Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Rabu, 04 Juni 2008

Tuhan dan Hermeneutik

Tuhan dan Hermeneutik

Tuhan, lagi-lagi, dibungkam. Kemudian diteriakkan. Dari Lapangan Monumen Nasional (Monas), berlanjut ke Petamburan. Monas sudah berdiri sejak 1961. Tak mengganggu. Tapi Minggu, 1 Juni 2008, dia menjadi panas. Seperti hendak melelehkan emas pucuknya. Hawa menyengat oleh mereka yang yakin telah terpanggil oleh iman.

Saling hujat. Saling hantam. Yang Islam menghantam Islam lainnya. Juga umat lain. Siapa salah, siapa benar. Sudah jadi abu-abu.

Dalam sengatan, Tuhan diumbar. Dengan nama berbeda-beda, dalam parade dan gerudukan kebencian itu. Yang mereka anggap sebagai kebenaran.

Kasih sejatinya tulus. Tanpa prasangka. Tanpa nafsu. Juga tanpa kedengkian. Ia yang Maha Kasih dan Maha Sayang, Yang Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Tak langsung memvonis semua jadi hitam dan putih.

Cinta, bukanlah kekerasan. Cinta, bukanlah aturan. Cinta juga bukan laskar panglima yang siap menggeruduk dan membabi buta siapa saja. Kapan saja. Dimana saja. Cinta, seperti kasih, tak menghamburkan amarah.

Memang menakjubkan. Tuhan datang dari hati, kemudian mewujud menjadi beragam bentuk. Dengan aneka macam interpretasi. Juga sebagai pemberi legitimasi bagi kebencian dan pengrusakan.

Adakah cara tunggal untuk menafsirkan Dia? Yang Tunggal dan Yang Esa itu? Wallahu’alam bissawab. Dengan hanya bermain di altar, maka akan sungguh-sungguh banyak pohon-pohon tafsir. Dengan tanpa telanjang diri, akan sangat bejibun cabang dan ranting pengertian.

Di altar, semuanya sungguh abstrak. Sebabnya, “Sang Penafsir Tunggal” sudah tiada. Tak akan ada lagi nabi dan rasul terakhir. Padahal zaman bergerak. Banyak hal baru, juga berkembang pasca kepergian “Sang Penafsir Tunggal”.

Maka, tak selamanya yang ada kini bisa dijelaskan dengan konsep, model, kata, serta contoh yang sudah terjadi. Pemikiran dan teori lama usang sudah. Paradigma lama sudahlah renta. Ditinggalkan. Konsensus lama sudah tak lagi cocok. Maka, tafsir dan interpretasi baru adalah sebuah keniscayaan.

Sudah sepantasnya, para pemikir Sang Fana yang masuk dalam golongan kaum “pascastrukturalis” muncul dengan ide revolusioner: “Dekonstruksi teks”. Lahirlah apa yang disebut sebagai tafsir sejarah: hermeneutik.

Hermeneutik: ilmu yang berhubungan dengan penjelasan kebagaimanaan dan keharmonian pamahaman manusia. Bisa bertali temali dengan batas pemahaman terhadap teks tertulis, atau secara mutlak aktivitas-aktivitas kehendak dan pilihan manusia, atau mutlak realitas-realitas eksistensi.

Hermeneutik berakar pada kata Yunani "hermeneuein”. Maknanya: menakwilkan (menafsirkan). Dalam bentuk nomina "hermeneid" bermaka takwil (tafsir).

Hermeneutik jadi mengusik dengan gerudukan tanpa cinta itu. Tahukah Kau: Agar paham peristiwa yang ada dalam sebuah teks kitab suci, semua harus direkonstruksi. Sejak peristiwa besar yang melatarbelakangi turunnya teks, atau peristiwa historis, penggunaan dan pilihan kata-kata teks kitab suci, dan kondisi sosial budaya masyarakat pada zamannya.

Dalam Al-Quran, tersebutlah dengan sebutan tafsir kitab suci. Yang salah satunya adalah mengupas tuntas persoalan sebab dan musabab alias asbabun nuzzul turunnya ayat.

Tafsir ulama pada zaman pertengahan, akan sangat berbeda dengan tafsir ulama modern. Sebabnya, penafsir ulama pertengahan masih terkungkung dengan zamannya. Kata lainnya: dia hanya bisa menarik benang merah dari peristiwa turunnya ayat hingga pada masa dia hidup. Mentok.

Sementara penafsir modern, akan melihat runutan peristiwa dengan rentang waktu lebih panjang. Jadi, rekonstruksi akan lebih kumplit.

Untuk satu ayat saja, seorang penafsir, akan berbeda penafsiran dengan yang lainnya. Sebabnya, hasil penafsiran sangat tergantung dengan kondisi jaman si penafsir. Juga faktor budaya, asal daerah si penafsir, latar belakang pendidikan si penafsir, paradigma yang dipakai, termasuk kepentingan apa yang akan dicapai si penafsir. Selalu ada kepentingan dan hasrat yang menyelip untuk menggolkan cita-cita dan tujuannya. Lewat tafsirannya itu.

Tahukah Kau: Seluruh manusia, hasrat antopogenik –hasrat yang memunculkan kesadaran diri, hakikat manusia— pada akhirnya merupakan suatu fungsi dan hasrat untuk memperoleh satu kata ini: “Pengakuan”. Demikianlah Alexandre Kojeve, dalam : Introduction to The Reading of Hegel”.
Selama beribu-ribu tahun, tidak ada kata konsisten yang digunakan untuk menunjuk pada fenomena psikologis dari “hasrat untuk memperoleh pengakuan”. Plato, sang pemikir itu, sudah bicara tentang thymos, atau “kesemangatan” (spiritedness). Machiavelli, sang diktator itu, juga sudah omong tentang hasrat manusia memperoleh kemuliaan.

Thomas Hobbes, tokoh materialisme terbesar itu, juga bicara tentang kebanggaan atau kesombongan. J.J. Rosseau, tokoh Prancis itu, sudah omong tentang “amour prope”: keangkuhan dan kesombongan. Juga Hegel soal pengakuan. Dan Nietzshe, Sang Pembunuh Tuhan itu, sudah merilis soal manusia sebagai binatang yang berpipi merah. Yang ingin berkehendak untuk berkuasa. Ubermenzch. Manusia super.

Jadi, semua kekerasan bukan asal dari Cinta. Cinta, bukanlah aturan. Cinta juga bukan laskar panglima yang siap menggeruduk dan membabi buta siapa saja. Kapan saja. Dimana saja. Cinta, seperti kasih, tak menghamburkan amarah.

Cinta Tuhan tak akan sampai dengan kekerasan. Jangan sampai, dengan anarki, Tuhan lagi-lagi dibungkam.

Jakarta, 4 Juni 2008

Pukul 16.00 WIB

Danto (http:bungapadangilalang.blogspot.com)

0 komentar:

Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger