Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Minggu, 27 Februari 2011

"Ketika Pungguk Merindukan Bulan"


by: Danto
Tender Wilayah Kerja Migas 2011
****
Produksi minyak dan gas (migas) Indonesia terus melorot. Untuk menyiasatinya, pemerintah terus menggelar tender Wilayah Kerja (WK) Migas, kendati kerap tak laku. Banyak faktor kendalanya. Tahun ini, pemerintah akan menenderkan lagi 60 WK Migas. Targetnya, bisa laku lebih dari 30 WK. Tahun lalu, dari 43 WK Migas yang ditawarkan, cuma ada 21 peminat. Pemerintah harus mencari banyak cara agar produksi migas dan target lifting bisa tercapai. Bisakah? Apa saja cara efektif agar lelang WK Migas bisa laku?

****

Pemerintah seperti tak kenal lelah. Untuk menutup terus menurunnya produksi minyak dan gas (migas), pemerintah kembali akan menenderkan Wilayah Kerja (WK) Migas. Jika tidak ada aral, tahun ini pemerintah akan melelang 60 WK Migas di seluruh Indonesia.

Sebanyak 39 WK Migas melalui reguler tender, dan 11 WK Migas melalui penawaran langsung. Dan 10 WK sisanya untuk gas metana batubara atau coal bed methane (CBM),” kata Direktorat Jenderal (Dirjen) Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Evita Herawati Legowo.

“Langkah ini sebagai salah satu upaya menambah produksi migas Indonesia,” tutur Evita. Ibarat kerja mesin, produktivitas sektor minyak dan gas (migas) Indonesia memang makin lama kian uzur. Ini bisa terlihat dari terus melorotnya produksi dan lifting minyak dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 lalu, misalnya, dari target lifting minyak di APBN sebanyak 965 ribu barel per hari (bph), tercapai hanya 957 ribu bph saja. Demikian pula dengan lifting minyak 2009. Dari target lifting minyak 2009 sebanyak 960 ribu bph, hanya tercapai 945 ribu bph.

Tahun ini, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011, pemerintah mematok target lifting minyak sebanyak 970 ribu barel per hari (bph). Itupun banyak pihak meragukan target bakal kembali tercapai. Apalagi, stok minyak Indonesia kian menipis.

Dalam 10 tahun terakhir, cadangan terbukti minyak bumi Indonesia mengalami penurunan dari 5,1 miliar barel tahun 2000, menjadi 4,3 miliar barel tahun 2009 atau rata-rata 1,7% per tahun. Sedangkan tingkat produksi pada periode yang sama mengalami penurunan dari 1,45 juta barel per hari menjadi 0,95 juta barel per hari, atau menurun rata-rata 3,8 persen per tahun.

Bahkan, sejak tahun 2004, Indonesia sudah menjadi net oil importer. Selain akibat makin merosotnya cadangan minyak, itu lantaran kemampuan produksi dalam negeri tidak dapat mengimbangi pertumbuhan konsumsi. Pada tahun 2009, konsumsi minyak bumi mencapai 1,34 juta bph. Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan kemampuan produksi sebesar 0,95 juta bph. Keterbatasan produksi itu telah mendorong peningkatan impor minyak mentah dalam lima tahun terakhir dari 322 ribu bph tahun 2005 menjadi 334 ribu bph tahun 2009.

Fakta ini kian menegaskan tingkat produksi minyak bumi di Indonesia yang terus merosot. Masa puncak produksi yang pernah mencapai 1,68 juta bph pada tahun 1977 silam rasanya muskil tercapai lagi. Lihat saja, saban tahun, pemerintah selalu ngos-ngosan untuk memenuhi target lifting. Produksi minyak tertinggi setelah puncak tertinggi pada 1977 tersebut tercapai pada 1997 lalu, itupun mentok di level produksi 1,5 juta bph.

Data Kementerian ESDM mencatat, sejak produksi tertinggi medio 1990-an itu, produksi minyak Indonesia memang terus menurun. Sekitar 70 persen dari sumur minyak berstatus brownfield alias uzur. Dan 90 persen di antaranya telah melewati puncak produksi dan kini produksinya terus turun 15 persen tiap tahun (lihat tabel Produksi Minyak Indonesia).

Produksi Minyak Indonesia (ribu barel per hari)
2004    2005    2006    2007    2008    2009    2010
1.037   1.033   957      898      931      944      965*
* Target, tapi tercapai 957.000 bph

Inilah yang menjadi salah satu pendorong pemerintah tetap ngotot menender WK Migas. Evita tampak yakin tender WK Migas 2011 bakal banyak peminat. Di proyek CBM, misalnya. Di luar 10 WK CBM yang ditawarkan, Februari ini rencananya sudah akan diteken tiga kontrak WK CBM. Dua diantaranya akan dikelola oleh perusahaan nasional. Sedang sisanya merupakan perusahaan multi nasional.

Dua perusahaan nasional itu adalah PT Pertamina (Persero) dan BP Indonesia. Menurut Evita, Pertamina berhak mengelola dua blok CBM di Sumatera Selatan. Sedangkan BP mengelola satu blok di Kalimantan. Dua perusahaan tersebut, menggunakan aturan lama sehingga blok-blok itu tidak ditenderkan. ”Mereka sudah bekerja lama. Cuma prosesnya belum tuntas. Baru sekarang (selesai),” jelas Evita, menjawab pertanyaan wartawan usai menutup acara Indogas 2011, di Jakarta Hilton Convention Centre, Kamis, 17 Januari 2011 lalu.

Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh berharap lapangan CBM sudah ada yang menghasilkan. ”Ditargetkan pada tahun ini gas dari CBM sudah dapat digunakan untuk pembangkit listrik,” ujar Darwin, dalam sambutannya ketika membuka acara Indogas 2011.

Sekadar informasi, sejak 2007 hingga 2010, telah ditandatangani 23 WK CBM. Pemerintah menargetkan pada tahun ini dapat dilakukan penawaran 13 WK CBM dan penandatanganan 10 KKS CBM.

CBM adalah gas alam dengan dominan gas metana dan disertai sedikit hidrokarbon lainnya dan gas non-hidrokarbon dalam batubara hasil dari beberapa proses kimia dan fisika. CBM sama seperti gas alam conventional yang kita kenal saat ini, namun perbedaannya adalah CBM berasosiasi dengan batubara sebagai source rock dan reservoir-nya. Sedangkan gas alam yang kita kenal, walaupun sebagian ada yang bersumber dari batubara, diproduksikan dari reservoir pasir, gamping, maupun rekahan batuan beku. 

Hal lain yang membedakan keduanya adalah cara penambangannya di mana reservoir CBM harus direkayasa terlebih dahulu sebelum gasnya dapat diproduksikan. Cadangan gas metana batu bara (CBM) Indonesia mencapai 453,3 TCF.

Secara total, hingga akhir tahun lalu, ada 232 WK produksi dan eksplorasi Migas di Indonesia, termasuk CBM. Jumlah itu naik 14,2 persen jika dibandingkan dengan 2008 yang hanya sebanyak 203 blok.

Evita berharap keseluruhan tender WK Migas dan CBM tahun ini bakal lebih banyak peminatnya. “Makanya, kami menargetkan laku di atas 50% dari yang ditawarkan,” tutur Evita. Dengan kata lain, pemerintah mematok target bisa mendapat 30 peminat WK Migas baru. Tapi, bisakah?

Mari kita berhitung. Jika menilik pengalaman-pengalaman tahun sebelumnya, rasanya target Evita terlalu muluk. Pada tahun 2010 lalu, umpamanya, dari 43 WK Migas baru, plus 4 kontrak kerjasama (KKS) perpanjangan, dan 3 KKS CBM, atau total 50 WK yang ditawarkan, cuma laku di bawah 50 persen. “Yang ditandatangani hanya ada 21 KKS, dengan komitmen eksplorasi dan investasinya sebesar US$ 265,34 juta, plus bonus tanda tangan sebesar US$ 37,8 juta,” tutur Evita.

Tender WK Migas 2009 malah lebih miris lagi. Dari lelang 20 WK Migas pada Juni 2009, pemerintah terpaksa memperpanjang masa tender hingga akhir 2009 akibat tidak ada peminat. Hasil akhirnya, baru didapat akhir November 2009, dengan hanya mendapat tiga peminat WK Migas saja.

Jika tidak ada upaya progresif, bukan tidak mungkin tender WK Migas tahun 2011 juga seperti tahun-tahun sebelumnya. Sepinya peminat tender, menurut Evita, diakibatkan sejumlah hal.

Pertama, akibat minimnya data blok migas yang berpotensi. “Data yang ada saat ini kurang mencukupi untuk langkah lebih lanjut. Makanya, sebelum menawarkan lelang migas dan CBM itu, kita akan meningkatkan kajian ilmiah termasuk data geoscience. Tujuannya adalah, untuk menarik investor yang berminat mengikuti tender. Ini bukan soal mudah. Karena, dua tender migas yang diselenggarakan pemerintah tahun lalu ternyata sepi dari peminat,” papar Evita.

Evita yakin, setelah menyiapkan data blok migas yang akan ditawarkan, investor akan berminat. Memang, untuk mendapatkan data migas, tidak semudah membalik tangan. Sejak perencanaan, terjun ke lapangan, hingga pengumpulan data, butuh dana dan waktu tidak sedikit. 

Sejauh ini, anggaran pemerintah untuk pengumpulan data migas memang sangat minim. “Untuk tiga buah blok migas, anggarannya sekitar US$ US$ 14,75 juta (sekitar Rp 132 miliar), itu untuk penyediaan data seismik 3D saja. Sedangkan anggaran Kementerian ESDM malah terbatas, hanya miliaran rupiah,” kata Evita.

Kedua, menurut Kepala Kepala Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) R. Priyono, sepinya minat investor terhadap lelang WK Migas akibat investor masih memandang kondisi investasi di sektor hulu migas kurang kondusif. Penyebabnya, akibat tidak pastinya penghargaan terhadap kontrak yang sedang berlaku.

Ketiga, kata Priyono, akibat penurunan produksi alamiah migas yang hingga kini mencapai 7 persen hingga 12 persen per tahun. “Hal itu disebabkan karena sebagian besar lapangan produksi migas sudah berada dalam tahapan mature,” kata Priyono.

Keempat, tambah Priyono, akibat anggaran biaya eksplorasi yang sangat terbatas. Jika dalam kurun waktu 1995-1999 pengeluaran untuk eksplorasi rata-rata 10 persen dari total biaya, dalam kurun 2000- 2008 turun signifikan menjadi rata-rata 5 persen pada 2009. “Investasi eksplorasi juga masih rendah, beruntung realisasi pengeboran eksplorasi di tahun itu naik 7,1 persen dengan tingkat keberhasilan 46 persen,” tutur Priyono. Demikian pula dana perusahaan-perusahaan migas, perusahaan nasional saat ini tidak memiliki research and development yang canggih untuk migas. Walhasil, hasil data riset blok migas baru sangat minim.

Di luar empat hal itu, ada juga faktor eksternal yang kemungkinan besar berpengaruh besar pada minimnya minat investor terhadap lelang WK Migas, yakni kondisi makro ekonomi dunia. “Itu juga diakibatkan oleh ekonomi global, down term di Amerika Serikat sebagai pusat dari keuangan dunia. Orang investasi itu kan cuma return on investment, portfolionya di mana-mana tinggal dihitung, bagaimana kondisinya. Kalau semua sedang down, ya, down semua,” papar A. Edy Hermantoro, Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas, Kementerian ESDM.

Evita menambahkan, lesunya perekonomian global ini memang menyebabkan banyak investor asing memutuskan menunda pelaksanaan proyek, terutama di sektor migas. “Investor-investor asing banyak yang melakukan efisiensi biaya operasional ataupun investasi,” kata Evita.

Dari sisi pendanaan perbankan, juga masih sangat minim. Menurut Priyono, perbankan masih enggan membiayai sektor migas. Padahal, potensinya sangat besar dan relatif bebas dari krisis. “Saya pernah bicara dengan asosiasi perbankan. Saya ngomong proyek perusahaan minyak di Indonesia, seperti ExxonMobile US$ 4 miliar, di Makassar, senilai US$ 7 miliar, dan Blok Masela senilai US$ 17 miliar. Saya bersemangat memperlihatkan potensinya. Jawaban mereka (bank): "Pak Pri ngomong gede banget. Tahu enggak, sirkulasi semua perbankan di Jakarta hari ini cuma US$ 2 miliar," papar Priyono, menceritakan pengalamannya ketika bicara pendanaan sektor migas dengan perbankan.

Guru Besar Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (ITB) Surna Tjahja Djajadiningrat, menyatakan, banyaknya kendala teknis yang menyebabkan sepinya minat investor mengelola WK Migas, akan berdampak pada sulitnya mencapai target produksi dan lifting migas tahun ini. “Jika yang jadi masalah adalah kelengkapan data, kenapa tidak dari dulu dibenahi? Kan seharusnya sudah tahu kalau itu masalah sangat penting,” kata mantan Direktur Jenderal Pertambangan Umum Departemen Pertambangan dan Energi ini.

Surna menawarkan dua solusi untuk mempertahankan produksi migas, yaitu optimalisasi lapangan migas yang ada, dan eksplorasi blok baru. Hal itu terkait dengan banyaknya “lapangan tidur” dalam wilayah kerja asing yang dibiarkan karena dinilai tidak ekonomis lagi. “Untuk mengeksploitasi barang sisa itu, dibutuhkan teknologi yang lebih kompleks dan lebih berisiko. Perusahaan multinasional semacam ExxonMobil, BP Indonesia, atau Chevron biasanya tidak begitu tertarik, karena tidak menguntungkan. Padahal, kalau diproduksikan kembali, sumur-sumur itu mampu memproduksi minimal 50 ribu hingga 100 ribu bph,” tegas Surna.

Surna memperkirakan, banyak lapangan tua yang kandungan migasnya masih mencapai 35 persen dari total produksi blok tersebut di saat normal. Misalkan, blok migas Z mempunyai kandungan minyak mencapai satu juta barel, maka ketika ditambang, yang tersedot mungkin hanya sebesar 60 persen hingga 70 persen. Sisanya yang mengendap inilah yang bisa dioptimalkan.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menyarankan, pemerintah juga harus melelang WK Migas baru, bukan wilayah-wilayah lama yang sudah diketahui kurang diminati. “Calon investor mungkin sudah malas ikut lelang karena yang ditawarkan ya itu-itu saja, blok-blok migas yang lama,” katanya.

Di luar itu, aturan Migas masih belum banyak yang mendukung iklim investasi Migas. Meski saat ini pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010 tentang cost recovery, tambah Pri Agung, tapi hal itu tidak akan banyak membantu memperbaiki iklim investasi hulu migas. Pasalnya, PP cost recovery tersebut hanya bermanfaat sebagai pedoman bagi BP Migas untuk menjalankan tugasnya dalam pengendalian KKS. Dengan aturan baru tersebut, jelas dia, Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) migas tetap akan dikenakan pajak-pajak tidak langsung terlebih dahulu, termasuk pada masa eksplorasi yang kemudian dikembalikan melalui cost recovery.

“Meskipun PP ini sedikit berbeda dengan pengembalian melalui tax reimbursement atau tax deduction, tetapi secara arus kas tetap merupakan disinsentif bagi KKKS Migas, sehingga tidak membantu memperbaiki iklim investasi hulu migas,” tutur Pri Agung.

Selain itu, dia menambahkan, aturan yang sudah akan diberlakukan mulai 2011 itu juga dapat digunakan untuk menyamakan persepsi tentang biaya-biaya yang dapat atau tidak dapat dikembalikan antara BP Migas dan auditor-auditor pemerintah seperti BPK atau BPKP. “Itu saja yang ada dalam PP ini, tidak lebih,” kata Pri Agung.

Menurut Pri Agung, PP cost recovery tersebut juga makin menegaskan bahwa pendekatan birokratis memang lebih dikedepankan dalam menangani industri hulu migas. Namun, ketentuan yang tertuang dalam PP itu tidak menjamin cost recovery akan lebih efisien karena pengendalian hal-hal teknis dan operasional tetap tidak tersentuh.

Menilik masih banyak kendala dan pekerjaan rumah (PR) berat pemerintah, sepertinya target pemerintah melelang 60 WK Migas tahun ini plus target laku lebih dari 50 persen, ibarat Pungguk Merindukan Bulan. ****

0 komentar:

Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger