Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Sabtu, 26 Februari 2011

"Jalan Berliku Menjadi Tuan Di Negeri Sendiri"


****

Menilik Proses Divestasi Saham Newmont 

****
Mewakili pemerintah pusat, Menteri Keuangan Agus Martowardojo kembali menyatakan minat membeli 7 persen saham Newmont Nusa Tenggara (NNT) jatah 2010. Sesuai kontrak karya, sampai Maret 2011, kepemilikan asing di NNT tidak boleh lebih dari 49 persen saham. Sisanya harus jadi milik pemerintah Indonesia. Sehingga, mulai 2011, mestinya pemerintah sudah bisa menguasai tambang emas raksasa di Indonesia itu. 

Nyatanya, hingga kini pemerintah pusat belum kebagian secuil pun saham NNT. Pemerintah pusat kerap menyatakan minat, tapi nihil eksekusi. Bagaimana nasib divestasi 7 persen saham 2010? Siapa yang berpeluang besar mengeksekusinya?

****
Libur di akhir pekan adalah momen sangat langka buat Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Sebagai pejabat penting negara, tak jarang, di saat yang lain libur, dia harus berjibaku menjalankan tugas. Sabtu, 18 Desember 2010 lalu, misalnya. Agus harus pontang-panting meneken dan mengirim surat. Di hari libur itu, ia mengirim surat itu ke sejumlah pihak, seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan manajemen PT Newmont Nusa Tenggara (NNT).

Ini bukan sembarang surat, sebab menyangkut kepentingan negara. Isi surat adalah pernyataan pemerintah pusat berminat membeli 7 persen saham NNT jatah divestasi tahun 2010.

Agus harus merelakan akhir pekan menjelang pergantian tahun untuk bekerja. Maklum, tanggal 18 Desember 2010 adalah tenggat akhir pemerintah harus menyerahkan surat pernyataan minat atau tidak membeli 7 persen saham NNT. Itu sesuai kesepakatan 18 November 2010 antara NNT dan pemerintah.

Selain deadline pernyataan minat, isi kesepakatan lainnya adalah, harga penjualan 7 persen saham NNT ini US$ 271,95 juta. Jumlah itu sekitar Rp 2,45 triliun pada kurs Rp 9.000 per US$. Acuannya, nilai total aset NNT US$ 3,885 miliar. Batas akhir pernyataan minat pembelian adalah 30 hari setelah pertemuan 18 November 2010 itu. Jika Menteri Keuangan tak juga mengirim surat minat memnbeli 7 persen saham NNT jatah 2010 hingga tenggat akhir 18 Desember 2010, maka pemerintah pusat dianggap tidak berminat mengeksekusi saham 7 persen saham NNT. Walhasil, Agus harus merelakan liburan akhir pekannya untuk mengurus persoalan administrasi divestasi saham NNT itu.

Sesuai dengan perjanjian kontrak karya (KK) pertambangan yang ditandatangani Newmont dan pemerintah pada 2 Desember 1986, perusahaan emas raksasa asal Amerika Serikat itu wajib mendivestasikan 51 persen sahamnya kepada pemerintah Indonesia, atau perusahaan nasional sampai 2010. Keharusan divestasi 51 persen saham itu kemudian diperkuat oleh keputusan arbitrase internasional, 31 Maret 2009.

Namun, meski diwajibkan mendivestasi 51 persen saham, sejatinya NNT tinggal melepas 31 persen saham mereka. Sebab, 20 persen saham sisanya sudah dimiliki PT Pukuafu Indah, milik pengusaha lokal Jusuf Merukh. Wakil swasta nasional ini dianggap sudah mewakili Indonesia.

Divestasi 31 persen saham NNT itu dilakukan bertahap selama periode 2006-2010. Sehingga, mulai 2011, asing hanya menguasai 49 persen saham saja di NNT. Proses divestasi tahap pertama, NNT wajib melepas 3 persen yang ditawarkan Maret 2006. Selanjutnya, 7 persen pada Maret 2007, 7 persen pada Maret 2008, 7 persen pada Maret 2009, dan 7 persen Maret 2010. Nah, jatah 7 persen yang mulai ditawarkan pada Maret 2010 itu paling telat harus dieksekusi Maret 2011.

Menteri Agus menyatakan, pemerintah tertarik membeli 7 persen saham itu lantaran saham sektor pertambangan menguntungkan bagi pemerintah Indonesia. Apalagi, NNT memiliki lima kawasan pertambangan yang masih dalam taraf pengolahan awal. Artinya, NNT memiliki potensi yang bagus ke depan. "Keuntungan industri ekstraktif itu bagus, dan komoditas tambang itu harganya lagi tinggi," kata Agus, kepada wartawan, Senin, 20 Desember 2010 silam.

Bisa jadi, Agus Martowardojo terlalu pede. Sebab, ternyata rencana pembelian 7 persen saham NNT itu belum bulat benar. Soal siapa yang akan mewakili pemerintah pusat mengeksekusi 7 persen saham itu, juga belum betul-betul jelas. Sementara ini, menurut Agus, pemerintah pusat kemungkinan akan menunjuk Pusat Investasi Pemerintah (PIP).

"Pak Menteri (Keuangan) memang mengatakan kepada kami untuk mempersiapkan diri mengambil yang 7 persen itu. Tapi, perintah yang disampaikan itu masih lisan, belum tertulis," kata Kepala PIP Soritaon Siregar saat konferensi pers, Selasa, 29 Desember 2010 lalu. Soritaon mengaku sudah menyiapkan dana, diambil dari kas PIP. Saat ini, PIP punya kas Rp 4 triliun.

Jika jadi mengakuisisi 7 persen saham NNT senilai Rp 2,45 triliun pada awal 2011, maka sisa kas PIP tinggal Rp 1,55 triliun. Padahal, PIP dirancang sebagai pusat investasi bagi pemerintah di segala sektor. Duit sisa Rp 1,55 triliun tidaklah seberapa jika menilik kebutuhan investasi pemerintah. Walhasil, terasa berat jika PIP yang nantinya mengeksekusi saham NNT tersebut.

Karenanya, santer beredar kabar bahwa pemerintah akan kembali menunjuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mewakili pemerintah pusat. Dua BUMN yang santer disebut adalah PT Aneka Tambang Tbk (Antam) dan PT Timah Tbk.

Tak salah memang jika dua BUMN ini disebut-sebut. Pada divestasi saham NNT tahun-tahun sebelumnya, mereka ditunjuk untuk mewakili pemerintah pusat. Pada divestasi 14 persen saham NNT jatah 2008 dan 2009 lalu, misalnya, pemerintah menunjuk Antam. Namun, Antam menolak lantaran tidak bisa menjadi mayoritas di NNT.

Walhasil, saham jatah 2008 dan 2009 jatuh ke PT Multi Daerah Bersaing (MDB). Ini menambah pundi-pundi saham MDB di NNT. Sejak 2006, selalu MDB yang mengeruk jatah divestasi saham NNT. Itu setelah pemerintah pusat mengaku tak punya dana untuk mengeksekusi pelepasan saham NNT itu. Karenanya, kini MDB mampu menguasai 24 persen saham NNT. Keuangan MDB ditopang oleh mitra swasta mereka: PT Multicapital, anak usaha Bumi Resources, milik kelompok Bakrie.

MDB merupakan perusahaan patungan PT Daerah Maju Bersama (DMB) dengan PT  Multicapital. Sementara DMB merupakan BUMD milik tiga pemda, yakni Pemda Sumbawa, Pemda Sumbawa Barat, dan Pemprov Nusa Tenggara Barat (NTB).

Di luar Multi Daerah Bersaing, saat ini asing masih menguasai 56 persen saham di NNT. Asing menguasai NNT melalui Nusa Tenggara Partnership, yang 55 persen sahamnya dimiliki Newmont Indonesia Ltd, dan 45 persen dimiliki Nusa Tenggara Mining Corp. dan Sumitomo. Sementara sisa 20 persen saham NNT dikempit PT Pukuafu Indah. Karenanya, asing harus melepas 7 persen saham lagi agar kepemilikan mereka di NNT di bawah 50 persen. Divestasi 7 persen saham itu maksimal harus dieksekusi Maret 2011.

Lantas, apakah Antam kembali bersedia jika pemerintah menunjuk mereka mengakuisisi 7 persen saham divestasi jatah 2010? Kepada wartawan, Budi Satriyo, Corporate Secretary PT Antam, menjawab tegas. “Kami tidak berminat,” katanya, Selasa, 27 Desember 2010 lalu.

Budi beralasan, Antam masih fokus kepada proyek-proyek mereka sendiri. Selain itu, Budi berpendapat, saham NNT kurang strategis. Hingga akhir Desember, menurut Budi, pemerintah pusat memang belum resmi menunjuk Antam. “Tapi, kalaupun ditunjuk, kami tetap tidak mau,” tandasnya.

Budi agaknya merasa trauma dengan proses divestasi masing-masing 7 persen saham NNT jatah 2008 dan 2009 lalu. Ketika itu, pemerintah sudah resmi menunjuk Antam sebagai pemimpin konsorsium pembelian 14 persen NNT saham senilai US$ 493 juta itu.

Kala itu, Antam direncanakan menggandeng tiga pemerintah daerah di NTB yang tergabung di PT Daerah Maju Bersama, karena lokasi tambang Batu Hijau berada di wilayah tersebut. Antam dan Pemda NTB merupakan wakil pemerintah pusat dalam program divestasi tersebut. Konsorsium itu terbuka bila perusahaan lain hendak bergabung. Bahkan, PT Tambang Batubara Bukit Asam ketika itu sudah menyatakan minatnya.
Namun, proses divestasi saham 2008 dan 2009 tersebut begitu berlarut-larut. Ini karena terlalu banyak pihak yang membidik saham tersebut. Di luar Antam dan konsorsium, PT Pukuafu yang merupakan pemegang saham 20 persen saham NNT, juga membidiknya.

Hingga akhir kuartal pertama 2010, divestasi 14 persen saham jatah 2008 dan 2009 tersebut juga belum ketahuan siapa pemenangnya. Salah satu faktor berlarut-larutnya divestasi saham 2008-2009, akibat tak jelasnya penentuan siapa pihak nasional yang berhak ikut dalam program divestasi serta dari mana sumber dana.

Di tubuh pemerintah terjadi perpecahan ketika harus menentukan siapa yang layak menjadi mitra Pemda NTB. Menteri Keuangan (ketika itu) Sri Mulyani, lebih menghendaki Pusat Investasi Pemerintah (PIP) yang menjadi mitra di luar Antam.

Celakanya, tiga pemda NTB yang paling berhak mendapat jatah investasi sama sekali tidak memiliki dana, sehingga harus menggandeng mitra sebagai pemodal. Akhirnya, muncullah Multicapital. Melalui serangkaian perundingan yang alot, Antam kemudian terdepak. Walhasil, jatah 14 persen saham kembali ke pangkuan Pemda NTB dan kelompok Bakrie.

“Pada divestasi 2008 dan 2009 kami mundur karena tidak sesuai dengan keinginan kami. Kami ingin memperoleh yang lebih besar, tapi apalah daya. Buat apa kalau tidak menguntungkan,” papar Budi, kepada wartawan. Itu sebabnya, jika pemerintah kembali menunjuk Antam untuk mengeksekusi 7 persen saham NNT jatah 2010, tandas Budi, Antam akan tetap menolaknya.

Merasa mendapat angin dengan menguasai 24 persen saham NNT sejak 2006-2009, Pemda NTB, MDB, dan Bakrie, kini juga bernafsu kembali mengambil 7 persen saham jatah divestasi 2010. "Kami mau 7% saham NNT agar daerah lebih maju," tutur Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Lalu Sujirman, kepada media, Selasa, 28 Desember 2010, lalu.

Pemprov NTB pun telah mengirim surat ke pemerintah pusat mengenai ketertarikannya membeli saham perusahaan tambang emas ini. Meski hingga akhir Desember 2010 belum juga dapat tanggapan dari pemerintah pusat. Menurut Sujirman, dana pembelian saham itu jelas bukan berasal dari APBD. "Kami menggandeng swasta melalui beauty contest," ujar dia.

Siapa swasta yang dimaksud Lalu? Dia enggan menjelaskannya. Tapi, jawaban lebih gamblang datang dari Heriyadi Rachmat. Komisaris PT Multi Daerah Bersaing itu menyatakan, dana akuisisi 7 persen jatah 2010 itu sudah mereka siapkan. “Dananya tentu saja dari mitra-mitra yang digandeng pemerintah daerah,” kata Heriyadi, kepada pers. Satu-satunya swasta yang bergabung dalam PT Multi Daerah Bersaing adalah Multicapital.

Dileep Srivastava, Juru Bicara Bumi Resources, induk Multicapital, tidak menampik jika mereka juga membidik 7 persen saham NNT jatah 2010. “Bagaimana mungkin kami tidak tertarik dengan saham Newmont? Tapi karena kami joint venture, maka kami akan ikuti prosesnya sesuai aturan,” kata Dileep, kepada wartawan.

Lalu dan Heriyadi yakin jika PT Multi Daerah Bersaing kembali membeli 7 persen divestasi NNT jatah 2010, pemerintah daerah akan semakin banyak mendapat keuntungan. Sejak menguasai 24 persen, menurut Lalu, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Pemda Sumbawa, Pemda Sumbawa Barat, sudah mendapat deviden lumayan besar. “Dari tidak punya sama sekali, kini dapat deviden hampir mendekati deviden Rp 200 miliar. Itu ditambah dengan royalti hampir Rp 50 miliar. Jadi, angka ini sangat berarti buat kami di daerah,” kata Lalu.

Pukuafu Indah, pemegang saham NNT lainnya, juga tetap bernafsu menguasai NNT. Bahkan, Pukuafu menganggap divestasi 31 persen saham NNT sepenuhnya menjadi hak mereka. Tapi, Pukuafu menganggap status 31 persen saham yang dijual kepada mereka, di luar yang dijual kepada pemerintah, termasuk MDB.
Alexander Yopi Susanto, Juru Bicara Pukuafu menegaskan, Pukuafu tetap berpegang pada kesepakatan yang dibuat dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) NNT pada 15 November 2005 dan 21 Mei 2007.

Dalam RUPS itu, dua pemegang saham NNT yang tergabung dalam Nusa Tenggara Partnership, yaitu Newmont Indonesia Limited (NIL) dan Nusa Tenggara Mining Corporation (NTMC), sepakat menjual 31% saham divestasi NNT ke Pukuafu. Kami tetap berpegang teguh pada keputusan RUPS itu. Itu sudah menjadi bagian dari kami,” kata Yopi, kepada wartawan.

Pukuafu merasa berhak, pada awal Desember lalu Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan, NIL dan NTMC harus menyerahkan 31% saham divestasi NNT ke PT Pukuafu Indah. Memang, NIL kemudian mengajukan banding atas putusan PN Jakarta Selatan itu, sehingga masih ada kemungkinan keputusan pengadilan berubah.

Tapi, apapun hasil di pengadilan, Yopi tidak mempersoalkan penjualan 31 persen saham NNT yang sudah terjadi, termasuk 24 persen kepada MDB. “Kami menganggap penjualan 31% saham NNT itu sebagai transaksi jual beli saham biasa. Itu bukan saham divestasi yang menjadi hak Pukuafu,” ujar Yopi. Karenanya, status 31 persen saham NNT yang disengketakan itu di luar 31 persen saham yang dijual kepada pemerintah.

Saham Newmont memang pantas menjadi rebutan banyak pihak. Maklum, cadangan emas di area tambang Batu Hijau milik NNT terbesar di Indonesia. Dibanding dengan cadangan emas Gunung Grassberg, Papua milik Freeport McMoran yang mencapai 76 juta ounce, tambang Batu Hijau milik NNT memiliki kandungan 6,9 miliar ounce emas. Cadangan ini diperkirakan bisa bertahan hingga 2027.

Pendapatan Newmont Mining Corporation (NEM), operator tambang Batu Hijau milik NNT, juga terus menanjak. Sejak beroperasi Maret 2000, NEM sudah meraup ratusan triliun rupiah. Tengok saja, laba selama kuartal ketiga 2010 saja sudah mencapai US$ 2,6 miliar, atau sekitar Rp 23,4 triliun. Jumlah itu melonjak 30 persen ketimbang periode sama 2009 yang sebesar US$ 2 miliar. Adapun laba bersihnya mencapai US$ 537 juta atau sekitar Rp 4,8 triliun. Jumlah itu melonjak 38,4 persen ketimbang laba bersih periode sama 2009 sebesar US$ 388 juta.

Sementara total pajak dan royalti yang diberikan ke pemerintah sejak tahun 2000 sekitar Rp 18 triliun saja. Pada 2009 lalu, PT NNT membayar pajak dan royalti kepada pemerintah senilai Rp 3,9 triliun. Sementara dari sisi aset, sejak beroperasi Maret 2000, aset NNT kini sudah mencapai US$ 3,885 miliar. Potensi keuntungan NNT bakal terus membesar. Sebab, potensi cadangan emas dan tembaga di Batu Hijau diperkirakan bisa bertahan hingga 27 tahun mendatang. Jadi, sangat wajar jika banyak pihak membidik saham NNT. Bahkan, tak heran kisruh ini hingga berujung ke meja hijau (lihat: http://bungapadangilalang.blogspot.com/2011/02/jalan-panjang-menuju-divestasi.html ).

Pertanyaannya kemudian, apa yang sudah didapat pemerintah Indonesia dari melimpahnya kekayaan emas dan tembaga di Batu Hijau itu? Sejauh ini sangat tidak seimbang dengan kekayaan yang telah dikeruk Newmont. Lihat, misalnya, dana bagi hasil untuk pemerintah daerah cuma sekitar US$ 4 juta atau sekitar Rp 36 miliar per tahun. Dana itu memang belum menghitung deviden kepada Pemprov NTB, Pemda Sumbawa, dan Pemda Sumbawa Barat. Tapi, menilik jumlah deviden ketiga pemda itu yang cuma sekitar Rp 250 miliar, rasanya pembagian kue tambang emas Batu Hijau masih tetap banyak mengalir ke kantong asing.

Menurut Ketua Komite Penyelamat Kekayaan Negara Marwan Batubara, kalaupun divestasi 7 persen saham NNT sudah terlaksana sampai Maret 2011 nanti, pemerintah Indonesia tetaplah tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, kepemilikan saham oleh domestik, tercerai berai: Pukuafu Indah 20 persen dan PT Multi Daerah Bersaing 14 persen.

“Jadi kesempatan untuk nasionalisasi sudah terlewat. Saham 7% tidak ada gunanya. Mestinya pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertanggung jawab kenapa dia biarkan saham dikuasai asing dan diambil oleh Bakrie atas nama daerah. Bahkan, Bakrie sekarang sudah kerjasama dengan Inggris. Asing juga sudah punya saham di sana,” papar Marwan.

Kesimpulannya, menurut Marwan, sungguh tidak berkutik pemerintah Indonesia dalam kasus divestasi saham NNT ini. Kasus serupa, kata Marwan, juga terjadi di bisnis pertambangan lain. Misalnya, betapa tak berdayanya pemerintah SBY dalam mengutamakan kepentingan nasional di area pertambangan milik PT Freeport McMohan di Papua. “Dan yang lebih banyak lagi terjadi di perusahaan minyak seperti Chevron di Riau, Total Indonesie di Blok Mahakam, dan ExxonMobil di Cepu,” kata Marwan. Mestinya, kata Marwan, Presiden SBY segera melakukan koordinasi para pemilik saham lokal, agar keterwakilan pemerintah Indonesia di NNT bisa maksimal.

Menilik masih banyaknya pekerjaan rumah ini, menikmati libur akhir pekan, bagi Menteri Keuangan Agus Martowardojo rasanya masih jauh. ****

0 komentar:

Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger