Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Jumat, 16 Mei 2008

Inspirasi - 5 (Jadin C. Jamaluddin)

Danto

Kidung Senja dari Batas Kota Gudeg (1)

Dari pinggiran Yogyakarta, Jadin C. Jamaluddin menjadi raja tenun selama 21 tahun. Membangun bisnis pada 1985 di Kota Gudeg, usaha Jadin berkembang hingga ke mancanegara. Dari mulai Jepang, Singapura, hingga Eropa. Omzetnya ratusan juta rupiah per tahun.

Pada 15 Maret 2002, semua aset ludes terbakar. Berhasil bangkit. Bencana kembali datang. Goyangan lindu yang dahsyat, 27 Mei 2006, membuat semuanya hancur. Luluh berantakan. Kali ini berat. Usahanya mati suri. Mencoba sedikit-sedikit bangkit. Bagaimana potret dan riwayatnya? Ikuti kisahnya.

****
****
27 Mei 2006. Hari baru sejenak memicingkan matanya. Embun pun baru saja hinggap di bumi. Geliat pagi sebentar mampir ke Bantul, pinggiran Kota Yogyakarta. Ketika orang-orang melepas gelungan sarung di kamar tidur, petaka itu datang tanpa permisi. Gempa mengagetkan semua yang ada.

Telepon genggam Jadin C. Jamaluddin, kini 60 tahun, yang kala itu berada di Jakarta meraung-raung. Malam sebelumnya, Jadin baru saja mendarat di ibukota untuk sebuah acara Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API).

Wiwik Chandra Kartikawati, sang istri, pagi itu sembari sesenggukan mengabarkan dari Jogja, bumi yang dipijaknya berguncang hebat. Rumah yang ditinggali bersama lima anaknya itu bergemeretak. Suaranya membuat bulu kuduk bergidik. Di luar rumah, orang-orang berlarian berteriak, ”Gempa..., gempa…, gempa!” Semua tunggang langgang. Dan, selanjutnya rumah-rumah kampung itu rontok bak daun kering tertiup angin.

Empat bangunan di satu area di Karangnongko, Panggung-harjo, Bantul, Yogyakarta, milik Jadin hancur lebur. Gudang tenun seluas 300 meter persegi luluh. Laboratorium tekstil tradisional seluas 240 meter persegi rontok. Pabrik tenun seluas 750 meter persegi roboh. Dan, rumah sekaligus kantornya seluas 600 meter persegi hancur berantakan. “Yang tersisa hanya 40% dari bangunan pabrik saya,” kata Jadin, menerawang.

Belum selesai rapat di Jakarta, pagi buta itu Jadin bergegas ke Bandar Udara (Bandara) Soekarno-Hatta, Tangerang. Hati gundah bukan kepalang. Berita dari televisi dan radio terus mengabarkan berita terbaru dari Jogja. Kegelisahan bertambah lantaran tak gampang mendapat tiket pesawat. Jadin, yang sedari pagi berada di Bandara Soekarno Hatta, harus rela antri beli tiket. Bandara kali itu mendadak penuh sesak. Penumpang tiba-tiba membludak. Semua satu tujuan: Jogja.

Baru pukul 19.00 malam Jadin bisa meninggalkan Bandara Soekarno-Hatta. Rute pesawat yang ditempuh pun harus melalui Solo. Bandara Adisutjipto Jogja tak memungkinkan untuk didarati pesawat. Hati sedikit plong ketika mendapati keluarga semua selamat. Kendati, tentu saja, seluruh bangunan dan properti miliknya hancur lebur. “Semua berserakan tak terkendali, tapi saya bersyukur masih bisa berkumpul kembali dengan keluarga,” kata Jadin.

Inilah sepenggal kisah dari Bantul. Kidung layu dari kota di batas Jogja. Hari-hari bisnis Jadin mendekati titik nadir. Puluhan penghargaan sebagai pelestari budaya dan pebisnis tekstil tradisional, tinggallah tersisa jadi onggokan sampah. Usahanya mati suri. Ibarat hari, umur bisnisnya sudah di batas senja. Temaram.

Dan, Jadin tak sendiri. Ada 5.000 usaha kecil dan menengah (UKM) di Bantul, dan total 68.000 UKM di Yogya, yang terancam bangkrut karena gempa dahsyat itu. Semua terlilit utang. Pinjaman ke bank macet. “Kami minta moratorium, tapi tak pernah ada tanggapan,” kata Jadin.

Apa boleh buat, kendati terhimpit sana-sini, Jadin mencoba kembali menata bisnisnya yang luluh oleh lindu. Modal tak ada. Utang ke bank terus membengkak. Akibatnya, bak keong, Jadin susah-payah membangkitkan kembali bisnis yang sudah dibangunnya lebih dari 20 tahun. Untuk sementara, usahanya macet. Sangat berat untuk kembali bangkit.

Begitulah. Jika saja tak ada gempa itu, Jadin masih aktif berkeliling. Memperkenalkan produk tenun tradisionalnya, juga rapat di berbagai organisasi. Sayang, guncangan dahsyat membuyarkan aktifitasnya. Sebelum lindu melanda, Jadin sosok sohor di Bantul. Dialah yang merajai kerajinan tekstil rumahan di kota berpenduduk 800.000 jiwa itu. Jadin sebelumnya bolehlah menepuk dada.

Pada 10 November 1985, adalah awal semua mata di kota kecil seluas 508,85 km2 itu tertuju pada Jadin. Bertepat-an dengan peringatan hari pahlawan nasional kala itu, Jadin mendirikan sebuah perusahaan tekstil tradisional dengan nama PT Pancaran Harapan Nusa (PT PHN). Ini adalah nama baru dari nama sebelumnya yang merupakan pusat studio tenun tradisional di Jogokaryan, Yogyakarta.

Ya, Jadin merintis usaha di Jogokaryan, Yogyakarta, sebelum kemudian pindah ke Bantul akibat bencana kebakaran pada 2002. Nama studio sebelum dititeli PT PHN terbilang unik: Rumah Tenun Charindra. Sebutan itu memiliki makna sebagai pusat tenun dari Charindra. Charindra adalah anak pertama Jadin yang diabadikan menjadi pusat kerajinan tekstil tradisional itu.

Jadin bunggah karena peresmian studio dan PT miliknya kala itu menghisap perhatian warga Yogyakarta. Peresmiannya dilakukan “orang pusat”, yakni Direktur Jenderal Industri Kecil Departemen Perindustrian yang ketika itu dijabat Trisura Suhardi.
(Bersambung)

************
Kidung Senja dari Batas Kota Gudeg (2)

Julukan juragan tenun tradisional sudah disandang Jadin C. Jamaluddin sejak 21 tahun lampau. Pada 10 November 1985, semua mata di Yogyakarta tertuju ke Jadin. Ketika itu Jadin mendirikan perusahaan tekstil tradisional dengan nama PT Pancaran Harapan Nusa (PT PHN).

Ini adalah nama baru dari nama sebelumnya yang merupakan pusat studio tenun tradisional milik Jadin di Kota Pelajar. Namanya Rumah Tenun Charindra. Peresmian PT miliknya dilakukan “orang pusat”, yakni Direktur Jenderal industri Kecil Departemen Perindustrian, ketika itu dijabat Trisura Suhardi.

****
****
JIKA peresmian PHN milik Jadin diramaikan oleh para pembesar negeri ini, tidaklah mengherankan. Sebelum membuat studio mini tenun dan PT PHN itu, Jadin adalah seorang pengusaha garmen di Jakarta. Sebagai businessman, Jadin sangat dekat dengan semua pejabat. “Hanya karena kekaguman saya akan keindahan dan keanekaragaman tekstil tradisional yang kaya akan motif, yang membuat saya kembali ke Jogja,” kata Jadin.

Sejak saat itu Jadin pun resmi memiliki usaha tenun tradisional. Tak mulus, memang. Lantaran dana cekak, Jadin meminjam duit dari bank untuk modal awal. Besarnya Rp 15 juta. Kala itu meminjam duit dari bank bukanlah hal sulit. Kebetulan juga ada fasilitas kredit investasi usaha kecil dan kredit modal kerja alias KIK dan KMK. Agar tujuan lancar, tak lupa Jadin merekrut 12 orang karyawan.

Di Jogokaryan, Yogyakarta, inilah Jadin bersama para karyawannya mengkreasi tenun tradisional dengan polesan modern. Tak gampang membangun usaha bidang ini. “Pada saat itu kami termasuk melawan arus. Sebab pada ketika itu arus besar pembangunan ekonomi tengah bergerak ke pilihan-pilihan kegiatan ekonomi modern dengan industrialisasi sebagai wacana aksinya,” jelas Jadin panjang lebar.

Kala itu, tekstil tradisional sedang mengalami musim rontok. Seni tenun klasik tengah bergerak ke arah tekstil industri. Jadin tak menyerah. Dengan memberikan sentuhan mode yang segar, modifikasi warna, desain, dan ukuran, Jadin mampu mengembangkan bisnis tradisionalnya.

Semula pemasaran dilakukan dari mulut ke mulut. Berbekal pengalaman sebagai pengusaha garmen, Jadin ikut menawarkan hasil karyanya ke kolega. Pemasaran sederhana itu ternyata berhasil. Tenun hasil kreasinya diminati. Agar hasil ciri khasnya tak ditiru orang, Jadin menggunakan merek Jadin Craft Textile. Di kemudian hari, yakni pada 19 Maret 1999, merek batik tenunnya dipatenkan ke Departemen Kehakiman.

Setahun menjalankan bisnis, pesanan sudah berkembang. Pesanan dari Kalifornia, Amerika Serikat, tiba-tiba mampir ke meja Jadin. “Jumlahnya sangat lumayan kala itu,” kata Jadin. Yang diekspor adalah bahan gorden penutup pintu rumah kaca. Tentu saja bahan itu tenunan khas Jadin.

Itu adalah ekspor pertamanya. Setelah itu, pesanan kian membludak. Kebutuhan pasokan kian berkurang. Supaya tak keteteran, Jadin menambah karyawan. Pada 1987, atau dua tahun berselang, jumlah karyawan Jadin sudah mencapai 300 orang. Mereka direkrut dari kampung sekitar. Tenaga-tenaga penenun rumahan.

Agar pemasaran kian berkembang, Jadin mulai aktif berpameran, termasuk luar negeri. Kala itu, bisa berpameran di mancanegara sudah merupakan gengsi tersendiri. Jadin mulai aktif berpameran ria, antara lain di Jepang, kemudian merambah ke Amerika Serikat, Italia, Malaysia, Singapura, Jerman, dan Belanda.

Di dalam negeri, Jadin kemudian sangat aktif berperan serta dalam Pameran Produk Ekspor (PPE) yang kini rutin digelar tiap tahun. Tak lupa, Jadin menjadi pelanggan setia pengisi stan pameran Inacraft.

Tujuh tahun kemudian, usaha Jadin mulai menapaki titik sukses. Pada 1992, Jadin meraih penghargaan Small Scale Entrepreneur Award yang diselenggarakan oleh IBM-Rotary. Dua tahun kemudian, Jadin juga menggaet penghargaan Paramakarya dari Presiden Soeharto di bidang produktivitas usaha. Dengan penghargaan itu dan keaktifan berpameran, bisnis Jadin cepat berkembang. Omzet pun kian meningkat. “Jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah per tahun,” kata Jadin.

Setelah pesanan semakin membanjir, mau tak mau Jadin harus menggenjot produksi. Strategi bisnis pun diubah. Agar lebih efektif, Jadin kemudian mengoper pembuatan tenun tradisional ke perajin-perajin di kawasan Bantul. “Hasilnya, saat itu saya mengurangi jumlah karyawan dari 300 menjadi 70 orang lagi, sebab semua pesanan saya sub-kontraktorkan,” kata Jadin.

Strategi ini ternyata cukup berhasil. Produksi lebih efektif, biaya lebih efisien. Pemasaran pun kian oke. Nama Jadin kian berkibar. Pada awal Februari hingga akhir Maret 1995, Jadin terpilih sebagai wakil pengusaha kecil Indonesia untuk ikut program International Marketing di Curtin University Perth, Australia. Jadin dipilih melalui proyek Overseas Training Office (OTO) Bappenas melalui Dewan Penunjang Ekspor (DPE).

Sebulan kemudian, Jadin kembali terpilih mengikuti Business Mission ke Singapura, Johor Baru, dan Kuala Lumpur bersama Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda) Yogyakarta dan Pemda Yogyakarta.
(Bersambung)


**************************

Kidung Senja dari Batas Kota Gudeg (3)

Pada tiga bulan pertama 1995, Jadin C. Jamaluddin memasuki puncak bisnisnya. Dia terpilih sebagai wakil pengusaha kecil Indonesia untuk ikut program International Marketing di Curtin University Perth, Australia. Jadin terpilih melalui proyek Overseas Training Office (OTO) Bappenas melalui Dewan Penunjang Ekspor (DPE).

Sebulan kemudian, Jadin kembali terpilih mengikuti Business Mission ke Singapura, Johor Baru, dan Kuala Lumpur bersama Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda) Jogja dan Pemerintah Daerah Yogyakarta. Saat itu Jadin betul-betul tengah berkibar.

****
****
ANGIN tengah berpihak ke Jadin C. Jamaluddin. Semua mata tertuju padanya sejak awal 1995 itu. Setelah dua kali terpilih sebagai delegasi Indonesia ke luar negeri, setahun berselang, Jadin kembali terpilih mengikuti program Study Mission And Investment Mission untuk Indonesia Furnishing melalui Japan Exsternal Trade Organization (Jetro).

Prestasi Jadin tak berhenti di situ. Pria beranak lima kelahiran Yogyakarta, 15 September 1947, ini kembali menyabet penghargaan. Setelah meraih dua penghargaan: Small Scale Entrepreneur Award yang diselenggarakan oleh IBM-Rotary pada 1992 dan penghargaan Paramakarya dari Presiden Soeharto di bidang produktivitas usaha pada 1994, Jadin menggaet ASEAN Development Citra Award dari ASEAN Program Consultant pada 1997. “Yang membuat saya bangga, setelah itu banyak tamu negara maupun pejabat penting datang ke kami,” kata Jadin, mengenang.

Layaknya sifat manusia, tak pernah ada kata puas. Obsesi Jadin ternyata belum sirna. Setelah cukup sukses dengan usahanya, Jadin kemudian menggandeng PT Astra International. Bersama produsen otomotif kelas atas Indonesia itu, Jadin mendirikan Galeri Museum Tekstil dan Kerajinan. Peresmian saat itu dilakukan Menteri Perindustrian dan Perdagangan yang kala itu dijabat Rahardi Ramelan, pada 2 Maret 1999.

Tujuh bulan kemudian, Jadin melebarkan sayap dengan mendirikan Koperasi Nusa Usaha Bersama. Agar masih berada di bawah kendalinya, koperasi dipimpin oleh sang istri, Wiwik Chandra Kartikawati. Koperasi ini beranggotakan 200 orang.

Dengan koperasi itu, Jadin berusaha menyejahterakan seluruh pekerjanya. Melalui koperasi ini, Jadin mendirikan anak usaha penunjang bisnis utamanya. Salah satunya ialah mendirikan toko kebutuhan bahan-bahan pokok dan bahan baku tekstil kerajinan, serta pabrik benang. Koperasi juga berfungsi sebagai penyedia informasi soal desain, produksi, dan teknologi peralatan tenun tradisional. Lengkap sudah gurita bisnis tenun Jadin.

Hanya kenikmatan itu tak berlangsung lama. Roda kehidupan mesti berputar. Apa yang harus terjadi, terjadilah. Semua berlangsung tiba-tiba. Datang tak dijemput, pulang tak diantar. Kemapanan usaha yang sudah dirintis selama belasan tahun harus sirna dalam sekejap.

Pada 15 Maret 2002, kebakaran hebat melahap seluruh aset PT Pancaran Harapan Nusa (PT PHN), termasuk tempat tinggal Jadin seluas 600 meter persegi di Jogokaryan, Yogyakarta. Semua ludes. “Selama beberapa bulan kemudian, kami sekeluarga, termasuk lima anak saya tinggal di kos seluas satu petak kamar,” kata Jadin.

Apa boleh buat. Semua harus dihadapi. Bisnis harus kembali dibangun. Setelah musibah kebakaran itu, Jadin kemudian memindahkan semua aktivitas bisnisnya dari Jogokaryan, Yogyakarta, ke Karangnongko, Panggungharjo, Sewon, Bantul. Perlahan Jadin membangun kembali usahanya. Sedikit-sedikit lama jadi bukit. Begitulah. Jadin berhasil kembali menggeliatkan usahanya.

Agar usaha cepat berkembang, Jadin menggandeng Pemda Yogyakarta, Permodalan Nasional Madani (PNM), dan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). Melalui API inilah, PT PHN kemudian ditunjuk sebagai Central Pengembangan Sutra Alam Indonesia. Usahanya bangkit.
Pada 2005, PT PHN mengembangkan tempat usaha terpisah dari pabrik dan kantor. Dua tempat itu dijadikan galeri. Jadin kemudian membangun sebuah laboratorium coloring warna sekaligus tempat pencelupan atau pewarnaan tenun seluas 240 meter persegi. Jadin juga mendirikan gudang tenun seluas 300 meter persegi.

Petaka kembali datang. Pagi buta pada 27 Mei 2006, gempa meluluhlantakkan semua asetnya. Yang tersisa hanya 40% bangunan pabrik. Usahanya mati suri. Sisa tunggakan ke bank masih menumpuk. Bisnis tak jalan. Mencoba minta moratorium alias penundaan pembayaran utang ke bank. Tak ada tanggapan.

Dari Jakarta, Selasa (9/10) lalu, kabar segar berkumandang. Dari kantor Wakil Presiden, sejumlah pejabat negara menyetujui keringanan utang milik sekitar satu juta pengusaha kecil menengah, yang mempunyai kewajiban kurang dari Rp 5 miliar di bank BUMN.

Cicilan pokok UKM bakal dihapus alias haircut sebesar 25%. Total utang macet UKM yang bakal kena diskon senilai Rp 17,9 triliun. Senangkah Jadin? Ternyata tidak. “Haircut itu khusus untuk pinjaman di bank BUMN, saya pinjam di Permodalan Nasional Madani (PNM), yang meski BUMN tapi non-bank dan tak termasuk skim itu. Alhasil saya tak ikut merasakannya,” kata Jadin.

Apa boleh buat. Angin yang semula terus berpihak ke Jadin, kali ini enggan mampir. Bisnis Jadin masih temaram. Kidung senja masih melantun dari batas Kota Gudeg.
(Selesai)

Dipublikasikan di Harian Bisnis dan Investasi KONTAN, 16-18 Oktober 2007

0 komentar:

Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger