Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Sabtu, 12 Maret 2011

Minyak Dunia dan BBM Subsidi

0 komentar


Share

Tunda, atau Inflasi Menggila

****
Krisis di Afrika Utara dan Timur Tengah melambungkan harga minyak dunia. Akibatnya, harga si emas hitam terus berkobar di atas US$ 100 per barel sejak awal tahun 2011, bahkan nyaris menyentuh US$ 120 per barel. Pemerintah menyerah: memilih menunda rencana pembatasan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Sedianya, pemerintah akan menerapkan opsi pembatasan BBM subsidi mulai April 2011. Pemerintah khawatir, inflasi tahun ini akan jauh di atas asumsi di APBN 2011 yang sebesar 5,3%. Tapi, konsekuensinya, subsidi BBM 2011 bisa bengkak Rp 6 triliun.
****

Kejutan-kejutan hebat terjadi sepanjang dua bulan pertama 2011. Harga minyak mentah di pasar internasional terus mencetak rekor. Setelah beberapa kali memecahkan rekor sepanjang Januari 2011, harga si emas hitam tetap berkobar di bulan Februari 2011. Harga minyak mentah jenis brent di ICE Futures London, pada Kamis, 24 Februari 2011, untuk pengiriman April 2011, tembus US$ 119,79 per barel, nyaris menyentuh US$ 120 per barel. Harga ini tertinggi sejak Agustus 2008. Dalam setengah tahun terakhir, dihitung sejak 24 Agustus 2010 lalu, saat masih di level US$ 73,97 per barel, harga ini sudah melonjak 61,94%.

Sementara minyak mentah ringan (light sweet), juga tembus di atas US$ 100 per barel. Pada perdagangan di New York Mercantile Exchange (Nymex), Kamis, 24 Februari 2011, nilai kontrak pengiriman April 2011, minyak jenis ini diperdagangkan di harga US$ 103,41 per barel, posisi tertinggi sejak 2 Oktober 2008. Level harga itu tercatat meningkat 24% dari posisi tahun lalu.


Harga minyak terus mencelat sejak awal tahun 2011 ini. Pada perdagangan pembuka tahun ini di Nymex, Senin, 3 Januari 2011, harga minyak untuk pengiriman Februari 2011 sudah mencapai US$ 92,14 per barel. Harga ini naik 0,83% dibanding penutupan perdagangan akhir tahun 2010 pada Jumat, 31 Desember 2010, yang sebesar US$ 91,38 per barel. Ini adalah rekor tertinggi dalam 27 bulan terakhir, atau sejak Oktober 2008 silam.

Sejak itu, harga minyak kian menanjak hingga akhir Februari 2011. Pemicu utama membaranya harga minyak dunia belakangan ini akibat krisis di kawasan Afrika Utara dan Timur Tengah. Gejolak hebat di sejumlah negara kawasan itu memanas sepanjang Februari 2011, akibat revolusi kekuasaan di sejumlah negara. Pergantian kekuasaan di Tunisia, merembet ke Mesir, Iran, Aljazair, dan belakangan Libya.

Yang paling terasa pengaruhnya adalah krisis politik di Libya yang pecah memasuki pekan terakhir Februari 2011. Terinspirasi oleh revolusi rakyat di Tunisia dan Mesir, rakyat Libya menuntut Presiden Muammar Khadafy mundur. Pemimpin yang sudah berkuasa 41 tahun itu bergeming, dan memilih melawan rakyatnya sendiri.

Akibat gejolak dahsyat politik dalam negeri yang menewaskan sedikitnya 1.000 orang tersebut, pasokan minyak dunia turut seret. Produksi minyak negeri di ujung utara Benua Afrika tersebut berkurang 400.000 barel dari kapasitas hariannya 1,6 juta barel. Hitung-hitungan itu berdasarkan kalkulasi penghentian produksi oleh sejumlah perusahaan multinasional di negara tersebut.

Tripoli, ibukota Libya, memiliki cadangan minyak mentah terbesar di Benua Afrika, dan ketiga terbesar di dunia. Libya memproduksi 1,6 juta barel minyak per hari, dan merupakan produsen terbesar kesembilan di antara 12 negara anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). Dari produksi hariannya itu, sekitar 1,3 juta barel diekspor, sebagian besar ke Eropa dengan kualitas tinggi. Produksi minyak harian Libya hampir 2% dari pasokan minyak dunia.

Prediksi menyeramkan datang dari bank asal Jepang, Nomura. Dalam catatannya kepada klien, Rabu, 23 Februari 2011, para analis Nomura memprediksi harga minyak bisa tembus di atas US$ 200 per barel. Mereka membandingkan situasi sepanjang Februari hingga awal Maret 2011 dengan keadaan pada Perang Teluk 1990-1991. Saat itu, harga minyak melonjak 130% selama tujuh bulan karena kapasitas produksi negara-negara OPEC dikurangi menjadi 1,8 juta barel.

“Jika Libya dan Aljazair menghentikan produksi, harga minyak bisa melampaui US$ 220 per barel dan kapasitas OPEC akan dikurangi menjadi 2,1 juta barel per hari, mirip dengan level saat Perang Teluk dan ketika harga mencapai US$ 147 per barel pada 2008,” kata pernyataan resmi Nomura, Rabu, 23 Februari 2011, seperti dikutip dari Reuters.

Bisa saja, harga minyak sepanjang tahun ini akan terus bertengger di atas US$ 100 per barel. Direktur Eksekutif Badan Energi Internasional (IEA) Nobuo Tanaka, pagi-pagi sudah mengingatkan, jika harga minyak terus bertahan di atas US$ 100 per barel sepanjang tahun ini, perekonomian global bisa jatuh kembali ke dalam krisis seperti pada 2008.

Imbas membaranya harga minyak dunia, membuat khawatir sejumlah kalangan di Indonesia. Anggota komisi VII DPR RI Bidang Energi Agus Sulistyono menyatakan, krisis politik di Afrika Utara dan Timur Tengah sangat berpengaruh terhadap kawasan dunia lain, termasuk Indonesia.

“Harga minyak dunia diprediksi akan terus merangkak seiring dengan pergolakan politik di Libya dan negara lainnya di Afrika Utara dan Timur Tengah. Akibatnya, akan berpengaruh pada harga BBM di Indonesia, khususnya BBM subsidi, dan kebutuhan pokok lainnya,” kata Agus, Jumat, 25 Februari 2011. Apabila harga minyak naik, maka harga barang juga akan melonjak. “Ujung-ujungnya inflasi juga akan meningkat,” kata Agus.

Karenanya, Agus meminta pemerintah kembali meninjau ulang rencana pembatasan BBM subsidi yang sedianya mulai April 2011. “Saya khawatir kalau pembatasan subsidi tetap diterapkan, sungguh sangat memberatkan masyarakat karena harganya akan terus naik,” katanya.


Perkembangan Harga BBM, 2005-2009 (dalam rupiah)
Jenis BBM

2005

2006
2007

2008


2009


3 Jan -
28 Feb
1 Mar -30 Sep
1 Okt -
1 Des
1 Jan -
31 Des
1 Jan –
31 Des
1 Jan – 23 Mei
24 Mei-
30 Nov
1 Des – 14 Des
15 Des– 31 Des
1 Jan – 14 Jan
15 Jan - ...
Premium
1.810
2.400
4.500
4.500
4.500
4.500
6.000
5.500
5.000
5.000
4.500
Solar
1.650
2.100
4.300
4.300
4.300
4.300
5.500
5.500
4.800
4.800
4.500
Minyak Tanah
1.800
2.200
2.000
2.000
2.000
2.000
2.500
2.500
2.500
2.500
2.500
Minyak Diesel
1.650
2.300
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Minyak Bakar
1.560
2.160
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral


Gayung bersambut. Pemerintah pun nampaknya sejalan dengan DPR. Akibat harga si emas hitam yang terus menggila, pemerintah Indonesia pun memilih bersikap realistis. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Radjasa menyatakan, pemerintah kemungkinan besar akan menunda pelaksanaan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Sedianya, pemerintah berencana menerapkan pembatasan konsumsi BBM subsidi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) mulai 1 april 2011.

Pemerintah beralasan, harga minyak dunia akan berimbas pada melonjaknya harga-harga. Pemerintah khawatir itu akan mendorong inflasi di dalam negeri tahun ini makin tinggi.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011, pemerintah mematok inflasi di angka 5,3%. Padahal, para analis ekonomi memprediksi, pelaksanaan pembatasan BBM subsidi mulai April 2011, akan mengakibatkan inflasi sepanjang tahun ini bisa tembus hingga 8% (lihat Geo Energi, edisi Desember 2010). Pemerintah khawatir, jika pembatasan BBM subsidi jadi dilakukan April 2011, inflasi tahun akan tambah tinggi terdorong melambungnya harga minyak dunia.

Alasan lainnya, infrastruktur Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) belum sepenuhnya siap. Menurut catatan PT Pertamina, dari 720 unit SPBU Pertamina di Jabodetabek, baru sebanyak 610 unit SPBU atau 84,72% yang sudah menjual BBM Pertamax, alias masih ada 110 SPBU yang belum siap. Selain itu, pada ujicoba pembatasan BBM subsidi pada 409 angkutan kota (angkot) trayek Senen-Kampung Melayu, Rabu, 23 Februari 2011 lalu, infrastruktur juga belum siap. Misalnya, di SPBU belum ada alat pendeteksi barcode yang berfungsi mencatat konsumsi BBM subsidi per angkot.

Karenanya, pemerintah kemungkinan besar menunda pembatasan BBM subsidi. “Perlu diketahui, pembatasan (BBM subsidi) itu dilakukan dengan asumsi-asumsi suatu kajian yang dilakukan oleh Universitas Indonesia (UI), juga mengkaji lagi harga ICP (harga patokan minyak dalam negeri) berapa. Melihat perkembangan harga yang begitu tinggi saat ini dan didorong inflasi, serta kesiapan (infrastruktur) Jabotabek dan sebagainya, ada baiknya kita tunda (pembatasan BBM subsidi) itu,” kata Hatta, kepada wartawan, Kamis, 24 Februari 2011.

Hatta menegaskan, pemerintah tidak akan memaksakan program tersebut lantaran gejolak hebat harga minyak dunia belakangan ini. Sampai kapan penundaan dilakukan, Hatta belum bisa memastikannya. “Kita lihat timing yang tepat, juga kita persiapkan betul seluruh masyarakat agar tidak terjadi distorsi pada perekonomian kita,” katanya. Hatta menegaskan, pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM subsidi meski harga minyak bergejolak.

Meski Hatta sudah memberi sinyal akan melakukan penundaan pembatasan BBM subsidi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih tetap menunggu keputusan final hal tersebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Kami masih menunggu keputusan rapat dengan DPR,” kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas (Dirjen Migas) ESDM Evita Legowo, kepada wartawan, Kamis, 24 Februari 2011.

PT Pertamina, operator penyalur BBM subsidi, menyerahkan sepenuhnya urusan pelaksanaan atau penundaan pembatasan BBM subsidi kepada pemerintah. “Itu kebijakan otoritasnya ada di pemerintah, bukan di kami. Jadi, kami serahkan sepenuhnya ke pemerintah,” kata Mochamad Harun, Vice President Corporate Communication Pertamina, Kamis, 17 Februari 2011. Pertamina, kata Harun, hanya bertugas menyiapkan infrastruktur penyalur BBM subsidi. “Seperti sekarang SPBU itu kita sudah tata, kita sudah sosialisasikan ke mereka,” kata Harun.

Yang jelas, kini pemerintah tampaknya kian ketar-ketir. Bagi pemerintah, lonjakan harga minyak dunia dan rencana penundaan kembali pembatasan BBM subsidi, jelas sebuah dilema. Jika penundaan jadi dilakukan, anggaran subsidi BBM di APBN akan membengkak. Jika pembatasan BBM tetap dilakukan, inflasi tahun ini bisa menggila.


Tabel Inflasi Indonesia 2005-2010
Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010*
2011*
Inflasi
17,1
6,6
6,59
11,6
2,78
5,3
5,3


Karenanya, meski belum diputuskan bersama dengan DPR, kemungkinan besar pemerintah memang akan menunda pembatasan BBM subsidi. Apalagi, sinyal dukungan penundaan pembatasan BBM subsidi kian santer dari Senayan. Kepada wartawan, anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar Dito Ganundito menyatakan, penundaan pembatasan BBM adalah langkah tepat. Sebab, di tengah kecenderungan kenaikan harga minyak dunia, pembatasan BBM subsidi justru mendorong inflasi. Meski demikian, Dito meminta pemerintah supaya tetap menjaga alokasi BBM subsidi yang telah ditetapkan dalam APBN 2011, yakni sebanyak 38,5 juta kiloliter (kl).

Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PPP M. Romahurmuzy segendang sepenarian. “Menurut saya penundaan itu hal baik, tapi kebijakan itu harus tetap dilakukan” katanya, kepada pers.

Sinyal penundaan memang sangat kuat. Hal ini yang agaknya membuat Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo, yang semula ngotot ingin pembatasan BBM subsidi dilakukan segera untuk menghemat anggaran negara, belakangan juga mulai melunak. Agus mengakui perkembangan harga minyak dunia saat ini patut diwaspadai. Jika tren harga minyak bertahan di atas US$ 100 per barel, rata-rata realisasi Indonesia Crude Price (ICP) sepanjang 2011 kemungkinan berkisar di level US$ 83 per barel.

“Jika misalnya harga minyak itu di atas US$ 100 per barel, di full year-nya mungkin average-nya sekitar US$ 83 per barel. Makanya kami mesti lihat (perkembangan harga minyak) dalam konteks setahun,” kata Agus. Namun demikian, Agus menegaskan pemerintah belum akan mengubah asumsi makro Indonesia di tahun ini.


Perkembangan Subsidi BBM Jenis Tertentu dan LPG Tabung 3 Kg 2005-2010
Uraian


Realisasi


2010


2005
2006
2007
2008
2009
APBN
APBN-P
Subsidi BBM Jenis Tertentu dan LPG 3 Kg (Triliun Rupiah)
% terhadap PDB
95,6

3,5
64,2

1,9
83,8

2,1
139,1

2,8
45,0

0,8
68,7

1,1
88,9

1,4
Faktor-Faktor yang mempengaruhi:

ICP Jan-Des (US$ / barel)
Nilai Tukar Rupiah (Rp/US$)
Volume BBM (Ribu Kiloliter)
Ø  Premium
Ø  Minyak Tanah
Ø  Minyak Solar
Ø  Minyak Diesel
Ø  Minyak bakar
Volume Subsidi LPG (ribu metrik ton)
Alpha (%)
Alpha (Rp / liter)



53,40
9.705
59.747,4
17.734,3
11.355,4
25.530,8
781,4
4.345,5
-
14,10
-


64,26
9.164
37.630,0
16.807,0
9.959,0
10.864,0
-
-
-
14,10
-


72,31
9.140
38.643,0
17.929,0
9.850,0
10.864,0
-
-
21,5
14,10
-


97,02
9.692
39.176,0
19.529,0
7.855,0
11.792,0
-
-
506,4
9,00
-


61,58
10.408
37.724,0
21.120,0
4.569,0
12.035,0
-
-
1.753,9
8 (jan-Jun)
537 (Jul-Des)


65,00
10.000
36.505,0
21.454,1
3.800,0
11.250,9
-
-
2.973,3
-
556


80,00
9.200
36.505,0
21.454,1
3.800,0
11.250,9
-
-
2.973,3
-
556
Sumber: Kementerian Keuangan

Yang terang, konsekuensi dari melambungnya harga minyak dunia dan penundaan pembatasan BBM subsidi, akan berdampak besar ke APBN 2011. Subsidi energi untuk tahun ini yang sebesar Rp 92,79 triliun bakal tambah bengkak. Setiap kenaikan harga minyak US$ 1 per barel di atas asumsi ICP, akan menambah beban subsidi BBM dan listrik sebesar Rp 3,2 triliun. Memang, di saat yang sama, kenaikan harga minyak mentah juga akan meningkatkan penerimaan negara dari hasil penjualan minyak dan gas Rp 2,7 triliun. Namun, jika dihitung total, tetap ada selisih Rp 0,5 triliun yang menambah beban subsidi.

Bagi pemerintah, kondisi ini ibarat buah simalakama. Dilakukan pembatasan BBM subsidi sesuai target pada April 2011 inflasi bisa mencelat, ditunda anggaran subsidi bakal bengkak. Sungguh sebuah pilihan yang sulit!!! ****

Read More......

Persaingan SPBU

0 komentar


Share

Bersaing Ketat Karena Minyak

****
Melonjaknya harga minyak dunia dan rencana pembatasan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tahun ini turut mendorong makin ketatnya persaingan penjualan BBM non subsidi. Operator-operator berlomba menambah SPBU untuk memperluas jaringan distribusi. Era persaingan sempurna di bisnis penjualan BBM memasuki babak baru. Operator SPBU asing bakal mendulang untung setelah ada pembatasan BBM subsidi.
****

Harga minyak dunia terus membumbung. Dalam setengah tahun terakhir, harganya sudah meroket lebih dari 50%. Pada Kamis, 24 Februari 2011, harga minyak mentah jenis brent di ICE Futures London, untuk pengiriman April 2011, tembus US$ 119,79 per barel, nyaris menyentuh US$ 120 per barel. Harga ini tertinggi sejak Agustus 2008. Dalam setengah tahun terakhir, dihitung sejak 24 Agustus 2010 lalu, saat masih di level US$ 73,97 per barel, harga ini sudah melonjak 61,94%.

Ke dalam negeri, mencelatnya harga minyak dunia ini turut mendongkrak harga jual bahan bakar minyak (BBM) non subsidi. Harga jual di PT Pertamina, misalnya, untuk harga Pertamax, jika pada 24 Agustus 2010 masih di kisaran Rp 6.600 per liter, pada 23 Februari 2011 telah mencapai Rp 7.950 per liter. Dengan demikian, pada periode tersebut harga Pertamax sudah melonjak 20,45%.

Sementara pesaing dekatnya, Shell, menjual BBM non subsidi dengan lebih rendah. Pada 23 Agustus 2010, misalnya, harga Shell Super 92 yang setara dengan Pertamax, masih di jual Rp 6.400 per liter. Sementara pada posisi 23 Februari 2011 berada di level Rp 7.900 per liter, alias naik 23,4% dalam periode yang sama (selengkapnya lihat tabel Harga BBM Non Subsidi).


Harga BBM Non Subsidi*
Perusahaan
Produk
Harga
Pertamina
Premium
Rp 4.500

Pertamax
Rp 7.950

Pertamax Plus
Rp 8.450
Shell
Super 92
Rp 7.850

Extra 95
Rp 8.100
Petronas
Primax 92
Rp 7.450

Primax 95
Rp 7.850
Total
Performance 92
Rp 7.450

Total Performance 95
Rp 7.850
Keterangan: Harga per Februari 2011 di SPBU Jakarta, riset berbagai sumber
Harga jual eceran BBM non subsidi memang mengikuti harga minyak di pasar internasional. Ketika harga minyak di pasar global merangkak, maka harga jual BBM non subsidi juga mengekor. Namun, para operator penjual BBM non subsidi baru akan menaikkan atau harga BBM non subsidi setiap dua pekan sekali. Pada setiap dua minggu sekali itulah operator-operator penjualan BBM non subsidi selalu saling intip.

Saat ini, ada empat operator Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang menjual BBM non subsidi. Mereka adalah Pertamina, Shell, Petronas, dan Total. Pertarungan ketat terjadi antara Pertamina dan Shell (lihat tabel Sebaran SPBU di Indonesia).

Sebaran SPBU di Indonesia
Perusahaan
Jumlah SPBU (Unit)
Lokasi
Pertamina dan Mitranya
4.509
Seluruh Indonesia
Petronas
19
Jabodetabek, Bandung, dan Medan
Shell Indonesia
50
Jabodetabek dan Jawa Timur
Total Indonesie
8
Jakarta
  Sumber: Risetberbagai sumber


Meski demikian, rujukan harga jual BBM non subsidi keempat operator SPBU tersebut bukan transaksi jual beli minyak di bursa ICE Futures London ataupun bursa New York Mercantile Exchange (Nymex). Rujukan mereka adalah Mids Oil Platt Singapore (MOPS), standar harga minyak di bursa Singapura. MOPS adalah acuan harga untuk transaksi minyak di kawasan Asia. Bursa ICE hanya sebagai patokan transaksi minyak dunia untuk jenis brent. Sementara bursa Nymex adalah acuan transaksi minyak jenis ringan alias light sweet.

Nah, meski lonjakan harga minyak dunia sejak Agustus 2010 hingga Februari lalu mencapai 61,94%, namun besaran kenaikan harga jual BBM non subsidi para operator SPBU di Indonesia selama periode tersebut cuma separuhnya. Perhatikan, kenaikan harga jual eceran BBM non subsidi jenis Pertamax, pada periode Agustus 2010 hingga Februari 2011, kenaikannya cuma 20,45% dan Shell Super 92 hanya 23,4%. Apa yang sebenarnya terjadi?

Ada beberapa alasan penyebabnya. Pertama, para operator SPBU juga memasukkan penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat selama periode tersebut. Kedua, karena ketatnya persaingan, para operator SPBU tidak seenaknya menaikkan harga jual BBM non subsidi. Memang, dengan hanya empat pemain di penjualan ritel BBM non subsidi, mestinya potensi kesepatakan harga tersembuyi alias kartel sangat besar. Namun, menilik fakta saling intipinya para operator dalam penetapan harga selama ini, indikasi kartel setidaknya masih belum terlihat.

Pada awal Februari 2011 lalu, misalnya. Seperti biasa, para operator SPBU menaikkan atau menurunkan harga BBM non subsidi dua kali dalam sebulan. Biasanya setiap tanggal 1 dan 15. Nah, pada 1 Februari 2011 lalu, seperti biasa, lantaran harga minyak dunia mencelat, Pertamina buru-buru menaikkan harga jual Pertamax cs di kisaran Rp 200 hingga Rp 650 per liter. Di wilayah Jakarta dan sekitarnya, harga Pertamax tembus Rp 8.450 per liter atau naik sebesar Rp 350 per liter dari harga sebelumnya.

Tak seperti Pertamina, Shell memilih menaikkan harga menjadi hanya Rp 7.900 dari Rp 7.800 per liter untuk Shell 92. Mengetahui hal ini, dua hari kemudian Pertamina tiba-tiba kembali menurunkan harga jual Pertamax dan menjadi Rp 7.950 per liter. Ini adalah hal yang tak lazim dilakukan. Penurunan harga jual bahan bakar Pertamax itu berlaku di wilayah Jakarta, Surabaya dan Bangka.

Vice President Corporate Communication Pertamina Mochamad Harun, berdalih, penurunan harga tiba-tiba itu bukan lantaran harga jual Pertamax jauh lebih mahal ketimbang Shell 92. Juga bukan karena Pertamina takut kalah bersaing dengan para kompetitornya. Harun beralasan, hal itu karena Pertamina ingin memberikan insentif kepada pelanggan Pertamax.

Harun menjelaskan, revisi harga itu berkaitan dengan rendahnya biaya pengiriman Pertamax. “Itu sih sebenarnya lebih kepada kita memberi insentif saja kepada konsumen, karena kita melihat bahwa sebetulnya kalau dibandingkan tahun lalu, konsumsi Pertamax ini kan tumbuh. Tahun lalu itu hanya sekitar 1.300 kiloliter (KL), sementara di awal tahun ini sudah 2.300-2.400 KL, range-nya sekitar itu.

Jadi, artinya memang ada demand yang tumbuh, sehingga kita pikir bahwa dengan kita berikan insentif di harga, dan kecenderungan masyarakat saat ini kan pembelian BBM itu lebih kepada nominal,” papar Harun, Kamis, 17 Februari 2011.

Harun boleh berdalih. Tapi fakta menunjukkan, harga Pertamax memang kerap berkejar-kejaran dengan Shell 92. Pada 1 Januari 2011 lalu, misalnya, Pertamina dan Shell sama-sama menaikkan harga jual dua produk andalannya tersebut akibat harga minyak dunia terus melejit.

Pertamina menaikkan harga BBM non subsidi berkisar antara Rp 400 hingga Rp 1.600 di seluruh wilayah Indonesia. Sementara PT Shell Indonesia menaikkan harga BBM sebesar Rp 200 hingga Rp 250 per liter. Meski kenaikan harga Pertamina jauh lebih tinggi, namun harga jual Pertamax di SPBU-SPBU yang dekat dengan para pesaing SPBU Pertamina tak beda jauh. Harga Pertamax mahal hanya terjadi di daerah-daerah, terutama di luar Jawa yang relatif tidak ada pesaing Pertamina.

Khusus untuk SPBU Pertamina yang berdampingan dengan SPBU pesaing, Pertamina mematok harga hanya beda tipis. Sehingga harga produk Pertamina dan pesaing tidak beda jauh.

Pada 1 Januari 2011 itu, merujuk kepada data Pertamina, kenaikan Pertamax, paling besar ada di Wilayah Unit Pemasaran VII (Tomohon, Manado, Bitung dan Minahasa Selatan). Kenaikan Pertamax di wilayah tersebut mencapai Rp 1.550 hingga Rp 1.600 perliter. Sedangkan untuk wilayah unit pemasaran lainnya, termasuk Jabodetabek, kenaikan Pertamax hanya berkisar antara Rp 450 hingga Rp 600.

Sementara harga Pertamax Plus rata-rata naik Rp 450 hingga Rp 600. Di Jakarta, harga Pertamax Plus menjadi Rp 7.900, di Batam menjadi Rp 7.500, di Bali menjadi Rp 8.200, dan di Riau menjadi Rp 8.400 per liter.

Sedangkan untuk Shell, harga Shell Super 92 di wilayah Jabodetabek naik Rp 250 menjadi Rp 7.450. Sedangkan di wilayah Jawa Timur, menjadi Rp 7.700. Harga Shell Super Extra di wilayah Jabodetabek masih lebih mahal Rp 50 dari harga Pertamax Plus milik Pertamina. Harga Super Extra di Jabodetabek mencapai Rp 7.950 per liter.

Dari sini saja, sebetulnya sudah bisa ketahuan betapa ketatnya persaingan penjualan harga BBM non subsidi. Harun mengakui persaingan SPBU untuk BBM non subsidi memang semakin ketat. “Kami tidak memandang sebelah mata kompetitor, kami tanggapi dengan serius. Karena kita tahu regulasi di kita kan demikian terbuka, semua orang, siapa saja bisa melakukan apa saja. Investor itu bisa melakukan apa saja di Indonesia,” kata Harun.

Hampir semua operator SPBU non subsidi juga mengakui saat ini persaingan bisnis SPBU BBM non subsidi kian ketat. Bayu Anggraeni, Media Relation Petronas Niaga Indonesia menyatakan, persaingan dalam sebuah sistem pasar adalah sangat wajar. “Dan itu terjadi di mana saja, tentunya yang lebih diuntungkan dalam hal ini adalah konsumen, karena mendapat banyak pilihan,” katanya, Kamis, 17 Februari 2011.

Demikian juga dengan Total. Bajoe Witjaksono, Regional Manager-Retail Sales PT Total Oil Indonesia menyatakan, persaingan antar SPBU non subsidi memang ketat. “Tapi menurut saya masih sehat, termasuk dengan Pertamina,” katanya, Kamis, 17 Februari 2011.

Dan, persaingan bisnis SPBU non subsidi agaknya bakal kian ketat menyusul rencana pembatasan BBM subsidi pada tahun ini. Ketika BBM subsidi dibatasi, otomatis konsumsi BBM non subsidi akan meningkat. Pada saat itulah, konsumen tinggal memilih BBM non subsidi yang dijual di SPBU mana saja yang lebih menguntungkan, termasuk SPBU asing. Karenanya, sangat wajar jika kebijakan pembatasan BBM subsidi akan banyak menguntungkan SPBU asing.

Bajoe Witjaksono mengakui kebijakan pembatasan BBM subsidi sedikit banyak akan menguntungkan SPBU di luar Pertamina. “Di mana kita melihat adanya demand, tentunya ada peluang. Itu di bisnis apapun. Jadi kalau nanti kita melihat nanti ada demand, tentunya sebagai pelaku bisnis itu adalah peluang,” katanya.

Peluang besar ini yang turut mendorong SPBU-SPBU asing siap ekspansi membangun SPBU-SPBU baru di tahun ini. Total Oil Indonesia, misalnya, pada Senin, 7 Februari 2011 lalu baru saja membuka tiga SPBU. Dengan tiga SPBU baru itu, Total kini memiliki delapan SPBU, seluruhnya di Jakarta dan sekitarnya. “Kami mulai melihat tantangan besar untuk mengincar target pasar ritel yang lebih besar,” kata Christian Cabrol, Wakil Presiden Operasional Total Oil Asia Pacific, kepada wartawan saat peluncuran SPBU baru tersebut.

Total pertama kali terjun ke bisnis BBM non subsidi di Indonesia mulai 2009. Tahun 2011 ini, Total menargetkan akan membuka tujuh gerai SPBU baru. Lokasinya di luar Jakarta, yakni di Bogor, Bandung, Surabaya, dan kota lainnya. Kebutuhan investai per SPBU mencapai US$ 1 juta hingga US$ 2 juta.

Petronas juga berniat menambah SPBU. “Kami memang berniat menambah SPBU baru, tapi berapa jumlahnya belum bisa kami sebut,” kata Bayu Anggraeni. Saat ini, Petronas sudah mengoperasikan 18 SPBU, sebanyak 13 SPBU diantaranya di Jabodetabek, satu di Bandung dan empat sisanya di Medan.

Demikian juga dengan Shell. Peritel BBM asal Belanda tersebut juga akan meneruskan ambisinya untuk membangun 500 gerai SPBU baru dalam kurun waktu 2007 hingga 2012. “Kami akan terus mengembangkan bisnis SPBU ke depan. Bisnis ini untuk jangka panjang, bukan jangka pendek,” kata Wali Saleh, Wakil Presiden Komunikasi Shell, kepada wartawan.

Budiman Moerdijat, General Manager External Affairs and Communications PT Shell Indonesia, menambahkan, Sejak 2005 hingga saat ini, Shell sudah memiliki 50 SPBU. “Jumlah SPBU tersebut tersebar di Jabodetabek dan Surabaya,” katanya, Kamis, 17 Februari 2011 lalu.

Sementara Pertamina, penguasa distribusi BBM saat ini, mengaku belum akan menambah SPBU baru. Saat ini, Pertamina sudah memiliki 4.509 SPBU di seluruh Indonesia. Jumlah total SPBU tersebut terdiri dari milik sendiri dan mitranya. “Kita tidak akan menambah SPBU baru, saat ini sudah cukup banyak, tinggal kita tata saja polanya,” kata Harun.

Yang jelas, menurut Harun, Pertamina tetap mengimbau mitra SPBU mereka, bahwa peluang menjual BBM non subsidi kian besar pasca pembatasan BBM subsidi. “Kalau kita tidak menggunakan peluang ini kita juga akan rugi, karena peluang ini juga akan ditangkap oleh kompetitor juga. Kalau ekspansi, kita kan sudah cukup banyak (SPBU) sih. Kalau penataan ini lebih kepada memperbanyak ketersediaan Pertamax, sesuai dengan penugasan yang diberikan ke kami,” papar Harun.

Agaknya, tahun ini akan tercatat sebagai periode mulai kian terbukanya mekanisme pasar di bisnis distribusi BBM non subsidi.****

Read More......
Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger