Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Selasa, 15 Maret 2011

Potret Gas Industri Indonesia

0 komentar


Share

Deras ke Luar, Mampet ke Dalam

****

Dalam APBN 2011, pemerintah mematok lifting gas 2011 sebanyak 7,77 miliar kaki kubik per hari (miliar SCFD). Dari jumlah itu, pemerintah mematok ketentuan wajib pasok domestik alias domestic market obligation (DMO) hanya 25 persen, atau sekitar 1,94 miliar SCFD, sebagian besar lainnya untuk ekspor. Padahal, total kebutuhan gas domestik tahun ini mencapai 3,567 miliar SCFD. Industri pengguna gas megap-megap kekurangan pasokan gas. Akibat pemerintah lelet, industri berinisiatif membangun terminal gas apung sendiri.


****
****


Di industri gas, ironi di negeri ini tampak begitu nyata. Saat ini, menurut catatan Departemen Informasi Energi Amerika Serikat (U.S. Energy Information Administration), Indonesia menempati posisi 10 besar negara dengan cadangan gas alam terbukti (proven) terbesar di dunia, dan terbesar kedua di Asia Pasific. Total cadangan gas proven di dalam negeri mencapai 98 triliun kaki kubik (TCF). Jika digabung dengan cadangan potensial, total cadangan gas bumi di Indonesia mencapai 150 TCF.


Bahkan, catatan Badan Pengatur Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) lebih membuat decak kagum. Cadangan total cadangan gas
proven
107,35 TCF, dan total cadangan potensial 52,29 TCF. Sehingga total cadangan gas Indonesia mencapai 159,64 TCF.

Sayang, sumber daya gas nan melimpah itu tidak bermanfaat banyak untuk kemashlahatan dalam negeri. Pasokan gas ke dalam negeri tetap saja seret. Sebagian besar produsen gas yang mayoritas perusahaan asing, seperti ConocoPhillips, Chevron, ExxonMobil dan lain-lain, memilih mengekspor gas lantaran harga di pasar internasional lebih menggiurkan.

Mari kita hitung bersama. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2011, pemerintah mematok lifting gas 2011 sebanyak 7,77 miliar kaki kubik per hari (miliar SCFD). Dari jumlah itu, pemerintah mematok ketentuan wajib pasok domestik alias domestic market obligation (DMO) hanya 25 persen, atau sekitar 1,94 miliar SCFD, sebagian besar lainnya untuk ekspor. Jumlah wajib pasok tersebut jelas jauh panggang daripada api. Sebab, menurut catatan Ikatan Forum Pengguna Industri Gas Bumi (IFIPGB), total kebutuhan gas di dalam negeri tahun ini mencapai 3,567 miliar SCFD.

Perinciannya, 800 juta SCFD untuk pembangkit PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), dan 2.767,32 juta SCFD untuk 20 sektor industri sepanjang 2010-2011. Angka kebutuhan gas untuk industri tersebut merupakan asumsi kebutuhan dengan utilisasi pabrik berada pada level 100%.

Berdasarkan sektor, industri manufaktur membutuhkan suplai gas mencapai 1.520,74 juta SCFD dan sebesar 1.246,58 juta SCFD untuk industri pupuk, amoniak, dan petrokimia. Pada 2010 (posisi Januari-Maret), produksi gas bumi nasional mencapai 793.696.526 juta SCFD dan konsumsi gas sebanyak 749.730.696 juta SCFD. Adapun angka ekspor gas bumi nasional sepanjang 2009 yang disalurkan melalui pipa mencapai 219.485,26 MMSCF dan ekspor melalui tanker sebanyak 390.450,85 MMSCF (lihat tabel Kebutuhan Gas Sektor Industri).

                        Kebutuhan Gas Sektor Industri 2010-2011 (Juta SCFD)
Sektor                                                    Volume
Keramik                                                 130,65
Glassware                                              18,90
Glove (sarung tangan karet)              2,68
Kaca lembaran                                    60,31
Logam                                                   964,82
Tekstil                                                    20,38
Semen                                                    5,05
Makanan dan minuman                   26,08
Kertas                                                    245,70
Karbit                                                     26,27
CPO                                                        15,38
Pakan ternak                                        2,27
MSG                                                       1,21
Coklat                                                    0,51
Sorbitol                                                  0,11
Zink Okside                                          0,11
Gas industri                                           0,31
Pupuk                                                    807,20
Amoniak                                               120,50
Petrokimia                                            318,88
--------------------------------------------------------------------
Total                                                     2.767,32
---------------------------------------------------------------------
                               Sumber : Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB)


Sekretaris Jenderal IFIPGB, Ahmad Wijaya pesimistis industri dalam negeri yang sebagai besar pengguna gas, bisa berkembang. Sebab, pasokan gas yang seret akan turut mempengaruhi produksi industri. Walhasil, industri di dalam negeri bisa kehilangan daya saing. Di industri keramik, misalnya, dari total kebutuhan gas tahun ini 100 juta SCFD, yang terealisasi kemungkinan cuma 65 juta SCFD. Padahal pertumbuhan prediksi industri keramik pada tahun 2011 diperkirakan bakal naik lagi hingga 20%. "Industri keramik bisa tumbuh, tapi kami khawatir karena pasokan gas minim," ungkap Ahmad, yang juga Ketua Umum Asosiasi Keramik Indonesia (Asaki) itu, usai seminar “Geo Energi Monthly Discussion: Pasokan Gas, Antara Harga dan Kebutuhan”, di Jakarta, Kamis, 17 Februari 2011.

Krisis gas tak hanya di industri keramik. Di industri tekstil pun demikian. Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat Usman, menyatakan, dari total kebutuhan gas di industri tekstil tahun ini sebesar 20,38 juta SCFD, kemungkinan yang terpenuhi cuma sekitar 75 persen, atau sekitar 15,28 juta SCFD. “Tahun ini kekurangan suplai gas kemungkinan mencapai 25 persen. Jumlah kekurangan ini terus naik, sebab pada 2009 kekurangan suplai gas di industri tekstil masih 15 persen, sementara kekurangan gas tahun 2010 lalu mencapai 20 persen,” kata Ade, Jumat, 18 Februari 2011.

Tahun depan, menurut Ade, jika tidak ada upaya serius dari pemerintah, kekurangan gas di industri dalam negeri akan tambah melonjak lagi akibat kebutuhan gas di industri tambah tinggi. “Ini sudah menjadi masalah pelik yang sulit dicepahkan. Mungkin semua industri, seperti keramik, kaca, baja dan industri lainnya, juga mengalami kondisi yang sama seperti tekstil,” kata Ade.

Sederhananya, defisit neraca gas di negeri ini bakal terus bengkak. Tahun 2010 lalu saja, menurut Neraca Gas Nasional, terdapat defisit gas mencapai sekitar 1 miliar kaki kubik per hari (SCFD) (contracted demand). Defisit terutama di Jawa (sebanyak 0,44 miliar SCFD, dan Sumatera sebesar 0,34 miliar SCFD, yang diakibatkan oleh kekurangan pasokan dan keterbatasan infrastruktur.

“Potensi defisit gas bumi (contracted demand) untuk keperluan di dalam negeri pada tahun 2011 diproyeksikan masih tetap tinggi, yaitu mencapai 0,6 miliar SCFD. Bahkan jika memperhitungkan potential demand, maka defisit gas bumi jauh lebih besar, diperkirakan mencapai 2,73 miliar SCFD (Neraca Gas Nasional 2010-2025),” papar Dito Ganinduto, anggota Komisi VII DPR RI Bidang Energi, dalam seminar Outlook Energy and Mining 2011 di Jakarta, 22 Desember 2011.

Saat ini, pemerintah memang telah menetapkan wajib pasok ke dalam negeri (DMO), sesuai Peraturan Menteri ESDM No. 3 Tahun 2010. Beleid ini mewajibkan para Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) migas menyerahkan 25 persen dari hasil produksi gas bumi bagian kontraktor untuk memasok kebutuhan gas dalam negeri. Namun, menurut Dito, kewajiban DMO itu belum dapat menjamin pemenuhan kebutuhan gas di dalam negeri yang terus meningkat.

Memang, produksi gas di dalam negeri terus menanjak. Namun, itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan gas domestik yang juga terus meningkat. Dalam satu dekade terakhir, penambahan cadangan terbukti gas bumi nasional meningkat rata-rata 1,5 persen per tahun. Jika di tahun 2000 masih 94,6 TCF, pada 2009 sudah mencapai 107,4 TCF. Sedangkan tingkat pertumbuhan produksinya hampir dua kali pertumbuhan cadangan terbuktinya, yaitu sebesar 2,8 persen per tahun atau meningkat dari 6,3 SCFD menjadi 7,9 miliar SCFD pada periode yang sama. Meski sempat mencapai angka tertingginya dalam 10 tahun pada 2003, dan kemudian melandai, namun produksi gas dalam tiga tahun terakhir selalu melebihi target (lihat tabel Kondisi Gas Nasional).
Kondisi Gas Nasional (MMSCFD)

Tahun
Produksi
Pemanfaatan
2009
3.024.841.099,00
2.832.586.863,00
2008
2.891.929.375,00
2.790.988.091,24
2007
2.805.999.464,00
2.708.982.556,00
2006
2.947.048.632,00
2.825.760.987,00
2005
2.984.150.215,00
2.766.062.673,00
2004
3.029.904.958,00
2.888.863.199,00
2003
3.136.000.115,00
2.973.792.996,00
2002                 
2.993.121.530,00
2.823.492.031,00
2001
2.803.231.545,00
2.636.278.069,00
2000
2.895.578.543,00
2.722.779.865,00





MMSCFD: Juta kaki kubik per hari






Sumber: Kementerian ESDM dan Riset Geo Energi

Sama seperti Dito, Ahmad Wijaya pun sepakat kebijakan DMO belum mampu mengatasi defisit kebutuhan gas di dalam negeri. “Sebab, alokasi gas DMO tetap ditujukan kepada pemerintah. Yakni industri sektor primer, PLN dan industri pupuk. Di Indonesia ada empat kelompok yang akan mendapatkan pasokan gas, dan kita masuk ke nomor 4, setelah transportasi untuk umum, PLN, industri pupuk. Jadi industri secara keseluruhan masuk dalam prioritas ke empat,” katanya.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Priagung Rakhmanto, juga sepakat, ketentuan DMO tidak memberikan jalan keluar dalam mengatasi keterbatasan gas di dalam negeri. “Itu sulit dipenuhi karena aturan itu tidak implementatif, dalam arti masih ada embel-embelnya di belakang dengan memperhatikan aspek keekonomian. Bila tidak menyentuh batas harga keekonomian, berarti boleh diekspor,” katanya. Ini yang menyebabkan para produsen gas di dalam negeri lebih banyak memilih ekspor ketimbang memasok kebutuhan dalam negeri.

Terlebih, dalam aturan DMO, ketentuan 25 persen bukan gas yang diproduksi, tetapi adalah yang masuk dalam bagiannya kontraktor. “Karena itu, menurut saya, yang lebih penting adalah struktur pasarnya yang harus diubah karena regulasinya tidak jelas, competitiveness tidak akan tercipta karena monopoli dan high cost timbul sejak di awal eksploarasi,” papar Priagung.

Saat ini, harga yang diterima oleh KKKS dari pembeli dalam negeri tidak cukup menarik secara ekonomis. Akibatnya banyak KKKS yang mengekspor gasnya. Harga jual gas di tingkat KKKS rata-rata berkisar sebesar US$ 2,77 per mmbtu. Sedangkan harga jual di akhir mencapai US$ 3,53 per mmbtu. “Permasalahannya bukan kepada daya beli konsumen tapi harga di kepala sumur yang tidak cukup menarik untuk produsen gas mensuplai gasnya kepada domestik,” tandas Priagung.

Priagung menambahkan, penyebab seretnya pasokan gas ke dalam negeri, akibat cadangan gas yang ada saat ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan gas nasional. Sebab, kebanyakan sudah di ekspor ke luar. “Penambahan produksi gas nasional tidak berarti penambahan gas untuk domestik,” jelas Priagung. Kurangnya gas untuk domestik, karena adanya keterbatasan infrastruktur, penurunan produksi secara alamiah, banyak diekspor, dan struktur pasar gas domestik yang tidak sehat.

Saat ini, lebih dari 90 persen jalur distribusi gas dikuasai oleh satu pemain, yakni PT Perusahaan Gas Negara (PGN). “Akibatnya, ketergantungan dan posisi tawar konsumen relatif sangat lemah terhadap PGN,” kata Priagung. Walhasil, penyaluran gas sepenuhnya ada di tangan PGN.

Penyebab lain seretnya pasokan gas ke dalam negeri, kata Priagung, akibat pipa transmisi gas hampir seluruhnya masih bersifat dedicated alias sesuai pesanan dan belum open acces. Walhasil, pembagian gas belum bisa merata dan mencukupi seluruh kebutuhan, terutama untuk industri.

Kritik boleh datang bertubi-tubi. Tapi, pemerintah tetap yakin kebutuhan gas di dalam negeri tahun ini bisa tercukupi. “Sebab, setiap tahunnya alokasi gas untuk domestik bertambah 8 persen,” kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Evita Herawati Legowo.

Bahkan, Kepala Dinas Humas dan Hubungan Kelembagaan BP Migas, Elan Biantoro mengklaim, BP Migas sudah menyetujui untuk memenuhi kebutuhan gas di dalam negeri tahun ini mencapai 56,78% dari total kontrak yang ada. Sedangkan sisanya sekitar 43,22% alokasinya untuk ekspor. “Tahun ini, domestik mendapatkan jatah gas sebesar 4.366 miliar british thermal unit perhari (BBTUD). Jumlah ini naik cukup signifikan ketimbang 2010," ujar Elan, kepada wartawan. Tahun lalu, kata Elan, domestik hanya kebagian jatah gas bumi sekitar 50,18%, setara dengan 4.342,71 BBTUD. Sedangkan gas yang terbang ke luar negeri sebanyak 4.311,5 BBTUD (49,82%).


Pemerintah boleh optimistis. Namun, para pengusaha tetap saja pesimistis dengan tercukupinya kebutuhan gas untuk domestik. “Sebab, komitmen pasokan gas ke dalam negeri sampai saat ini cuma dikasih sepertiga,” kata Ahmad Wijaya.

Ade Sudrajat menambahkan, apapun kebijakan pemerintah, termasuk soal DMO, tidak akan efektif mengatasi seretnya gas ke dalam negeri sepanjang pemerintah tidak membangun terminal penampungan gas. “Sepanjang tidak ada terminal, DMO tidak akan efektif, gasnya mau dikemanakan. Perusahaan sekelas Medco mungkin bisa bawa gas dari Sulawesi, setelah dikapalkan ke Jawa, mau dikemanakan gasnya kalau tidak ada terminal. Kalau penerimanya tidak ada. Selama ini ada kesenjangan di terminal yang menghubungkan penerima dengan saluran ke gas,” papar Ade.

Mengharapkan pemerintah segera membangun terminal gas sendiri, kata Ade, jelas tidak mungkin. Sebab, pemerintah kembali menyerahkan hal tersebut kepada swasta. “Itu kan terlalu liberal. Lagian, membangun floating terminal itu butuh investasi besar. Jadi harus dilakukan pemerintah. Harus ada intervensi APBN untuk pembangunan infrastruktur, khususnya energi. Untuk mencapai ketahanan energi, harus ada intervensi dari APBN,” papar Ade.

Merasa frustasi terhadap pemerintah, para pengusaha belakangan ramai menyuarakan akan membangun sendiri terminal gas apung alias floating storage receiving terminal (FSRT). Menurut Ahmad Wijaya, para pengusaha yang tergabung dalam IFIPGB, akan patungan untuk membangun terminal gas apung tersebut.


IFIPGB menargetkan terminal apung tersebut bisa kelar pada April 2012. Menurut Ahmad, FSRT yang dibangun oleh Pertamina-PGN saat ini hanya diperuntukkan untuk PLN dan pupuk. Padahal industri juga membutuhkan pasokan gas. “Floating terminal sepakat akan jalan sendiri hanya minta ke pemerintah mempermudah ijin. Ijinnya disederhanakan, kalau sekarang kan harus melewati 32 ijin,” kata AW, panggilan akrab Ahmad Wijaya.

Jika tak ada aral, nantinya FSRT itu akan berlokasi di Banten, Jawa Barat dengan kapasitas gas sebesar 500 juta SCFD. Nilai investasinya sekitar US$ 200 juta. “Kami dari konsorsium swasta sudah bicara dengan penyatuan kapal angkut. Sudah ada pihak-pihak yang bersedia untuk menampung gasnya,” lanjut Ahmad. Ia mencontohkan industri yang siap untuk menampung gas dari FSRT tersebut adalah industri keramik sebesar 130 mmscfd kemudian industri baja sebesar 200 juta SCFD.

Untuk pasokan gas, mereka memilih impor. Sebab, sumber daya gas di dalam negeri sudah tidak mencukupi untuk kebutuhan nasional. “Sumbernya impor dari Rusia, Qatar dan Nigeria,” tutur Ahmad.

Bersama IFIPGB, asosiasi para trader gas yang tergabung dalam Indonesia Natural Gas Trader Association (INGTA) juga berniat untuk membangun FSRT. INGTA mengaku tidak mampu memenuhi pasokan domestik karena tidak ada gas yang tersedia. “Selama ini kita kan beli di KKKS, tapi kan kebutuhannya semakin besar dan kita tidak mampu memenuhi permintaan konsumen,” kata Komisaris PT Bayu Buana Gemilang (BBG), Sabrun Jamil Amperawan. BBG merupakan salah satu perusahaan yang tergabung dalam INGTA.

Saat ini, para perusahaan trader tersebut sudah memiliki kontrak gas dengan beberapa KKKS. Total kontrak gas untuk perusahaan trader swasta di luar PGN mencapai 150 mmscfd per tahun. Sabrun mengklaim, kontrak tersebut akan berakhir pada 2014. “Selanjutnya, kita masih belum tahu ada gas dari mana. Kita harapkan FSRT itu akan selesai di 2013,” papar Sabrun.

Ungkapan IFIPGB dan INGTA ini bisa menjadi tamparan buat pemerintah agar lebih memperhatikan pasokan gas di dalam negeri. Memang, menyediakan gas secara cukup di dalam negeri, tidak semudah membalik telapak tangan, perlu gebrakan besar pemerintah agar itu bisa terwujud. “Barangkali, perlu reshufle kabinet segera untuk merealisasikan hal itu,” tandas Priagung. Untuk yang ini, bola sepenuhnya ada di tangan presiden. Beranikah? ****

Read More......
Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger