Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Sabtu, 26 Februari 2011

"Seret di Minyak, Berpeluang di Gas"


***

Potret Migas dan Pertambangan 2011

***
Prospek indusri minyak dan gas (migas) sepanjang 2011 agaknya tidak akan secemerlang sektor pertambangan. Dari sisi produksi minyak, misalnya, tahun ini bakal sulit mencapai target. Namun, masih ada peluang dalam produksi gas selama tahun ini. Tapi, tantangan dan hambatannya juga tak sedikit.
***

Tantangan di sektor minyak dan gas (migas) serta pertambangan di tahun 2011 lumayan berat. Pemerintah harus bekerja keras agar semua target produksi migas dan tambang bisa tercapai. Kinclongnya sektor pertambangan di tahun ini, sepertinya tidak akan berbanding lurus dengan sektor migas. Jika banyak prediksi sektor pertambangan akan berpeluang besar meraup untung besar di tahun kelinci ini, sektor migas harus megap-megap.


Dari sisi produksi minyak, misalnya, akan sulit bagi pemerintah kembali mencapai target. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011, pemerintah mematok target lifting minyak sebanyak 970 ribu barel per hari (bph). Jumlah ini naik 5 ribu barel per hari dari target lifting minyak 2010 yang sebesar 965 ribu bph. Lifting adalah volume minyak yang bisa dijual dan diangkut dengan tanker ke pembeli, baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.

“Menilik pengalaman, selama ini sulit bagi pemerintah memenuhi target itu,” kata Dito Ganinduto, anggota Komisi VII DPR RI Bidang Energi, dalam seminar Outlook Energy and Mining 2011 di Jakarta, Rabu, 22 Desember 2010 lalu.

Dito memang tak sekadar bicara. Sepanjang tahun 2010 lalu, umpamanya, dari target lifting minyak di APBN sebanyak 965 ribu bph, tercapai hanya 957 ribu bph saja. Demikian pula dengan lifting minyak 2009. Dari target lifting minyak 2009 sebanyak 960 ribu bph, hanya tercapai 945 ribu bph.

“Ketidakmampuan di dalam peningkatan kapasitas produksi minyak bumi merupakan dampak penurunan cadangan terbukti minyak bumi dalam satu dekade terakhir,” kata Dito. Dalam 10 tahun terakhir, cadangan terbukti minyak bumi Indonesia mengalami penurunan dari 5,1 miliar barel di tahun 2000, menjadi 4,3 miliar barel pada tahun 2009, atau rata-rata menyusut 1,7 persen per tahun. Sedangkan tingkat produksi pada periode yang sama mengalami penurunan dari 1,45 juta barel per hari menjadi 0,95 juta barel per hari, atau menurun rata-rata 3,8 persen per tahun.

Bahkan, sejak tahun 2004, Indonesia sudah menjadi net oil importer. Selain akibat makin merosotnya cadangan minyak, itu lantaran kemampuan produksi dalam negeri tidak dapat mengimbangi pertumbuhan konsumsi. Pada tahun 2009, konsumsi minyak bumi mencapai 1,34 juta bph. Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan kemampuan produksi sebesar 0,95 juta bph. “Keterbatasan produksi telah mendorong peningkatan impor minyak mentah dalam lima tahun terakhir dari 322 ribu bph tahun 2005 menjadi 334 ribu bph tahun 2009,” kata Dito.

Fakta ini kian menegaskan tingkat produksi minyak bumi di Indonesia yang terus merosot. Masa puncak produksi yang pernah mencapai 1,68 juta bph pada tahun 1977 silam rasanya muskil tercapai lagi. Lihat saja, saban tahun, pemerintah selalu ngos-ngosan untuk memenuhi target lifting. Produksi minyak tertinggi setelah puncak tertinggi pada 1977 tersebut tercapai pada 1997 lalu, itupun mentok di level produksi 1,5 juta bph.
Data Kementerian ESDM mencatat, sejak produksi medio 1990-an itu, produksi minyak Indonesia memang terus menurun. Sekitar 70 persen dari sumur minyak berstatus brownfield alias uzur. Dan 90 persen di antaranya telah melewati puncak produksi dan kini produksinya terus turun 15 persen tiap tahun (lihat tabel Produksi Minyak Indonesia).

Produksi Minyak Indonesia (ribu barel per hari)
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
1.037
1.033
957
898
931
944
965*
970*
Kondisi Minyak Nasional (Barel)















Tahun
Produksi
Konsumsi
Ekspor
Impor



2009
337.260.837,00
297.602.721,00
117.212.847,00
118.638.275,50



2008
356.436.786,00
273.505.549,00
128.058.149,00
92.175.358,25



2007
348.314.945,00
321.302.814,00
127.134.792,00
111.067.245,00



2006
359.289.337,00
349.845.435,00
114.147.764,31
113.545.934,13



2005
385.708.779,00
357.493.997,00
156.766.006,00
120.159.324,81



2004
400.486.234,00
375.494.636,00
180.234.938,00
148.489.589,13



2003
415.814.157,00
373.190.759,00
211.195.794,52
129.761.738,00



2002
455.738.915,00
358.806.832,00
216.901.729,00
121.269.175,75



2001
489.849.297,00
375.668.315,00
239.947.960,00
118.361.896,69



2000
517.415.696,00
383.955.955,00
225.840.000,00
79.206.903,00

























* Target: di 2010 hanya tercapai 957.000 bph
Sumber: Kementerian ESDM
 
Tingkat produksi minyak bumi yang diperkirakan di bawah target pada 2011 akan menyebabkan defisit di APBN. Setiap penurunan produksi sebesar 10 ribu bph, berpotensi menyebabkan penurunan penerimaan negara sebesar Rp 3 triliun hingga Rp 3,34 triliun.

Padahal, selama ini prosentase penerimaan sektor migas cenderung menurun terhadap APBN. Memang, secara jumlah, total penerimaan migas dalam lima tahun terakhir meningkat. Angkanya, dari Rp 138,8 triliun pada 2005 menjadi Rp 202,8 triliun pada 2009. Namun, share-nya terhadap total penerimaan negara melorot dari 28,1 persen menjadi 22,3 persen pada periode yang sama.

Di luar itu, masih ada faktor lain penyebab target produksi minyak dan gas bumi tahun 2011 berpotensi tidak akan tercapai. “Antara lain karena penerapan asas cabotage, ketidakpastian perpanjangan sejumlah kontrak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan kerusakan peralatan (unplanned shutdown), serta intensitas perawatan fasilitas produksi yang makin tinggi,” papar Dito.

Asas cabotage adalah kewajiban muatan domestik diangkut kapal-kapal berbendera nasional. Ketentuan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 ini mulai berlaku 2011. Padahal, selama ini 70 persen angkutan minyak, terutama sumur-sumur minyak di lepas pantai, memakai jasa kapal asing. Itu lantaran kemampuan kapal domestik masih minim. “Akibat penerapan azas cabotage, diproyeksikan akan menyebabkan berkurangnya produksi minyak bumi sebesar 225 ribu bph,” kata Dito.

Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Evita Herawati Legowo mengakui hal tersebut. “Penerapan asas cabotage memang menjadi salah satu tantangan di tahun 2011,” katanya, dalam seminar yang sama. Kendala lain, menurut Evita, akibat keterbatasan peralatan pengeboran lainnya.

Karenanya, menurut Evita, kini pemerintah berupaya keras agar target produksi lifting minyak 2011 bisa tercapai. “Kami akan berupaya mengoptimalkan lapangan-lapangan eksisting untuk menahan laju penurunan produksi dengan melakukan workover, infill drilling, dan lain-lain,” kata Evita. Pemerintah mengaku akan berupaya mengoptimalkan penerapan teknologi perolehan minyak tahap lanjut (Enhanced Oil Recovery / EOR). Selain itu, juga dengan mengembangkan lapangan baru, termasuk put on production (POP) sumur temuan eksplorasi.

Tantangan terbesar di sektor produksi minyak, adalah keterbatasan stok minyak di Tanah Air. “Menurut survey US Geological Survey Oil & Gas Journal, diperkirakan cadangan migas beberapa negara, termasuk Indonesia, hanya akan berumur 10-15 tahun lagi, selebihnya ada beberapa negara yang mempunyai umur cadangan antara 50 sampai 100 tahun,” papar Direktur Utama PT Pertamina, Karen Agustiawan (lihat tabel Cadangan Minyak Dunia).

Cadangan Minyak Dunia
Negara
Umur Cadangan Minyak
Indonesia, Amerika Serikat, Kanada, Mesir, Australia, Ekuador, Inggris, Norwegia
10 – 15 tahun
China, Nigeria, Aljazair, Colombia, Oman, India, Qatar, Angola, Rumania, Yaman, Brunei Darussalam
15 – 50 tahun
Sejumlah  negara di kawasan Arab
50 – 100 tahun
Sumber: US Geological Survey Oil & Gas Journal (1995 – 2000)

Kondisi inilah yang sebetulnya mengharuskan pemerintah segera mengeksplorasi potensi sumber energi di luar minyak. Antara lain panas bumi (geothermal), batubara, biofuel, dan energi nuklir.

Potensi energi panas bumi Indonesia lumayan besar, mencapai sekitar 28.000 Megawatt (MW), dengan potensi sumber daya 13.440 MW dan cadangan 14.473 MW tersebar di 265 lokasi di seluruh Indonesia. Sayang, upaya eksplorasi panas bumi relatif lambat lantaran masih minimnya minat investor. Sementara sektor nuklir, pemerintah seperti maju mundur akibat masih kentalnya kontroversi. Pemerintah harus mampu membuat terobosan.

Langkah pemerintah membuat Visi Energi Terbarukan 2025” memang patut didukung. Dalam Visi ini, pada 15 tahun mendatang penggunaan energi terbarukan ditargetkan paling sedikit 25 persen dari total pemakaian energi. Visi ini jauh berbeda dengan kebijakan energi nasional yang diintrodusir pada tahun 2006. Isinya, penggunaan energi terbarukan pada tahun 2025 ditargetkan minimal 5 persen dari konsumsi energi. Kini, tinggal kita tunggu realisasi dan upaya pemerintah merealisasikan Visi Energi Terbarukan 2025 itu.

Meski demikian, di sektor minyak, peluang bukan tidak ada. Pemulihan ekonomi global pasca-krisis subprime mortgage tahun 2008 lalu, akan menyebabkan permintaan minyak menanjak di 2011. “Di luar itu, terjadi kecenderungan peningkatan konsumsi minyak yang diperkirakan akan mencapai 120-130 million barrels per day (MMBPD) pada tahun 2030, dibandingkan produksi dunia yang hanya 110 mmbpd,” kata Karen. Tinggal sekarang, bagaimana mencari cara untuk menggenjot produksi minyak di saat potensi cadangan minyak di dalam negeri yang mulai menipis.

Salah satu upaya Pertamina, adalah ekspansi ke luar negeri. Strateginya, menurut Karen, dengan memfokuskan pengembangan usaha hulu pada wilayah RIM-1 (Asia Tenggara dan Australia). Langkah lainnya, dengan men-take over lapangan-lapangan yang belum dikembangkan namun dekat dengan fasilitas produksi dan cluster asset, dan konsentrasi sumber daya manajemen untuk masuk ke aset-aset eksplorasi melalui joint bidding, joint study serta memanfaatkan 15% privilege interest.

Nah, jika di sektor minyak tantangannya begitu berat di tahun 2011, sektor gas relatif lebih berpeluang besar untuk berkembang. Apalagi, kebutuhan gas masih sangat jauh dari cukup. Berdasarkan Neraca Gas Nasional, pada tahun 2010 saja terdapat defisit gas mencapai sekitar 1 miliar kaki kubik per hari (SCFD) (contracted demand). Defisit terutama di Jawa (sebanyak 0,44 miliar SCFD, dan Sumatera sebesar 0,34 miliar SCFD, yang diakibatkan oleh kekurangan pasokan dan keterbatasan infrastruktur.

“Potensi defisit gas bumi (contracted demand) untuk keperluan di dalam negeri pada tahun 2011 diproyeksikan masih tetap tinggi, yaitu mencapai 0,6 miliar SCFD. Bahkan jika memperhitungkan potential demand, maka defisit gas bumi jauh lebih besar, diperkirakan mencapai 2,73 miliar SCFD (Neraca Gas Nasional 2010-2025),” papar Dito Ganinduto.

Menurut Dito, kebijakan wajib pasok dalam negeri alias Domestic Market Obligation (DMO) Gas Bumi mulai 2011 yang mewajibkan kontraktor migas (KKKS) menyerahkan 25 persen dari hasil produksi gas bumi bagian kontraktor, belum dapat menjamin pemenuhan kebutuhan gas di dalam negeri yang terus meningkat. Kewajiban DMO gas ini diatur Peraturan Menteri ESDM No. 3 Tahun 2010.

Dari sisi produksi gas, tahun 2011 kemungkinan lebih tinggi ketimbang sebelumnya. Dalam APBN 2011, pemerintah mematok lifting gas sebanyak 7,77 miliar SCFD. Jumlah itu hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan target lifting gas 2010 sebesar 7,76 miliar SCFD, dan realisasi tahun 2009 sebesar 7,95 miliar SCFD.

“Tapi target lifting gas pada 2011 diprediksi akan lebih tinggi dibandingkan yang ditargetkan di dalam APBN 2011, sebagaimana yang terjadi pada tahun 2009 dan 2010,” papar Dito. Peningkatan lifting produksi gas bumi tersebut ditunjang oleh peningkatan cadangan terbukti gas bumi dalam satu dekade terakhir.

Dalam satu dekade terakhir, penambahan cadangan terbukti gas bumi nasional meningkat rata-rata 1,5 persen per tahun. Jika di tahun 2000 masih 94,6 TCF, pada 2009 sudah mencapai 107,4 TCF. Sedangkan tingkat pertumbuhan produksinya hampir dua kali pertumbuhan cadangan terbuktinya, yaitu sebesar 2,8 persen per tahun atau meningkat dari 6,3 SCFD menjadi 7,9 miliar SCFD pada periode yang sama.

Meski sempat mencapai angka tertingginya dalam 10 tahun pada 2003, dan kemudian melandai, namun produksi gas dalam tiga tahun terakhir selalu melebihi target (lihat tabel Kondisi Gas Nasional).

Kondisi Gas Nasional (MMSCFD)

Tahun
Produksi
Pemanfaatan
2009
3.024.841.099,00
2.832.586.863,00
2008
2.891.929.375,00
2.790.988.091,24
2007
2.805.999.464,00
2.708.982.556,00
2006
2.947.048.632,00
2.825.760.987,00
2005
2.984.150.215,00
2.766.062.673,00
2004
3.029.904.958,00
2.888.863.199,00
2003
3.136.000.115,00
2.973.792.996,00
2002                 
2.993.121.530,00
2.823.492.031,00
2001
2.803.231.545,00
2.636.278.069,00
2000
2.895.578.543,00
2.722.779.865,00





MMSCFD: Juta kaki kubik per hari






Sumber: Kementerian ESDM

Saat ini, Indonesia merupakan produsen gas bumi terbesar kesepuluh di dunia dan terbesar kedua di Asia Pasifik. Namun demikian, pemanfaatan gas di dalam negeri belum optimal. “Sekitar 50% dari total produksi tersebut dialokasikan untuk ekspor, baik dalam gas alam cair (LNG) maupun gas bumi,” kata Dito. Share gas bumi di dalam energy (primer) mix nasional hanya sebesar 19% dari total konsumsi energi yang mencapai 1,1 miliar BOE. Jadi, masih ada harapan di sektor migas dan pertambangan Indonesia. Tinggal bagaimana kita mengolahnya. ***

0 komentar:

Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger