Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Jumat, 26 September 2008

Menampik Mimpi Menggapai Harapan

Danto (http://bungapadangilalang.blogspot.com)

“Dalam dua tahun ini, ada 50 wartawan kami yang dibajak.” Seorang kawan lama, redaktur pelaksana sebuah penerbitan paling terkemuka di Jakarta, mengucapkan kalimat gawat ini, dalam sebuah obrolan ringan di sebuah acara buka bersama, di Hotel Ritz Carlton Jakarta, sore menjelang malam itu.

Angka 50 adalah bilangan keramat. Dengan 50 wartawan di level menengah ke atas, sudah bisa mendirikan dua buah perusahaan pers.

“Kesalahan kami, kami tak bisa menggaji wartawan sesuai harapan,” katanya. Lagi-lagi terdengar getir. Saya tak akan merasa ikut miris jika tak ada dalam kelompok orang yang disebutnya itu, orang yang ikut dia sesali itu, juga orang yang ikut menyebabkan dia mengatakan kalimat serius itu. Saya ikut tersindir, juga ikut merasa berdosa. Bagaimana mungkin sebuah kawan kini menjadi pesaing dekat, jadi seolah-olah musuh yang akan dicerca jika membobolkan sebuah berita penting di negeri ini?

Saya termasuk rombongan pertama yang meninggalkan dia, si kawan lama itu, awal tahun lalu, eksodus ke negeri sebelah, mengikuti eksodusnya gerombolan-gerombolan wartawan di tahun sebelumnya. Wartawan di penerbitan yang kata sebagian orang merupakan tempat para pencari warta kesohor di negeri ini. Penerbitan yang sudah ada sejak lebih dari 30 tahun silam.

Saya masuk dalam golongan orang yang menyerah pada modal? Hmmm….jawabannya: bisa ya, bisa tidak. Ya, karena saya masuk dalam eksodus ke negeri sebelah ikut mencari hal baru, juga kesejahteraan, hal yang tidak saya peroleh di tempat si kawan lama tadi, juga tempat lama saya. Di tempat baru, saya juga kerja secara profesional. Jawabannya tidak!! Itu karena di tempat baru pun saya berusaha untuk tetap pegang prinsip seperti di tempat lama.

“Kini, kami harus berjibaku kembali mencetak tenaga-tenaga yang hilang. Kami berusaha melawan harapan sekaligus mempertahankan harapan, menolak mimpi sekaligus memperpanjang mimpi,” tuturnya, tetap dengan nada suara rada gemetar.

Ternyata, dengan membuat jarak dengan si kawan, saya menjadi makin bisa melihat dengan jernih. Sebagian kawan saya menolak sebuah mimpi, untuk melanjutkan mimpi-mimpi mereka. Sementara saya di sini merajut mimpi baru, bersama harapan baru. Maaf, bukan turut mencatut kalimat kampanye seorang narsis di televisi-televisi itu.

Seorang pemimpin redaksi sebuah stasiun televisi yang baru melejit setahun terakhir, malam itu ikut nimbrung dalam obrolan saya. “Ini memang mekanisme pasar, kami memang menciptakan sebuah media baru, tak akan mungkin mengambil level menengah ke atas dari yang sama sekali baru,” katanya, seraya minta maaf pada si kawan lama tadi. Sepertinya dia turut merasa berdosa juga, kiranya.

Di stasiun televisi yang dia garap, ada sekitar enam orang bajakan dari tempat si kawan lama, juga tempat lama saya. “Sekali lagi ini mekanisme pasar, untuk mencapai tujuan menciptakan sebuah media baru, maka level menengah terpaksa kami ambil di pasar, dan yang paling mungkin dan memenuhi syarat adalah tempat Anda,” tambah sang pemimpin redaksi tadi, menunjukan pada si kawan lama. Ada nada keterpaksaan, juga ada nada ketegasan. Si kawan terdiam.

Di ujung halusinasi, seorang tetua tempat bekerja lama membisikkan ke telinga saya: “Jangan sampai media yang kita bangun hilang ditelan sejarah.” Kalimatnya lebih mengarah ke krisis. Gawat.

Jakarta, 23 September 2008
Pukul 22.20 WIB

0 komentar:

Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger