Secuplik Cerita Di Balik G 30 S/PKI 1965
* Catatan lama yang terselip di tumpukan file
***
“Pada tahun 1966, Washington Post menerbitkan sebuah laporan yang memperkirakan sekitar 500.000 terbunuh dalam pembersihan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pembersihan ini bahkan memicu perang saudara singkat. Dalam laporan 1968,
CIA memperkirakan terdapat 250.000 kematian eks-PKI, dan disebut pembunuhan "salah satu pembantaian terburuk dari abad
ke-20."
***
Sejarah,
selalu bertali temali antara kepentingan politik, ideologi, dan ekonomi. Juga pilinan
antara kepentingan lokal dan asing. Di Indonesia, bagi saya, puncak dari
keksiruhan tersebut meletus pada 30 September 1965. Bagi saya, 30 September
adalah sebuah misteri besar tentang bangsa Indonesia. Ia adalah puncak dari
kekisruhan politik ekonomi nasional dan internasional.
Pada
periode 1950 hingga 1960-an, kepemimpinan kharismatik Soekarno, benar-benar
membuat khawatir bangsa barat, khususnya Amerika Serikat (AS) dan para
sekutunya. Pengaruh Soekarno yang mulai menyebarkan virus “perlawanan” terhadap
Barat, menyebabkan cerita duka kejatuhan Soekarno di kemudian hari.
Di
kancah Internasional, Soekarno mulai berseberangan dengan AS dan sekutunya
memasuki medio 1950-an. Keberhasilan Soekarno menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung,
pada 1955, sungguh menggelisahkan kekuatan barat.
Ini adalah pertama kalinya negara-negara berkembang
membangun kekuatan. Mata AS dan sekutunya pun makin tajam membidik Soekarno. Sejak saat inilah AS mulai berperan besar
dalam peta politik dan ekonomi Indonesia.
Banyak
buku yang mengungkap keterlibatan AS lewat lembaga intelejen mereka: Central Intelligence Agency (CIA), pada
masa-masa ini hingga periode berikutnya. Tentu saja, saya tak akan sepenuhnya
percaya tesis ini. Meski demikian, ada baiknya saya mengungkapkan hasil
penemuan Bradley R.
Simpson, saat membuat disertasi
doktoralnya di Universitas George Washington University.
Simpson meneliti dokumen-dokumen CIA, telegram-telegram dan arsip-arsip memorandum
Kedutaan Besar AS di Jakarta periode 1960-an. Hasil penemuan Simpson ini
kemudian diarsipkan di National Security Archive George Washington
University. Hebatnya, karena kini jaman teknologi canggih, maka arsip-arsip itu
bisa diakses dengan mudah via internet.[1]
Soal keterlibatan AS di Indonesia pada periode itu, juga bisa ditelusuri
tulisan-tulisan Peter
Dale Scott,
profesor di University of California, Berkeley, tentang The United States and the
Overthrow of Sukarno, 1965-1967. Karya Dale Scoot ini pernah dipublikasikan dalam
artikel Pacific Affairs, 58, pada Musim Panas 1985.[2]
Sebagai perbandingan, ada
pula ulasan dari Kathy Kadane soal peran CIA di Indonesia pada periode
tersebut. Kadane yang mewawancarai tokoh-tokoh Amerika Serikat pada periode
medio 1960-an, seperti mantan Direktur CIA pada masa tersebut: William Colby, mengungkapkan bagaimana peran pentingnya AS dan CIA dalam politik
Indonesia.[3] Atau, sebagai bacaan pelengkap, silakan baca artikel-artikel David Ransom
soal pembahasan serupa.[4]
Ada pula tulisan wartawan The New York Times, Tim Weiner, yang menulis
tentang keterlibatan Adam Malik yang disebut sebagai agen CIA di Indonesia.[5]
Jika ingin memperkaya bacaan, silakan baca Buku Dalih Pembunuhan Massal karya
John Rossa, yang menyingkap misteri Gerakan 30 September 1965, siapa-siapa saja
yang terlibat, mulai dari tokoh-tokoh central Partai Komunis Indonesia (PKI),
operasi tentara, Amerka, hingga CIA.[6]
Di Indonesia, hampir semua tulisan-tulisan mereka menjadi kontroversi. Saya
tak bermaksud mengangkat kembali kontroversi itu. Sekali lagi, tulisan saya ini
hanya untuk menyajikan sudut pandang dan perspektif sejarah yang berbeda. Dari tulisan-tulisan mereka, ada benang merah yang
sama soal tragedi kemanusian terbesar di Indonesia abad XX itu.
AS mulai menajamkan matanya membidik Soekarno setelah munculnya konfrontasi
dengan Malaysia pada paruh waktu 1964. Menyusul
keterlibatan Inggris dalam konfrontasi dengan Malaysia, pemerintah Indonesia
segera menyikapi hal itu dengan menasionalisasikan perusahaan Inggris. Ini
adalah nasionalisasi kedua yang dilakukan Indonesia setelah nasionalisasi
perusahaan Belanda pada 1956 dan 1957.
Mengetahui hal itu, pemerintah AS segera
bertindak. Setelah beberapa waktu sebelumnya
menekan Indonesia untuk mengaitkan pencairan pinjamannya dengan program
stabilisasi IMF, AS kemudian mengaitkan pencairan pinjaman berikutnya dengan
tuntutan untuk mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia.
Catatan saja,
selain menjalankan kebijakan politik, pada masa-masa ini AS juga mengepakan
pengaruhnya lewat triumvirat Kesepakatan Bretton Woods: IMF, Bank Dunia, dan
GATT. Pasca Perang Dunia Kedua, AS memang ekspansif untuk menyebarkan
pengaruhnya ke seluruh dunia lewat kaki-kaki ekonomi.
Campur
tangan AS tersebut di
tengah maraknya demonstrasi menentang pelaksanaan program stabilisasi IMF di
Tanah Air, yang ditanggapi
Soekarno dengan mengecam utang luar negeri dan menentang AS. Pernyataan, ”Go to
hell with your aid”, yang sangat terkenal itu adalah bagian dari ungkapan
kemarahan Soekarno kepada negara tersebut. Penolakan Soekarno yang sangat keras
tersebut harus dibayar dengan kejatuhannya dari kursi Kepresidenan mulai
1966-1967 kemudian.[7]
Penting
dicatat, periode ini adalah masa-masa menentukan perekonomian dan perpolitikan
Indonesia. Pada takaran tertentu, pada awal paruh kedua medio 1960-an,
pergolakan politik dalam negeri begitu kuat.
Pada
akhirnya, Soekarno tak berdaya, dan dengan skenario “invisible hand”
yang sedemikian matang, kekuasaan Soekarno
pun beralih ke Soeharto. Itu setelah Soekarno menyerahkan “kekuasaan” kepada
Soeharto melalui tongkat komando Surat Perintah Sebelas Maret (Super Semar)
pada 11 Maret 1966 yang masih kontroversi dan berbalut misteri hingga kini,
menyusul kisruh 30 September 1965.
Sukarno adalah
seorang yang populis, tulis John Pilger.
Wartawan yang bermukim di Inggris kelahiran Australia itu menyebut serentetan
kesuksesan Soekarno membangun aliansi di dalam negeri dan negara-negara
berkembang, menimbulkan kekhawatiran kalangan barat. Pendiri gerakan modern Indonesia dan negara-negara berkembang ini, tulis Pilger tentang sosok Soekarno, bertekad membentuk kekuatan negara-negara dunia ketiga diantara dua kekuatan besar pada masa
itu: kekuatan blok barat dengan ideologi kapitalis, dan blok timur dengan
ideologi sosialis komunis.
Pilger juga menegaskan,
keberhasilan Soekarno menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung, pada
1955, sungguh menggelisahkan kekuatan barat. Ini adalah pertama kalinya
negara-negara berkembang membangun kekuatan.
Di dalam negeri, Soekarno juga
sukses membangun kekuatan aliansi tiga kekuatan: nasionalis agama dan komunis
(nasakom). Soekarno mampu mendorong massa serikat petani, perempuan dan gerakan-gerakan budaya.
Antara tahun
1959 dan 1965, lebih dari 15 juta orang bergabung dengan partai politik atau
organisasi massa yang berafiliasi untuk menentang kekuatan neo kolonialisme barat. Sebanyak tiga juta
diantaranya merupakan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Ini merupakan kekuatan
komunis terbesar ketiga di dunia di luar Uni Soviet dan China. Inilah yang
sangat menggelisahkan kalangan barat, terutama Amerika Serikat dan Inggris.
Kedua negara adidaya ini pun merancang penggulingan Soekarno dari kekuasaan.[8]
Tak heran, AS yang tengah
berupaya keras membendung pengaruh komunis dan ingin membenamkan pengaruh
liberalisme pasar, berusaha gigih untuk menyingkirkan Soekarno. Selain
mengupayakan mendidik kader lewat upaya-upaya pendidikan melalui serangkaian
upaya Ford Foundation dan Rockefeller Foundation lewat Soemitro dan
murid-muridnya di Berkeley, AS dengan CIA berupaya melakukan upaya melalui jalur
politik, salah satunya lewat faksi militer Soewarto, kemudian Soeharto (lihat
tulisan lain: http://www.facebook.com/notes/danto-tea/pki-dan-mengapa-obama-ke-universitas-indonesia/498671564611 ).
Memorandum CIA pada Juni 1962 menyatakan persetujuan Perdana Menteri
Inggris Harold Macmillan dan Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy untuk “melikuidasi Presiden Soekarno, tergantung pada situasi dan
kesempatan yang tersedia”. Tak jelas benar pengertian
likuidasi ini. Cuma, kuat dugaan itu sebagai penggulingan kekuasaan.
John Pilger memaparkan, mengutip hasil investigasi jurnalis Amerika Serikat
Kathy Kadane pada 1990, ada rahasia
kolaborasi Amerika dalam pembantaian anggota dan simpatisan PKI periode 1965-1966, yang memungkinkan Soeharto untuk merebut kursi kepresidenan dari Soekarno.[9]
Setelah
serangkaian wawancara dengan mantan pejabat Amerika Serikat pada periode tersebut, Kadane menyimpulkan terjadi operasi
terencana dari pejabat-pejabat Amerika Serikat soal pergantian kekuasaan di
Indonesia dari tangan Soekarno. Kadane menulis, "Mereka secara sistematis menyusun daftar komprehensif operasi pembantaian anggota komunis di Indonesia. Ada sebanyak 5.000 nama yang disetor oleh tentara
Indonesia, dan Amerika kemudian memeriksa nama-nama mereka yang telah dibunuh
atau ditangkap."[10]
Salah satu yang
diwawancarai Kadane adalah Robert J Martens, seorang pejabat politik di Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Jakarta periode tersebut. "Kami hanya membantu tentara (Indonesia)," katanya. "Mereka
mungkin membunuh banyak orang, dan saya mungkin memiliki banyak darah di tangan
saya, tetapi hal itu tidak semuanya buruk. Ada saat-saat ketika Anda harus memukul keras
pada saat yang menentukan."
Sebagai perbandingan, ini saya sajikan cuplikan dari tulisan John Pilger
mengenai kondisi saat itu:
“Joseph Lazarsky, the deputy
CIA station chief in Jakarta, said that confirmation of the killings came
straight from Suharto's headquarters. 'We were getting a good account in
Jakarta of who was being picked up,' he said. 'The army had a "shooting
list" of about 4,000 or 5,000 people. They didn't have enough goon squads
to zap them all, and some individuals were valuable for interrogation. The
infrastructure [of the PKI] was zapped almost immediately.
We knew what they were doing . . . Suharto and
his advisers said, if you keep them alive you have to feed them. Having already armed and
equipped much of the army, Washington secretly supplied Suharto's troops with a
field communications network as the killings got under way. Flown in at night
by US air force planes based in the Philippines, this was state-of-the-art
equipment, whose high frequencies were known to the CIA and the National
Security Agency advising President Johnson.
Not only did this allow Suharto's generals to
co-ordinate the killings, it meant that the highest echelons of the US
administration were listening in and that Suharto could seal off large areas of
the country. Although there is archive film of people being herded into trucks
and driven away, a single fuzzy photograph of a massacre is, to my knowledge,
the only pictorial record of what was Asia's holocaust.”[11]
Dari keterangan tersebut, silakan
Anda maknai sendiri apa sebenarnya yang sedang terjadi. Di luar itu, Duta Besar
Amerika Serikat di Jakarta ketika itu, Marshall Green, yang di Departemen Luar
Negeri Amerika Serikat memiliki reputasi baik karena berhasil menjadi otak
penggulingan penguasa Korea Syngman Rhee, sukses menggalang kekuatan di luar tentara.
Mereka mendanai Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) untuk turut menekan
kekuasaan Soekarno. Bantuan ikut disponsori oleh CIA.[12]
Kondisi
psikologis demikian mewarnai Jakarta sejak pertengahan tahun 1965. Sulit
dibedakan lagi antara kenyataan dan isu. "Ibu Pertiwi sedang hamil
tua" begitu setiap hari kalimat yang diucapkan penyiar Suara Indonesia
Bebas pada akhir siarannya, dan kemudian ditutup dengan kata,
"Berontak!"[13]
Kecuali
agen CIA, tidak ada yang tahu persis lokasi radio yang frekuensinya begitu kuat
hingga dapat ditangkap melalui gelombang pendek di seluruh Indonesia. Banyak
yang menduga posisi pemancar tersebut di Malaysia atau Filipina Selatan.
Namun,
Prof Roland G.
Simbulan dari University of the Philippines, dalam tulisannya mengenai peran
rahasia CIA di Filipina, mengungkapkan hal lain. Ia mengatakan, tahun
1965 pemancar bergerak sangat canggih dengan frekuensi tinggi pada gelombang
pendek. Pemancar bergerak itu
diterbangkan menggunakan pesawat pengangkut US Air Force C-130 dari pangkalan
angkatan udara Clark, Filipina Tengah, menuju Jakarta. Radio ini ditempatkan di
markas Jenderal Soeharto. Pengiriman radio itu atas perintah William Colby, Direktur CIA Divisi Asia Timur
Jauh.[14]
Situasi
Jakarta pada September 1965 amat sangat tegang. Di kalangan PKI beredar
"dokumen" rencana jahat Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta
pada 5 Oktober 1965, menyusul makin parahnya kondisi kesehatan Bung Karno. Jika
kudeta ini berhasil, Angkatan Darat akan melenyapkan semua kader PKI. Di lain
pihak, di
kalangan militer menyebar “dokumen” rencana PKI untuk
mengambil alih kekuasaan dan menghabisi para jenderal.
"Dokumen"
ini muncul tidak lama setelah beredarnya isu memburuknya kesehatan Bung Karno.
Isu ini menyebabkan lenyapnya sandang-pangan di pasaran. Isu memburuknya kesehatan
Bung Karno, disebut-sebut bersumber dari hasil diagnosa tim dokter RRC yang
memeriksa Bung Karno, yang laporannya dikirim ke Beijing. Walaupun nantinya tim
dokter RRC kaget karena tidak pernah membuat laporan demikian, tetapi informasi
palsu ini telanjur menimbulkan guncangan politik dalam masyarakat.[15]
Ralph
McGehee, veteran CIA yang pernah bekerja selama 25 tahun (1952-1977) sebagai
staf Counterintelligence CIA seksi Komunisme Internasional, menyebut proses
eskalasi disinformasi secara sistematis telah dilakukan CIA. Melalui tulisannya
The Indonesian Massacres and CIA, yang sebagian disensor CIA karena menggunakan
data rahasia negara yang belum boleh dipublikasikan kepada publik, ia menyebut
dokumen palsu itu telah menggiring massa melakukan kekerasan. Sebab, demikian
tambahnya, temuan dokumen itu akan disusul berita bohong mengenai ditemukannya
kuburan massal korban kekejaman komunis.[16]
Kemudian
melalui Divisi Pelayanan Teknis CIA, yang mempunyai jaringan atas ratusan media
massa di AS dan di berbagai negara di dunia, informasi ini disajikan kepada
publik sebagai suatu "temuan besar". Inilah juga yang dilakukan CIA
untuk mematangkan situasi menjatuhkan Presiden Arbenz di Guatemala tahun 1954,
Soekarno (1965-1966), Allende di Cile (1973), Juan Torres di Bolivia (1971),
Arosemana di Dominika (1963), Joao Goulart di Brasil (1964), dan sejumlah
kepala pemerintahan lainnya.
Pemalsuan
dokumen itu begitu canggihnya, hingga sulit mengatakan itu palsu. Terbukti,
misalnya, Subandrio sampai perlu melaporkan dokumen Dewan Jenderal itu sepekan
sebelum meletusnya G30S. Bahkan,
sejumlah perwira yang loyal kepada Bung Karno terpancing bertindak. Inilah
memang yang dihendaki pembuat dokumen palsu itu.
Gonjang-ganjing inilah yang
kemudian memicu Gerakan 30 September 1965. Pada tanggal 5 Oktober 1965, Green mengirim telegram ke Washington berkoordinasi dengan pemerintah pusat Amerika
Serikat langkah-langkah apa yang bisa diambil dari keuntungan situasi kacau di
Indonesia.
Saat itu, Gerakan 30 September
1965 baru saja pecah, yang meminta korban tujuh pahlawan revolusi dan Ade Irma
Suryani, putri Jenderal A.H. Nasution. Muncullah rencana untuk
meng-kambinghitam-kan PKI. Pada puncak tragedi itu, Green meyakinkan Soeharto
bahwa Amerika Serikat umumnya bersimpati dan mengagumi apa yang sudah dilakukan
oleh tentara.[17]
Pada
23 Oktober 1965, menurut McGehee,
"ditemukan" dokumen rahasia PKI. Temuan besar ini dimuat di sebuah
surat kabar Jakarta yang masuk jaringan CIA. Isi berita tersebut antara lain,
"ditemukan jutaan kopi teks proklamasi Gestapu....Teks... sangat jelas
dicetak di RRC. Selain itu ditemukan pula topi serta perlengkapan militer dalam
jumlah besar. Ini merupakan bukti yang tidak terbantah mengenai keterlibatan
RRC... Sedang senjata dikirim dengan kapal laut dengan berkedok kekebalan
diplomatik..."[18]
Tanggal
30 Oktober 1965, masih menurut McGehee, Jenderal Soeharto, dalam pertemuan
khusus dengan para jenderal dan perwira menengah lainnya, dengan nada gusar
mengatakan, penemuan dokumen tersebut menunjukkan PKI berada di balik peristiwa
G30S. Ia kemudian memerintahkan penumpasan komunis hingga ke akar-akarnya (communists
be completely uprooted).[19]
Sejak
itulah, tulis Maruli,
militer mulai melancarkan kampanye berdarah untuk membasmi hingga ke
akar-akarnya segala yang berkaitan dengan komunis. Elemen-elemen masyarakat
yang terjangkit histeria sosial digerakkan membentuk pagar betis. Banjir darah
terjadi di mana-mana. Jutaan manusia kehilangan orangtua, ibu, kakak atau adik.
Kedutaan
RRC juga tidak luput dari amuk massa. Hubungan negara Tirai Bambu dengan RI
yang tadinya begitu mesra, berubah menjadi musuh mengerikan. Hubungan
diplomatik diputus. Suatu hal yang sangat didambakan AS untuk membendung
pengaruh RRC.
Di
Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, secara mengejutkan proses pembunuhan
berjalan sangat sistematis. Aksi sepihak yang dilancarkan BTI (Barisan Tani
Indonesia) merebut lahan "tuan tanah" pada masa sebelumnya, sekarang dibalas
tanpa ampun.[20]
Antara tangal 8 Oktober-10
Oktober 1965, Menteri Dalam Negeri Mayor Jenderal D. Sumarno menginstruksikan
kepada para Gubernur Bupati, Walikota, dan seluruh korps pemerintahan dalam
negeri agar memberantas dan mencegah kemungkinan adanya kegiatan “Dewan
Revolusi”, di daerahnya masing-masing.[21]
Sejak meletusnya Gerakan 30 September,
departemen-departemen pemerintahan juga mulai membersihkan pegawai-pegawainya.
Setiap departemen dan lembaga-lembaga pemerintahan meneliti dan memperketat pengawasan
para pegawainya. Para pegawai yang tidak masuk kantor sejak 1 Oktober 1965
diharuskan memberikan keterangan.[22] Menteri
Kehakiman, A. Astrawinata SH, bahkan memberhentikan sementara para pegawai yang
sejak 1 Oktober 1965 tidak masuk kerja tanpa alasan.[23]
Sejak 2 Oktober 1965, operasi pembersihan dimulai. Harian Kompas edisi Rabu, 13 Oktober 1965 di
halaman 1 juga menulis soal penangkapan tujuh orang yang diduga anggota Sentral
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
“Polisi Komres VIII Kebajoran Baru, Selasa pagi ini, telah berhasil lagi meringkus 6 orang dimana diantaranja adalah 2 wanita, jang disinjalir terlibat dalam Gestapu dan pernah mengikuti latihan sukarelawan/wati di Tjililitan. Mereka adalah anggota2 Sobsi.”[24]
Di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur, aparat juga menangkap 96 orang pemuda sipil yang diduga kuat terlibat Gerakan 30 September.[25] Major Jendral Rukminto Hendraningrat, Duta Besar RI pada Republik Pakistan diinterview oleh harian berbahasa Inggris "Pakistan Times" yang tebrit di Lahore dan Rawalpindi mengenai Gerakan 30 September, menyatakan sebuah Gerakan Kontrarevolusi Dihancurkan.[26]
Semendjak operasi pembersihan terhadap orang2 jg diduga tersangkut dalam “Gerakan 30 September” sampai dengan tanggal 16 Oktober jang lalu untuk daerah Hukum Penguasa Perang Djakarta Raya dan Sekitarnja ternjata terdapat 1334 orang jang terlibat dalam G. 30 S.[27]
Bersamaan dengan itu, Amerika
Serikat memulai perang propaganda. Tema yang dipilih: “PKI brutality in murdering Generals and [Foreign Minister] Nasution's
daughter . . . PKI subverting Indonesia as agents of foreign Communists.” Dalam terjemahan bebasnya, tema propaganda itu
bisa diartikan sebagai: “Kebrutalan PKI dalam pembunuhan Jenderal dan tewasnya
putri Jenderal Nasution......PKI merongrong Indonesia sebagai agen komunis luar
negeri.[28]
Sebagai bagian dari rencana untuk
merealisasikan propaganda itu, demikian Pilger, Amerika Serikat turut
mendirikan lembaga propaganda di luar negeri. Dalam waktu dua minggu sejak Green mengirim telegram ke
Washington, sebuah kantor dari Foreign Office's Information
Research Department Luar Negeri (IRD) telah dibuka di Singapura.
IRD adalah lembaga top-rahasia,
unit propaganda perang dingin yang dipimpin oleh agen rahasia Norman Reddaway. Reddaway belakangan diketahui sebagai agen
rahasia Inggris MI-6 yang dikirim ke Jakarta atas permintaan Duta Besar Inggris
di Jakarta, Andrew Gilchrist.
MI-6 adalah Direktorat
kontra intelijen luar negeri Inggris. Dari sinilah propaganda internasional tentang
“kejahatan” PKI dimulai. Dari kantor ini pula wartawan-wartawan luar negeri
dipersulit masuk ke Indonesia untuk mengetahui peristiwa penting di Indonesia
kala itu.
Roland Challis, koresponden BBC Asia Tenggara, misalnya, adalah salah
satu target Reddaway. Bersama sejumlah wartawan asing lainnya, mereka dicegah masuk ke
Indonesia. Sampai sejauh itu, Challis tidak
menyadari bagaimana detail pembantaian di
Indonesia. "Ini adalah kemenangan propaganda barat,"
kata Chalis, kepada Pilger.
“Sumber-sumber saya di Inggris
pun sampai tak mengetahui apa yang sedang
terjadi,” kata Challis. “Tapi mereka tahu apa yang direncanakan Amerika. Ada mayat dibuang di halaman konsulat Inggris di Surabaya, dan
kapal perang Inggris memberi pengawalan dengan pasukan penuh pada sebuah kapal yang penuh dengan pasukan Indonesia. Mereka menyusuri Selat Malaka. Mereka ikut andil dalam tragedi mengerikan itu. Segera kami mempelajari
dan mengonfirmasi ke Kedutaan Besar Amerika Serikat mengenai siapa-siapa saja nama-nama
yang dibunuh. Tapi ada kesepakatan diantara kami. Yang pasti harus Anda lihat,
ada ciri dari kelanjutan peristiwa ini, yakni bagaimana cara Soeharto dalam
membangun rezim Orde Baru. Dalam sektor ekonomi, keterlibatan
IMF dan Bank Dunia adalah bagian dari itu.”[29]
Di dalam negeri, masih mengutip
Pilger, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap massa dan
pengikut PKI. Dokumen-dokumen soal ini di Indonesia dan luar negeri hingga saat ini
masih sangat sulit dilacak. Sebab, operasi ini sedemikian mendapat dukungan besar dari Amerika
Serikat. Termasuk, menghalang-halangi wartawan-wartawan asing masuk ke
Indonesia seperti disebutkan di atas. Walhasil, hampir tak ada dokumen dari pers, untuk tidak mengatakan sangat
sedikit.
Tapi, sejumlah dokumen
CIA dan beberapa buku terbitan Amerika Serikat, kata Pilger, mengonfirmasi bahwa pejabat-pejabat Amerika Serikat mengakui terjadinya
aksi pembersihan
tersebut. Bahkan, Kedutaan Besar Australia di Jakarta pun mengakui, meskipun istilah mereka bukan
pembantaian, melainkan ‘'operasi
pembersihan”.
Rabu, 20 Oktober 1965, pukul 20.00 WIB ditemukan tiga mayat laki-laki tanpa identitas yang diduga simpatisan PKI, di kawasan Kampung Sawah, Pangkalan Jati, Pondok Gede. Ketiga jenazah itu kemudian dibawa ke Rumah Sakit Ciptomangunkusumo untuk diperiksa.[30]
Pada akhir Oktober 1965, Kedutaan
Besar di Jakarta mengabarkan dan mengirim telegram ke Departemen Luar Negeri
AS, bahwa Kedutaan Besar AS di Jakarta mulai menerima laporan pembunuhan
anggota-anggota PKI.
Pada 29 Oktober 1965, Kedutaan AS
di Jakarta melaporkan bahwa “orang-orang Aceh mulai membersihkan kaum komunis.
Kepala-kepala mereka dipenggal dan dibuang ke sungai atau dilempar ke laut”. (Berdasarkan
Telegram 1269 dari Djakarta; 29 Oktober, National Archieves and Records
Administration, RG 84, Djakarta Embassy Files: Lot 69 F 42, Pol 23-9).[31]
Soeharto, yang terbilang jarang
berbicara kepada pers, pada awal November 1965 menyatakan, penghancuran PKI
sampai ke akar-akarnya harus menyeluruh. Mulai dari fisik, mental, hingga
spiritual.[32]
Pada 13 November 1965, Kedutaan
Besar AS di Jakarta melaporkan, berdasarkan seorang kepala polisi lokal bahwa,
“Ada pembunuhan 50 sampai 100 anggota PKI terbunuh setiap malam di Jawa TImur
dan Jawa Tengah oleh aksi masyarakat sipil yang anti komunis dengan bantuan
tentara. Laporan dari Surabaya juga menyatakan, di kawasan Kediri setidaknya
ada 3.500 angota PKI terbunuh antara 4 November hingga 9 November 1965.
Sementara di Paree, 30 kilometer barat laut Kediri, ada 300 orang simpatisan
PKI terbunuh. (Telegram 1374 dan 1438 dari Djakarta, 8 dan 13 November, dan telegram
171 dari Surabaya, 13 November, ibid)
Dalam airgram A-527 dari Jakarta,
25 Februari 1966, Kedutaan Besar AS di Jakarta melaporkan, diperkirakan ada
80.000 simpatisan PKI di Bali terbunuh dengan “tanpa batas”.
Di Februari 1966, Duta Besar
Inggris di Jakarta Gilchrist menulis sebuah
laporan tentang banyaknya pembantaian berdasarkan temuan dari Duta Besar
Swedia yang tidak disebut namanya. Duta
Besar Swedia itu telah mengunjungi Jawa Tengah dan Jawa Timur bersama istri. Sang Duta Besar dan istri
mewawancari sejumlah orang di luar pemerintahan.
Gilchrist
menulis surat kepada Kementerian Luar Negeri: "Duta Besar Swedia dan saya
telah membahas pembunuhan ini sebelum dia pergi berkeliling Jawa, dan dia telah menemukan 400.000 sosok mayat, dan saya menyatakan itu sungguh sangat luar biasa.”
Seorang manajer
bank di Surabaya dengan dua puluh karyawan mengatakan bahwa setidaknya ditemukan empat kepala terpenggal tak
jauh dari kantornya, tiga diantaranya teknisi
pabrik, anggota serikat buruh Komunis. Di Bali juga
terjadi pembantaian anggota dan simpatisan PKI. Bahkan, Perdana Menteri Harold Holt mengakui
setidaknya ada 80.000 orang yang terbunuh.[33]
McGehee
menggambarkan teror di Indonesia 1965-1966 itu mirip
'model operasi' Amerika Serikat saat menyingkirkan
Salvador Allende di Chili tujuh tahun kemudian. "CIA memalsukan sebuah
dokumen yang diklaim berasal dari kaum kiri Chili. Dokumen “asli” itu berisi
rencana pembunuhan para pemimpin militer,” tulis McGehee. Ini mirip dengan yang
terjadi di Indonesia pada 1965 dengan isu kudeta Dewan Jenderal. Menurut McGehee, operasi di Indonesia juga mirip
dengan Operasi Phoenix di Vietnam.[34]
“Pada tahun 1966, Washington Post menerbitkan sebuah laporan yang memperkirakan sekitar 500.000 terbunuh dalam pembersihan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pembersihan ini bahkan memicu perang saudara singkat. Dalam laporan 1968,
CIA memperkirakan terdapat 250.000 kematian eks-PKI, dan disebut pembunuhan "salah satu pembantaian
terburuk dari abad ke-20."[35]
Pada tahun 1970, Kepala Layanan Luar Negeri AS Richard
Cabot Howland, officer di Kedutaan Besar AS di Jakarta periode 1965-1966,
mempublikasikan artikel, Studies in
Intelligence (Vol. 14, Fall 1970, pages 13-28). Artikel ini kemudian
diarsipkan di Arsip Nasional AS, RG 263, CIA Records, Studies in
Intelligence. Dalam artikelnya, Howland menulis bagaimana gigihnya tentara
Indonesia melumat PKI dan simpatisannya laksana operasi militer AS di Vietnam.
Akibat operasi tentara ini, diperkirakan sekitar 350.000 hingga 1,5 juta orang
anggota PKI terbunuh.[36]
Meski demikian, Howland mengakui kesulitan mengonfirmasi
keakuratan jumlah jutaan korban pembantaian PKI ini. Namun, dia mendapat data
dari seorang pimpinan tentara berpangkat Letnan Kolonel soal data yang terbunuh.
Yakni, total 50.000 orang terbunuh di Jawa, 6.000 tewas di Bali, 3.000 orang di
Sumatera Utara. Dengan mengombinasikan seluruh data yang dia punya, Howland
menghitung, anggota dan simpatisan PKI yang terbunuh cuma sekitar 105.000
orang.
Soal angka yang terbunuh dalam pembunuhan massal ini, di
Kedutaan Besar AS di Jakarta sendiri hingga kini memang masih jadi perdebatan.
Kepada Majalah Tempo, Bernardo Hugh
Tovar, Kepala Badan Intelijen Amerika Serikat
(CIA) di Jakarta pada periode 1965, mengakui terjadinya pembunuhan
tersebut. “Pembunuhan itu sudah pasti benar karena banyak orang mengatakannya,”
kata Tovar. Namun berapa persisnya yang terbunuh, dia mengaku tak tahu pasti.[37]
Lantas, bagaimana versi pejabat Indonesia saat itu?
Brigadir Jenderal Ai Murtopo pada Senin, 10 Maret 1969 menyatakan pembunuhan
memang ada. Di Purwodadi, Jawa Tengah, misalnya, memang telah terjadi
pembunuhan. “Hanja sadja itu
merupakan konsekwensi daripada suatu operasi militer. Hal itu dikatakannja
setelah ia menghadap Presiden di Istana
Merdeka,” tulis Harian Kompas, edisi 11 Maret 1969. Berapa jumlah
orang yang terbunuh, saat itu belum jelas benar.[38]
Dalam dokumen Gedung Putih berkategori TOP SECRET/SENSITIVE tentang
MEMORANDUM OF CONVERSATION, tertanggal 26 Mei 1970, kemudian terungkap,
Soeharto melaporkan kepada Presiden AS Richard Nixon, bahwa, ”Berdasarkan
laporan pasukan strategis kami, mereka (kelompok PKI) sudah bisa diatasi. Pada
intinya, sebanyak 10% dari total 3 juta anggota mereka, saat ini memang masih
bebas. Tetapi, puluhan ribu diantaranya telah diinterogasi dan ditempatkan
dalam tahanan,” papar Soeharto.[39]
Dokumen TOP SCRET itu kemudian diarsipkan dalam Arsip
Keamanan Nasional atau The National
Security Archives AS, yang kini bisa diakses oleh
semua orang, dimanapun, kapanpun. (Pembahasan
dan transkrip dokumen rahasia itu akan dibahas di bagian bawah berikut ini).
Bagaimana tanggapan Soeharto atas dugaan keterlibatan CIA
soal penumpasan PKI? Selama beberapa dekade Soeharto hampir tak pernah bicara
soal tragedi nasional medio 1960-an itu. Soeharto baru membuka sedikit tabir
ini pada awal November 1994, atau hampir tiga dekade berikutnya.
Dalam pertemuan dengan sejumlah petinggi Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, seperti Amien Rais, Achmad Syafeii Ma’arif, dan Ismail Sunny,
Soeharto mengaku bahwa operasi penumpasan PKI tidak melibatkan CIA."Presiden menegaskan bahwa dalam menumpas PKI
tidak ada satu butirpun bantuan CIA. Adalah bangsa Indonesia sendiri
yang berhasil menumpas PKI yang anti-Pancasila itu," kata Amien Rais, mengutip Soeharto, dalam konferensi pers usai pertemuan
tersebut.[40]
Demikianlah. Bagi saya, secuplik cerita ini adalah
tragedi terbesar Indonesia di abad XX. Anda?
Jakarta, 30 September 2012
[1] Simpson, Bradley, CIA Stalling State Department Histories: Archieve Posts
one of two disputed volumes on web, State Historians conommunists to Indonesian
Army, Which killed at least 105,000 in 1965-66. Versi online bisa dilihat di : http://www.gwu.edu/~nsarchiv/NSAEBB/NSAEBB52/,
atau http://www.gwu.edu/~nsarchiv/NSAEBB/NSAEBB242/index.htm, atau http://www.gwu.edu/~nsarchiv/NSAEBB/NSAEBB242/1968_NIE-55-68.pdf
[2] Peter Dale Scott. The United States and the Overthrow of
Sukarno, 1965-1967. Pacific Affairs, 58, Summer 1985, pages 239-264. Versi
online ulasan Peter Dale Scott bisa dilihat di : http://www.namebase.org/scott.html
[3] Kathy Kadane, Ex-agents say CIA complied death lists for
Indonesians: After 25 years, Americans speak of their role in exterminating
Communist Party. States News Service, 1990. Bisa juga dilihat di http://www.namebase.org/kadane.html
[5] Weiner, Tim,
Legacy of Ashes: the History of the CIA, New York, Doubleday, 2007. Versi
Bahasa Indonesia: Weiner, Tim, Membongkar Kegagalan CIA: Spionase Amatiran
Sebuah Negara Adidaya, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2008
[6] Lihat Rossa, John, Dalih
Pembunuhan Massal, Jakarta, Institut Sejarah Sosial ndonesia dan Hasta Mitra,
2008
[7] Weinstein FB, Indonesia
Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Soekarno to Soeharto.
Ithaca: Cornel University Press, 1976.
[9] Sebagai perbandingan,
lihat tulisan Kathy Kadane, Ex-agents say CIA complied death lists for
Indonesians, loc. cit.
[13] Lihat tulisan Maruli
Tobing, Perang Urat Saraf yang Mematikan, Kompas, 9 Februari 2001. Bandingkan
dengan Peter Dale
Scott. The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967, loc. Cit.
[15] Dokumen-dokumen lain yang tak jelas sumbernya juga banyak
beredar. Pada 11 Oktober 1965, misalnya, di rumah seorang tokoh PKI di
Lampihong, sekitar 220 kilometer dari Banjarmasin, juga ditemukan sebuah
dokumen yang berisi catatan: “Pengakuan negara-negara Arab/Islam terhadap
Pemerintah Baru akan didapat dengan segera apabila Dekrit diucapkan oleh
Presiden D.N. Aidit. Namun, tak jelas benar darimana dokumen itu berasal. Soal
ini lihat Harian Kompas, Rentjana D.N. Aidit, edisi Selasa, 19 Oktober 1965,
hlm 1.
[21] Lihat Kompas, Instruksi
Mendagri: Brantas “Dewan Revolusi”, edisi Senin, 11 Oktober 1965, hlm 1
[23] Kompas, Menteri Kehakiman Bertindak, Kamis, 21 Oktober 1965, hlm 1
[25] Kompas, Pengakuan 96
Pemuda Rakjat Ttg “Lubang Buaja”, Senin, 18 Oktober 1965, hlm 1. Pada hari yang
sama Harian Kompas juga menerbitkan tajuk rencana dengan judul Pembersihan
Total, tentang operasi pembersihan anggota dan simpatisan Gerakan 30 September
1965
[26] Kompas, Dubes Rukminto
Pada Pakistan Times: Semua Gerakan Kontrarevolusi Dihantjurkan, Kamis, 14
Oktober 1965, hlm 1
[30] Kompas, Tiga Majat Terikat, edisi Sabtu, 23 Oktober 1965, hlm 1
[31] Bradley Simpson, CIA
Stalling State Department Histories: Archieve Posts one of two disputed volumes
on web, op. cit, p. 338. Versi online bisa dbisa dilihat versi online di : http://www.gwu.edu/~nsarchiv/NSAEBB/NSAEBB52/doc300.pdf
[32] Kompas, Men/Pangad Maj.Djen. Soeharto: G30S Harus
Ditumpas Setjara Fisik, Mental dan Sipirituil, edisi Kamis, 4 November 1965,
hlm 1
[34]Pilger, John,Ibid, hlm 38.
[35] Kadane, Kathy, Ex-agents
say CIA complied death lists for Indonesians, ibid. Bisa juga dilihat di http://www.namebase.org/kadane.html. Sebagai perbandingan, lihat Lihat
pula Peter Dale Scott. The United States and the Overthrow of Sukarno,
1965-1967. Pacific Affairs, 58, Summer 1985, pages 239-264. Bisa dilihat di : http://www.namebase.org/scott.html
[36] Simpson, Bradley, CIA
Stalling State Department Histories: Archieve Posts one of two disputed volumes
on web, op. cit, p. 339
[37] Lihat Majalah
Tempo, Wawancara dengan Kepala CIA Hugh Tovar, 01 Oktober 2001. Versi online bisa dilihat di http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2001/10/01/IQR/mbm.20011001.IQR83860.id.html#
[38] Kompas, Brigdjen Ali
Murtopo: Djangan Karena Berpendapat Lain, Dituduh PKI: Panglima Soerono Akan
Pertanggungdjawabkan Kepada Presiden?, edisi Selasa, 11 Maret 1969, hlm 1