Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Kamis, 19 April 2012

"Gigi Otek"

“Ayah, Gigi Aulia udah otek”. Pesan singkat (SMS) itu mampir ke handphone saya saat makan siang awal April lalu. Spontan saya mengirim SMS balik: “Hahhh... Itu artinya Aulia sudah gede”. Tak lama berselang, Aulia kembali menjawab SMS: “Makasih Ayah”.

Aulia

Aulia kini sudah berusia 6 tahun 3 bulan. Juli depan, Aulia masuk Sekolah Dasar. Sungguh sangat tidak terasa. Aulia lahir di tengah keprihatinan keluarga saya. Ketika Aulia lahir, 3 Januari 2006, kami masih tinggal di rumah BTN. Letaknya di tengah sawah di pedalaman Tambun, Bekasi. Rumah di atas tanah 72 meter persegi itu hasil cicilan saya saat masih sendiri alias membujang. Tidak ada niat beli rumah di sana, tadinya. Seorang teman mengajak saya membeli rumah BTN tersebut. Tanpa survei dan panjang kalam, saya langsung mengiyakan. Seusai akad kredit, baru saya menengok rumah tersebut. Alamaaakkk.. jauhnya... Dari stasiun Tambun, jaraknya 7 kilometer ke pedalaman.

Awalnya, sungguh capek tinggal di sana. Jalan dari Stasiun Tambun belum diaspal. Di tiga kilometer terakhir, harus melewati sawah. Jika hujan, maka jalanan tidak terlihat. Ketika itu, saya hanya memiliki sepeda motor cicilan kantor. Yang membuat terkenang hingga kini, saya selalu pulang malam pulang kerja. Jarak kantor ke rumah sekitar 47 kilometer.

Sering saya terjebak hujan saat pulang kerja. Tak seorang pun orang melintas di jalan. Bermodal nekad, saya terobos jika hujan mendera. Dalam kesendirian di jalan. Pernah suatu kali, motor saya mogok, pas jam 12 malam. Hujan luar biasa deras. Tidak ada seorang pun lewat. Juga mati lampu. Lengkap sudah ujian itu. Setengah berdoa, dalam setengah aral, gerentes hati muncul mengadu kepada Yang Di Atas, “Perhatikan ya Tuhan, Saya rela begini demi si buah hati dan mamanya.”

Sebelum kami pindah ke rumah BTN pada pertengahan tahun 2005 itu, saya dan istri tinggal di sebuah kontrakan kecil di daaerah Pasar Minggu. Kami mulai mengontrak rumah di sana setelah nikah pada Januari 2005. Kami hanya bertahan tiga bulan di kontrakan dekat makam tersebut. Ada beberapa alasan yang menyebabkan kami memutuskan pindah ke rumah BTN di Tambun.

Pertama, letak rumah kontrakan itu tidak membuat nyaman lantaran berhadapan langsung dengan makam. Istri saya kerap merasa was-was jika saya bekerja, tanpa teman. Apalagi, dengan pekerjaan sebagai wartawan, hampir pasti saya pulang larut.

Kedua, penghasilan seorang juru warta di media ternama di Indonesia itu, tidak berbanding lurus antara nama besar media tersebut dengan penghasilan. Gaji saya sangat pas-pasan. Sementara tanggungan sudah lumayan banyak: bayar kontrakan plus listrik, biaya cicilan BTN, juga biaya kuliah adik pertama. Berat. Akhirnya, kami memutuskan pindah ke rumah BTN di Tambun itu. Awalnya berat. Sebab, jaraknya terasa sangat jauh. Namun, lama-lama jadi terbiasa.

Menempati rumah yang jauh dari peradaban, juga sebelumnya menghuni kontrakan tanpa kursi, tempat tidur dan perabotan rumah tangga yang lain, sekaligus menjadi ujian bagi istri saya. Dari yang terbiasa ada, kemudian menikah dengan saya yang serba tidak ada. Nyatanya, ujian lulus dan istri saya sepenuh hati mendampingi saya. Alhamdulillah.

Ketika kami pindah ke rumah Tambun itulah, tiga bulan setelah menikah, istri saya mulai mengandung Aulia. Sembari mengisi waktu luang, istri saya diminta mengajar Taman Kanak-Kanak di depan rumah kami. Akhir Desember 2005, saya ditugaskan liputan ke Manila, Filipina. Di awal Januari 2006, saya kembali ke Indonesia. Saat itulah, Aulia kecil lahir.

Kelahiran Aulia juga menjadi ujian bagi kami. Modal cekak, saudara jauh, dan lokasi rumah yang jauh, juga tidak ada bidan di perumahan saya, menyebabkan saya harus mencari bidan di perumahan terdekat. Jaraknya sekitar dua kilometer. Jam 3 dini hari saya mencari dan membangunkan bidan.

Lantaran ketuban pecah, kelahiran Aulia harus dilakukan melalui operasi caesar. Syukurlah, setelah dua hari terbaring di rumah sakit terdekat, Aulia akhirnya bisa lahir melalui operasi. Ada beberapa tetangga yang turut menunggui kami di rumah sakit.

Awalnya kami gugup mendapat kelahiran bayi. Syukurlah, saya dan istri yang terbiasa susah dan sederhana, bisa melakukannya secara otodidak. Kami rawat dengan seadanya. Meski penghasilan pas-pasan, kami mencoba mencarikan pengasuh bayi. Hingga umur tiga tahun, Aulia didampingi baby sitter.

Saat Aulia umur setahun, saya pindah kerja ke media cetak berbeda. Jika ada yang mengatakan, anak adalah pembawa berkah, saya yakin akan hal itu. Kepindahan kerja ke tempat baru, turut mendorong penghasilan saya, Alhamdulillah meningkat.

Aulia mulai lepas dari baby sitter setelah kerap meminta ikut mamanya mengajar TK. Sejak itulah, Aulia sudah mulai belajar mewarnai, mengenal huruf, dan menulis. Pada umur empat tahun, Aulia sudah mampu membaca dan menulis huruf. Memasuki usia lima tahun, Aulia sudah pintar bermain game di laptop, menulis SMS di handphone. Meski statusnya masih tetap anak TK dasar.

Berkah Aulia, berkah pekerjaan baru. Pada 2008, kami membeli rumah baru. Lokasinya di depan jalan raya Daendels atau di Jalan Raya Bekasi. Namun, baru setahun kemudian, kami menempati rumah baru itu. Empat hari sebelum pergantian tahun 2010, kami boyongan ke rumah baru. Banyak tetangga di perumahan lama yang turut mengantar. Alhamdulillah, ini berkah bagi kami.

Di rumah inilah kami mulai menikmati keberkahan rezeki dari Yang Kuasa. Sungguh besar Karunia Allah kepada kami. Dari sisi ekonomi, kami kini jauh lebih baik ketimbang sebelumnya. Saya sering mengajari Aulia, meski mungkin belum terlalu mengerti, sederhana dan bersyukurlah, niscaya Allah akan senantiasa memberkahi hidup kita. Terdengar klise, barangkali, tapi demikianlah adanya.

Belakangan, Aulia sering menegur saya jika saya kadang tampak mengeluh saat terjadi sesuatu. Misalnya, kendaraan saya sedang dalam perbaikan. “Ayah nggak bersyukur, ya?” katanya. Tentu saja saya hanya nyengir. Kadang, saya merasakan Aulia terlalu dewasa untuk ukuran anak seumuran 6 tahun. Barangkali karena didikan mamanya yang lumayan disiplin. Kendati tentu saja kemanjaannya tetap sering muncul. Misalnya, setiap pagi dia selalu minta saya untuk mengusapkan minyak kayu putih dan bedak, kemudian meminta saya memakaikan baju seragam TK.

Istri saya tetap mengajar di TK depan perumahan lama. Sementara Aulia sekolah di TK yang searah dengan jalan menuju perumahan lama saya. Setiap saya pulang kantor, selalu saja Aulia menyambut dan berlari menjemput ke gerbang. Kemudian minta digendong. Sering juga dia meminta naik di pundak, layaknya mengelu-elukan sang juara tinju di tengah ring. Sungguh kebahagiaan tiada tara.

Walaupun sering tampak lebih dewasa dari seusianya, Aulia adalah anak pencemburu. Dia kerap tak mengizinkan saya dan istri untuk selalu berdekatan. Hehehe... Mungkin dia ingin saya dan istri selalu memperhatikan dan menimang dia. Atau dia cemburu dengan kedekatan dan kemesraan ayah dan mamanya.. Hehehe...

Jika tidur pun, Aulia selalu minta di tengah di antara kami. Dia akan marah besar bila dia terjaga, dia ada di pinggir tempat tidur. Ketika menjelang usia enam tahun, kami menyarankan Aulia menempati kamar depan rumah kami. Selama ini, kamar itu kosong, khusus buat tamu atau saudara yang mengindap di rumah kami. Dia baru mau pisah tempat tidur, ketika adik perempuan saya mulai tinggal di rumah saya.

Namun, itupun setiap pagi bangun tidur, selalu langsung mengecek ke kamar kami, apakah saya dan istri tidur berdekatan? Suara geretan pintu, kerap menjadi pertanda bagi kami. Jika pintu kamar depan berderit, maka Aulia ke luar kamarnya dan menuju kamar kami. Biasanya, saya dan istri mencoba tidur berjauhan. Aulia memang tidak masuk ke kamar. Dia hanya mengintip di balik jendela kaca kamar belakang kami, seperti ingin memastikan posisi tidur ayah dan mamanya. Kami pura-pura tertidur. Setelah Aulia pergi ke kamar depan kembali, barulah saya dan istri tersenyum menertawakan tingkah polah Aulia yang sungguh lucu dan menyegarkan hati kami.

Di balik tingkah polah inilah, Aulia tumbuh. Kadang kekhawatiran muncul, ketika Aulia lebih memilih terus menerus di rumah dengan melakukan aktivitas mewarnai, menulis, bermain game di laptop, atau bermain game di handphone. Istri saya khawatir, di usia dini, perilaku itu akan turut menyebabkan kondisi psikologis Aulia akan tumbuh menjadi egois, dan asosial. Mengajar di TK dan berijazah Sarjana Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), agaknya turut mendorong istri saya lebih memahami kondisi psikologis Aulia tinimbang saya.

Syukurlah, menurut pandangan kami, Aulia tumbuh normal, bahkan menonjol di banding seusianya. Sering, Aulia diminta guru-guru TK-nya, mewakili TK untuk berlomba matematika atau sejenisnya. Mudah-mudahan ini bibit-bibit baik buat ke depan.

Begitulah. Dari kesederhanaan dan segala keterbatasan, keberkahan –mudah-mudahn selalu- memayungi keluarga kecil kami. Tak jarang, jika saya di kantor, Aulia mengirim SMS duluan, hanya untuk sekedar menanyakan kabar, atau menanyakan apakah Ayah sudah makan, dan lain-lain.

Seperti siang hari di awal April itu, SMS Aulia mampir mengabarkan gigi depan bagian bawahnya otek. Saya tahu, dia sudah menunggu lama giginya otek. Sering dia mengadu kepada saya, “Ayah, gigi si Anu sudah otek”. Lain waktu, dia kembali mengabarkan, “Ayah, gigi si Anu juga otek”. Nampaknya, dia terobsesi untuk segera ganti gigi.

Maka, ketika mamanya memutuskan untuk mencabut gigi otek itu lantaran gigi barunya mulai tumbuh, Aulia kuat menahan sakit, meski darah keluar. “Aulia nggak menangis Ayah, hanya keluar sedikit air mata”. Hehehe.. Syukurlah.

Saya selalu membesarkan hatinya: “Itu tandanya Aulia sudah gede. Jadi, ngompolnya harus segera berhenti”. Hingga umur 6 tahun lebih saat ini, Aulia memang masih ngompol. Setiap menjelang tidur, dia selalu minta saya memasang pampers untuknya. Begitulah.

Sebentar lagi buah hati kami akan memasuki SD. Mudah-mudahan diberikan jalan terbaik, kesuksesan, keberkahan hidup, bahagia dunia akhirat. Amiinnn...


Kelak, jika kau sudah dewasa anakku, perhatikan nasihat Ayah yang dikutip dari nasihat Sunda Buhun yang dinyanyikan penyanyi asal Bandung Doel Sumbang. "Jampe-jampe harupat... Sing jauh tina maksiat Anaking, ngarah salamet dunya akherat. Susah senang omat sholat Anaking, beunghar kade poho zakat.


Pek dudunya satakerna, Lir ibarat hidep hirup di dunya, rek hirup saumur dunya. Jampe-jampe harupat. Prak ibadah sakatkerna, Lir ibarat hidep di dunya, rek cacap engke sareupna.

0 komentar:

Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger