku mendengar penegasan di pengujung pemaparannya. “Seperti tak ada harapan bahwa anaknya bisa mempunyai nasib berbeda dengan orang-orang sebangsanya di kampung, bangsa kaum buruh, bangsa kaum abangan. Si mbok-ku hanya bisa pasrah, tak berani menentang nasib. Seperti tak ada harapan bahwa jaman sekarang sudah berubah. Bahwa orang kecil juga sekarang bisa sederajat dengan orang-orang besar, melalui pendidikan.”

Barangkali Karto kini sudah merasa bernasib lebih baik ketimbang teman-teman sebayanya, yang kini hanya mengasong di pinggir-pinggir jalan dan lampu merah Grogol, Jakarta Barat, pikirku. Mungkin juga Karto, yang kini memasuki separuh baya, sudah punya pikiran bahwa dia bernasib lebih bagus ketimbang teman-teman seusianya yang hanya menjadi kuli dan buruh bangunan, di salah satu sudut Jakarta. Yang mereka hanya menamatkan sekolah hingga Sekolah Dasar (SD). Atau mentok di Sekolah Menengah Pertama (SMP).

“Memang dasarnya apa sampai ketemu nama Karto?,” tanyaku, memberanikan diri, sore menjelang gelap itu. Karto agaknya sedikit tersinggung. Matanya sedikit memerah. Dia memang agak sensitif, dan kadang pemarah. Sisi lain tabiat Karto yang suka menyendiri.

“Buat apa kau tanya-tanya soal itu, mending kita bicara soal mereka-mereka yang selalu merasa terpanggil oleh iman, kemudian membantai kaum lainnya demi Sang Maha Penguasa. Menjadi laskar pembela kebenaran. Itu lebih menarik,” Karto berusaha mengalihkan pembicaraan.

Aku sedikit merengut. Dan Karto tahu, jika sudah berubah roman mukaku sedikit saja, itu tandanya aku minta pembicaraan semula diteruskan. Kami sudah sedemikian dekat, sehingga tahu hal remeh temeh sekalipun.

“Baiklah, kawan. Tahukah kau, dulu ketika si mbokku memberi nama, yang dia tahu hanya berpatokan pada perhitungan Jawa. Karena aku lahir pada hari Jumat, maka namaku harus diawali dengan huruf pertama namaku itu. Juga, lantaran aku lahir pada hari Jumat Legi, maka si mbok-ku percaya namaku harus berjumlah lima huruf, yang melambangkan Legi dalam perhitungan Jawa itu. Jika si mbok-ku tak mematuhi perhitungan Jawa itu, bisa celakalah aku di kemudian hari. Begitulah saat itu si mbok-ku dan para tetua kampungku percaya. Maka jadilah namaku Karto. Lahir Jumat Legi,” tutur Karto, sedikit bersungut.

“Jika saja si-mbokku berpendidikan, maka bisa jadi dia akan sedikit melek, melihat dunia. Bahwa era 1970-an dan era 1980-an Indonesia sudahlah membangun, pendidikan juga mulai maju. Siapapun berhak mengenyam, tak seperti jaman penjajahan dulu, penghuni lembaga pendidikan adalah makhluk dari langit, berdarah biru, manusia terpilih. Termasuk para priyayi Jawa itu.”

“Dan, si mbokku jika berpendidikan akan bisa melihat dunia, bahwa dunia sudah berubah sejak puluhan tahun lampau. Hmmm, tapi dia tetap ada dalam gelap gulita. Maka, jadilah aku seperti tetap di jaman feodal Jawa. Si mbokku sungkan memberi nama yang bagus-bagus, risih katanya, jika memberi nama bagus pada anak dari keturunan rakyat jelata. Malah bisa jadi ditertawakan orang sekampung,” Karto, panjang lebar.

“Betul memang satu dasa warsa setelah aku lahir, nama bayi di daerahku di tubir Cisanggarung sana sudah mulai berubah, mengikuti pola modernisasi. Mulai ada kesamaan strata kelas. Maka, seorang buruh tani pun bisa memberi nama yang sederajat dengan yang berpendidikan. Seperti misalnya Rahmat Darmawan. Itu aku tahu, pada jamanku dia pasti akan bernama Wawan saja.”

“Tak apa, jaman memang bergerak. Memasuki decade 1990-an, orang-orang sekampungku sudah mulai merantau ke Jakarta, meski hanya sekadar berdagang asongan, atau hanya sekadar menjadi kuli bangunan. Tapi dari sana membawa budaya modern, meski norak. Satu pengaruhnya, nama bayi menjadi ke kota-kotaan. Pengaruh feudal seperti di jamanku mulai pudar,” papar Karto.

“Nah, kau kan sekarang sudah bisa sederajat dan punya kesempatan banyak untuk sejajar dengan para keturunan ningrat itu, kenapa namanya tidak ditambah mengikuti mereka dan arus modern? Bukankah kau sudah berhak? Bukankah itu juga bisa meningkatkan gengsimu,” kataku, lagi.
Kali ini Karto sedikit membelalakan matanya. Aku sedikit ciut. “Tahu kau, kawan. Kau adalah orang yang kesekian yang selalu mengusik-ngusik namaku,” Karto terdiam sebentar. Kemudian menarik nafas panjang. Ada nada dendam dalam ucapannya.

“Tak mengikuti arus pasar, berarti ikut menolak ideologi pasar itu sendiri. Bukan begitu, kawan,” katanya. Matanya sedikit memelototi aku. Aku rada terkesiap. Barangkali dia sudah benar-benar tersinggung.

Tapi jujur aku tak terlalu mengerti apa arti perkataannya. “Maksudnya bagaimana Karto,” kataku.

“Kawan, aku tahu. Sekarang ini, jaman modern, jaman ideologi pasar. Agar bisa bertahan hidup di tengah persaingan pasar yang sangat sengit, orang harus punya kemampuan dan skill tinggi. Juga harus punya gengsi tinggi. Dia harus profesional. Karena dengan demikian, dari hasil profesionalitasnya itu, dia akan menghasilkan karya yang bisa dijual.

Orang harus mengikuti keinginan pasar agar tetap diminati pasar itu sendiri,” katanya. Karto sudah mulai ngelantur, pikirku. Tapi kudengarkan juga lanjutan omongannya.

“Kini sudahlah lazim, perusahaan-perusahaan besar menggunakan tenaga-tenaga ahli dari luar negeri. Bukan karena kemampuannya, tapi karena gengsinya. Kalaupun dia menggunakan tenaga lokal, maka sebisa mungkin yang berasal dari lulusan luar negeri. Setidaknya tahu seluk beluk luar negeri. Karena kini dunia sudah jadi kampung global,” katanya.

“Maka agar terkesan sangat tahu seluk beluk luar negeri, manusia jaman kiwari akan menggunakan nama kebarat-baratan. Sekali lagi agar terkesan modern. Tak terkecuali dalam memberikan penamaan. Maka orang lokal sekarang lebih suka menggunakan nama Michael dan Sebastian ketimbang Sunarto atau Ahmad. Dua nama terakhir itu akan terkesan sangat terbelakang dan tak berperadaban. Maka, dengan demikian perusahaan-perusahaan besar akan merekrut orang dengan nama-nama yang bagus-bagus. Sekali lagi itu demi gengsi. Yang buruk dan sangat lokal, mohon maaf, menyingkir dulu,” paparan Karto terhenti sejenak.

“Mungkin itu cuma pikiranmu saja, Karto,” aku menyela.

“Tidak, kau harus membuka mata. Orang jaman sekarang akan heran jika namamu hanya satu kata saja, seperti aku. Tanpa nama belakang, juga tanpa marga. Sebagian orang akan menganggap dengan satu nama saja, kau sangat kelihatan udik, sangat lokal. Dan kau harus merasakan, pertanyaan soal kenapa namamu hanya satu kata saja tanpa nama belakang, akan menjadi tudingan bahwa kau berasal dari kasta rendah, kasta abangan, bukan santri dan juga bukan priyayi. Tahu, kau,” Karto makin galak. Nyaliku menciut. Aku diam. Dia sudah benar-benar tersinggung. Malam sudah larut. Di pinggir kota tua itu, suara belalang tersengal-sengal. Hembusan angin makin menusuk-nusuk.

****
******

“Kak, gimana kalau nama Akmal, dari bahasa Timur Tengah, artinya sempurna, sangat pandai,” Karto kembali mengirim SMS ke Kus, setelah sedikit utak-atik computer. Sejenak kemudian, balasan muncul. “Lumayan bagus, coba cari yang lainnya,” Kus membalas.

Karto kembali mengorek-ngorek deretan nama-nama bayi di tumpukan tulisan mbah google. “Gimana kalau digabung menjadi Akmal Tristan Nadian, Akmal artinya sempurna, sangat pandai, Tristan dari bahasa Wales, Inggris Utara, artinya gagah berani, dan Nadian adalah singkatan dari nama kakak dan istri,” Karto kembali membalas, sejam kemudian.

Sejenak tak ada jawaban. Karto mencoba menawarkan nama lain. “Gimana kalau Farrel Yanuardi Tristan Nadian, Farrel artinya heroik dari bahasa Irlandia, Yanuardi artinya lahir pada Januari, Tristan Nadian seperti arti dalam SMS sebelumnya. Naman ini juga bisa mengantisipasi era globalisasi di masa datang,” pesan singkat Karto kemudia meluncur.

Huppp…Mengantisipias era globalisasi? Apa hubungan nama dnegan era globalisasi? Aku tak mengerti sekarang jalan pikiran Karto. Dia sudah mulai tak kupahami jalan fikirannya. Atau aku yang terlalu naïf, pendek daya jangkau fikirnya. Entahlah.

“Nanti saya pilih,” jawaban pesan singkat Kus mampir, pendek.

Dua hari berselang, Kus tak jua membalas SMS Karto. Sampai menjelang tengah malam, SMS Kus mampir ke Karto. “Mungkin namanya Akmal Grammarian Abdillah,” katanya. Karto yang masih terjaga mencoba membalas,” Itu sudah bagus, Anak pandai nan sempurna, semoga menjadi Hamba Allah yang pandai berbahasa Inggris dnegan grammar yang baik,” katanya. “Mentang-mentang jadi guru Bahasa Inggris,” kata Karto kepadaku esoknya.

“Jadi, apa namanu mau diubah juga Karto?” tanyaku kembali, mengingat percakapan sore menjelang malam waktu itu. Karto kembali membelalakan mata. “Biarlah, aku akan tetap memakai nama ini, meski terkesan ndeso, udik, kelas rendah di Jawa, tak apa. Biar aku selalu mengingat dari mana aku berasal. Bukan kacang yang lupa akan kulitnya. Panggil aku Karto saja,” ujar Karto. Aku terdiam.


* Terinspirasi dari judul “Panggil Aku Kartini Saja” karya Pramoedya Ananta Toer

Read More......

Ibu

0 komentar


Share

Di ujung telepon, suaranya terdengar sedikit terbata. “Ibu kehabisan uang, le,” katanya, kepada Karto menjelang malam itu, dengan isak yang tertahan. Dug. Jantung Karto seperti terasa copot. Sudah berapa lama dia tak menghubungi ibu di kampung? Satu minggu, dua minggu, atau satu bulan lebih?

Masya Allah, Karto tak menghubungi bapak dan ibu di tepian gawir Cisanggarung sana selama sebulan lebih. Apa saja gerangan yang telah dia perbuat di Jakarta? Teledor nian kau, Karto. Hingga tak sempat memikirkan mereka.

“Kamu tak usah terganggu dengan omongan ibu soal duit itu, ibu cuma ingin mendengar suaramu saja. Sungguh kangen ibu padamu, le,” katanya, sedikit tersedu. Karto terdiam. Seperti terpengaruh pada omongan pertama ibu tadi: kehabisan duit.



"Ibu"

Saat malam baru beranjak turun itu, sengaja Karto menelepon ibu di kampung melalui telepon genggam adik bungsunya. Adik terakhirnya itu kini duduk di bangku kelas satu SMU, di kota kecamatan.

Adiknya dua. Yang pertama kini menclok jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sebuah departemen yang lumayan punya nama dan berpengaruh, baru masuk awal 2009 ini. Setahun lalu, Karto berbaik hati membelikan adik bungsu dan ibu bapak sebuah telepon genggam seken, sekadar untuk say halo dan nanya kabar. Barang seminggu dua.

Kebetulan, setahun setelah pindah kerja ke tempat baru, Karto bisa sedikit-sedikit menabung. Sisihan tabungan, sebagian istrinya menyimpan untuk tabungan keluarga. Sedikit lainnya dia sisihkan untuk bapak ibu, zakat, dan cadangan ibu bapak mertuanya.

Sebelum adik pertamanya masih kuliah dan menjadi PNS, Karto harus membagi sisa tabungan untuk kebutuhan sang adik, juga sesekali mengirimkannya pada ibu.

Sementara uang untuk telepon genggam adik terakhirnya adalah sisihan dari sisa uang bensin selama sebulan sebulan, setelah tak lagi menanggung beban harus membiayai adik pertama. Jadilah uang tabungan itu dia belikan mereka sebuah telepon genggam seken. Pulsanya sebulan sekali dia transfer, cuma secuil saja: Rp 25.000. Karto bilang pada adik terakhir, gunakan pulsa seirit mungkin, “Kalau ada perlu sama kakak, biar kakak telepon dari Jakarta,” kata Karto, ketika menyerahkan telepon genggam seken itu, setahun silam.

*****
*****

Biar kuceritakan sedikit. Aku mengenal keluarga Karto adalah keluarga harmonis. Biar dulu mereka serba kekurangan, kini terlihat cukup sudah, untuk ukuran kampung, tentu saja. Itu penglihatan kasat mataku. Aku mengenal keluarga ini, terutama Karto, yang sejak kecil berteman dengan ku.

Banyak hikmah dan pelajaran kuambil dari kisah hidup mereka. Kisah tentang perjuangan, tentang kemiskinan, tentang ketidaktahuan, tentang kejujuran, tentang tekad baja, tentang kekompakan, juga tentang kebahagiaan.

Karto adalah anak kedua dari empat bersaudara. Bapak dan ibunya adalah buruh tani di tubir Cisanggarung, daerah yang membentang antara Gunung Ciremai di Jawa Barat, dan Gunung Slamet di Jawa Tengah. Mereka punya lahan sawah yang kalo dihitung paling cuma beberapa petak saja, mungkin mendekati satu bau – satu bau sama dengan 0,7 hektare--, barangkali tak lebih dari setengah hektare.

Itupun sawah warisan. Hanya cukup untuk makan. Sisa kebutuhan untuk hidup, bapak Karto harus menjadi kuli di sawah tetangga. Atau sesekali ke Jakarta menjadi kuli bangunan. Tapi itu dulu, sekarang tidak.

Dua puluh tahun lalu, sementara bapaknya rutin ke sawah atau merantau ke Jakarta, ibunya harus ke sana kemari, ke rentenir satu dan ke tuan tanah lain. Pinjam duit. Kakak pertama Karto, Kus, ketika itu masih Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di kota kabupaten. SPG adalah tujuan sekolah paling ideal untuk keluarga tak berpunya, seperti Karto.

Itupun tak gampang. Sebab, ada saja cibiran dari para tetangga Karto. Buat apa sekolah, sementara biaya tak ada, harus ngutang sana-sini. Mimpi kali ye. Tak ada trah atau darah jadi orang gedean. Cacah kuricakan (kelas terendah masyarakat) ya tetap cacah kuricakan saja. Tak usah bermimpi jadi orang gedean.

“Pasti tak akan jadi orang,” begitu cibiran yang masih saja aku, juga Karto, dengar hingga kini, dari mereka, dari para tetangga itu. Ibunya tak peduli. Harapan besar menjadikan anak-anak bernasib lebih baik ketimbang dia.

Maka, ketika mendengar selentingan Kus mengamen di jalanan kota kabupaten untuk membayar uang kos-kosan yang mepet, suatu malam, ibu menangis sejadi-jadinya. Tak rela, rupanya. Entah itu kabar burung dari siapa. Mungkin ada tetangga yang melihat Kus memang benar suka mengamen untuk sekadar nambah uang makan, usai pulang sekolah.

Sekolah di daerah Karto adalah barang mahal. Tak sembarang orang bisa sekolah hingga SPG, ketika itu. Nyatanya, “Tuhan Maha Adil,” kata ibu Karto, ketika Kus akhirnya lulus dari SPG.

Tapi, sampai di situ pun sengsara belum juga berbuah nikmat. Pada 1991, ketika Kus tamat dari SPG itu, kebijakan baru pemerintah tak memungkinkan lulusan SPG menjadi langsung seorang guru. Semua harus melewati bangku kuliah. Apa mau dikata. Jika tak melanjutkan kuliah, maka sia-sia saja sekolah di SPG. Tak akan bisa menjadi guru. Cita-cita yang Kus, juga Karto, idam-idamkan sejak kecil.

Jika ada dua orang temannya dari tetangga kampung Karto memilih tak melanjutkan kuliah, Kus nekad. Modal tak ada, uang pun tipis, Kus merantau ke Jakarta, usai lulus dari SPG itu. Benar-benar mengadu nasib.

Modalnya cuma kenalan yang bekerja di sebuah proyek bangunan di Jakarta. Iseng-iseng ikut Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Ndilallah keterima. Dia terjaring di Jurusan Bahasa Inggris sebuah perguruan tinggi negeri yang meluluskan para guru di Jakarta.

Gembira, sekaligus bingung. Jika diambil, maka akan sangat pusing tujuh keliling dengan biaya. Dasar bondo nekad, Kus memutuskan untuk kuliah. Tak ada cerita, juga tak ada bilang ke ibu bapak. Benar-benar nekad. Sendiri.

Ada gunanya juga punya teman bekerja di proyek bangunan. Maka Kus nekad melamar menjadi tenaga kebersihan di proyek itu. Entah karena kasihan, atau memang sedang butuh, mandor proyek yang juga tetangga di kampung itu menerima Kus. Jadilah Kus bekerja menjadi tenaga kebersihan proyek. Pagi kuliah, sorenya bekerja di antara debu-debu bangunan.

Pekerjaan di proyek sedikit membantu keuangan. Cuma itu tak terlalu menutupi kebutuhan kuliah. Maka, setelah beberapa bulan kuliah, Kus memutuskan pulang kampong mengadu ke ibu: kehabisan duit. Pusing tujuh keliling nian ibu bapak Karto saat itu. Maka, ibu memutuskan pinjam ke seorang rentenir. Bunganya sangat mencekik: 50% setahun.

Apa daya. Pinjaman kemudian mengucur, esoknya, meski cuma cukup untuk bayar uang semesteran. Jumlahnya Rp 200.000. Sisa untuk kebutuhan makan, cari sendiri di proyek bangunan.

Soal bayar ke rentenir, bisa dicicil tiap bulan dari hasil panen padi atau palawija. “Ibu cuma sanggup memberi segini,” kata ibu Karto, dengan suara dalam, ketika itu. Kus menerima, sambil tertunduk, mungkin merasa bersalah sudah merepotkan, lantas kembali ke Jakarta.

Kehidupan prihatin membawa Kus punya tekad baja. Harus lulus, meski tersendat. Singkat cerita, Kus sukses lulus sarjana dari perguruan tinggi negeri itu, tujuh tahun berselang. Dia terbilang lama kuliah, karena sekali dua mengambil jatah cuti, hanya untuk sekadar mengumpulkan tambahan biaya.

Selama itu, dia beberapa kali pindah kerja di proyek, dagang sepatu, menjajakan pakaian, dan mengajar privat Bahasa Inggris. Sementara di rumah sana, bapak dan ibu Karto sudah menghabiskan sawah setengah bau, separuh dari yang ada, untuk membayar uang semesteran Kus. Juga sesekali bekal makan di Jakarta.

Itu sudah termasuk sangat ngirit. Salah satu tetangga, yang juga menguliahkan anaknya, habis dua bau, taksirannya sekitar satu setengah hektare sawah. Modal orang kampong, petani, tak punya gaji, hanya sawah jika mau menyekolahkan anak hingga ke bangku kuliah. Tak ada lain.

Selepas lulus kuliah, Kus agaknya tak tahan hidup di Jakarta. Penghasilan seorang guru di Jakarta seperti menjepit kebutuhan. Maka, dua tahun berselang, Kus memutuskan kembali ke kampung. Mencoba mengadu nasib, daftar calon PNS.

Dasar nasib lagi baik, tahun itu juga Kus langsung diterima menjadi PNS. Setahun setelah jaman reformasi, satu tahun setelah pergantian kekuasaan Orde Baru, sogok menyogok, dan suap menyuap seperti hilang ditelan bumi. Tak seperti sebelumnya. Maka, Kus ketiban berkah jaman.

Dia masuk PNS dengan hasil tes murni. Tak secuil uang sogok pun dia keluarkan. Jika pun jaman masih seperti dulu, harus ada praktek-praktek cula, harus mencari uang dari mana jika harus membayar jabatan guru PNS itu? Lebih baik mundur dan berkarir jadi guru honorer, barangkali.

Kus kemudian mengajar di SMP di ibukota kecamatan. Setahun berselang, Kus lantas menikah dengan tetangga, yang baru lulus dari Akademi Kebidanan. Harus mencari jodoh sepadan, barangkali. Istrinya praktek di pinggiran kota di seberang Cisanggarung. Mereka kemudian menganyam hidup. Kini sudah punya dua anak. Punya pekarangan luas, dua sepeda motor, juga sebuah kendaraan roda empat.

****
****

Tiga tahun menjelang Kus lulus, Karto masuk SMU. Letaknya di ibukota kecamatan, sekolah yang sama dengan dua adiknya. Tadinya ibu sudah berkebaratan Karto melanjutkan SMU. “Lebih baik kamu kerja seperti orang-orang sekampung ini saja, merantau ke Jakarta, kerja di proyek-proyek bangunan, dapat uang,” kata ibu kepada Karto, suatu sore.

Karto mendongak. Nilai Ebtanas Murni (NEM) Karto terbesar kedua di SMP. Saat itu murid SMP ada sekitar 146 siswa. “Mana mungkin aku berhenti begitu saja,” kata Karto, membela diri.

Karto sepertinya mewarisi sifat ibu, yang juga turun ke Kus: keras kepala dan memegang prinsip. Itu pandanganku, yang ada di luar keluarga mereka. Karto keukeuh ingin melanjutkan ke SMU. Maka menjelang pembukaan murid baru, beberapa hari selepas lulus SMP, Karto ke sana ke mari mendaftarkan diri ke SMU, tujuh kilometer jauhnya dari rumah.

Lantaran sepeda pun tak punya, Karto terpaksa bolak-balik meminjam sepeda ke uwa –sebutan untuk kakak ibu atau bapak—dari bapak. Singkat kata, Karto tak susah masuk ke SMU di ibukota kecamatan.

Sampai sini Karto sumringah, sekaligus bimbang. Darimana uang untuk membayar SPP per bulan, atau uang bangunan, yang jumlahnya bisa untuk membeli dua kwintal padi itu? Sarana transportasi pun belum ada, sepeda pun tak punya. Sementara uang ibu bapak tersedot untuk mambantu biaya Kus yang sedang genting-gentingnya kuliah.

Sisi lain, ibu ingin memperbaiki rumah yang sudah bocor di sana-sini. Rumah joglo tua itu memang sudah saatnya dibongkar. Apalagi, ketika itu di kampung sedang tren membangun rumah, membongkar rumah joglo menjadi sedikit modern. Tren itu muncul setelah orang-orang sekampung Karto rame-rame mengadu nasib ke Jakarta. Ada yang jadi kuli bangunan, berdagang asongan, atau membuka warung makan.

Tak hilang akal, setelah pengumuman Karto diterima SMU itu keluar, Karto nekad juga ke Jakarta. Dia ikut seorang teman yang menjadi kenek tukang bangunan di bilangan Ciracas, Jakarta Timur. Karto juga menjadi kenek bangunan. Dia masih ingat betul, ketika itu ikut membangun rumah susun untuk polisi di Ciracas tersebut.

Tiga pekan lamanya di sana. Dengan gaji Rp 7.500 per hari, Karto bisa menggembol uang Rp 100.000, setelah dikurangi uang makan. Dia makan seirit mungkin agar bisa membawa uang untuk bayar uang bangunan, kalo bisa sedikit memberi buat ibu.
Alangkah bahagianya jika bisa turut memberi secuil uang itu untuk ibu, meski cuma untuk beli lauk yang lebih baik ketimbang makanan sehari-hari, yang cuma ikan asin atau tempe itu.

Uang segitu ternyata sangat berharga bagi Karto. Separuhnya untuk mencicil uang bangunan sekolah. Sedikit juga untuk memberi ibu, meski ibu rada menolaknya. Sebagian kecil lagi untuk membeli sepeda seken. Saat itu angkutan ke kota kecamatan belum ada. Yang ada cuma dokar bertenaga kuda.

Menjelang masuk SMU itu, Karto harus keliling dari bengkel sepeda yang satu ke bengkel sepeda lain di kampung. Mana tahu ada sepeda seken yang bisa untuk kendaraan sekolah. Syukurlah, di sebuah bengkel di ujung desa, ada seonggok sepeda bekas, dengan ban sudah belel, dan rantainya yang berkarat. Tak pikir panjang, Karto membelinya. Harganya Rp 35.000. Uangnya dari sisa kuli di Jakarta. Dia sedikit lega. Satu soal sudah teratasi.

Maka, mulailah Karto sekolah. Tiap hari menggoes sepeda baru yang tua itu, ke sekolah. Berkali-kali, dia harus membenarkan tali rantai sepeda yang kerap lepas, di jalanan menuju sekolah. Sementara teman-teman lain, saling dahulu mendahului. Ada yang memakai sepeda baru, beberapa juga mengendarai sepeda motor. Karto cuma penyendiri. Lebih jarang bergaul dengan teman sekolah. “Aku tak mau merepotkan orang lain,” katanya, kepadaku suatu sore.

Sehabis pulang sekolah, Karto harus pergi ke ladang untuk sekadar cari rumput buat kambing-kambingnya. Bapak memelihara beberapa ekor kambing hanya sekadar untuk tambalan kebutuhan hidup. Syukur-syukur bisa untuk menambal biaya sekolah.

Banyak manfaatnya juga Karto hidup prihatin. Teman-temannya yang sesama penggembala kambing, bukan anak-anak muda yang suka foya-foya, membawa Karto hidup sederhana. Betapa uang jajan seorang anak SMU lain sangat tak sebanding dengan uang jajan Karto.

Pada medio 1990-an itu, Karto hanya menggenggam Rp 200 per hari untuk sekadar uang jajan ke sekolah. Saat itu, harga sebuah bala-bala – di daerah lain disebut bakwan—sudah Rp 100 per buah. Sementara seporsi piring nasi plus bumbu kuah sudah Rp 500. Jadi, Karto harus menabung hingga seminggu lamanya agar bisa sekali makan di kantin sekolah.

Itupun jika sepeda tuanya tak mengalami rusak, seperti putus rantai dan ban meletus. Untunglah, Karto sudah terbiasa puasa Senen Kamis. Jadi, tak soal jika tak bisa jajan di kantin.

Sifat penyendiri membuat Karto tak biasa menggantungkan apapun pada orang lain. Termasuk soal belajar. Kebetulan, Karto terbilang menonjol di antara teman-temannya. Kelas satu SMU, dengan system catur wulan, Karto dua kali jadi juara satu, dan sekali juara dua. Maka, memasuki kelas dua, Karto mendapat beasiswa. Uangnya Rp 60.000 per bulan. Atau sekitar Rp 720.000 setahun.

Jumlah yang luar biasa besar bagi Karto. Meski cara pengambilannya dicicil di kantor pos, uang bea siswa itu terasa sangat membantu. Maka, Karto membelikan satu set kursi sudut lumayan empuk –ketika sedang tren—seharga Rp 700.000. Saat ini kursi-kursi itu masih terderet rapi di ruang tamu rumah ibu, tak jauh dari tubir Cisanggarung.

Liburan sekolah tahun kedua, Karto tak mau menyia-nyiakannya. Dia kembali ikut seorang teman yang bapaknya mandor bangunan. Dia kembali menjadi kuli bangunan. Dia ikut membangun gedung baru pabrik perakitan motor Suzuki, di Tambun, Bekasi. Gajinya lebih naik sedikit ketimbang setahun sebelumnya: Rp 10.000 per hari.

Tapi dia cuma bekerja selama 12 hari saja. Sang mandor, bapaknya teman Karto, kemudian memulangkan beberapa tenaga kerja kuli. Alasannya: bangunan pabrik sudah hampir selesai, sehingga harus ada pengurangan tenaga kerja. Karto tak bisa berbuat apa-apa. Padahal sisa liburan masih setengah bulan lagi.

Uang hasil kerja itupun lumayan buat melunasi uang gedung yang masih tersisa separuhnya: Rp 50.000. Sisanya buat ngasih ibu dan sedikit tabungan.

Singkat cerita: Karto bisa lulus SMU setelah setahun kemudian mendapat bea siswa kembali. Jumlah Nilai Ebtanas Murni (NEM)-nya ketiga tertinggi dari 142 siswa SMU.
Ketika itu, Kus, kakak Karto sudah lulus kuliah dan mengajar di salah satu SMK di Jakarta. Karto memberanikan ikut UMPTN. Ndilallah nasib kembali berpihak. Dia masuk di sebuah perguruan tinggi negeri, tempat Kus sebelumnya kuliah. Dia mengambil jurusan Ekonomi. Lulus dalam empat tahun saja.

Selama itu, Karto menambah-nambah uang makan dari mengajar privat. Sebab, jatah dari Kus dan ibu sangat tidak cukup untuk biaya hidup di Jakarta yang sudah menjulang. Karto tak menghabiskan sepetak pun sawah di kampung yang tersisa tinggal setengah bau saja.

Setelah dinyatakan lulus, Karto iseng-iseng melamar dengan surat kelulusan pada sebuah penerbitan di Jakarta. Padahal, jurusannya sangat tidak masuk untuk kategori pekerjaan itu. Sebab, seharusnya dia menjadi guru seperti Kus. Itu adalah lamaran pertama Karto. Nasib lagi-lagi berpihak. Dia diterima, setelah menjalani serangkaian tes. Mulai psikotes, wawancara, dan sebagainya. Kini, aku mengenalnya sebagai juru warta.

Punya istri yang dulu teman seangkatan di sekolahnya. Yang ketika sekolah sama sekali tak pernah say helo, misalnya, karena memang Karto minder untuk sekadar kenal saja. Dia cantik, hitam manis ala wanita Jawa. Ketika sekolah, istrinya adalah buruan banyak teman-teman lelaki Karto. Meski sudah mengagumi sejak SMU, Karto tak pernah berniat mendekat. Sebabnya, dia sudah merasa kalah sebelum berlaga.
Kini, Karto sudah punya satu anak dari dia. Punya rumah lewat cicilan BTN di luar Jakarta.

****
****

“Karto, sudah sebulan lebih ibu tak meneleponmu, kangen sekali rasanya,” kata ibu, di ujung telepon, mengulang lagi. “Apa kabar istri dan anakmu,” sambungnya.
“Aku baik-baik saja, bu,” jawab Karto, dengan logat Sunda pinggiran yang kental. “Maaf, ibu, aku belum sempat kirim uang, pekerjaanku padat sekali,” kata Karto.

“Sudahlah, tak usah dipikirkan, biar ibu sama bapak menjual padi saja,” kata ibu.
“Tidak, bu, akan segera saya kirim,” sergah Karto.

“Tidak usah, Nak. Ibu tahu, kebutuhanmu sudah sangat banyak. Kemarin ibu memang sempat ke rumah kakakmu di seberang Cisanggarung sana. Untuk sekadar pinjam uang. Ibu naik angkot sendiri ke sana. Cuma dia sekarang sepertinya sedang banyak kebutuhan juga. Dia bilang, saya kan sudah banyak bantu. Nanti kalo Uban pulang dari Jakarta, ingatkan dia untuk mulang tarima,” kata ibu, menirukan Kus, rada terisak.

Mulang tarima adalah istilah balas budi di daerah Karto. Uban adalah adik pertama Karto yang baru saja menjadi PNS di departemen tadi.

“Cuma ibu bilang, biar saja Uban fokus kerja dulu, jangan direcoki oleh permintaan-permintaan. Memang Kus, kakakmu itu, ketika Uban masih kuliah sesekali memberi uang, hitung-hitung mulang tarima ke ibu, tapi kan yang nanggung biaya kuliah Uban kamu, Karto. Ibu kini merasa bersalah telah merepotkan kalian-kalian,” suara ibu di ujung telepon agak memelan, terdengar terbata. Lamat-lamat malah terisak.

“Ibu tahu, tak bagus membandingkan pemberian dari anak satu dengan anak lainnya. Ibu tak berharap itu, dengan melihat kalian bahagia saja, ibu sudah sangat senang, le,” kata ibu lagi. Sejenak terdiam. Karto pun terus termangu.

“Sudahlah, Bu, kebutuhan Ibu biar saya tanggung,” kata Karto. Bukan niat menjadi pahlawan, kata Karto kepadaku pada lain kesempatan soal omongannya itu. Tapi apa salahnya jika aku bersyukur, kata Karto lagi. Sekarang tanggunganku si Uban udah mulai punya pegangan hidup. Tinggal adik bungsu yang kini di SMU kelas satu.

Benar juga pikirku. Selama ini, Karto hanya sesekali saja kirim uang kepada ibu. Hasil sisihan tabungan sisa uang makan dari kantor. Juga sisa dari jatah Uban kuliah. Karto hingga kini masih saja sederhana. Makan cukup dengan tempe, tahu, ikan asin, telur dadar, sesekali daging ayam. Bahkan, Karto lebih sering membawa bekal makanan dari rumah ke kantor, bekal dari istrinya. Tidak lain agar lebih menghemat pengeluaran. Syukur-syukur bisa menyisakan uang untuk ibu.

Biar Karto menjanjikan akan selalu mengirim uang ke Ibu, kepada ku Karto bilang, jujur ketika mengatakan itu dia punya beban. Sebab, setiap kali Karto harus mengirim uang ke ibu, maka dia seperti punya utang kepada mertua, katanya. Meski secara materi, mertua Karto terbilang lebih, dan memang terpandang di daerah tubir Cisanggarung.

Karto ingin berbuat adil, katanya. Setiap kali mengirim uang ke ibu, Karto ingin juga mengirim kepada mertua. Itu artinya, beban makin bertambah. “Tak enak aku sama istriku setiap kali berniat mengirim uang ke ibu, aku seperti punya utang,” kata Karto, kepadaku. Aku sangat memahami posisi Karto. Dia sekarang punya banyak kebutuhan. Setelah Uban punya kerjaan tetap, Karto berniat pindah rumah.

Rumahnya saat ini terasa sangat jauh jaraknya dari tempat kerja: 47 kilometer sekali perjalanan. Maka, sehari dia bisa menempuh hampir 100 kilometer. Inilah yang mungkin dipahami ibu.

“Ibu tak usah dipikirkan, Karto. Ibu tahu kamu banyak kebutuhan,” kata ibu, sekali mengulang di ujung telepon. Karto terdiam. “Ibu, bapak, aku ingin mengangkat derajat kalian,” tak kuasa Karto mengucapkan kalimat itu. Dia hanya mampu membisikannya ke telinga ku, beberapa hari kemudian. “Ibu, doakan Karto, bu,” di ujung telepon Karto berharap.

Read More......

Rabu, 21 Januari 2009

Di Atas Sajadah

0 komentar


Share

Kalau Engkau selalu menginginkan hamba sahaya,
Selalu suci, putih tanpa dosa, lurus tanpa belok,
Tuhanku,
Lantas untuk apa kau ciptakan nafsu?
Engkau tak hanya sekadar Penuntut, bukankah?
Engkau Maha Rahman dan Maha Rahim, bukankah?
Kalau Engkau selalu menghukum orang yang berdosa,
Tuhanku,
Untuk apa fungsinya istighfar?
Kalau Kau selalu gunakan kekuasaan-Mu untuk membalas,
Apa bedanya Kau dengan aku, kekasihku?
Kau tak pendendam, bukankah?
Kau Maha Welas Maha Asih, bukankah?
Ya, Ghofar,
Bukakan pintu tobat untukku,
Kau, Yang Ar-Rahman dan Ar-Rahim
Maha Pengampun atas dosa dari segala dosa
Setubuhilah aku, Kekasihku

Bekasi, 21 Januari 2009

Read More......

Jumat, 02 Januari 2009

Politik Pembawa Petaka

0 komentar


Share

Ini catatan iseng disela-sela merapikan tulisan bisnis di tempat kerja sahaya. Terbatas di sana-sini, karena hanya perlu satu jam saja untuk menulis ini. Setelah makan siang, sea food deket kantor. Lumayan kenyang. Secuil, tapi semoga bermanfaat. (Rada serius nih..hehehe..)

******
******
Sejarah, selalu saja berulang. Tak perlu menunggu windu, tak harus berbilang dasa, juga laksa. Lima tahun. Ya, hanya lima tahun. Pada 26 Januari 2003, 48 jam sebelum Israel mengadakan pemilihan umum yang kemudian kembali memenangkan Ariel Sharon sebagai Perdana Menteri ketika masih di Partai Likud, 50 tank bersama sejumlah helikopter tempur Israel, membombardir kawasan Zaitun dan Ashkulah.

Minggu menjelang pagi itu, puluhan gajah dan belalang besi menggeruduk kawasan dekat alun-alun Palestina, basis Hamas di pusat Gaza City. Sejenak tenang. Tapi lamat-lamat kemudian terdengar rintihan, jeritan, kesakitan. Ada 12 pemuda Palestina meregang nyawa, 76 orang lainnya luka-luka. Ini adalah kombinasi serangan darat dan udara terbesar sejak Gaza kembali ke pangkuan Palestina, pada 1994.

Ariel Sharon, dedengkot Partai Likud ketika itu, yang kemudian membentuk Partai Kadima pada September 2005 akibat seteru penarikan pasukan dari Jalur Gaza, mengangguk ketika segerombolan tank dan helikopter membabibuta di Gaza. Dua hari menjelang pemilihan umum (pemilu), Sharon sepertinya ingin memberi pesan kepada penduduk Israel, calon pemilih di pemilu, bahwa tak ada kompromi terhadap masalah keamanan.

Tentu saja, Ariel Sharon menunjuk Harakah al-Muqawamah al-Islamiyah (HAMAS) sebagai biang kerok teror. Di mata Sharon dan sebagian besar kaum garis keras kanan Israel, HAMAS adalah teroris, yang mesti diberangus, dilumat, bila perlu dimusnahkan.

Dalam sebuah jajak pendapat di Israel, dua hari menjelang serangan Minggu dini hari itu, popularitas Ariel Sharon bersama gerbong Partai Likud, mulai merosot. Partai Likud hanya meraih 32 hingga 33 kursi parlemen Israel alias Knesset. Padahal, elite partai kanan itu menginginkan sedikitnya 36 kursi Knesset agar koalisi mendatang yang akan dibentuk Ariel Sharon pascapemilu nanti bisa lebih kuat.

Ajaib. Serangan pagi buta itu sukses kembali mengantarkan Ariel Sharon ke tampuk kekuasaan. Mahal, tentu saja. Karena harus ada korban 12 pemuda Palestina, 76 luka-luka, yang tak ada sangkut pautnya dengan pemilu Israel.

Kini, lima tahun kemudian, tepatnya 1.795 hari setelah serangan pagi buta itu, sejarah terulang. Sabtu pagi, 27 Desember 2008, gelombang serangan tentara Israel kembali menghumbalang Gaza. Serangan yang melibatkan 60 jet F-16, menyerang 50 titik target infrastruktur Gaza, daerah yang diduga kuat Israel sebagai basis pertahanan HAMAS. Dalam tiga menit, 155 meregang nyawa. Sua hari kemudian, korban menjadi 308 tewa. Sehari berselang sudah hampir 400 nyawa melayang, mayoritas wanita dan anak-anak.

Serangan membabibuta itu, tepat sepekan setelah gencatan senjata antara Israel dan HAMAS yang telah berlangsung enam bulan sejak 19 Juni 2008, berakhir.

Sejarah berulang. Sebab, latar belakang serangan ganas ini lantaran Israel akan kembali mendulang pemilu, Februari 2009. Popularitas Partai Kadima, partai yang didirikan Ariel Sharon dan berkuasa saat ini, merosot menjelang pemilu.

Banyak faktor penyebab. Dalam setahun terakhir, kondisi politik dalam negeri Israel gonjang-ganjing. Di bawah Ehud Olmert, petinggi Kadima lain yang menggantikan Sharon sebagai Perdana Menteri Israel 4 Januari 2006, popularitas Kadima turun drastis.

Mereka dipermalukan dan dicemooh rakyat Israel akibat “kalah perang” dalam konflik Israel vs Libanon pada 2006.

Tidak hanya kekalahan Libanon, pemerintahan pimpinan Olmert juga tercemar dengan berbagai skandal yang menyebabkan tekanan publik yang berakhir pada turunnya Olmert sebagai ketua Partai Kadima, September 2008.

Penggantinya, Tzipi Livni –sebelumnya Menteri Luar Negeri Israel--, hingga kini tak berhasil menyatukan koalisi yang memimpin pemerintahan Israel. Itulah sebabnya, Israel akan kembali menggelar Pemilu pada Februari 2009.

Di bawah Livni, Kadima harus berjaya menarik simpati pemilih Israel. Cara paling jitu adalah dengan menyerang kembali jalur Gaza, basis HAMAS. Kadima harus bersaing ketat dengan pesaing kuat mereka: Benjamin Netanyahu bersama gerbong Partai Likud di Pemilu mendatang. Netanyahu sudah gembar-gembor akan menumbangkan pemerintahan HAMAS. Maka, agar dukungan pemilih tak lari, Likud harus mengatur strategi menyusun serangan ke Gaza, basis HAMAS.

Beberapa hari menjelang serangan ke Gaza, sas-sus serangan sudah beredar luas akan dilakukan menjelang tutup tahun. Ini kemudian menjadi kabar santer dan berhasil meningkatkan kembali kepercayaan pemilih Israel terhadap Kadima.

Sebuah survei dalam negeri Israel yang diambil pada detik-detik dimulainya penyerangan, menunjukkan popularitas Partai Kadima mulai terangkat. Ini menunjukkan pemilihan waktu penyerangan yang diatur secara tepat bisa mengerek popularitas Kadima menjelang Pemilu yang sebentar lagi akan digelar.

Yang menjadi pertanyaan, kenapa perseteruan politik dalam negeri Israel kemudian menyeret ratusan nyawa tak berdosa di Jalur Gaza?

Siapa berani hentikan kekejian Israel? Dunia? Ah, tak usah berharap banyak. Jawabannya sudah bisa ditebak: Israel adalah anak emas bagi Barat. Perdana Menteri Inggris Gordon Brown, misalnya, dalam wawancara dengan BBC mengatakan, ia ’sangat prihatin’ dengan tragedi itu. Cuma, dia lebih menyalahkan milisi Palestina dan minta mereka menghentikan serangan roket.

Polisis dunia, Amerika Serikat, yang sedang sibuk menyiapkan transisi kekuasaan dari Presiden George W. Bush kepada Barrack Obama, malah memveto resolusi Dewan Keamanan PBB soal tragedi ini. Lantas, kepada siapa berharap? Haruskah perlawanan intifada menggema dari seluruh dunia? “Sekali berarti, sudah itu mati”.

http://www.facebook.com/note.php?note_id=53563649611&ref=mf#/note.php?note_id=53563649611

Read More......

ANGKA

0 komentar


Share

Kepada jiwa-jiwa resah

Andai sadar jiwa hampa, hakikat ada, benda fana, kosong dalam angka
Maka satu bukanlah pertama

Jika mengerti awal sebelum sekarang, angka terbilang,
Maka nol adalah awal rasa, dan Sang Ada isi nihilnya hampa

Adakah mereka sudah kembali menebar jangkar?
Untuk berkeliling lagi pulau jauh tak bertepi
Bermain sauh, angin, ombak bergulung...
Menemani Zarathrusta keliling dunia
Hmmm...

Adakah mereka temukan pulau-pulau berserakan?
Hitam, putih, merah, abu-abu
Terdengarkah suara panggilan lamat-lamat?
Jeritan, dengus, lenguh...
Adakah mereka kembali telanjang, untuk kemudian terombang-ambing (lagi)?
.........Berguncang-guncang menghitung angka
......... Gemuruh halilintar buncahkan harapan

Sudahkah mereka temukan cahaya?
Cahaya di atas cahaya?
Hmmm...
Wahai Sang Ada...
Bukakan selubung jiwa...
Agar paham awal dari segala awal
Supaya mengerti ada pengisi dari segala permulaan
Agar mengimani nol adalah awal rasa
Satu bukanlah pertama
Angka adalah terbilang
Kau, Sang Ada yang Tunggal dan Esa
Yang Awal dan yang Akhir...

Selamat Tahun Baru 1 Muharam 1430 H dan 1 Januari 2009

Jakarta, 31 Desember 2008

http://www.facebook.com/profile.php?v=feed&id=1023372280#/note.php?note_id=53129139611

Read More......
Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger