Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Senin, 16 April 2012

"Emak Abah Mau ke Baitullah"

Nada gumbira terdengar renyah di telepon. Kali ini suara Emak tampak bersemangat. “Alhamdulillah semua proses administrasi pendaftaran haji tuntas, tinggal menunggu jadwal keberangkatan,” kata Emak, di ujung telepon.

Pembicaraan via udara ini terjadi di awal Februari lalu. Betapa bahagia mendengar Emak dan Abah akhirnya sudah terdaftarkan untuk berangkat haji ke Baitullah.

Ini niat saya sejak lama. Niat ingin menghajikan emak dan abah. Mereka bukanlah keturunan kiai, atau berpendidikan pesantren. Emak dan Abah adalah buruh tani, dengan beberapa petak sawah garapan. Sungguh tidak mungkin jika membiayai sendiri naik haji.

Emak hanya membuka warung jajan kecil-kecilan. Dia lakoni pekerjaan ini dengan sepenuh hati. Barang jajanan di warungnya hampir tak pernah bertambah. Jika tidak dikatakan hanya itu-itu saja: kerupuk, jajanan anak-anak, beberapa bungkus rokok, cemilan kecil, dan mirong. Mirong adalah masakan khas daerah kami. Terbuat dari tepung dan ikan asin yang digoreng. Rasanya renyah dan gurih. Ia bisa bertahan lama hingga seminggu, tetap enak dan aman. Ia menjadi teman lauk pauk kami sejak kecil. Juga teman lauk pauk bagi kalangan petani garapan di daerah kami.


Emak sudah berjualan warung kecil ini sejak 1980-an. Jadi, jika dihitung, warung kecil Emak sudah lebih dari 30 tahun. Dan tetap seperti itu. Warung kecil ini menjadi modal harian untuk membiayai anak-anaknya sekolah. Anak Emak dan Abah ada empat: Kakak, saya, adik laki-laki, dan si bungsu. Kecuali si bungsu, anak Emak dan Abah adalah laki-laki.

Ketika saya kecil, kerap saya dagang es bungkus dari warung Emak ke tengah sawah. Harga sebatang es bungkus ketika itu masih sekitar Rp 25. Kendati hasilnya tak banyak, menjajakan es ini melatih kami untuk mandiri dan bekerja keras. Kelak, ketika menjalani proses sekolah, tak jarang kami, anak-anak Emak dan Abah harus berupaya survival, membiayai diri sendiri agar tetap bisa hidup, di tengah himpitan ketiadaan biaya sekolah.

Ketiadaan banda, tidak menjadikan Emak dan Abah mengeluh. Mereka mendidik kami untuk hidup prihatin dan sederhana. Dari kakak, saya, hingga adik laki-laki saya, tak malu untuk bekerja kuli di sawah. Atau mencari kayu bakar untuk kemudian dijual. Yang penting halal dan berkah.
Meski bukan dari kalangan santri, sejak kecil Emak menanamkan untuk selalu bersedekah. Sebulan sekali, dari hasil lebih warung jajanan yang sederhana itu, biasanya Emak membagikan sebagian kecil duit receh kepada anak-anak. Juga beberapa orang tua jompo. “Berbagilah, agar hidup kita berkah,” kata Emak, kepada saya suatu saat.

Hasil warung sebetulnya jauh dari cukup untuk membiayai sekolah. Emak lebih banyak nombok ketimbang untung. Namun, Abah yang bertani, bisa memberi subsidi untuk menjalankan warung. Dari hasil jual sayuran, atau menjual padi pasca panen, bisa menambah darah warung kecil kami. Singkat kata, warung kecil kami hanya cukup untuk teman makan kami.

Selain bertani, Abah tidak punya keterampilan lain. Dulu, jika sawah tadah hujan kehilangan air, Abah menjadi kuli bangunan di Jakarta. Abah juga memelihara beberapa ekor kambing untuk tambahan tabungan keluarga. Maka, jika Abah menjadi tukang gali di Jakarta, sayalah yang harus mencari makanan rumput buat kambing-kambing kami. Itu dilakukan setelah pulang dari sekolah.

Sangat wajar, jika teman-teman kecil saya adalah anak-anak sesama pencari rumput kambing. Mereka kebanyakan tidak melanjutkan sekolah setelah lulus Sekolah Dasar (SD). Jadi, di antara mereka, sayalah yang paling tinggi pendidikannya. Saya menjalani pada masa SMP hingga SMA. Harap maklum bila tampang dan kulit saya, paling hitam sendiri di antara teman-teman sekolah.

Kekurangan turut menyebabkan saya harus tampil apa adanya. Ketika SMP, sangat jarang baju seragam saya disetrika. Emak tak punya setrika. Meminjam ke tetangga atau saudara, juga malu. Biasanya, Emak menaruh baju dan celana seragam saya di bawah lipatan kasur di akhir pekan. Di awal pekan, baju dan celana ala setrika kasur ini bisa dipake. Lumayan bisa sedikit menghaluskan kusut masai baju dekil itu.

Modal rajin belajar, yang menyebabkan saya, kakak, dan adik laki-laki saya bisa meneruskan studi ke jenjang lebih tinggi. Si bungsu, relatif tidak merasakan “kesengsaraan” kami menapaki jalan pendidikan.

Ketika lulus dari SMP, niat melanjutkan sekolah ke SMU di ibukota kecamatan begitu kuat. Padahal, ketiadaan biaya adalah fakta yang harus dihadapi. Menyiasati ini, saya harus berkali-kali menjadi kuli bangunan di Jakarta. Hasil uangnya lumayan. Bisa untuk membeli sepeda bekas, bekal ke sekolah di Ibu Kota kecamatan. Jaraknya sekitar 7 kilometer dari rumah.

Saat itu, Kakak sudah nekad kuliah di Jakarta. Sementara adik laki-laki saya, masih di SD. Si bungsu masih bayi. Ketabahan Emak dan Abah, turut mendorong dan memotivasi kami melakoni itu.

Syukurlah, keluarga sederhana kami dikaruniai niat belajar yang kuat. Dari Kakak, saya, adik laki-laki, dan si bungsu, lumayan mendapat prestasi di sekolah masing-masing. Saya, saat di SMU, hampir selalu ada tiga besar. Beberapa kali mendapat ranking 1. Atas dasar ini, saya dua kali mendapat beasiswa dari negara. Uangnya lumayan buat nambah-nambah biaya sekolah dan uang jajan.

Bagi saya, sebetulnya tidak ada orang pintar dan tidak ada orang bodoh. Jika dia rajin belajar, maka dia akan pandai. Jika ada ulangan atau tes semesteran, saya harus melakoni ritual belajar dua kali dalam semalam. Setelah maghrib, saya menghafal seluruh materi yang akan diujikan. Selesai kira-kira jam 10 malam. Istirahat. Di dini hari, jam 03.00 saya terbangun, untuk kemudian menajamkan hafalan bahan pelajaran. Hasilnya nyata. Rata-rata ulangan saya, hampir selalu mendapat yang terbaik.

Allah Maha Adil. Allah Maha Mengetahui. Allah Maha Penyayang.

Apa yang kita tanam, itu yang kita dapatkan. Demikianlah. Hidup prihatin, sederhana, pekerja keras, buahnya akan kita rasakan di kemudian hari. Kakak saya, lulus sarjana di perguruan tinggi negeri di Jakarta. Ia mengambil jurusan Bahasa Inggris. Kini, ia berstatus Wakil Kepala Sekolah di SMP Negeri di Ibukota Kecamatan.

Saya, hampir 10 tahun jadi juru warta. Saya bekerja di dua media utama di Indonesia. Kemudian beralih menjadi konsultan media. Menjadi top manajemen, sekaligus mendapat sebagian kecil saham perusahaan. Perusahaan kami bergerak di industri Public Relation (PR). Klien-klien kami, sebagian besar kerap menghiasi media-media nasional dan internasional. Alhamdulillah.

Adik laki-laki saya, kini sudah hampir tiga tahun menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Akhir Maret lalu baru saja menyunting istri, tetangga kami di kampung. Selepas nikah, adik saya menempati rumah barunya di Bekasi, tak jauh dari perumahan saya.

Si bungsu, sedang menjalani proses bimbingan belajar intensif menjelang Seleksi Nasional penerimaan mahasiswa baru. Ia tinggal bersama saya di Bekasi.

Setahun bergerak di industri Public Relation, dengan upaya kerja keras, perusahaan kami berhasil mencatatkan hasil yang lumayan. Salah satunya, saya mendaftarkan Emak dan Abah untuk naik haji. Kakak saya yang mengurus administrasi. Sebab, cuma dia anak Emak dan Abah yang kini tinggal se-daerah. Saya dan adik-adik, tinggal di Bekasi.

Ternyata, daftar antrian haji di daerah saya begitu panjang, mencapai 9 tahun. “Di daftar antrian, Emak dan Abah baru bisa berangkat pada tahun 2021,” kata Emak, sekali lagi di ujung telepon.

Lama nian. Tapi, satu sisi ini menunjukan tingkat ekonomi masyarakat petani daerah saya maju. Keberangkatan haji ke Tanah Suci Mekkah, bisa menjadi penanda tingkat ekonomi masyarakat makin meningkat. Maklum, butuh biaya lumayan besar untuk sampai ke Tanah Suci.

Tapi, tahun 2021 bukanlah harga mati. “Menilik umur Emak dan Abah yang sudah di atas 60 tahun, mungkin keberangkatannya bisa dimajukan,” kata Emak. Entah kapan. Yang pasti, Emak dan Abah merasa bersyukur akhirnya diberikan jalan untuk berangkat mengok ke Baitullah. Hal yang sebetulnya saya sendiri agak khawatir. Emak dan Abah bukanlah orang berpendidikan. Untuk berbicara menggunakan bahasa Indonesia saja, Emak dan Abah mbalelo alias kesulitan. Mereka sudah terbiasa berbicara bahasa Sunda pinggiran. Tapi, Allah Maha tahu. Yang penting, langkah awal sudah ada. Bismillah!!!

Tentu saja saya dan keluarga kecil kami sangat bersyukur. Kami mencapai kondisi saat ini. Sebagai tanda syukur itu, biar saya yang menanggung biaya Emak dan Abah ke Baitullah. Mudah-mudahan bisa menjadi keberkahan buat saya dan keluarga saya. Mudah-mudahan Allah menjauhkan saya dari ujub, riya, dan takabur. Amiin. Ini hanya sekedar motivasi buat yang lain.

Dari sisi duniawi, menurut saya pribadi, saya dan keluarga Emak dan Abah Alhamdulillah cukup. Kakak saya, hidup berkecukupan. Istri yang juga PNS, dua anak, rumah, dan kendaraan motor dan mobil, sepertinya cukup sudah. Saya, Alhamdulillah rumah dua meskipun sederhana, mobil, dan beberapa kendataan motor. Adik laki-laki saya, rumah dan dua sepeda motor. Si bungsu masih mencari pendidikan buat bekal dia kelak.

Apa yang kami tanam di masa lalu, turut berkontribusi mencapai kualitas hidup pada tahap ini. Hingga kini, Emak, juga Kakak, selalu mengingatkan kami sekeluarga, untuk tetap memperhatikan kaum kecil dan papa. Terutama nenek dan kakek jompo. Alhamdulillah, didikan sejak kecil untuk terus berbagi dan sederhana, membekas kepada kami. Sedekah dan zakat penghasilan, Insya Allah selalu kami jalankan. Kami percaya, sedekah adalah pintu pembuka rezeki Allah yang lebih besar dan lebih berkah.

Barangkali, hal ini pula yang menjadi jalan Emak dan Abah menuju Baitullah. Bismillah!!!

0 komentar:

Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger