Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Jumat, 16 Mei 2008

Inspirasi Elly Susilowati

Danto

Merajut Mimpi Sebelah Kaki (1)

Ketika memulai bisnis sepatu buatan tangan sendiri enam tahu silam, Elly Susilowati bisa dibilang bondo nekat alias bonek. Tak ada modal, juga kemampuan. Satu-satunya aset yang dimiliki hanyalah sebuah mesin jahit buatan 1970-an. Reyot di sana-sini. Meninggalnya suami karena stroke pada 2003 sempat membuat ia syok. Maklumlah, ketiga anaknya masih sekolah. Namun, itu membentuk tekadnya bak baja.

Kini, perlahan, mimpi menggapai bintang dengan sebelah kaki itu mulai tercapai. Tahun lalu, Elly meraih Entrepreneur Award UKM 2006 dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dari hasil usaha kerasnya itu. Berikut kisahnya untuk Anda.

*****
*****
TAK sekali pun Elly Susilowati, 40 tahun, membungkukkan badan selama satu jam itu. Duduk tegap di kursi tanpa sandaran. Berpakaian kasual warna hijau, sikapnya terkesan cuek. Sungguh lepas tanpa beban. Dengan menumpangkan kaki kanan di paha kiri, tak sejenak pun Elly membuka sepatu yang menempel di kaki kanan itu selama hampir 45 menit awal dari satu jam lebih pertemuannya dengan KONTAN, di rumah sekaligus workshop, Jalan Siaga II No. 42, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Selasa (11/9).

Kaki kiri dia biarkan terbuka tanpa alas sebagai penopang. Belakangan ketahuan kenapa Elly agak menutup telapak kaki kanannya itu. “Kaki kanan saya memang agak sedikit bermasalah, dalam ukuran normal sebetulnya bernomor sepatu 39, tapi lebih gemuk dari itu. Namun, dari sinilah saya memulai bisnis sepatu hand made ini,” kata Elly.

Begitulah. Telapak kaki kanan Elly sebetulnya tak memiliki cacat khusus. Bentuknya pun tampak wajar, seperti kaki orang pada umumnya.

Namun, Elly berkisah, sungguh manja kaki kanannya tersebut. Setiap kali membeli sepatu buatan pabrik yang beredar, entah di supermarket atau di mana pun, hampir pasti tak ada ukuran yang pas buat kakinya. Kalaupun ada yang seukuran dengan kakinya, kerap ia merasa tak nyaman. Bentuk telapaknya yang sedikit gemuk, membuat dia harus sedikit menahan sakit jika memakai sepatu buatan pabrik.

Hobinya yang selalu ingin gonta-ganti sepatu, membuat mantan liaison officer alias pekerja perusahaan konsultan public relations itu berfikir membuat sepatu buatan tangan sendiri. Ibarat moto pegadaian: mengatasi kaki masalah dengan tanpa masalah. Begitulah dia berfikir.

Pada 2001, Elly "pensiun" dari pekerjaannya sebagai liaison officer. Memutar otak untuk membuka bisnis, mulailah Elly merealisasikan idenya. Membuat sepatu sesuai dengan anatomi kaki. Bermodal awal Rp 1 juta, dia membeli bahan sepatu dari kulit hewan, seperti kulit kambing, kulit sapi, kulit ular, dan berbagai jenis kulit binatang lainnya. Dari sisanya, Elly membeli cetakan sepatu dan sebuah mesin jahit tua buatan tahun 1970-an. Reyot di sana-sini. Untuk mendukung usahanya, Elly merekrut dua orang karyawan yang bisa membuat dan menjahit sepatu.

Modal awal yang minim tersebut diberi dari sang suami, Kuncoro -- kini sudah almarhum -- yang kala itu masih mengajar di balai latihan pramugari maskapai Garuda. Saat itu sang suami mulai terserang stroke.

Dengan modal kecil itu, jadilah satu per satu sepatu yang sesuai dengan anatomi kaki. Sepatu yang kemudian Elly pakai sendiri itu dia coba tawarkan ke kolega-koleganya. Wanita asal Garut, Jawa Barat, ini menjual keunikan produknya. Berbahan kulit asli, dan sesuai selera pemesan. Harganya dibanderol mulai Rp 300.000 hingga lebih dari Rp 1 juta. Jika ditilik-tilik, produknya memang tak kalah berkelas dengan sepatu impor kelas menengah ke atas.

Pengalaman bekerja sebagai pekerja public relations sangat mendukungnya berkenalan dengan banyak orang, termasuk pejabat-pejabat tinggi negara. “Saya khusus membidik pasar kalangan menengah ke atas,” katanya.

Pemasaran langsung dan dari mulut ke mulut itu membuahkan hasil. Kerabat dan kolega mulai mengorder sepatu buatannya. Pesanan mulai membanjir. Lantaran kewalahan, perlahan Elly mulai menambah karyawan. Kini Elly telah mempunyai 13 orang karyawan. Bersama karyawannya, Elly saat ini mampu meraih omzet hingga Rp 15 juta per bulan atau Rp 180 juta setahun. Untuk kelas industri rumahan dan kategori usaha kecil dan menengah, pendapatan sebesar itu sudah termasuk lumayan.

Elly sempat terpukul ketika sang suami meninggal pada 2003. Bisnisnya sedikit goyah. Ketiga anaknya, yang kala itu masih sekolah mulai dari SMP hingga SMA, membuat Elly sedikit kelimpungan. “Tapi di situlah saya mendapat dorongan, bahwa saya mampu mengembangkan bisnis ini dan melanjutkan studi anak-anak saya,” kata Elly.

Tekad bajanya kembali timbul. Elly serius membangun bisnisnya. Tak lama setelah sang suami meninggal, dia mendirikan sebuah perusahaan keluarga pembuat kerajinan tangan sepatu dari kulit buatan tangan dengan nama PT Ethree Abadi. Nama perusahaannya ini juga memiliki asal-usul sendiri.
(Bersambung)

******
******

Merajut Mimpi Sebelah Kaki (2)

Budaya bajak-membajak gagasan yang masih marak di Indonesia sempat juga membuat Elly khawatir. Tak ingin idenya ditiru orang, Elly langsung mematenkan hasil pemikirannya tersebut. Ketika dia membentuk PT Ethree Abadi, empat tahun silam, Elly langsung mendaftarkan merek sepatunya yang juga bernama Ethree ke Departemen Hukum dan HAM.

Ethree adalah kependekan dari kata Elly dan Three. Selain terkesan berasal dari merek impor, Ethree juga bisa diartikan sebagai Elly yang berputera tiga. Dia kini memajang produknya di workshop sekaligus rumah pribadi di Jalan Siaga II No. 42, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

*****
*****
SUNGGUH sibuk kini Elly menjalani hari-harinya. Dalam seminggu, wanita asal Garut, Jawa Barat, ini hanya sesekali menikmati libur akhir pekan. Sisanya habis untuk bertemu dengan klien. “Hari ini saya harus bertandang ke Departemen Perindustrian, antara lain bertemu dengan Fahmi Idris,” kata Elly, Selasa (11/9) lalu.

Ya, nama yang disebut Elly adalah Fahmi Idris, Menteri Perindustrian era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini. Fahmi termasuk salah satu pemesan yang kini menjadi pelanggan sepatu buatan tangan made in Elly. Selain Fahmi, Elly mengaku memiliki klien lain, antara lain Menteri Usaha Kecil dan Menengah Surya Dharma Ali dan istri, mantan Menteri Perhubungan Agum Gumelar, Menteri Agama Maftuh Basyuni, pejabat di Sucofindo, dan sejumlah pejabat lainnya.

Elly agaknya memang tak bohong. Nama Fahmi Idris, misalnya, berada di urutan ke-11 daftar antrean pemesan pada papan berukuran 1 m x 0,5 m yang digantung di depan workshop-nya. Tepat di bawah nama Fahmi, tertera nama Diana Pungky, artis Indonesia. Selain kedua nama tenar itu, ada juga nama-nama lain yang masuk dalam antrean pemesan.

“Kini saya memiliki sekitar 1.000 pelanggan tetap, dua sampai tiga bulan sekali mereka pasti memesan sepatu baru,” kata Elly. Total pelanggan tetapnya itu merupakan 80% dari seluruh pasar yang kini dipegangnya.

Seluruh pelanggan setia itu terhimpun berkat kerja keras Elly. Semua memang tidak tercipta tiba-tiba. Lulusan SMA yang sempat mengecap pendidikan akademi itu semula melamar menjadi mitra binaan usaha kecil dan menengah (UKM) di Sucofindo, perusahaan BUMN yang bergerak di bidang inspeksi. Gayung bersambut. Pinangannya diterima. "Jangan lupa, setiap BUMN memiliki kewajiban untuk ikut serta membangun usaha kecil dan menengah, mereka juga mencari mitra," kata Elly.

Dia memang tak salah. Departemen Keuangan melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 316/MK.016/1994 mewajibkan BUMN untuk menyisihkan 1%-5% dari laba perusahaan untuk pembinaan usaha kecil dan koperasi (PUKK).

Nah, dengan menjadi mitra binaan Sucofindo, Elly sibuk mengikuti berbagai pameran. Antara lain yang diselenggarakan oleh Kementerian UKM, Bank BNI, Dinas Perindustrian, Dinas Perdagangan, Sucofindo, dan Badan Pengembangan Ekspor nasional (BPEN).

Aktifnya berpameran ria makin menambah pembelinya. Pesanan pun kian bertambah. Karyawan pun ditambah dari semula hanya dua orang kini menjadi 13 orang. “Layaknya perusahaan pada umumnya, kami tetap menggaji pekerja sesuai dengan UMR (upah minimum regional). Kami sadar, karyawan adalah sumber daya dan aset kami yang tak ternilai,” kata Elly.

Dari merekalah sepatu bermerek Ethree dihasilkan. Elly dan karyawannya tak akan tiba-tiba memproduksi sebuah sepatu jika belum ada pesanan. "Di luar pelanggan, ada sekitar 50 pesanan yang datang dalam sepekan," kata Elly. Inilah yang menjadi jaminan karyawannya tak akan menganggur.

Lantas, bagaimana cara seorang pemesan memperoleh sepatu yang diordernya? Sebelum Elly berburu bahan sepatu kulit sesuai pesanan, si pemesan terlebih dulu akan diukur ukuran kakinya. Klien juga akan ditanya selera pesanannya. Setelah deal, maka Elly berburu bahan sepatu ke daerah-daerah.

Dengan puluhan pesanan itu, Elly mengorder bahan baku kulit asli dari kawasan Surabaya dan beberapa daerah lain di Jawa Timur. Kok jauh? Ya, karena yang dipesan adalah bahan sepatu asal kulit hewan yang tidak mudah dijumpai di sembarang tempat. Elly harus hunting ke pelosok untuk memburu bahan sepatu sesuai pesanan. Antara lain berasal dari kulit sapi, kulit ular, kulit kambing dan domba, dan pelbagai kulit lainnya.

Setelah bahan datang, barulah karyawannya menggarap sepatu itu. Tak ada seminggu, pesanan sudah bisa diambil. Pekerjaan bisa diselesaikan dengan cepat mengingat karyawan Elly sudah terbiasa membuat sepatu. Mereka sebagian besar kaum pria yang bekerja laiknya jam kantor di workshop.

Oh, ya, yang disebut workshop milik Elly adalah ruangan khusus tempat memproduksi sepatu-sepatu kulit tersebut. Tak luas memang. Besarnya sekitar 6 meter x 5 meter.
(Bersambung)

*****
*****

Merajut Mimpi Sebelah Kaki (Selesai)

Membutuhkan sedikit usaha untuk menemui workshop Elly di Jalan Siaga II No. 42, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Maklumlah, tempat itu sedikit tersembunyi. Letaknya tak jauh dari stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Pejaten. Jika sudah ketemu, tengoklah, bagian utama workshop milik Elly. Tak besar memang. Luasnya hanya berukuran sekitar 6 meter x 5 meter.

Namun jika digabung dengan arena pajang sepatu yang sudah jadi dan ruang finishing produk, luas workshop milik Elly sekitar 325 meter persegi. Itu merupakan separuh dari total luas lahan tempat tinggal Elly yang jembar dengan ukuran total 600 meter persegi.

*****
*****
DARI luar, tak ada tanda-tanda rumah yang didiami Elly juga merupakan lokasi pabriknya. Di pintu keluar rumah, hanya ada sedikit penanda berupa neon box berukuran sebesar 80 cm x 40 cm bertuliskan Ethree Shoes, merek yang sudah dipatenkan Elly di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dari pekarangan rumah, bakal tak terlihat ciri ada tempat workshop. Soalnya, arena pajang itu ada di balik gerbang yang dibuat terpisah dengan pintu masuk rumah pribadi. Namun, tetap dalam satu pekarangan.

Gerbang penutup menuju workshop, yang letaknya di samping tempat kediaman, itu terbuat dari besi bercat cokelat dengan tinggi sekitar dua meter, menutup seluruh bagian workshop. Tak ada tanda-tanda di balik gerbang itu adalah tempat pabrik sepatu buatan tangan alias handmade.

Namun, jika sudah melewati gerbang, akan tampak pekerja-pekerja Elly yang berjumlah total 13 orang sibuk menggenjot mesin jahit sepatu dan merangkai pesanan klien. Asal Anda tahu, mereka bekerja seperti orang kantoran. Mulai kegiatan sekitar jam 08.00 pagi dan selesai pukul 17.00.

Dari lokasi inilah Elly mengendalikan seluruh bisnisnya. Selain melakukan roadshow menemui klien, Elly mengawali hari dari rumah tersebut ke tempat lokasi penjualan sepatunya.

Tekad mengembangkan usaha membuat ia tak terpaku pada workshop. Otak pun diputar. Maka, sejak setahun lalu, wanita kelahiran Garut, Jawa Barat, 27 Agustus 1967, ini mulai berfikir membuka tempat usaha di pusat-pusat perbelanjaan.

Sebagai langkah awal, tahun lalu Elly mencoba membuka gerai produknya di Cilandak Town Square atawa biasa disebut Citos, Jakarta Selatan. Gerainya bisa ditemui di Galeri Usaha Kecil dan menengah (UKM) lantai dasar pusat perbelanjaan tersebut. "Tapi, dibanding hasil roadshow saya, pendapatan di gerai itu masih kalah jauh," kata Elly.

Elly semakin giat melebarkan pasarnya. Awal Agustus 2007 lalu, dia kembali membuka gerai serupa di lantai satu UKM Center Waduk Melati, Jakarta Pusat. Selain roadshow dan membuka dua gerai, Elly tetap aktif berpameran ria. Dari sanalah produknya mulai terkenal. Elly mulai menuai hasil.

Kini, berbagai piagam penghargaan menghiasi dinding workshop-nya. Mulai dari penghargaan produsen sepatu hand made dari Suku Dinas Perindustrian Jakarta, penghargaan Asean Women Executive Golden Award 2006, dan yang paling membuat Elly sumringah adalah penghargaan dari Kementerian Koperasi dan usaha Kecil dan Menengah berupa Entrepreneur Award UKM 2006.

Melalui penjualan langsung, keaktifan mengikuti pameran, dan membuka dua gerai Elly kini bisa membukukan penghasilan bersih antara Rp 10 juta hingga Rp 15 juta per bulan. “Tapi, pendapatan paling besar berasal dari hasil penjualan langsung ke kolega saya,” kata Elly.

Dari pendapatan itu, kini tiga anak laki-lakinya lancar mengenyam pendidikan. Anak pertama tengah menyelesaikan ujian skripsi di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta Selatan. Anak kedua telah lulus dari sebuah akademi perhotelan. Dan, anak terakhir masih duduk di bangku sekolah sebuah pondok pesantren di bilangan Jakarta Selatan.

Sampai di sini Elly masih tetap memegang teguh falsafah seorang wirausaha: tak cepat puas dengan hasil yang dicapai.

Lantas, apalagi yang ingin digapai lulusan sebuah sekolah menengah atas (SMA) di Jakarta itu? Tak lain dan tak bukan persoalan permodalan. Minimnya modal membuat langkahnya menembus pasar ekspor masih sebatas mimpi.

Ada, sih, pembeli dari mancanegara yang sudah merasakan produknya. Namun, selama ini hal tersebut baru sebatas perseorangan. Itu pun yang mengikuti pameran produknya. Elly masih berharap pemodal mau bekerja sama dengan sektor UKM seperti yang dijalaninya.

“Tapi doakan saja, akhir tahun ini akan ada investor yang berniat membantu usaha saya, mudah-mudahan usaha yang telah saya rintis bisa semakin berkembang,” Elly berharap.

Jalan kesuksesan memang sudah terbentang. Ternyata, dengan sebelah kaki, merajut mimpi menggapai bintang di langit bisa juga digapai. Kuncinya mau berusaha. Kendati awalnya hanya bermodal nekat. Elly buktinya.
(Tamat)

Dipublikasikan di Harian Bisnis dan Investasi KONTAN, 20-22 September 2007

0 komentar:

Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger