Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Minggu, 07 November 2010

Cerita Dalam Sepotong Nama

Nama, bagi saya adalah persoalan sederhana, sekaligus ruwet. Pada nama, tersimpan sebuah identitas kultural, kelas, dan ego. Di negeri ini, nama juga adalah sebuah improvisasi dan harapan.

Pak Sukemi, menyematkan bayi Sukarno kecil dengan nama Kusno. Jika saja si bayi kecil ini tak sakit-sakitan, barangkali kita tidak pernah tahu ada manusia pemberani dengan nama besar: SUKARNO.

Pada suatu hari di tahun 1912 yang sendu, Kusno kecil terserang thypus hebat. Hampir 75 hari, bocah 11 tahun ini tidak bangun dari tidurnya, terbaring di bilah-bilah bambu yang reyot. Seluruh kerabat menyangka Kusno berada dalam tubir kematian. Di atas lantai semen yang lembab, bertikar alas pandan nan kusut, Sukemi menunggui Kusno di bawah bilah-bilah bambu itu.

Dan kita tahu, Sukemi kemudian menyematkan nama Soekarno mengganti Kusno, pada usia 14. Sukemi adalah pengagum legenda Mahabharata. Karna adalah tokoh pemberani di epik ini. Su, dalam bahasa Jawa, berarti baik. Dalam bahasa Jawa, “A” akan menjadi “O”. Dan Sukarno adalah nama improvisasi dari Kusno.

Pada nama, juga terkandung impian. Sukemi berharap, perubahan nama Kusno menjadi Sukarno menjadikan si bocah kecil ini tidak sakit-sakitan, dan bisa menjadi pemimpin bangsanya sebagaimana Karna dalam epos Mahabharata.

Di negeri ini, nama juga adalah sikap politik. Kita tahu, ada nama Njoto, Njono, dan juga Rewang dalam jajaran elit Politbiro Partai Komunis Indonesia (PKI). Njoto dan Njono memilih nama ini karena erat berhubungan dengan kelas rendah, kasta proletar di Jawa. Mereka tak mau memakai sebutan “Su”, misalnya. Alasannya sederhana saja: kata “Su”, kerap dipakai oleh priyayi Jawa.

Di negeri ini, terutama di Jawa, nama juga adalah sebuah kelas. Bangsawan Jawa tak segan menyebut sederet nama gelar di depan namanya. Ini untuk menambah wibawa, juga sebagai hiasan untuk menonjolkan pangkatnya. Dengan demikian, akan bertambah juga wibawanya.

Juru tulis sebuah kantor karesidenan, ujar Pramoedya Ananta Toer, akan menamakan dirinya dengan kata Sastra. Bisa Sastra Diwirya, yang berarti juru tulis yang tegas. Atau Sastra Disastra, yang berarti kepala juru tulis dari juru tulis. Priyayi pengairan suka memberi namanya dengan awalan Tirta. Maka Tirtanata akan berarti pejabat yang mengatur perairan.

Di negeri ini, teori kelas dalam nama memang begitu kental. Pada 5 November 2010 lalu, Kepala Adat Suku Talimba di Saumlaki, Maluku, tergopoh-gopoh menyematkan gelar tertinggi suku mereka kepada Wakil Presiden Boediono. Gelar yang sungguh capek bila diucapkan: Mel Ratan Ken Tnebar Barataman. Artinya: bangsawan tertinggi dan luhur serta orang dituakan yang datang dari barat.

Di Suku Bugis, ada nama Andi sebagai identitas kelas bangsawan. Di suku Makassar, ada gelar Daeng untuk menunjuk pribadi keturunan darah biru. Pada bangsawan Melayu, ada gelar Maharaja untuk gelar pemimpin laki-laki. Ada nama Maharani untuk gelar pemimpin putri.

Pada Rubrik Catatan Pinggir Majalah Tempo, edisi 5 September 2010, sastrawan Goenawan Mohammad menulis hikayat nama. Pelukis Djoko Pekik - seorang perupa Lekra yang datang dari sebuah desa Jawa Tengah yang miskin, tulis GM, sebutan Goenawan Mohammad, memberi nama anak dan cucunya dengan sebutan sehari-hari yang tak dipedulikan orang, mungkin bahkan disisihkan: Pakuril ("paku rel kereta api"), Lugut ("miang pada bambu"), Drejeg Lalang ("umbi alang-alang").

Sastrawan Bur Rasuanto lain lagi. Sadar posisinya sebagai sastrawan, untuk anaknya ia memodulasi nama dari bentuk-bentuk sastra: Legendariya dan Mitologenta.

Nama juga adalah sebuah penanda. Tetangga saya di kampung, menamakan anaknya dengan sebutan Dina Meilana. Panggilannya Mei. Arti sederhananya: Dina dalam bahasa jawa adalah hari. Mei adalah nama bulan, dan Lana adalah kependekan dari kelana, berkelana. Ketika Mei lahir, bapaknya sedang berkelana menjadi pendatang di Jakarta untuk sekedar menjadi buruh bangunan.

Teman saya yang lain, menamakan bayinya dengan sebutan Kliwon. Lahir hari Ahad Kliwon. Huruf K pada awal namanya adalah penanda dia lahir hari Ahad. Di kampung saya, hari lahir bayi bisa dicirikan dari huruf awal namanya. Kasdi, ia lahir hari minggu Legi. Huruf K menandakan hari Minggu, hari Legi dalam perhitungan Jawa bisa diwakili dengan total nama yang dia sandang. Legi, sama dengan Manis, terwakili dengan lima huruf. Jadi, hampir seluruh nama kelas rendah di Jawa yang feodal, akan punya nama singkat dan pendek.

Termasuk saya. Itu kenapa, saya hingga kini enggan masuk dalam kelompok Jawa. Bagi saya, suku Jawa adalah bangsa yang melanggengkan feodalisme. Secara geografis, tanah kelahiran saya masuk dalam area Jawa Tengah, salah satu sentra suku Jawa. Tapi, secara budaya, saya lebih memilih Jawa Barat: Pasundan. Pada bangsa Sunda, saya melihat ada egaliter, tak menonjolkan ke-Aku-an feodalisme.

Itu sebabnya, ketika membuat akun Facebook, saya memilih nama dengan nama belakang Tea. Ini berasal dari Bahasa Sunda. Ia adalah sebuah kata penunjuk seperti kata the dalam bahasa Inggirs. Tidak berarti apa-apa, dan tidak bermakna feodal. Juga tetap mencirikan nama saya yang berlatar feodal. Ini semata untuk menampung aspirasi sejumlah teman yang meminta saya membubuhkan nama belakang.

Belakangan, muncul niat melanggengkan nama ini, termasuk ke pengadilan negeri untuk di akta-kan. Satu alasannya, ada beberapa tulisan saya yang dikutip dengan nama plus Tea. Saya ingin berusaha konsisten. Dan, saya sudah tes untuk mempopulerkan nama itu di tempat kerja saya. Reaksinya macam-macam. Ada yang menganggap biasa, ada pula yang bertanya. Ada pula yang menganggap saya main-main. Dasarnya, karena terkadang saya becanda, lain waktu sangat serius.

Kalau sudah begini, rasanya kita layak menggugat ungkapan William Shakespeare dalam lakon Romeo and Juliet: What is the name? Apalah arti sebuah nama.

Sejak lakon romantis ini dipentaskan pada 1597, kata-kata itu terus direproduksi dalam berjuta-juta percakapan, juga pentas. Tiap kali orang kerepotan karena soal nama, maka meluncurlah kata sakti itu: nama bukan soal penting. Juliet Capulet dan Romeo Montague bisa saling mencintai, meskipun Capulet dan Montague lain bermusuhan.

What’s Montague? It is nor hand, nor foot,
Nor arm, nor face, nor any other part
Belonging to a man.

Lalu, apa pendapat sodara?

0 komentar:

Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger