Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Jumat, 07 Mei 2010

Sri Mulyani, Bank Dunia, SBY, dan Pasar

Keputusan Sri Mulyani bergabung dengan Bank Dunia setidaknya menjawab pertanyaan sejumlah pihak selama ini. Lepas dari kasus yang melilitnya di dalam negeri, perginya Sri Mulyani ke lembaga keuangan dunia itu menjadi pertanda baru bahwa ada hubungan erat antara Sri dengan Bank Dunia selama ini.

Saya tidak hendak menulis sisi politik yang tengah berkecamuk menghantam Sri Mulyani. Juga tak hendak mempersoalkan kepergian Sri Mulyani bergabung dengan Bank Dunia. Hak setiap orang untuk bekerja di mana pun. Yang hendak saya tulis adalah, korelasi antara kebijakan ekonomi di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika Sri Mulyani bergabung pada posisi-posisi kunci perekonomian, dengan kebijakan-kebijakan Bank Dunia selama ini.

Sudah sejak lama banyak pihak menuding Sri Mulyani sebagai antek Bank Dunia, juga Dana Moneter Internasional (IMF) yang menjalankan agenda-agenda neoliberalisme yang berorientasi kepada pasar. Tudingan ini muncul lantaran menganggap Sri Mulyani bersama dalam satu gerbong dengan ekonom-ekonom didikan Widjojo Nitisastro, semacam Emil Salim, M. Sadli, dan beberapa ekonom lain.

Ekonom-ekonom inilah yang banyak disebut sebagai Kelompok Mafia Berkeley. Pada mereka, banyak yang menuduh kebijakan ekonomi Indonesia yang menurut Undang-Undang Dasar 1945 disebut sebagai Ekonomi Kerakyatan, dibengkokkan menjadi berhaluan pasar.

Dalam “perdebatan” komentar di status facebook Farid Gaban (senior saya), sang empunya status berkomentar: “Visi Sri Mulyani jelas WB-minded, yang makin terkonfirmasi sekarang, pelaksana patuh blue-print ekonomi World Bank.”

Sejarah ekonomi Indonesia memang tidak lepas dari pengaruh Bank Dunia dan IMF. Sejak peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto pada 1967, orientasi kebijakan ekonomi Indonesia sangat pro kepada kedua lembaga keuangan dunia tersebut. Bahkan, hingga kini.

Bank Dunia lahir di kampung kecil: Bretton Woods. Di desa kecil di New Hampshire, Amerika Serikat, inilah jabang bayi lembaga keuangan dunia mbrojol. Atas prakarsa Amerika Serikat, pada 22 Juli 1944, ada 44 negara yang menghadiri konferensi paling penting pada abad ke-20: “The Bretton Woods Conference“.

Di konferensi inilah disepakati lahirnya triumvirat yang kelak banyak mempengaruhi kebijakan ekonomi dunia: Bank Dunia, Dana Moneter Internasonal (IMF), dan General Agreement in Tariffs and Trades (GATT) yang lahir kemudian pada 1947. GATT pada 1994 berubah nama menjadi World Trade Organization (WTO).

Bank Dunia, pada dasarnya adalah lembaga pemberi utang multilateral yang sesungguhnya terdiri atas empat lembaga keuangan yang saling berkaitan, yakni Bank Internasional untuk Rekonstruksi (IBRD), Asosiasi Pembangunan Intemasional (IDA), Korporasi Keuangan Internasional (IFC), dan Lembaga Penjamin Investasi Bilateral (MIGA). IBRD ini, yang lebih sering disebut sebagai Bank Dunia, tugas utamanya adalah memberi utang pada negara berkembang.

Awalnya, Bank Dunia mempunyai misi sebagai lembaga internasional yang membantu mengurangi kemiskinan dan membiayai investasi untuk pertumbuhan ekonomi. Namun, berbagai program Bank Dunia seperti 'Structural Adjustment Programme' kemudian melenceng dari misi utamanya 'sebagai lembaga demokratis maupun lembaga yang membantu mengurangi kemiskinan'.

Istilah Structural Adjustment Programme' kemudian dipopulerkan oleh ekonom Robert Fitzgerald dalam buku The State and Economic Development (1994). Disebut melenceng, karena kemudian kebijakan ini tidak lagi berorientasi pada pengentasan kemiskinan, melainkan sangat pro pasar.

Perubahan radikal kebijakan Bank Dunia dari banking on the poor ke orientasi pasar terjadi pada masa peralihan kekuasaan kursi tertinggi Bank Dunia dari Robert McNamara ke tangan Tom Claussen pada 1981. Tom, bekas Direktur Bank of America, lebih banyak menjalankan agenda-agenda perubahan yang lebih berorientasi pada pasar, hingga kini.

Sebagai pembanding, saya sedikit mengintip risalah buku karya Sebastian Mallaby, Wartawan Washington Post, berjudul The World’s Banker. Buku terbitan Council on Foreign Relations, Penguin Press, pada Oktober 2004 ini tampak berisi program-program mulia dari Bank Dunia. Misalnya, seperti membantu rekonstruksi Bosnia pasca perang, membantu mengatasi penyebaran penyakit AIDS, hingga membantu krisis di Asia pada 1997. Namun, tampak pula bahwa Mallaby seperti menjadi juru bicara Bank Dunia.

Kini, Presiden Bank Dunia dijabat oleh Robert B. Zoellick, mantan Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta dan juga bekas Kepala Perdagangan Amerika Serikat (USTR). Menilik latar belakangnya yang selama ini banyak memperjuangkan perdagangan bebas, termasuk pembicaraan-pembicaraan perdagangan bebas dengan Indonesia, saya agak pesimistis jika Zoellick benar-benar mengemban tugas “kemanusiaan” semata dari Bank Dunia.

Terlebih, yang menitahkan Zoellick ke Bank Dunia adalah (bekas) Presiden George Bush, Republikan yang konservatif itu. Hingga saat ini, sebagai share holders paling besar, Amerika Serkat memang memiliki hak istimewa untuk selalu menempatkan orangnya di Bank Dunia. Meskipun di era terkini, Presiden Barrack Obama menjanijkan akan mengubah tradisi tersebut. Benar tidaknya, kita lihat saja.

Adapun negara-negara berkembang, memiliki jatah satu hingga dua orang duduk sebagai Managing Director di Bank Dunia. Sebagai syaratnya, haruspernah menjadi menteri. Dan, di Indonesia Sri Mulyani lah yang paling layak menempati posisi itu. Selain memiliki profesionalitas, Sri juga sudah dekat secara emosional dengan lembaga tersebut.

Meski demikian, sebagai pemegang shareholders terbanyak, Amerika Serikat pasti memiliki agenda mengolkan semua tujuannya. Untuk ini, Sri Mulyani mau tidak mau harus ikut agenda itu.

Menilik ini, sangat dimungkinkan tetap saja Zoellick akan mengemban misi pasar ala Amerika, yang tidak jauh dari pinjam meminjam uang dalam skala raksasa.

Contoh paling dekat adalah, atas prakarsa Sri Mulyani, Bank Dunia mengabulkan pinjaman dari Pemerintah Indonesia sejumlah US$ 1,263 miliar yang akan cair dalam waktu dekat. Saat ini, utang Indonesia ke Bank Dunia yang dikonversikan sekitar Rp 243,7 triliun.

Apalagi, dalam sejarahnya, Bank Dunia memang fokus menalangi utang dan pinjaman, meski dalam akta pendiriannya menjalankan program pengentasan kemiskinan. Pada masa awal 1980-an, misalnya, betapa dominannya peran Bank Dunia ketika krisis gobal merebak di negara-negara berkembang, terutama di Amerika Latin. Pada masa ini pula paham kanan baru, atau biasa disebut dengan julukan Neo Liberalisme, berkembang.

Untuk menangulangi krisis inilah, Bank Dunia, bekerja sama dengan Departemen Keuangan Amerika Serikat dan IMF, meluncurkan paket ekonomi bernama paket kebijakan Konsensus Washington.

Bekas Direktur Bank Dunia Joseph Stiglitz, yang paham betul peristiwa itu, dalam buku terkenalnya Globalization and Its Discontens (2002, Penguin Books) menggambarkan ada empat hal penting dalam paket Konsensus Washington. Pertama, pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai bentuknya. Kedua, pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan. Ketiga, pelaksanaan liberalisasi sektor perdagangan. Keempat, pelaksanaan privatisasi BUMN.

Sejarah mencatat, penerapan paket-paket inilah yang kemudian membuat banyak negara berkembang terlilit utang, termasuk Indonesia. Bahkan, Meksiko ambruk pada 1982 akibat terlilit utang dan krisis.

Di luar itu, paket-paket Konsensus Washington ini pula yang menyebabkan berondongan paket-paket deregulasi yang sangat berorientasi pasar. Di Indonesia, pada dekade 1980-an itu sungguh menggurita paket-paket deregulasi. Dengan deregulasi, proses liberalisasi pasar pun mengalir deras.

Mulai 1983, bersama ekonom Widjojo Nitisastro cs, pemerintah Orde Baru secara beruntun menempuh langkah-langkah deregulasi. Ini terjadi hampir di semua sektor, baik moneter, perdagangan luar negeri, maupun industri. Pada Juni 1983, misalnya, pemerintah Orde Baru mulai menderegulasi sektor perbankan. Akibatnya, banyak bermunculan bank-bank baru.

Selanjutnya pada 1985, Soeharto kembali menerbitkan Inpres Nomor 4 tanggal 4 April 1985. Isinya cukup menggebrak, yakni mengalihkan sebagian peran Direktorat Jenderal Ditjen Bea dan Cukai kepada Societe Generale Surveilance (SGS), dan membebaskan arus perhubungan laut antar pulau.

Pada 1986, pemerintah Orde Baru kembali menerbitkan paket deregulasi yang dikenal dengan sebutan Paket 6 Mei. Isinya membebaskan sebagian produsen eksportir untuk mengimpor langsung kebutuhan impor mereka.

Di tahun yang sama, pada 25 Oktober 1986, pemerintah menerbitkan keputusan yang membebaskan sebagian barang impor dari pemberlakuan tata niaga (non-tarif barrier). Kemudian pada 1987, pemerintah kembali menerbitkan keputusan yang sejalan dengan keputusan tanggal 25 Oktober 1986.

Dan yang tidak akan kita lupa adalah Paket Oktober 1988, yang kemudian dikenal dengan sebutan Pakto '88. Paket terakhir ini makin mengukuhkan mainstream ekonomi Indonesia ke arah liberalisasi pasar. Bank-bank bermodal kecil kian menjamur.

Pelaksanaan lebih massif paket-paket Konsensus Washington menemukan momentumnya setelah Indonesia dilanda krisis moneter pada pertengahan 1997. Menyusul kemerosotan nilai rupiah, Pemerintah Indonesia kemudian secara resmi mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF, pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington melalui penanda-tanganan Letter Of Intent (LOI).

Salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, yang sekaligus memberi peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell, Total, dan Petronas. Begitu juga dengan kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya Indosat, Telkom, BNI, PT. Tambang Timah, dan Aneka Tambang.

Dan, yang paling penting adalah penerapan agenda-agenda Paket Konsensus Washington di masa pemerintahan Presiden SBY. Mari kita merunut ke awal SBY naik tahta yang praktis efektif pada awal 2005. Pemerintahan awal SBY dengan gerbong tim ekonominya, atas prakarsa Sri Mulyani, nyata-nyata mengadopsi isi paket Konsensus Washington.

Pengumuman penting itu terjadi di tahun pertama SBY berkuasa. Pada 30 Agustus 2005, SBY mengumumkan empat paket ekonomi. Pertama, di bidang energi, pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada Oktober 2005 dan mengurangi subsidi BBM secara bertahap. Kedua, di bidang moneter, pemerintah dan Bank Indonesia mengeluarkan sejumlah kebijakan, antara lain dengan kenaikan suku bunga dan kenaikan giro wajib minimum.

Ketiga, di bidang fiskal, pemerintah telah menetapkan tiga sumber pembiayaan untuk menutup defisit anggaran. Sumbernya: melalui utang dengan cara penerbitan surat utang negara (SUN) dan juga obligasi internasional, privatisasi BUMN dan divestasi PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) serta pinjaman luar negeri baik bilateral maupun multilateral. Untuk kebijakan ekonomi keempat di bidang investasi, Presiden meminta prosedur perizinan investasi dipermudah.

Perhatikan empat paket kebijakan itu. Bandingkan dengan paket-paket Konsensus Washington. Sebagian besar sama, bukan? Soal pengurangan subsidi BBM, pemerintah perlahan-lahan mencabut subsidi itu. Kebijakan ini menimbulkan kontroversi. Salah satu kritik keras adalah: subsidi BBM untuk rakyat kecil dicabut, subsidi untuk bankir (bailout Bank Century yang dilakukan oleh Sri Mulyani) digelontorkan dengan nilai jumbo Rp 6,7 triliun. Saya tak akan masuk pada kontroversi itu.

Soal privatisasi, misalnya, kita tahu, betapa agresifnya pemerintah menjual (memprivatisasi BUMN). Sejak pemerintahan Yudhoyono, betapa meledaknya agenda privatisasi BUMN. Pada 2008 saja, Komite Privatisasi BUMN menyetujui privatisasi 44 BUMN. Untuk tahun 2010 saja, pemerintah sudah menyiapkan tiga BUMN yang akan dilepas ke pasar: PT Krakatau Steel, PT Garuda Indonesia, dan PT Pembangunan Perumahan (PP).

Tiga BUMN lain yang segera menyusul adalah PT Waskita Karya, PT Adhia Karya, PT Bank Tabungan Negara. Di luar itu, masih ada 14 BUMN lain yang siap dilego.

Kini, Sri tinggal menghitung hari menuju Bank Dunia. Beberapa media massa Indonesia terbitan Kamis (6 Mei 2010) menulis headline dengan beragam sudut (angle). Harian Kontan menulis: Sri Mulyani Mundur Akibat Kompromi Politik. Ini terkait erat dengan skandal Bank Century yang tengah dihadapi Sri. Kompas menulis berita utama: Sri Mulyani Dinilai Sukses. Koran Tempo menulis Kekalahan Istana. Media Indonesia: SBY Lepas Sri ke Bank Dunia. Indopos: SBY Lepas Anak Emas.

Saya tidak akan menghujat, apalagi mencerca kebijakan SBY, juga Sri Mulyani. Sebab saya belum merasakan seperti apa rasanya ada di posisi SBY, juga Sri Mulyani. Soal resep lain di luar kebijakan SBY? Lain waktu kita berbagi..Hehehe...


Bekasi, 6 Mei 2010

0 komentar:

Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger