Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Kamis, 05 Maret 2009

Krisis

0 komentar


Share

Tiap zaman melahirkan sejarahnya sendiri. Saban peristiwa menggambarkan kekuatan manusia di masanya --saya tak ingat lagi dari mana sumbernya kata-kata ini--.

Belakangan, telinga ini sangat akrab dengan hal-hal njelimet, rumit, runyam, juga ruwet, yang --menurut saya-- bisa menjadi ciri zaman kiwari. Krisis global kian menjerat. Ekonomi dunia terancam stagflasi. Ekspor impor makin susut. Daya beli makin letoi.

Masing-masing negara menerapkan perlindungan pasar dalam negeri: proteksionisme. Bloomberg merekam dengan jelas kepanikan ini. Pasar modal di seluruh penjuru dunia terus bertumbangan. Di Amerika Serikat, Eropa, Asia, sebentar lagi Australia.

Dow Jones Industrial Average (DJIA), patokan di bursa New York, misalnya, di pembukaan perdagangan awal pekan sekaligus pembukaan perdagangan Maret 2009, terjun 4,24% menjadi 6.763,29. Ini adalah posisi terendah sejak krisis moneter 1997 lampau.

Bursa Asia juga rontok. Indeks Nikkei 225, umpamanya, di pembukaan perdagangan Maret 2009 menyentuh 7.128,75, rekor terendah dalam 25 tahun terakhir.

Para pemimpin ekonomi dunia panik. Mereka saling berlomba menyelematkan ekonomi negara masing-masing. Sepanjang awal Maret kemarin, para pemimpin Uni Eropa mengadakan rapat darurat soal proteksionisme itu.

Hasilnya, Uni Eropa mengabulkan paket bail out otomotif Prancis, Spanyol, dan Italia. Jumlahnya miliaran Euro. Prancis, misalnya, akan mengucurkan pinjaman darurat 6,4 miliar bagi produsen otomotif asalkan para produsen berjanji pabrik mereka di Prancis tetap buka.

Di pusat krisis: Amerika Serikat, Presiden Barrack Obama menyerukan Buy American dan menggelontorkan paket stimulus ekonomi senilai US$ 827 miliar. Antara lain untuk mengambil alih Fannie Mae dan Freddie, dua bisnis raksasa dalam bidang pendanaan hipotek yang tak mampu lagi membayar kewajibannya US$ 5,2 triliun.

Singkat kata, pemerintah negara-negara Eropa dan Amerika mengambil alih perusahaan-perusahaan swasta: nasionalisasi, hal yang sangat bertolak belakang dengan prinsip yang selama ini mereka anut: kapitalisme. Juga pemerintah negara-negara Asia dan Australia. Di Indonesia, pemerintah menggulirkan program wajib beli produk dalam negeri untuk proyek-proyek pemerintah, sejak Februari 2009.

Rasanya, entah perlu berapa ratus atau ribu lembar untuk menggambarkan kepanikan dunia akibat krisis saat ini, krisis yang sebetulnya efek domino dari krisis kredit kepemilikan rumah (KPR) kelas coro alias subprime mortgage di Amerika Serikat, pertengahan 2007 lalu.

Kapitalisme sedang mengalami ujian berat. Tak ada lagi batas-batas “Negara” dan “Pasar”, seperti dogma mereka selama ini. Atau fatwa suhu kaun neoliberalis itu: Milton Friedman, bahwa pasar tak perlu campur tangan pemerintah. Pasar bisa memecahkan persoalannya sendiri; pemecahan persoalan oleh pemerintah sama buruknya dengan permasalahan itu sendiri. Mereka ingkar.

Agaknya, paradigma baru harus kembali muncul. Perang lawas dua kubu: kapitalisme dan sosialisme, seperti menemui titik nadir. Sama-sama kehilangan makna awal. Bahwa ekonomi dunia tak sebatas hanya asumsi, juga teori. Kapitalisme bukan hukum, yang bisa mematikan tesis-tesis lama.

Kalau batas antara dua kubu itu tak lagi jelas, lalu apa makna sebuah koreksi. Friedrich August von Hayek pernah melontarkan ini. Bahwa riak-riak di tubuh kapitalisme adalah koreksi diri sendiri. Kapitalisme perlu mengoreksi dirinya sendiri agar bisa terus berjalan, terus menerus.

Benarkah? Agaknya kita perlu menilik pengalaman sang Maestro Kapitalisme: George Soros. Dia adalah pria kaya raya dari sistem modal ini, sistem modal yang kemudian dia kritik dalam-dalam. Pelaku utama krisis moneter 1997 itu punya pengalaman berharga dengan kapitalisme, lewat bukunya The New Paradigm for Financial Market.

Dalam buku maha penting ini, Soros menggugat teori dasar kapitalisme milik kaum neoliberal di bawah gerbong Friedman, bahwa pasar tak pernah salah. Justru, Soros yakin asumsi dasar teori pasar berangkat dari serangkaian tesis yang salah. Sebab, tak satupun pelaku pasar yang memiliki pengetahuan sempurna, sehingga bersifat spekulatif.

Karenanya, Soros yakin mekanisme pasar akan selalu mengarah pada krisis, bukan pada titik keseimbangan alias equilibrium yang selama ini dipercaya. Pasar hanya berjalan dari satu siklus ke siklus yang lain. Setiap kali siklus berakhir, selalu berujung pada krisis. Pada titik inilah campur tangan pemerintah muncul. Inilah yang terjadi pada saat ini.

Persoalannya, intervensi pemerintah selalu saja memihak pada modal. Karl Marx sejak abad 19 malah sudah mencatat, “Negara” selalu berada di kelas yang berkuasa. “Negara” bukan hanya sebatas “apa” tapi juga “siapa”.

Lantas, misalnya krisis ini berakhir dan mekanisme modal kembali bekerja, adakah jaminan semua berjalan kembali normal? Sebagaimana Soros, siklus ini akan selalu berulang dan berulang. Bagaimanapun, harus diakui hingga kini masih belum ada antitesis dari kapitalisme? Sosialisme dan komunisme? Dua kata yang hingga kini menunggu kepunahannya.

Sejarah itu linier. Sekali kapitalisme menang, dia akan berlangsung hingga akhir kisah di bumi. Francis Fukuyama menasbihkan dengan jelas hal ini: “The End of History”, satu decade silam.

Untuk sementara ini, kaum kanan –maksud saya penganut kapitalisme-- masih menguasai jagad. Jadi, jangan dulu berharap dunia akan bisa berubah. Satu hal yang pasti, krisis ini menandai paradigma besar pembentuk sejarah kembali harus digugat.

Kapitalisme harus berubah. Sebagaimana ramalan Marx, selama ini filsuf sangat pasif dengan hanya menafsirkan sejarah. Yang harus dilakukan adalah mengubahnya, agar tiap zaman melahirkan sejarahnya sendiri.

Jakarta, 5 Maret 2009

Read More......
Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger