Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Jumat, 16 Mei 2008

Inspirasi - 1 (Slamet Riyadi Lumintu)

Bersama Lansia, Mengubah Limbah Menjadi Rupiah (1)

Danto

Slamet Riyadi menggaraplimbah tak berguna menjadi lipatan rupiah. Dengan memanfaatkan orang-orang usia lanjut, Slamet memproduksi berbagai hasil kerajinan dari alumunium foil, limbah tak berguna. Hasil kreasi Slamet dijadikan contoh oleh pemerintah Kanada dalam pemanfaatan limbah. Slamet mendaoat berkah rupiah dari hasil kotoran limbah.

Selain penghargaan dalam sebuah kompetisi antar pelaku usaha kecil dan menengah dari sebuah institusi ternama di negeri ini, Slamet juga mampu memberdayakan orang-orang jompo menjadi produktif. Lumintu, demikian Slamet memberi nama pada kumpulan pekerjanya. Arti kasarnya: Lumayan, itung-itung nunggu tutup umur. Dari tenaga para orang jompo ini, omzet Slamet bisa mencapai Rp 8 juta sebulan.

****
****
Danto

****
****

Datang tak dijemput, pulang tak diantar. Gelombang resesi ekonomi itu datang tiba-tiba. Menelisik hampir ke seluruh daratan Asia. Dari Thailand, Filipina, Malaysia, juga Indonesia. Di dalam negeri, dampak krisis yang kemudian disebut krisis ekonomi alias krismon itu hinggap ke seluruh pelosok. Dari Jakarta, hingga dusun pedalaman.

Politik dalam negeri memanas. Pondasi ekonomi roboh. Semua harga melonjak tiba-tiba. Nilai kurs rupiah menukik tajam. Dari semula sekitar Rp 2.000 per US$ di awal 1997, sekonyong-konyong terjun bebas hingga mencapai angka Rp 17.000 per dolar Amerika Serikat pada awal 1998.

Gelombang pemutusan hubungan kerja atawa PHK besar-besaran hampir terjadi di semua sektor. Dari perusahaan kelas wah, hingga ecek-ecek. Semua kacau balau.

Slamet Riyadi, 56 tahun, berada di deretan nama orang yang terkena PHK itu. Sepuluh tahun silam itu, pekerjaan Slamet tak terbilang keren-keren amat. Dia hanyalah seorang pekerja kontrak sebuah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di bilangan Tangerang.

Gelombang krismon itu yang membuat Slamet terputus dari pekerjaannya. Kena PHK. “Uang pesangon saya saat itu hanya sekitar Rp 700.000,” kata Slamet, kepada Kontan.

Siapa sangka siapa nyana. Kehilangan pekerjaan di SPBU ternyata menjadi titik awal kesuksesan Slamet di kemudian hari. Kini, tak hanya di tempat tinggalnya di kawasan Pinang, Pondok Aren, Tangerang, Slamet dikenal sebagai pengusaha kerajinan tas dan hiasan perlengkapan wanita dari limbah alumunium foil. Omzet per bulan hingga Rp 8 juta per bulan.

Yang membuat Slamet kesohor tentu saja bukan hanya karena pengelola limbah, tapi juga karena pekerjanya terbilang unik. Para wanita-wanita lanjut usia alias lansia. Saat ini jumlah pekerjanya 58 orang, sebagian besar lansia.
Begini. Slamet yang nganggur akibat PHK itu, tentu saja pusing tujuh keliling mencari penghidupan baru.

Penghasilan tetap tak ada. Anak empat meski dibiayai. Awal berkah itu datang suatu hari. Slamet mendapat keluhan dari sejumlah wanita-wanita lansia di sekitar tempat Slamet tinggal, di bilangan Pinang, Tangerang.

“Pak Slamet, tolonglah kami, biar kami bisa kerja untuk sesuap nasi. Tolong carikan pekerjaan sesuai keahlian kami: menganyam.” Begitulah Slamet menirukan seorang diantara lansia itu. Dulu, sebelum jadi kawasan industri dan perumahan, kawasan Pinang, Tangerang, dikenal sebagai hutan pandan. Dari sinilah kerajinan pandan asal Tangerang diproduksi. Para lansia itulah yang dulu sebagai perajin pandan.

Kebutuhan perumahan yang kian tumbuh, mendesak area tanaman pandan kian menyempit. Kerajinan pandan pun kian menyusut. Lama-lama habislah hutan pandan itu. Tamat pula riwayat pengrajin pandan di kawasan itu.

Bekas para perajin itulah yang kemudian mengadu ke Slamet. Tak ada pengalaman di bidang kerajinan, membuat Slametkeras memutar otak. Ilham didapat. Slamet memutuskan untuk mencoba usaha daur ulang limbah. “Kebetulan saat itu sedang marak-maraknya usaha daur ulang, baik dari limbah organic maupun lainnya,” kata Slamet.

Supaya laku, Slamet memilih bahan baku limbah yang tidak diproduksi oleh yang lain. Slamet melirik limbah plastik aluminium foil. Seperti kemasan makanan ringan anak atau biasa disebut ciki, kemasan makanan ringan, kemasan susu, dan segala macam itu yang berbahan aluminium foil.

Lantaran minim pengalaman, Slamet mengkreasi bahan-bahan itu dengan ala kadarnya. Seperti untuk dekorasi pesta, bunga-bunga hias, hiasan natal. Di kemudian hari, kerajinannya melebar menjadi tas anyaman dari bahan alumunium foil. Hasilnya ciamik.

Kali pertama, Slamet hanya mempekerjakan enam orang wanita, sebagian besar para lansia. “Diantara ibu-ibu dan para lansia ini punya suatu ketrampilan khusus turun temurun, yakni menganyam,” kata Slamet, kelahiran Cirebon, Jawa Barat. Mulailah Slamet memproduksi kerajinan dari limbah alumunium foil itu. Usang sisa pesangon sebesar Rp 500.000 dijadikan modal awal.

Agar klop dengan pekerjanya, Slamet kemudian memberi nama usahanya dengan nama Lumintu. Kata Lumintu diambil dari bahasa Jawa atau Sunda bermakna hampir sama, tidak terputus atau turun-temurun. Selain berarti telah bersyukur kepada Tuhan yang telah diberikan rejeki dan mudah-mudahan turun-temurun ke anak cucu, Slamet berkisah, Lumintu adalah kependekan dari kalimat ‘Lumayan itung-itung nunggu tutup umur’. Klop dengan umur pekerjanya yang lansia.

Lantaran sangat baru menekuni usaha ini, Slamet sedikit kelimpungan mencari bahan baku. “Saya sendiri yang cari bahan bakunya, sulit sekali. Terkadang saya harus bekerja sama dengan pemulung untuk mendapatkan pasokan bahan baku itu,” papar Slamet. Di lain waktu, Slamet harus berburu bahan baku di pusat-pusat perbelanjaan, di pasar, juga di sekolahan-sekolahan. (Bersambung)

*****

Bersama Lansia, Mengubah Limbah Menjadi Rupiah (2)

Slamet Riyadi baru pertama kali terjun ke bisnis pengelolaan limbah alumunium foil. Awalnya Slamet hanya membuat kerajinan yang terbilang sederhana. Seperti untuk dekorasi pesta, bunga-bunga hias, hiasan natal. Di kemudian hari, kerajinannya melebar menjadi tas anyaman dari bahan alumunium foil. Hasilnya ciamik. Semua dikerjakan oleh para pekerja Slamet yang sebagian besar para wanita lanjut usia alias lansia. Itulah sebabnya Slamet menamakan usahanya dengan sebutan Lumintu. Artinya: Lumayan itung-itung nunggu tutup umur.


****
****

Kali pertama, Slamet hanya mempekerjakan enam orang wanita, sebagian besar para lansia. “Diantara ibu-ibu dan para lansia ini punya suatu ketrampilan khusus turun temurun, yakni menganyam,” kata Slamet, kelahiran Cirebon, Jawa Barat. Mulailah Slamet memproduksi kerajinan dari limbah alumunium foil itu. Uang sisa pesangon sebesar Rp 500.000 dijadikan modal awal.

Agar klop dengan pekerjanya, Slamet kemudian memberi nama usahanya dengan nama Lumintu. Kata Lumintu diambil dari bahasa Jawa atau Sunda bermakna hampir sama, tidak terputus atau turun-temurun. Selain berarti telah bersyukur kepada Tuhan yang telah diberikan rejeki dan mudah-mudahan turun-temurun ke anak cucu, Slamet berkisah, Lumintu adalah kependekan dari kalimat ‘Lumayan itung-itung nunggu tutup umur’. Klop dengan umur pekerjanya yang lansia.

Lantaran sangat baru menekuni usaha ini, Slamet sedikit kelimpungan mencari bahan baku. “Saya sendiri yang cari bahan bakunya, sulit sekali. Terkadang saya harus bekerja sama dengan pemulung untuk mendapatkan pasokan bahan baku itu,” papar Slamet. Di lain waktu, Slamet harus berburu bahan baku di pusat-pusat perbelanjaan, di pasar, juga di sekolahan-sekolahan.

Lantaran ketengan, bahan-bahan yang didapat terbilang susah untuk diproduksi jadi kerajinan. Yang paling bagus adalah alumunium foil dari bahan kemasan pasta gigi atau tabung odol. “ Tube odol itu yang paling ideal untuk bahan dasar anyam,” kata Slamet. Minim pengalaman dan bahannya yang terbatas, membuat perburuan bahan baku itu menjadi tak gampang. Pusing tujuh keliling.

Bahan baku yang digaetpun seadanya. Bahan baku yang terbatas itu kemudian diserahkan kepada keenam pekerja Slamet dengan system borongan. “Saya saat itu belum berfikir untuk menangguk untung, yang penting jalan dulu dan memberi pekerjaan kepada para lansia itu,” kata Slamet. “Untung Rp 500 per buah pun saya jalani.”

Cara pembuatan aneka dekorasi itu diolah sederhana. Alumunium foil dibersihkan dulu, baru kemudian diolah membentuk kerajinan dekorasi sesuai keinginan. Hasilnya juga tak banyak.

Sampai di sini pusing kembali menghampiri Slamet. Kemana menjual barang-barang hiasan itu? Tak hilang akal, Slamet menempuh cara klasik: pemasaran di kaki lima. Tempat-tempat keramaian, seperti pertunjukan di kampung-kampung, pasar, dan sekolahan, disatroni. Hasilnya sangat pas-pasan. Frustasi akhirnya menghampiri Slamet. Niat berhenti dan beralih usaha menghampiri Slamet. “Tapi saya sadar, bahwa para lansia itu harus tetap mendapatkan nafkah,” kata Slamet. Tekad kembali bulat, melanjutkan apa yang sudah dirintis.

Orang sabar, disayang Tuhan. Slamet percaya itu. Sempat mandeg maju melanjutkan bisnis rumahannya, tahun 2000 menjadi titik awal kesuksesan Slamet sesungguhnya.

Awalnya, seperti biasa, Slamet menjajakan produk kerajinan sederhana miliknya di pameran kerajinan rakyat di Parkir Timur Senayan, Jakarta. Bukan. Slamet bukan menjadi peserta resmi pameran. Dia hanya menjajakan hiasan miliknya di luar area pameran. Menjadi pedagang kaki lima.

Pameran dilangsungkan selama beberapa hari. Nah, di hari ketiga pameran, rezeki itu datang. Slamet yang tengah menjaga hasil produknya dihampiri dua orang yang belum dikenalnya. Satu pribumi, dan satunya bule. Belakangan diketahui salah satu diantara mereka adalah salah seorang pegawai di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan salah seorang utusan pemerintah Kanada.

Tak perlu banyak cingcong, keduanya tiba-tiba memborong produk Slamet. “Apapun produk yang saya hasilkan, semua dibeli, nggak tau buat apa,” kata Slamet, heran.

Untung saja pameran di Parkir Timur Senayan itu masih berlangsung esko harinya. Jika saat itu adalah hari penutupan, barangkali cerita akan menjadi lain. Sehari setelah memborong semua produk Slamet, dua orang itu kembali menemui Slamet di arena pameran. “Pak Slamet, besok silakan datang ke kantor saya,” kata Slamet menirukan pegawai BPPT tersebut. (Bersambung)

*******
Bersama Lansia, Mengubah Limbah Menjadi Rupiah (3)

Slamet Riyadi berhasil melunakkan hati mafia-mafia limbah di Jawa Tengah. Mereka mau berbagi. Onggokan limbah aluminium foil kemudian diolahnya menjadi aneka macam kerajinan. Tujuh tahun lalu itu, produk buatan Slamet masih terbatas. Paling banter adalah tikar sajadah dari limbah aluminium foil. Semua dikerjakan oleh 58 perajin yang sudah sepuh.

*******
*******

YANG disebut perajin oleh Slamet, ya, para wanita lanjut usia alias lansia di sekitar tempat tinggalnya itu. Limbah pabrik itu ternyata memiliki karakter yang agak berbeda dengan limbah ketengan hasil buruan dari pemulung atau di pasar-pasar. Limbah aluminium foil pabrik ternyata lebih licin. Alhasil, semua pekerjaan kembali ke titik nol alias belajar kembali dari awal. Meski para perajin itu sebelumnya sudah menekuni anyaman pandan, kemudian mencoba anyaman dari limbah serupa. Tap, ya, itu, ketengan.

Coba dan salah alias trial and error dirasakan betul oleh Slamet dan gerbong pekerjanya yang berjumlah 58 orang. Limbah pabrik itu terpaksa harus benar-benar jadi limbah tak berguna lantaran para perajin gagal membentuknya menjadi produk anyaman. “Saat itu belum langsung jadi barang bernilai jual, tapi kami ulang lagi, ulang lagi,” kata Slamet. Lama-lama terbiasa.

Tahun 2000 itulah awal mula Slamet memproduksi tak hanya untuk dekorasi pesta, melainkan juga kerajinan lain seperti tikar sajadah dan tikar lantai. Tapi, masih belum merambah pada produk yang membuat Slamet kini rada dikenal orang: anyaman tas aluminium foil.

Setelah produk dihasilkan, pusing tujuh keliling lagi-lagi menghampiri. Tak mudah memasarkan tikar anyaman aluminium foil itu. Slamet akhirnya kembali melirik cara sederhana: kakilima. “Kami jual di masjid-masjid setiap salat Jumat, di kantor-kantor, dan berbagai tempat di titik-titik pemasaran,” katanya.

Dari kakilima itulah rezeki Slamet terus mengalir. Tak lama setelah bertemu dengan pejabat BPPT, Slamet kemudian berkenalan dengan seorang pejabat di Kementerian Lingkungan Hidup. Dari sanalah kemudian dia mulai mengikuti pameran-pameran kerajinan rakyat.

Produk Slamet mulai dikenal luas. Permintaan kian meningkat. Pada 2002, seorang pengusaha dari Tapanuli, Sumatra Utara, memesan puluhan tandok untuk pesta. Biasanya, tandok di Medan terbuat dari bahan pandan. “Tapi dia tertarik tandok buatan saya, karena media warna silver ini sesuai untuk pesta,” kata Slamet.

Pesanan berlanjut. Si pemesan asal Tapanuli itu belakangan menjadi pelanggan. Dia membisniskan produk Slamet ke koleganya di Medan. Ordernya berjalan hingga kini.

Agar berkembang, Slamet kemudian melebarkan jenis produk. Mulai saat itu, dia mulai membuat hiasan dekorasi pesta, tandok, tikar sajadah, hingga tas nan ciamik dari bahan aluminium foil. Slamet menambah jumlah pekerjanya menjadi 64 orang, 38 orang di antaranya adalah lansia di atas 60-96 tahun, sisanya ibu-ibu rumahtangga dan beberapa anak remaja.

Merekalah yang menggarap tiap pesanan dengan sistem borongan. Besarnya upah berdasarkan jenis produk yang dikerjakan. Untuk tas sedang, misalnya, mereka dibayar senilai Rp 3.500 per buah. Dalam sepekan, biasanya tiap orang mampu menyelesaikan 10-15 buah. Lain lagi untuk tikar sajadah, upah yang akan diterima sebesar Rp 10.000 per lembar. Sedang tikar besar Rp 30.000 per lembar.

Keuntungannya lumayan. Harga jual produk berkisar antara Rp 2.500-Rp 120.000. Tandok hantaran, umpamanya, dilego antara Rp 15.000-Rp 25.000. Tas sedang berkisar Rp 50.000-Rp 80.000. Slamet juga memproduksi tas-tas eksklusif dengan kombinasi kulit, harganya Rp 120.000-Rp 150.000. Omzet per bulan saat ini mencapai Rp 12 juta-Rp 15 juta. “Keuntungan bersihnya sekitar 25%,” kata Slamet.

Kini, Slamet tinggal menikmati hasil. Produknya yang unik, membuat banyak pihak meminta Slamet mengajarkan kerajinannya tersebut, termasuk di sekolah-sekolah. “Para lansia itu yang memberi pelajaran teknisnya. Mereka bangga, yang sebelumnya tidak tahu ke mana-mana, kini kerap menginap di hotel dan berkenalan dengan masyarakat modern,” papar Slamet, sumringah.

(Selesai)

Harian Bisnis dan Investasi KONTAN, 19-12 Desember 2007

0 komentar:

Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger