Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Minggu, 06 Juli 2008

Militer, Seniman, Pabrik Kata, dan Pasar

Survival of The Fittest. Begitulah akhir dari sistem pasar. Siapa kuat, dia menang. Yang tak berdaya, maaf, lebih baik menyingkir. Mencari kehidupan di luar sono. Kami tak bisa menampungmu. Pasar menghendaki itu.

Demikianlah sistem pasar bekerja. Melahap segala-gala. Termasuk kemanusiaan. Juga kehidupannya. Sistem pasar yang membuat kompetisi sangat ketat. Di mana sistem ini bekerja? Di mana pun, kini, selama masih ada manusia. Di gedung pencakar langit nun jauh di Amerika sana, atau di tubir jurang di ujung kaki gunung sini.

Semua terpaut. Semua bertalian. Dunia sudah menjadi satu. Tak ada lagi batas-batas. Geografis kini sudah jadi bayangan semu. Semua saling terkait. Nasionalisme? Builshit!! Semua bermuara pada sistem pasar itu: Kapitalisme.

Sistem ini pula yang kini bersimaharajalela dan menjarah semua bidang pekerjaan. Termasuk media: bidang jurnalistik dan dunia wartawan. Idealismenya, jurnalistik adalah menyampaikan fakta dan peristiwa apa adanya. Sesuai kenyataan. Itu idealnya.

Cuma, sungguh bejibun nian perusahaan di industri media kini. Simak saja perusahaan media yang ada sekarang. Di Indonesia saja, hingga medio 2008 ini, jumlah media cetak mencapai 889 buah. Jumlah stasiun televisi mencapai 120 buah, dan stasiun radio ada 2.000 buah.

Agar bisa menguasai pasar, sebuah perusahaan media harus mengikuti keinginan pasar, maaf, maksudnya pembaca. Sebuah perusahaan media harus berlomba menyajikan berita dan peristiwa yang bisa membuat terperangah pasarnya. “Harus ada magnitude”. Begitulah kata kunci sebuah media bisa eksis di tengah persaingan yang ketat ini. Harus ada perubahan yang terjadi dengan sebuah pernyataan dari media. Demikianlah tujuan utamanya. Semakin besar magnitude yang terjadi, maka ketertarikan pasar juga membesar.

Caranya: kemasan di bentuk seapik dan semodis mungkin. Semua harus ekstra kerja keras. Jangan sampai sedikit pun ada cacat. Keseleo sedikit, siap-siap saja menerima hak jawab. Terlalu sering membuat kesalahan, maka siap-siap saja ditinggalkan pasar.

Bisnis media adalah bisnis kepercayaan. Sekali pembaca (baca: pasar) merasa dibohongi, maka selamanya media tersebut tak akan mendapat tempat. Atau sekali saja media itu bisa digunakan untuk kepentingan pihak tertentu, siap-siap saja kepentingan lain masuk. Pasar pun akan skeptis. Tak percaya lagi. Perusahaan media diambang kebangkrutan.

Agar kebangkrutan tak terjadi, diciptakanlah sistem kerja dan profesionalitas. Semua awak media harus profesional. Ikut sistem yang ada. Fokus pada bidang kerjanya. Sekali wartawan menerima titipan pihak luar, maka stigma itu akan melekat selamanya.

Supaya tujuan perusahaan media tercapai, maka semua lini dikerahkan. Mulai dari perekrutan calon wartawan, hingga penataan mekanisme kerja. Seseorang yang akan menapaki dunia jurnalistik, harus mengalami masa perkenalan. Dibuatlah jenjang bertingkat.

Maka tersebutlah ada calon reporter. Posisi ini biasanya banyak diisi oleh para lulusan sarjana yang fresh graduate. Harapannya: mereka mudah dibentuk sesuai tujuan semula media diciptakan. Kata kasarnya, sekali lagi, mudah dibentuk untuk memenuhi keinginan pasar.

Sistem kerja ketat kemudian diterapkan. Semua tidak boleh melewati waktu cetak. Untuk sebuah harian yang tebrbit pagi, seluruh hasil karya harus selesai tepat jam 12 malam. Melewati jam itu, maka semua akan terbuang percuma. Sia-sia. Karena kini industri percetakan masih sangat terbatas, terlambat sedikit semuanya tak berguna. Percetakan akan menolak jika bahan cetakan tulisan tak datang sesuai jadwal.

Kalaupun terpaksa dicetak, harus menunggu giliran setelah jam 06.00 pagi. Itu artinya terlambat. Media lain sudah muncul duluan. Hasil kerja akan sangat percuma. Sebab, pasar akan menganggap hasil produk kita adalah produk gagal dan produk basi. Sekali lagi, ini akan menimbulkan ketidakpercayaan pasar. Pembaca yang sudah berlangganan, akan mengalihkan langganannya ke media lain. Perusahaan media tersebut, sekali lagi, diambang kebangkrutan.

Lagi-lagi, agar itu tak terjadi, mekanisme harus sangat ketat. Seleksi calon reporter tak boleh sembarangan. Semua harus sesuai kriteria. Ulet, pintar menulis, pandai melobi sumber, dan bisa menyesuaikan isi tulisan sesuai dengan yang sedang hangat di pasar. Lagi-lagi muaranya pasar.

Maka, terciptalah sistem hierarki agar koordinasi menjadi jelas. Ada calon reporter, reporter, redaktur halaman, redaktur bidang, redaktur pelaksana, redaktur eksekutif, wakil pemimpin redaksi, dan pemimpin redaksi.

Jenjang hierarki ini sangat mirip dengan jaring koordinasi militer. Ada prajurit di tingkat bawah, ada tamtama di level menengah, dan ada perwira di tingkat atas. Atau dari mulai kopral hingga jenderal.

Calon reporter akan diasah selama periode tertentu untuk bisa berstatus reporter. Biasanya dalam rentang waktu sembilan bulan hingga satu tahun. Status kerjanya kontrak. Mulailah si calon reporter memasuki sistem kerja jurnalistik.

Pagi-pagi, calon reporter atau reporter harus ke lapangan mencari berita, sesuai pos-pos liputan, yang biasanya dibagi berdasarkan bidang dan topik bahasan. Bertemu dengan nara sumber untuk wawancara dan mengumpulkan bahan. Dia akan berkoordinasi dengan redaktur soal apa yang mau ditulis. Kriterianya sudah jelas: yang sedang hangat dan diminati pasar. Persis seperti seorang kopral berkoordinasi pada sang komandan. Calon reporter harus mematuhi semua apa yang diminta redaktur. Biasanya, apa yang sudah diorder merupakan hasil keputusan rapat redaksi, dari mulai jenjang redaktur hingga pemimpin redaksi. Tapi, tak selamanya seorang calon reporter menunggu perintah dari redaktur. Dia harus pandai berinisiatif mengembangkan isu untuk menjadi sebuah berita. Inilah pentingnya menjalin lobi dengan sumber berita.

Pemimpin redaksi akan memberi arahan agar bahan dan tulisan sesuai dengan keinginan pembaca (pasar). Meski sesekali menyelipkan pesan moral, agar sesuatu yang dianggap buruk untuk kemashlahatan umat segera berubah menjadi lebih baik. Semakin pesan moral ini sempurna, maka citra perusahan akan makin baik. Lagi-lagi pasar akan kian percaya dan simpatik.

Pemimpin redaksi biasanya akan memegang erat asas kepercayaan pasar ini. Itulah sebabnya, kerap kali seorang pemimpin redaksi meminta seluruh awak untuk tetap menjaga kredibilitas perusahaan. Karena, sekali lagi, sekali kredibilitas ternodai, tempat di hati pembaca (baca: pasar) akan makin menciut.

Maka mulailah pemimpin redaksi menerapkan kebijakan ke bawahannya, mulai dari wakil pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, hingga redaktur. Dan yang terakhir ini yang meneruskan ke reporter. Dalam rantai kerja ini, acap kali terjadi rantai makan memakan. Maksudnya saling tekan menekan.

Demi menjaga kredibilitas dan kepercayaan pasar, seorang pemimpin redaksi akan menekan redaktur pelaksana agar tulisan dan bahannya sempurna. Jangan sedikitpun ada kesalahan.

Dalam sistem kerja media harian, dari tangan seorang pemimpin redaksi, seluruh tulisan harus selesai tepat jam 24.00 teng. Maka, maksimal bahan tulisan harus sudah di tangan sang pemimpin redaksi jauh sebelum jam tersebut. Kalau bisa jam 21.00 sebagian tulisan sudah lewat editing pemimpin redaksi.

Sebelum jam 21.00, redaktur pelaksana, yang membawahi beberapa bidang kompartemen, harus sudah menyelesaikan editing tulisan sebelum masuk ke tangan pemimpin redaksi itu. Maka, redaktur pelaksana akan meminta bawahannya, atau beberapa redaktur bidang, untuk menyelesaikan editing jauh sebelum jam 21.00. Biasanya rentang waktunya mulai pukul 19.00.

Redaktur bidang kemudian akan meminta seorang redaktur halaman yang ada di bawahnya untuk lebih cepat menyelesaikan pekerjaan. Di tangan redaktur bidang, tulisan harus sudah selesai jam 19.00. Selanjutnya, redaktur halaman tersebut juga akan meminta reporter atau calon reporter untuk lebih cepat membuat tulisan. Di sinilah posisi paling krusial terjadi. Soalnya, awal tulisan ada di tangan reporter dan calon reporter.

Redaktur akan meminta reporter memenuhi kriteria tulisan yang layak muat, minimal memenuhi unsur 5W+1H. Yakni What (apa), Who (Siapa), When (kapan), Where (dimana), dan Why (kenapa), plus How (bagaimana).

Jika keenam unsur tersebut terpenuhi, biasanya redaktur akan langsung mengedit. Namun jika tak terpenuhi, maka beragam cara karakter masing-masing akan keluar. Dari mulai membentak reporter, hingga cara halus seperti mentraktir makan kemudian mengajak bicara si reporter. Harapannya, reporter akan bekerja lebih baik lagi.

Sampai di sini, bisa tergambar bahwa kerja jurnalistik mirip kerja militer. Ada hierarki, ada perintah, ada kerjasama tim, juga ada disiplin.

Jika orientasinya adalah hasil dan produk, maka sistem kerja jurnalistik tak jauh beda dengan system kerja sebuah pabrik. Bedanya, jika pabrik memproduksi barang-barang konsumsi, jurnalistik memproduksi informasi. Informasi sampai dari pemberi ke penerima melalui perantara kata dan tulisan. Tak heran jika kerja jurnalistik adalah sebuah pabrik kata.


Sistem kerja jurnalistik, sekali lagi, sangat mirip dengan sistem kerja pabrik barang-barang konsumsi, seperti pabrik konveksi. Seperti pabrik konveksi, pakaian yang jahitannya sobek, akan langsung masuk kotak sembari dicap dan ditandai sebagai “cacat produksi”. Kelak, pakaian-pakaian tak berguna ini akan dilego ke factory outlet (FO) dengan harga miring. Bila perlu ke kakilima.

Demikian juga cara kerja jurnalistik. Calon reporter atau wartawan senior sekalipun, sekali membuat cacat maka akan masuk kotak. Sekali seorang wartawan “bermain”, maka selamanya cap tersebut akan menempel.

Tapi sekali mereka berprestasi, maka akan dikenang juga namanya di dunia pabrik kata ini. Semakin bagus hasil produksinya, maka akan semakin elok pula citranya. Maka karir pun akan kian cemerlang.

Semakin elok hasil polesan sebuah tulisan, akan makin dekat dia dengan gelar seorang seniman. Seorang seniman, yang dengan liukan tulisannya, akan makin membuat selera pasar terpincut. Maka, akan makin pula mendapat kepercayaan pasar.

Cuma, untuk sampai pada tahap ini, prosesnya sangat panjang. Seperti piramida, semakin ke pucuk, akan kian sedikit yang menghuninya. Karena prosesnya yang rumit. Dunia jurnalistik adalah perpaduan antara Militer, Seniman, Pabrik Kata, dan Pasar. Untuk jadi seniman di tengah pasar yang ganas, seorang jurnalis harus lulus melewati ujian dengan proses yang “menyeramkan”: menyelami didikan separuh militer di pabrik kata yang sangat disiplin. Survival of The Fittest.

Danto

6 Juli 2008

14.00 WIB

1 komentar:

Anonim mengatakan...

it takes rain to make rainbows. untuk menjadi ideal, sudah barang tentu prosesnya panjang. yah, yg terkuatlah yg bisa bertahan. proses apapun selama kita tahu tempat berdiri dan tahu benar apa yg akan kita tuju, pasti tidak akan terlalu sulit untuk dilewati. yah, menjadi carep itu kadang emang ngenes, hehehe... tapi saat menjalaninya penuh passion, i think that's so much fun!!
lagian,, semua sebenarnya sama, dari mulai pemred-redpel-redaktur-reporter-carep... sekrup-sekrup kecil di sebuah mesin yg kita sebut kapitalisme. so, nothing really matters

Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger