Selalu Ada Harapan Esok Pagi

SELAMAT DATANG
DI BLOG KULO

Search

Salam

Sejarah selalu terkendala oleh ruang dan waktu. Masa lalu, bisa ditilik dengan terang benderang di masa kini. Masa depan, hanya diperkirakan tapi tak bisa dipastikan.

Masa lalu, selalu ada distorsi. Sebabnya, tafsir mengambil tempatnya sendiri-sendiri. Karenanya, satu-satunya jalan agar sejarah masa kini tak membelot di masa depan, adalah dengan cara mendokumentasikannya.

Masa kini, di masa depan akan menjadi masa lalu. Dus, rekamlah sejarah yang sedang kau alami sekarang. Sekecil apapun, di masa depan akan sangat berharga. Kita tak pernah tahu, di masa depan yang sekarang kita sebut sebagai kertas atau pulpen, masih disebut sebagai kertas atau pulpen atau tidak. Atau bisa jadi bernama sama, tapi berbeda bentuk.

Mari, sodara-sodara, rekamlah sejarah yang sedang kau jalani.

Salam


Jumat, 10 Februari 2012

"Si Bungsu"

0 komentar


Share

Hari sudah gelap. Azan Isya baru saja berkumandang. Hujan mengguyur, meski tidak deras. Kampung tanpa listrik itu serasa kuburan. Kecuali suara kodok dan binatang malam, sisanya adalah sunyi senyap. Menjelang pergantian tahun, malam muda itu menjadi saat mendebarkan bagi kami. Perut ibu sudah buncit sembilan bulan. Sudah saatnya bayi dalam kandungan ibu menyapa dunia.

Malam itu, setahun setelah Pemilihan Umum 1992, perut ibu mulai mulas-mulas. Sudah hampir tiga hari, Ibu tidak enak tidur. Bayi di kandungan nendang-nendang minta keluar. Tepat 11 Desember 1993 malam itu, Ibu tak kuasa lagi menahan. Tapi pembukaan bayi belum juga menanjak. Air ketuban pun mulai mengalir dari rahim. Ibu gelisah. Juga kami: Abah, kakek, nenek, saya, dan adik laki-laki saya, serta beberapa kerabat. Kakak pertama sudah hampir dua tahun mengenyam pendidikan kuliah di Jakarta.

Kakek menyarankan agar Abah memanggil segera dukun beranak. Tak selang setengah jam, nenek dukun sudah datang. Tapi dukun angkat tangan. Ketuban yang sudah mengalir, menjadi pertimbangan nenek dukun untuk tak mengambil tindakan apapun. Ibu sudah mengaduh mengeluh. Untuk beberapa saat buntu.

Abah akhirnya memutuskan untuk membawa Ibu ke rumah sakit. Dan itu tidak mudah. Rumah sakit terdekat ada di tetangg kabupaten, Rumah Sakit Plered, Cirebon. Jaraknya sekitar 30 kilometer dari rumah. Bukan itu saja, mencari mobil angkutan untuk sampai ke rumah sakit, tidaklah gampang. Jangankan malam, siangpun kampung kami belum terlewati angkutan pedesaan, ketika itu. Di kampung, yang punya mobil sangat bisa dihitung dengan jari. Untuk meminjamnya, perlu menyewa. Uang pun sangat mepet.

Meski sudah mempersiapkan kelahiran si bayi, janganlah membayangkan yang dipersiapkan Ibu dan Abah sudah sangat siap. Mereka cuma menyiapkan popok bayi dan sedikit upah buat nenek dukun. Buruh tani tanpa penghasilan tetap, dan sedang menyekolahkan dua anak dan satu kuliah, tentulah bisa dibayangkan seperti apa kondisinya.

Nyatanya, keadaan menghendaki lain. Ibu harus ke rumah sakit. Tidak bisa tidak. Dalam kesakitan, awalnya ibu menolak. Namun atas bujukan Abah dan kakek, Ibu terpaksa mengangguk. Maka, seketika menjadi malam yang repot. Abah menyiapkan beberapa helai pakaian Ibu, popok bayi, dan uang secukupnya. Abah juga menyalakan lampu petromak, untuk memberi kesempatan bagi para kerabat dan tetangga yang hadir, agar lebih leluasa. Juga memberi ruang lebih terang.

Seorang kerabat mencoba mencari mobil sewaan untuk ke rumah sakit. Saya agak gugup, tak tahu apa yang harus dilakukan. Di usia 13 tahun, belum begitu sigap untuk mengerti kebutuhan yang harus dipenuhi saat itu. Saya hanya berdoa, semoga ibu dan si bayi kecil selamat.

Dengan persiapan seadanya, Ibu berangkat ditemani Abah dan Kakek. Uang yang dibawa pun seadanya, sisa tabungan yang tersimpan di lipatan kasur. Saya tidak tahu kemudian yang terjadi di rumah sakit. Sebab saya dan adik laki-laki menunggui rumah ditemani nenek. Saya tak bisa bolos sekolah. Di kemudian hari, Ibu berkisah kepada saya soal proses kelahiran si bayi.

***

Jam menunjukan pukul 23.00 WIB. Rumah sakit bersalin kecil di pinggiran kota Cirebon ini tampak senyap. Tergopoh-gopoh, Abah membopong Ibu dari mobil sewaan ke kamar bersalin. Ibu tampak sudah tak berdaya: pasrah. Air ketuban pelan-pelan menetes. Ibu dirawat di kelas tiga, bersamanya ada satu orang Ibu juga mau melahirkan. Seorang dokter perempuan menghampiri, kemudian memeriksa kandungan Ibu.

“Ini baru bukaan satu,” katanya. Itu artinya, butuh waktu lumayan lama untuk segera mengeluarkan si bayi.

Di pojok ruangan, Abah dan kakek cuma bisa menilik dan memperhatikan. Tak tahu apa yang harus diperbuat. Tak punya pengalaman membawa kelahiran di rumah sakit. Tiga anak pertamanya, termasuk saya, lahir melalui dukun beranak di desa.

“Ibu harus mengonsumsi dulu vitamin dan obat, agar lebih kuat dan mendorong pembukaan bayi,” kata sang dokter. Dia lantas menulis resep. Ibu cuma melirik ke Abah. Abah harus menebus obat dan vitamin itu ke apotik. Lirikan Ibu sekaligus memberi isyarat, adakah uang lebih untuk menebus resep itu. Ibu tahu, bekal uang sangat minim.

Abah menerima resep itu, lantas merogoh saku. Hmmm.. uang sementara ini masih cukup. Tengah malam tidak memungkinkan Abah pergi ke apotik, yang hanya buka sampe jam 22.00 WIB. Pagi-pagi Abah harus menebus resep itu.

***

Minggu, 12 Desember 1993. Jam di dinding menunjukan pukul 17.50 WIB. Tanda-tanda kelahiran si bayi sudah dekat. Kesabaran Ibu berbuah juga. Akhirnya, selepas maghrib, si kecil pun mbrojol. Cita-cita Ibu dan Abah memiliki anak perempuan paripurna sudah. Di tiga kelahiran pertama, semua anak Abah dan Ibu adalah laki-laki. Sebelum kehamilan dan kelahiran adik terakhir kami, saya pernah bermimpi menangkap burung. Ketika diceritakan kepada Ibu, itu pertanda akan adanya kelahiran anggota keluarga baru. Sebulan kemudian, Ibu hamil.

Dan kini, si jabang bayi itu sudah hadir. Bayi merah perempuan, lucu nian. Tampak senyum mengambang di bibir Ibu, di tengah keletihan yang teramat sangat: menunggu kelahiran si jabang bayi hingga 24 jam. Dalam terbaring, Ibu usap rambut bayi yang tipis, mencium, lalu memeluknya. Di balik kegembiraan teramat sangat, ada pikiran menyembul: apakah uang di tangan cukup untuk biaya kelahirannya?

Dokter kemudian menyematkan tulisan identitas di samping tempat bayi. Tertulis: Anak Ibu ... . Di saat bersamaan, Ibu lain dalam ruangan tersebut juga melahirkan bayi mungil laki-laki. Di tempatkan berderet dekat dengan adik kecil kami. Sama seperti adik kami, bayi laki-laki ini juga diberikan identitas oleh sang dokter. Identitas ini penting, agar bayi tidak tertukar. Namun, tetap saja Ibu khawatir lantaran kedua bayi ini diletakkan agak jauh dari dia.

Apa yang menjadi kekhawatiran Ibu terbukti. Mentari pagi baru saja menyapa bumi. Seorang perawat, asisten dokter yang merawat Ibu, kemudian memindahkan bayi ke dekat Ibu, setelah memandikan dan memerinya parfum. Sang perawat lantas pergi. Namun, alangkah kagetnya Ibu, ketika mengetahui bayi yang ditaruh di dekatnya berjenis kelamin laki-laki. Sedikit teriak, Ibu memanggil Abah yang masih belum memicingkan mata.

“Bah, kenapa anak kita laki-laki?”

Abah terperanjat. Dia kemudian mencari sang perawat yang sudah berlalu.

Pada sisi ini, naluri Ibu begitu kuat. Dan sungguh beruntung, dalam keletihan sehabis melahirkan kemarin, Ibu masih mengingat dan melihat bahwa bayinya adalah perempuan. Maka, ketika bayi yang diletakkan di sampingnya adalah laki-laki, Ibu terperangah, dan reflek.

Beberapa saat kemudian, Abah dan sang perawat muncul di balik pintu ruang rawat kelas tiga. Sambil tergopoh-gopoh, perawat lantas memeriksa identitas di kereta bayi.

“Apa nama Ibu adalah Ibu...,” tanya Sang perawat, setelah memeriksa identitas pada si bayi laki-laki di samping Ibu.

“Oh.. Bukan, nama saya Ibu..,” jawab Ibu, dengan logat Sunda pinggiran yang kental.

“Baik, coba saya periksa bayi satunya,” kata perawat. Dia lantas pergi menemui Ibu lain yang sejak kemarin bersama Ibu di ruang rawat tersebut. Ibu itu berbaring tak jauh dari Ibu.

“Nama Ibu benar Ibu....,” katanya kepada Ibu saya, setelah beberapa saat kembali ke ranjang Ibu. Ibu mengangguk.

“Bayi Ibu perempuan?” tanya perawat lagi.

“Ya,” jawab Ibu. Abah dan kakek agak gugup menemani Ibu di pinggir ranjang. Karakter Abah dan kakek yang pemalu dan pendiam, membuat mereka hanya bisa menjadi pendengar diantara percakapan dua perempuan itu.

“Mohon maaf yang sebesar-besarnya Ibu, Bapak, saya khilaf. Bayi Ibu adalah yang ini, berjenis kelamin perempuan,” kata perawat, sambil meletakkan bayi perempuan.

Ibu kemudian memeluk erat si kecil yang sudah kembali. Seandainya saja Ibu tidak meneliti ketika baru lahir kemarin, bisa jadi yang dia bawa adalah bayi laki-laki anak orang lain.

“Alhamdulillah, Ya Allah,” Ibu bersyukur, tetap terbaring.

***

Sepekan setelah kelahiran, rumah kami ramai dkunjungi para tetangga dan kerabat. Hari ini adalah tujuh hari kelahiran si Bungsu perempuan. Saatnya memberikan penamaan. Abah sudah menghitung dan menimbang, siapakah nama yang cocok untuknya. Si bungsu lahir pada hari minggu pahing dalam perhitungan Jawa. Menurut perhitungan Jawa dan nasihat para sesepuh desa, bayi dengan lahir di hari Minggu pahing, harus diawali dengan huruf K, dengan jumlah karakter huruf enam buah.

Saya tahu, Abah berfikir keras menemukan nama si Bungsu. Selepas maghrib, ketika Abah tengah menyalakan lampu petromak, tiba-tiba nyeletuk. “Gimana kalo namanya Kxxxxx, cocok dengan hari kelahirannya,” kata Abah. Semua akhirnya setuju.

Saya pribadi, ketika itu tak mengerti apa-apa. Belakangan, saya berfikir, ada gunanya juga penanda Jawa itu. Dengan memperhatikan huruf awal nama orang-orang sekampung, saya sudah bisa menebak hari lahir seseorang. Tapi, untuk nama-nama bayi dan anak sekarang, saya tidak begitu paham. Sebab, budaya mulai berubah. Orang-orang sekampung saya sekarang seperti berlomba memberi nama bayi dan anak mereka dengan nama-nama bagus, bila perlu meniru nama Timur Tengah dan Eropa. Terbawa arus modernisasi, mungkin.

***

Di tahun-tahun awal kelahiran si Bungsu, kesehatannya tidaklah sempurna. Jantungnya tampak masih relatif lemah. Ketika Ibu memberinya ASI, sering si Bungsu terbatuk-batuk. Itu masih wajar. Yang tidak biasa, ketika dia menangis. Nafasnya tersngal-sengal, dan terhenti puluhan detik. Tubuhnya membiru. Tidak ada respon meski Ibu sedikit memberi sentuhan lebih keras ke kepala dan badannya. Tak jarang, Ibu menangis meminta bantuan kepada siapa saja: tetangga, kerabat. Saya juga tak bisa apa-apa.

Beberapa kali Ibu meminta saya baca-baca sebisanya, ayat kursi atau apa saja. Ibu berharap keajaiban Allah mampu menyadarkan si bayi yang seperti mati suri. Sambil saya bisik-bisikin ayat Al Quran di samping kupingnya, berharap si bayi mau merespon. Beberapa saat kemudian, memang dia kemudian merespon. Namun saya tak tahu, apakah itu pengaruh ayat-ayat itu atau bukan.

Suatu hari, Ibu mencoba bertanya pada orang pintar, kenapa si bungsu seperti itu. Bukan pergi ke dokter untuk memeriksa kesehatannya. Si dukun meminta segelas air putih, lalu dibaca-baca. Entah apa bacannya.

“Ini ada yang mengganggusi kecil, dia minta dibikinkan kopi dan sayur cabai,” kata si Dukun. “Sediakan malam ini di pojok ruangan,” tambahnya. Dukun lantas menyuruh Ibu meminumkan air putih itu ke si kecil.

Dukun juga meminta, setiap menjelang maghrib, harus ada anggota keluarga di rumah kami mengelilingi rumah tiga kali putaran, sambil baca-baca Ayat Kursi. Insya Allah, katanya, gangguan makhluk halus akan pergi dengan sendirinya.

Selain itu, sang dukun minta Ibu dan Abah menaruh daun kelor di depan rumah. Kata dia, hal itu juga bisa mencegah teluh pencari bayi akan ketakutan.

Maka, Abah dan Ibu mulai menuruti perintah dukun. Siapa tahu, dengan itu si kecil bisa sehat kembali dan aman dari gangguan makhluk halus. Mulai malam itu, Ibu juga menyuruh aku mengeliligi rumah tiga kali putaran sesuai perintah sang dukun. Ibu menganggap aku yang kala itu masih sekolah di SMP, paling bisa melakukan hal itu. Ibu berharap, gangguan makhluk halus ke sang bayi menyingkir.

Nyatanya, si kecil saat nangis tetap kehilangan nafas. Dan, lagi-lagi Ibu menangis keras. Sampai akhirnya, ada tetangga yang menyarankan, ketika si bayi kehilangan nafas saat menangis, pijatlah jempol kakinya. Saran sederhana itu yang akhirnya menyelamatkan si Bungsu dari kehilangan nafas saat menangis.

***

Perkembangan si Bungsu kemudian, saya tidak tahu persis. Sebab, di usia lima tahun, saya harus pindah ke Jakarta melanjutkan studi. Bertemu dengan si bungsu beberapa kali dalam setahun. Sampai sekolah SMU, yang saya tahu, dia melanjutkan “tradisi” keluarga, lumayan pandai di sekolah. Meski tidak selalu tiga besar, si Bungsu bisa bersaing dengan murid-murdi lain.

Satu lagi yang membedakan dia dengan tiga kakaknya: lebih manja, dan tidak terlalu merasakan keprihatinan keluarga. Jika kami, tiga kakak lelakinya harus berjuang keras untuk bisa mencapai seperti saat ini, si Bungsu relatif lebih enak. Ke sekolah SMU di Ibu kota kecamatan saja, dia sudah tersedia kendaraan dan uang saku yang lumayan. Saya, dulu, harus menggowes sepeda tua yang kerap lepas rantai dan ban meletus. Uang saku sangat minim. Harus menabung seminggu lamanya agar bisamakan di kantin sekolah.

Kini, si Bungsu ikut saya di Bekasi, hendak melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Kelihatannya, kini dia mulai berfikir bagamana pola hidup saya dan keluarga: merasa cukup dan tidak suka foya-foya. Semoga, dia bisa mengambil hikmah dari kisah Ibu, Abah, dan kakak-kakaknya terdahulu: hidup prihatin, sederhana, kerja keras, selalu mendekat pada Tuhan, dan tidak jumawa menyelami hidup. ***

Read More......

Selasa, 07 Februari 2012

"Doa Ibu"

0 komentar


Share

Sepekan ini, hampir tiap hari saya telepon Abah dan Ibu. Entahlah, kerinduan ini begitu membuncah. Liburan di akhir tahun lalu, saya, istri, dan si kecil menyempatkan mampir ke rumah di sela-sela liburan ke Yogyakarta.

Abah tampak kian renta. Gerakannya mulai lamban. Gigi mulai permisi satu persatu, rambut memutih, dan kulit mengeriput. Ibu yang masih tampak kuat. Garis wajahnya tetap memancarkan ketegaran.

Ibu adalah anak satu-satunya dari kakek nenek kami. Tidak berkakak, dan nihil adik. Sejak kecil, penderitaan dan keprihatinn adalah bagian akrab dalam hidupnya. Ditinggal indung – nenek saya -- ke alam baqa pada usia lima tahun, kasih sayang adalah barang mahal bagi ibu. Piatu di usia kanak-kanak, menjadikan ibu pribadi yang gelisah, tapi tegar. Sejak kepergian nenek, kakek (kini almarhum, semoga dilapangkan kuburnya, diampuni segala dosa-dosanya) beberapa kali ganti istri. Dan, itu berarti, beberapa kali pula Ibu punya Ibu tiri.

Di sinilah awal petaka ibu. Pitak kecil di dekat ubun-ubunnya, menyimpan sejarah kelam di jiwanya. Setidaknya, itu yang pernah dia ungkapkan kepada saya. Suatu hari, ketika Indonesia dirundung duka akibat gonjang-ganjing penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI) media 1960-an, petaka itu datang. Ibu, ketika itu memasuki usia 10 tahun, memelas kepada kakek meminta jajan. Keluarga petani pinggiran dengan harta yang pas-pasan, harus berpikir ulang untuk memberikan sekedar uang jajan anak satu-satunya. Plus ada status ibu tiri di sampingnya, membuat kakek tampaknya harus berpikir dua kali memberikan permintaan anaknya.

Bukan uang didapat, lemparan sendok nasi alumunium yang melayang. Tepat di dekat ubun-ubunnya hingga berdarah. Ibu tak berani menangis keras. Yang keluar cuma sesenggukan. Semakin dia akan menangis keras, semakin Ibu akan tersakiti. Kakek lebih memilih berpihak ke ibu tiri ketimbang anak sendiri.

Hendak kemana ibu mengadu? Pada sisi ini, tidak punya saudara kandung sungguhlah terasa menyakitkan. Tidak ada tempat mengadu, juga berbagi rasa. Ibu memilih memendamnya sendiri. Begitulah. Sisa sendok nasi alumunium itu kini menjejakkan pitak di kepala ibu. Peristiwa ini yang tampaknya begitu berbekas di hati ibu.

Kelak, ketika kakek mulai sakit-sakitan di usia senja bersama ibu tiri yang lain, ibu terkesan lebih memilih dan lebih peduli kepada suami dan anak-anaknya. Hingga kini, tampaknya bekas tersakiti sejak dini terasa begitu membekas.

Dulu, ketika saya masih kecil, ibu tampak sering terbangun di tengah malam. Kehilangan indung sejak kecil, kadang membuat ibu sering menangis di pergantian hari itu. Dari sanalah, Ibu mengucap doa: biarlah sahaya begini ya Tuhan, tapi anak-anakku tidak. Ini yang membuatnya tegar, sekaligus rapuh. Dia tegas, tapi mudah tersentuh.

Suatu hari, ketika Abah dan Ibu mencoba mengubah rumah joglo menjadi sedikit modern pada awal 1990-an, ada beberapa tukang kayu mengerjakan kusen-kusen pintu dan jendela. Pagi-pagi, ibu membuat cemilan semacam goreng bakwan dan goreng tempe untuk para tukang. Karena dana cekak dan sangat terbatas, maka Ibu cuma membuat beberapa buah bakwan, hanya cukup untuk dua orang tukang kayu itu. Biarlah kami makan dengan ikan asin seperti biasa.

Tiba-tiba, karena rasa ingin tak tertahankan, saya mengambil satu bakwan dan memakannya. Betapa rasa ingin makan bakwan ketika itu begitu kuat. Bakwan adalah makanan mewah bagi kami. Tidak setahun sekali saya bisa memakannya, ketika itu. Begitu tahu bakwan hilang satu dimakan saya, Ibu naik darah. Hilang satu, berarti jatah bakwan buat tukang juga berkurang. Akan sangat tidak enak Ibu kepada dua orang tukang. Dia ambil sepotong ranting di belakang rumah, dan dia pukulkan ke kaki saya. Saya tertegun, tidak melawan. Sakit, memang. Tapi saya bersalah. Tapi pukulan ranting itu cukup kuat, hingga sedikit membekas tanda merah di betis. Di usia kelas empat Sekolah Dasar (SD) itu, tak cukup kuat menahan sakit. Saya sesenggukan, dan menangis pelan.

Beberapa saat ibu terdiam. Saya tahu, dia sudah kelepasan. Selama ini, hampir tidak pernah ibu memukul, meski terkadang mulutnya agak cerewet. Mungkin kali ini saya sudah keterlaluan. Ibu hilang masuk ke kamar. Kemudian saya tahu, ibu juga sesenggukan. Mungkin merasa sangat menyesal sudah memukulkan sebatang ranting ke kaki saya hanya karena sebuah bakwan.

Begitulah, ibu keras, tapi rapuh dan muda tersentuh. Belakangan, karena ketegarannya, Ibu mampu mengantarkan kami, empat anaknya, menapaki jenjang pendidikan tinggi. Kecuali si bungsu yang baru akan kuliah, tiga orang kakaknya berhasil menyelesaikan sarjana. Meski tidak gampang untuk mencapainya, tapi kekuatan, ketegaran, dan doa Abah dan Ibu, mampu membuat kami yang menjalani mengenyam pendidikan, terasa enteng.

Ketika kami menjalani proses itu, saya tahu, Ibu masih sering terbangun tengah malam. Kemudian melakukan sholat malam, dan memohon Yang Di Atas memberikan jalan kepada kami semua. Sementara Abah, melakukan dengan caranya sendiri. Berdoa dengan bahasa sendiri. Abah bukanlah seorang yang pandai sholat. Kehidupan jauh dari didikan pesantren, menyebabkan Abah harus belajar sholat dan mengaji menapaki usia tua. Tapi tidak masalah, tidak ada kata terlambat.

Dilihat dari ukuran warga sedesa, hampir mustahil kami mencapai seperti saat ini. Harta sangat minim, pekerjaan Abah dan Ibu hanya buruh tani, sangat wajar mendapat banyak cibiran di masa-masa awal ketika Abah dan Ibu mengamini Kakak pertama melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi. Nyatanya tidak ada yang tidak mungkin. Ikhtiar dan doa yang mustajab, plus keprihatinan yang dipupuk Ibu dan Abah sejak kecil, mampu mengantarkan kami seperti saat ini.

Saya, kini Direktur di sebuah perusahaan Public Relation dengan klien-klien yang kerap menjadi bahan pemberitaan media-media besar di Jakarta, setelah sebelumnya menjadi juru warta di dua buah perusahaan media cetak ternama di Indonesia. Kakak pertama, menjadi wakil kepala sekolah di SMP kecamatan di kampung saya. Adik pertama saya, kini sudah menjalani dan menikmati status Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Si bungsu, sedang menjalani bimbingan belajar menjelang kuliah dan tinggal bersama saya di Bekasi.

Tuhan Maha Mengetahui apa yang menjadi doa-doa Ibu di tengah malam, ketika yang lain terlelap dan terbuai dalam mimpi. Semoga Allah senantiasa memberikan kebahagiaan Ibu dan Abah di masa tua, kebahagiaan di dunia dan akhirat. Amin Ya Robbal Alamin.

Read More......
Copyright 2009 | Bunga Padang Ilalang Theme by Cah Kangkung | supported by Blogger